Kajian-Kajian Empiris

2.3. Kajian-Kajian Empiris

Rezita, 2015 menyatakan Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa Pendidikan dan pelatihan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai, dan pengaruhnya berada pada kategori sedang. Diklat teknis sangat berhubungan dengan kebutuhan mendesak organisasi dan hasilnya bisa diukur. Namun, returns dari diklat pengembangan relatif lebih sulit untuk diidentifikasi. Oleh karena itu, tingkat ukuran gross - ROI - secara periodik pada total aset riil, termasuk aset manusia perlu ditambahkan disertai dengan pengukuran kualitatif.

Penelitian yang dilakukan Nursangadah (2015) adanya Diklat Di Tempat Kerja Tata SKP di Kementerian Agama Kabupaten Pekalongan maka akan meningkatkan kinerja para PNS. Ternyata sangat berpengaruh terhadap Peningkatan kinerja ditandai apabila peserta Diklat Di Tempat Kerja memiliki karakter, berorientasi pada prestasi, memiliki percaya diri, mempunyai pengendalian diri yang baik, dan memiliki kompetensi.

Srimannarayana (2011) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa kebutuhan penilaian yang cukup, nominasi yang tepat, desain pelatihan yang tepat, dan delivery merupakan prasyarat untuk mengukur impact dari diklat. Namun, harus dilengkapi dengan pengetahuan yang memadai, keterampilan, dan orientasi dari lembaga diklat/ HR terkait penggunaan pengukuran dampak.

Temuan studi Ban dan Faerman (1990) adalah bahwa baik variabel demografis (seperti usia, jenis kelamin, pendidikan atau pelatihan sebelumnya, dan pengalaman) atau variabel psikologis (seperti keterlibatan kerja, prestasi, komitmen organisasi, dan locus of control) memiliki hubungan yang penting dan berlawanan terhadap efektivitas pelatihan. Implikasinya adalah bahwa program pelatihan harus ditawarkan secara luas, tanpa adanya praduga tentang kelompok yang paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian, temuan studi ini menunjukkan bahwa mereka yang mencetak skor terendah pada pretest menunjukkan perbaikan yang paling tinggi setelah pelatihan. Dalam rangka untuk memaksimalkan peningkatan produktivitas yang dihasilkan dari suatu pelatihan, organisasi tidak perlu melakukan pelatihan bagi mereka yang kinerjanya sudah memadai, namun memilih orang-orang yang benar-benar membutuhkan pelatihan.

Studi lainnya dari Ban dan Faerman (1993) menjelaskan beberapa isu penting tentang evaluasi program pelatihan. Pertama, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran reaksi lebih kuat berkaitan dengan perubahan perilaku. Isu lain yang diangkat oleh penelitian ini mengenai evaluasi program pelatihan tercermin perubahan perilaku pada tiga bulan dan perubahan perilaku pada enam bulan. Penurunan dari waktu ke waktu dalam hubungan antara reaksi dan perubahan perilaku menunjukkan bahwa semakin jauh peserta pelatihan dari pengalaman pelatihan di kelas, penggunaan atas keterampilan baru tersebut berubah. Hal ini menunjukkan bahwa jika lembaga mencari perubahan yang lebih permanen dalam perilaku kar yawan, mereka mungkin perlu mencari mekanisme untuk menindaklanjuti hasil pengalaman pelatihan kerja peserta dengan menerapkan materi training ke lingkungan kerja mereka.

Hasil studi Eseryel (2002) menunjukkan bahwa aktivitas/ kegiatan yang terlibat dalam evaluasi pelatihan cukup kompleks dan tidak selalu terstruktur dengan baik. Disebabkan kegiatan evaluasi melibatkan beberapa tujuan yang terkait dengan beberapa tingkatan, evaluasi sebaiknya dilihat sebagai kegiatan kolaborasi antara desainer pelatihan, manajer pelatihan, pelatih, manajer teknis, dan pihak lainnya. Hanya sebagian kecil organisasi yang berhasil dalam membangun Hasil studi Eseryel (2002) menunjukkan bahwa aktivitas/ kegiatan yang terlibat dalam evaluasi pelatihan cukup kompleks dan tidak selalu terstruktur dengan baik. Disebabkan kegiatan evaluasi melibatkan beberapa tujuan yang terkait dengan beberapa tingkatan, evaluasi sebaiknya dilihat sebagai kegiatan kolaborasi antara desainer pelatihan, manajer pelatihan, pelatih, manajer teknis, dan pihak lainnya. Hanya sebagian kecil organisasi yang berhasil dalam membangun