1. Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

13

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

Perhelatan politik telah dibuka kembali di pasar rakyat lima tahunan bernama pemilihan umum presiden dan wakil presiden pilpres. Pelbagai menu berupa visi, misi, dan program pun dikemukakan kepada rakyat, salah satunya melalui tayangan debat capres di beberapa stasiun televisi. Debat bagi pasangan calon presiden pada pemilu presiden ini akan dilakukan sebanyak tiga kali dan debat bagi calon wakil presiden sebayak dua kali. Komisi Pemilihan Umum diberikan tanggung jawab untuk menyelenggarakan debat yang wajib diikuti pasangan capres-cawapres. Debat ini direncanakan tanpa panelis. Penyelenggaraan debat ini untuk mengurangi kampanye dalam bentuk pengumpulan dan arak- arakan massa. Kampanye model konvensional ini tetap boleh diselenggarakan, tetapi bukan menjadi model utama. Kampanye dalam bentuk pengumpulan massa kurang mampu menggali visi dan misi pasangan capres-cawapres. Acara hiburan lebih mengemuka dalam kampanye tersebut. Model kampanye ini juga rawan menimbulkan kesenjangan antara pasangan capres-cawapres yang memiliki dana kampanye berlimpah dan terbatas. Debat capres akan disiarkan melalui media massa, terutama media massa elektronik yang mudah diakses masyarakat. Biaya penyelenggaraan debat ini sebagiannya dibebankan kepada negara dan sisanya dari sponsor iklan. Debat calon presiden capres 2009 perdana akan diselenggarakan pada 18 Juni bertempat di stasiun televisi Trans TV Jakarta dan disiarkan secara langsung oleh televisi yang bersangkutan. Debat yang dipandu Rektor Universitas Paramadina, Universitas Sumatera Utara 14 Jakarta, Anies Rasyid Baswedan itu dibagi atas empat tahapan, yaitu penyampaian visi-misi, pendalaman, diskusi dengan kesempatan calon menanggapi pandangan calon lain, serta penutup. Pada sesi ketiga, saat calon diberi kesempatan menanggapi pendapat calon lain, kesempatan untuk ”menyerang” itu tidak dipergunakan mereka. Pada debat pertama, misalnya ketika menyoal perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, Megawati menyatakan akar masalah ada di dalam negeri sehingga perlindungan harus dimulai dari dalam negeri. SBY menanggapinya dengan menyatakan ”setuju 200 persen”. Kalla juga menyebut apa yang disampaikan Megawati dikerjakannya saat ia menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada masa pemerintahan Megawati. Ketika diberikan kesempatan menanggapi balik, Megawati hanya berujar singkat, ”Semua ngikut saya.” Dalam sesi kedua, Anies melontarkan tiga pertanyaan terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, anggaran pertahanan, dan penyelesaian kasus lumpur Lapindo Brantas. Kalla dan Megawati menekankan agar RUU itu bisa dirampungkan maksimal September 2009 oleh DPR periode sekarang. SBY menyebutkan, jika tidak bisa selesai, presiden punya hak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang perppu. ”Saya sependapat dengan Pak SBY karena yang bisa membuat perppu Pak SBY,” kata Kalla. Soal anggaran pertahanan, Kalla menyebutkan, salah satu upaya membangun militer yang kuat adalah dengan mengupayakan pemenuhan alat utama sistem persenjataan dengan produk dalam negeri. Ia pernah memerintahkan PT Pindad memproduksi 150 panser. SBY lebih menekankan peningkatan anggaran pertahanan secara bertahap. Kebutuhan minimal mencapai Rp 120 triliun, tetapi tahun 2009 baru mencapai Rp 35 triliun. Universitas Sumatera Utara 15 Debat yang kedua pada 25 Juni dengan tema mengentaskan kemiskinan dan pengangguran serta dipandu oleh moderator Aviliani, sedangkan debat capres ketiga pada 2 Juli dengan tema NKRI, demokrasi dan otonomi daerah dan moderator Pratikno. Debat merupakan momentum persuasi dari para capres untuk meyakinkan bahwa mereka layak menjadi pemenang. Debat akan berpengaruh pada politik pencitraan para capres. Ekspresi komunikasi dan wawasan para capres akan dilihat dan didengar oleh khalayak sehingga sangat mungkin untuk menaikkan atau menurunkan tingkat elektabilitas capres. Dalam publik relations tidak bisa dilepaskan dengan image atau citra. Citra adalah sebuah pandangan mengenai suatu perusahaan atau suatu partai politik dan kandidatnya, yang bersifat penilaian obyektif masyarakat atas tindakan dan perilaku dan etika para kader partai tersebut yang berhubungan dengan eksistensinya dalam masyarakat. Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri public terhadap perusahaan atau organisasi, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi Bill Clinton, dalam Elvinaro Soemirat, 2003:112 . Citra itu dengan sengaja perlu diciptakan agar bernilai positif, citra itu sendiri merupakan salah satu asset terpenting dari suatu perusahaan atau organisasi. Yang membentuk citra adalah perusahaan tersebut, sedangkan publik hanyalah pihak yang menanggapi apakah citra yang coba ditunjukan oleh sebuah perusahaan itu berhasil atau tidak dan menilainya sehingga munculah persepsi. Citra ditimbulkan dari persepsi yang diberikan masing-masing masyarakat, pesepsi ini bersifat obyektif, tergantung dari siapa persepsi itu dikeluarkan. Persepsi secara umum dapat dipengaruhi dari dua hal yaitu, pengalaman pribadi serta pengaruh orang lain. Universitas Sumatera Utara 16 Sedangkan yang dimaksud pengaruh dari orang lain sebuah persepsi yang dikeluarkan oleh seseorang atau konsumen akibat dari pengaruh dari orang lain, tidak dengan melihat dan membuktikannya sendiri. Persepsi ini sering digunakan bagi seseorang yang sangat membenci organisasi tersebut dan dengan tujuan agar citra organisasi tersebut jatuh, maka ia membuat isu dan disebarkan kepada orang lain. Media di manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan constructed reality. Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman 1966, berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai objective reality termasuk di dalamnya isi media media content, dikategorikan sebagai simbolic reality. Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu subjective reality ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat. Idealnya media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi, distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial dan demokratisasi di Indonesia. Universitas Sumatera Utara 17 Debat tentu akan berpengaruh pada politik pencitraan para capres. Ekspresi komunikasi dan wawasan para capres secara langsung akan dilihat dan didengar oleh khalayak luas, sehingga sangat mungkin dapat menaikkan atau menurunkan tingkat elektablitas capres di mata pemilih. Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan pertama kalinya oleh khalayak tentu saja retorika para capres. Retorika sebagai seni berbicara art of speech akan memberi kesan pada kemampuan kandidat dalam menangani persoalan susbtantif yang mereka janjikan. Dari debat calon akan diketahui kualitas dan kapabilitas pasangan calon. Di dalam debat tentu akan diketahui sejauh mana argumentasi dan rasionalisasi para calon dalam mempertahankan rencana program beserta strategi realisasinya. Tidak hanya dari visi, misi, dan program. Dari penampilan dan gaya berbicara capres pun akan tampak dalam acara debat capres ini. Dari perdebatan ini, kita akan melihat bagaimana pencitraan yang terbentuk di masyarakat. Citra yang positif akan membantu masing-masing kandidat untuk menarik simpati dari masyarakat. Berbagai argumentasi yang dikemukakan pada khalayak berupa kebijakan politik calon presiden termasuk didalamnya citra sosial caleg, perasaan emosional caleg dan citra diri seorang caleg akan menentukan perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya. Peneliti memilih tayangan debat ini sebagai bagian yang sangat penting dalam penyusunan karya ilmiah, karena hanya di dalam tayangan ini para kandidat Capres RI dapat tampil bersama di media TV dan juga berdebat secara bersama-sama dalam satu tempat dan waktu. Tayangan ini juga merupakan yang pertama dalam sejarah berdemokrasi di Indonesia, dan penulis juga harus menunggu empat tahun lagi untuk melihat hal yang menarik ini. Universitas Sumatera Utara 18 Penulis memilih objek penelitian pada kalangan mahasiswai FISIP USU. Ini disebabkan oleh tingkat pendidikan mahasiswai FISIP USU telah lebih baik. Dan pola berpikir mahasiswai FISIP lebih cenderung pada analisis-analisis bidang sosial dan politik. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti “Sejauhmanakah pengaruh tayangan Debat Capres di TV terhadap peningkatan citra Capres RI pada Masa Pemilihan Umum Presiden 2009 di Kalangan Mahasiswai FISIP USU? ”. Universitas Sumatera Utara 19

I. 2. Perumusan Masalah