Ketika Anak Membandingkan

4.1. Ketika Anak Membandingkan

“Mami boleh pakai ini?” Tanya Najmi. “Boleh,” jawab Mami tanpa berpikir panjang. “Kok kata sensei nggak boleh? “Sensei yang salah, Mami?” Tanya Najmi lagi.

Ceritanya, pada saat kami hendak pergi berbelanja, saya meminta Najmi berpakaian sendiri. Bajunya sudah saya siapkan, tinggal tugas Najmi untuk memakainya. Atasannya sudah oke, cuma bawahan yang bermasalah. Menurut saya, bawahannya kurang pas bila dipakai untuk berpergian keluar.

Ketika pertanyaan Najmi seperti di atas muncul, ia sedang mengenakan celana tidur. Najmi menanyakan apakah boleh langsung memakai jins tanpa harus mengganti celana tidur yang sedang ia kenakan. Tanpa berpikir panjang, saya langsung membolehkan. “Mikirnya ingin cepat saja, he..he..he.”

Namun Najmi di sekolahnya telah diajarkan oleh gurunya, “pakaian tidur hanya boleh digunakan untuk tidur saja”. Walaupun di sekolahnya anak-anak hanya tidur 2 jam saja, tetapi untuk tidur harus memakai piama. Selepas bangun, pakaian itu harus diganti dengan pakaian beraktivitas. Maka protes Najmi pun keluar, setelah saya membolehkannya memakai celana tidur untuk pergi keluar. Walaupun bagian luarnya ada celana jins.

“Kok kata sensei nggak boleh.. Mami?”

Saya kaget mendengar protes Najmi. Saya sungguh tidak menduga protes Najmi akan keluar seperti itu. Perasaan saya bercampur aduk. Ada rasa malu pada Najmi, karena saya sudah membuat kesalahan. Ada rasa senang karena Najmi yang sekarang sudah lebih kritis. Dia sudah berani mengutarakan perbedaan ajaran yang dia terima.

Saya tidak marah diprotes anak. Saya senang dan gembira dengan sikap Najmi tersebut. Artinya, dia tanggap terhadap pengajaran yang diterimanya, dan dia ingin mencari suatu kebenaran dari dua sumber yang berbeda.

Bagi Najmi orangtuanya adalah segalanya, itu yang bisa saya baca. Dia bangga pada orangtuanya, Alhamdulillah. Semoga hal ni terus berlangsung. Dalam kasus ini pun Najmi beranggapan bahwa sensei (guru)-nya dan peraturan sekolah yang salah. Tapi saya tidak malu untuk mengatakan kalau yang benar itu senseinya.

“Maaf ya, Anak sayang, Mami yang salah. Karena Mami ingin kita cepat berangkat, makanya Mami bilang saja boleh. Padahal sebenarnya tidak boleh. Ini kan celana tidur, memang harus diganti kalau mau pergi keluar. Baju tidur hanya untuk tidur. Sensei (guru) Anak yang benar. ”

“Sekarang, ayo Anak ganti celana tidurnya dengan taitsu (celana ketat untuk menghangatkan, yang dipakai pada musim dingin), kemudian baru pakai jins ya! ”

“Hai wakarimashita ( ya, mengerti),” jawab Najmi

Saya merasa lega karena sudah mengutarakan kebenaran yang sesungguhnya pada Najmi. Kejadian ini kami jadikan sebagai pelajaran agar lebih berhati-hati dalam menghadapi Najmi. Kami harus mengajarkan kejujuran dan kebenaran kepadanya. Kami harus memberikan dia contoh yang baik. Ketika salah kami harus berani mengakuinya, dan mengutarakan kata maaf.

Sesungguhnya tidak ada gunanya mempertahankan ego, sekalipun berhadapan dengan anak kecil, ini yang akan kami praktekkan.

Semoga niat ini bisa terlaksana hendaknya, untuk menciptakan generasi yang lebih baik. Andaikan kita semua sepakat untuk bersikap dan mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya kepada anak-anak kita, tentu nantinya mereka akan lebih baik dari kita ini.

Pengajaran yang linier (linier= berupa garis lurus) untuk anak sungguh merupakan pendidikan yang bijak sekali. Ajaran yang linier artinya aturan yang saling menunjang, tidak terkotak-kotak, atau saling bertentangan. Sehingga kebenaran itu tidak hanya Pengajaran yang linier (linier= berupa garis lurus) untuk anak sungguh merupakan pendidikan yang bijak sekali. Ajaran yang linier artinya aturan yang saling menunjang, tidak terkotak-kotak, atau saling bertentangan. Sehingga kebenaran itu tidak hanya

Agaknya, pola dan sistem pendidikan yang linier inilah yang melekat pada masyarakat Jepang sehingga menjadikan mereka disiplin dan punya satu sikap di mana pun berada.

Dari cerita di atas dapat dianalisis sebagai berikut :

1. Saat kejadian ini Najmi berumur 4,8 tahun. Nampaknya anak di atas 4,5 tahun dengan sistem pendidikan yang berkelanjutan di sekolah (tempat penitipan anak), anak sudah bisa mengadopsi kebiasaan yang berlaku di sekolah. Anak 4,5 tahun sudah bisa protes bila dia menemukan ajaran yang berbeda antara di sekolah dan di rumah. Sebaiknya orangtua harus berhati-hati, jangan karena terburu-buru si anak diizinkan untuk melakukan sesuatu yang salah, karena akan menimbulkan kebingungan pada anak. Hal ini juga merusak kebiasaan yang telah diterima anak melalui lingkungan sekolahnya.

2. Orangtua seharusnya bisa berjiwa besar, mudah mengutarakan kata maaf di kala salah, dan mengucapkan terimakasih kepada anak sesuai dengan keadaan. Bila orangtua bersalah, seharusnya tidak mencari alasan untuk menutupi kesalahan. Ini adalah suatu prilaku yang terpuji. Nantinya anak juga akan tumbuh menjadi insan yang sportif, mudah meminta maaf bila bersalah, dan 2. Orangtua seharusnya bisa berjiwa besar, mudah mengutarakan kata maaf di kala salah, dan mengucapkan terimakasih kepada anak sesuai dengan keadaan. Bila orangtua bersalah, seharusnya tidak mencari alasan untuk menutupi kesalahan. Ini adalah suatu prilaku yang terpuji. Nantinya anak juga akan tumbuh menjadi insan yang sportif, mudah meminta maaf bila bersalah, dan

3. Dalam pikiran anak, orangtuanya adalah yang terbaik, berhagialah kita akan praduga positif anak kita. Ini merupakan masukan yang bagus buat para orangtua sehingga kita bisa lebih waspada, bisa merupakan cambuk kepada kita untuk terus belajar dan menambah ilmu untuk menutupi kekurangan yang kita miliki. Sesuai dengan tumbuhnya anak, kita para orangtua bisa terus meningkatkan kualitas diri kita, asalkan ada tekad dalam hati.

4. Sebaiknya orangtua harus cukup informasi dan pengetahuan tentang aturan atau kebiasaan yang berlaku di sekolah anak. Orangtua sebaiknya menunjang sistem yang telah ditetapkan di sekolah. Dengan sistem pendidikan yang linier, anak akan konsisten untuk menerapkan suatu ajaran. Pendidikan yang linier antara orangtua, sekolah dan masyarakat akan menciptakan anak yang disiplin dan beraturan.

5. Jepang sangat disiplin menerapkan sistem pendidikan yang linier dalam segala bentuk aturan yang diterapkan, sehingga tidak ada peraturan yang tumpang tindih. Misalnya saja masalah sampah: di rumah, di sekolah, di masyarakat umum, dan di tempat umum, sistem dan aturan sampah sama, sehingga prilaku masyarakat pun seragam, dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Tidak dijumpai sampah bertebaran di jalan, sehingga kotanya 5. Jepang sangat disiplin menerapkan sistem pendidikan yang linier dalam segala bentuk aturan yang diterapkan, sehingga tidak ada peraturan yang tumpang tindih. Misalnya saja masalah sampah: di rumah, di sekolah, di masyarakat umum, dan di tempat umum, sistem dan aturan sampah sama, sehingga prilaku masyarakat pun seragam, dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Tidak dijumpai sampah bertebaran di jalan, sehingga kotanya

Gambar 24. Lukisan oleh Najmi

Wassalam Mamianak Tokyo 070316