Seharusnya perjanjian perkawinan dapat dilakukandibuat baik sebelum ataupun setelah disahkannya perkawinan. Dikarenakan konteks dalam
undang- undang tersebut adalah ‘perjanjian perkawinan’ dan bukan ‘perjanjian
pra perkawinan’. Di samping itu, perjanjian perkawinan bukanlah suatu hal yang lazim dalam budaya Indonesia karena perjanjian perkawinan merupakan
pilihan bagi pihak yang melakukan perkawinan. Walaupun pada prinsipnya diatur dalam Undang-undang Perkawinan dimuat dalam Lembar Negara,
tetap saja masyarakat yang mafhum hukum sering kali alpa akan hal tersebut belum lagi masyarakat awam.
Perjanjian perkawinan baru dirasa perlu ketika perkawinan sudah disahkan dan suami isteri telah menjalani biduk rumah tangga. Dimana mereka dalam
suatu keadaan yang merasa perlu atau bahkan harus untuk membuat perjanjian perkawinan.
Ketiadaan perjanjian perkawinan dalam perkawinan sesama WNI mungkin tidak terlalu pengaruh. Namun, lain halnya dengan perkawinan yang
terjadi antara WNI dengan WNA perkawinan campuran. Dalam perkawinan campuran yang terjadi tanpa perjanjian perkawinan, menyebabkan WNI tidak
dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak milik.
2. Hak Milik dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran
Ketentuan mengenai hak milik, sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya diatur dalam Pasal 20 s.d Pasal 27 UUPA. Yang mana ketentuan
mengenai hak milik dalam harta bersama percampuran harta akibat
perkawinan campuran secara khusus diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan,
bahwa :
1 Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik;
2 Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya; 3
Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pecampuran harta karena
perkawinan, demikan pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik
dan setelah
berlakunya undang-undang
ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu
tahun sejak
diperolehnya hak
tersebut atau
hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung;
4 Selama orang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
Berdasarkan undang-undang di atas, yang dapat mempunyai hak atas
tanah dengan hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu. Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat dan atau yang memperoleh hak milik karena percampuran harta dalam perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Begitu pula WNI yang mempunyai hak milik –
kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun setelah kehilangan kewarganegaraannya. Selanjutnya, orang
yang mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan
Indonesianya memperoleh hak milik, maka wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut.
Undang-undang di atas mengatur, bahwa yang berhak atas tanah dengan hak milik adalah warga negara Indonesia. Namun, faktanya WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa perjanjian perkawinan tidak berhak atas tanah dengan hak milik, dikarenakan terjadi percampuran
harta dengan warga negara asing. Akan tetapi, mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada undang-
undang tersebut di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan FKKP Chairul
Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan,
pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.
1
Jadi, yang tidak berhak atas tanah dengan hak millik hanyalah warga negara asing baik karena pewarisan tanpa wasiat ataupun percampuran harta
dalam perkawinan dan warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya.
1
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia : Tinjauan Hukum
Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari http:percaindonesia.comtest2
.