Ketika Anak Kecewa

4.2. Ketika Anak Kecewa

Waktu ayahnya Najmi pergi ke luar kota, saya menunggu sang ayah online di depan komputer untuk bisa berkomunikasi. Kota tempat suami berada saat itu mempunyai perbedaan waktu dengan Jepang antara siang dan malam. Bila di Jepang sudah pagi, maka di sana masih malam, begitu juga sebaliknya. Tepatnya suami sedang berada di Baltimore, Amerika Serikat, untuk seminar selama seminggu.

Saat itu Najmi tidak sekolah. Saya dan Najmi seharian di rumah. Komputer menyala terus dari pagi hingga malam. Sebentar- sebentar ketika ada waktu kosong, saya mengintip layar komputer, ternyata pesan di Yahoo Messanger dari suami tidak ada.

Saya penasaran, “Kok suami nggak mengirimkan message ya?” Mau menghubunginya lewat telepon pun nggak bisa, karena saya nggak tahu kemana harus menelepon. Apalagi kata suami nggak bisa menelpon langsung, harus melalui operator dulu. Tambahan lagi suami pun tidak memberikan nomor telepon hotel tempat ia menginap.

Padahal menelpon dari Jepang ke Amerika murah sekali, bahkan sama dengan tarif telepon lokal di Jepang. Ya mungkin ini terkait hubungan yang dekat antara Jepang dan Amerika. Bukan itu saja, tiket pesawat dari Jepang ke Amerika pun sangat murah, ketimbang Jepang-Indonesia.

Pada saat mau tidur di malam hari, saya dan Najmi kembali mengintip layar komputer, berharap papinya sudah bangun.

“Nak, yuk kita lihat Papi ada nggak!”

Najmi bergegas dan berlari menuju ruang computer. Dan dilihatnya Yahoo Messanger dari papinya tidak ada juga. Najmi mengerti karena papinya memakai nama “Najmi” untuk user name-nya. Najmi memang sudah bisa membaca dan menuliskan namanya sendiri.

“Wah nggak ada Mami-chan,” suara Najmi terdengar keras. “Ke mana ya Papi? kok nggak online?” Saya menimpali. Tanpa berpikir panjang, Najmi langsung menjawab, “Sedih ya Mami kalau Papi nggak ada! ”

Saya tersenyum memandangi wajah Najmi. Saya senang Najmi sudah bisa merasakan perasan sedih dan kecewa, karena seharian bolak-balik mengintip pesan dari papinya bersama Maminya. Saya terharu karena Najmi sudah bisa menyuarakan isi hatinya. Najmi sudah bisa mengeluarkan kata-kata yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Saya berusaha menghibur Najmi, dan mendekapnya. “Ya mungkin Papi kemarin itu sibuk, kan Papi presentasi, jadi capek dan sekarang mungkin belum bangun.”

“Najmi kan dari tadi sudah bangun, kenapa Papi belum?” Sanggah Najmi.

“Papi itu sekarang lagi berada di Amerika, jauh ... sekali. Di sana sekarang ini masih pagi. Yuk kita bobok. Besok Anak kan harus sekolah. Nanti Papi pasti kirim e-mail. ” Saya membujuk Najmi, sambil mengusap pipi kanan dan kirinya.

Najmi tampak merasa terhibur dan setuju dengan ajakan Maminya.

“Un, wakarimashita (Baik, mengerti)!” jawab Najmi. “Yuk bobok, yuk Mami!”

Saya dan Najmi bersiap-siap untuk tidur. Sebelumnya, Najmi tidak lupa menyikat gigi, karena sudah merupakan kebiasaan rutinnya setiap hari. Kami kemudian sholat Isya berjama ’ah.

Meskipun sudah berada di tempat tidur bersama Najmi, saya masih belum bisa tidur. Masih terngiang-ngiang di telinga ini ucapan yang terlontar dari mulut mungil Najmi. Mau rasanya untuk menghidupkan komputer kembali dan menyampaikan pesan kepada papinya, kalau anak gadisnya kecewa karena tidak ada pesan dari Papi untuknya.

“Tapi selimut telah terasa hangat, besok saja bangun awal sekali dan mengirim message (pesan) kepada Papi. ”

Esoknya, setelah sholat subuh, saya bergegas menyalakan komputer. Begitu monitor terbuka, langsung keluar message (pesan) dari papinya.

“Mami dan Anak-chan (anak saying), maaf… kemarin Papi pulang telat dan langsung terkapar. Papi nggak sempat menghubungi. Anak yang baik ya, patuh sama Mami. Papi sayang sama Najmi, maafkan Papi ya. Cium sayang dari Papi untuk Anak-chan dan Mami. Wassalam! ”

Setelah Najmi bangun, saya mengajak Najmi membaca pesan dari papinya, walaupun Najmi masih harus mengeja. Najmi senang sekali menerima pesan dari papinya. Kekecewaan kemarin tidak terlihat lagi di wajahnya. Saya segera mengetik balasannya sesuai dengan kalimat yang diucapkan oleh Najmi. Dengan demikian, Najmi pun bertambah senang.

Saat anak merasa sedih, peran bijak orangtua sangat diperlukan sekali. Alhamdulillah hati saya digerakkan oleh Allah untuk segera menghibur Najmi, ditambah lagi dengan pesan dari papinya yang dilihatnya langsung. Jadinya lengkap sudah menutupi kesedihan Najmi.

Dari peristiwa yang dituliskan seperti di atas dapat dianalisis sebagai berikut :

1. Kejadian ini berlangsung saat Najmi berumur 4,9 tahun. Artinya anak usia di bawah 5 tahun telah bisa mengungkapkan perasaan sedih, dan telah mengerti rasa kecewa. Hal ini bisa dilihat dari penuturan Najmi, “Sedih ya Mami kalau Papi nggak ada. ” Anak di bawah 5 tahun telah tahu situasi dan kondisi, serta menyatakan ha apa yang dirasakannya dengan kalimat yang sesuai.

2. Orangtua sebaiknya mengerti akan keadaan anak. Bila terpaksa harus mengambil keputusan yang membuat anak kecewa, sebaiknya orangtua harus mengungkapkan kepada anak dengan jujur dan menggunakan kalimat yang bisa dimengertinya. Atau bila kasusnya serupa seperti yang dialami Najmi, maka salah satu orangtua yang berada bersama anak saat kejadian berlangsung, harus berusaha sebisa mungkin menerangkan kepada anak tentang keadaan yang sebenarnya. Sehingga anak bisa merasa terhibur dan memahami keadaan.

3. Meskipun sementara, permasalahan dengan anak telah selesai, namun orangtua yang telah membuat anak kecewa, sebaiknya meminta maaf kepada anak, baik lisan maupun tulisan. Dalam kasus Najmi, sang Papi mengirimkan pesan untuk menyampaikan kata maaf kepadanya. Tindakan ini sudah benar, karena Najmi jadi terobati dengan kehadiran pesan Papinya.

Wassalam, Mamianak Tokyo, 070317.

Kupu-kupu oleh Najmi