Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Kinerja BP3 Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Kerangka Berpikir

commit to user 9 dipengaruhi faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka penelitian ini juga akan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana hasil yang telah dicapai, mengungkap apa saja masalah yang terjadi dalam upaya perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, faktor apa saja yang mendukung dan faktor apa yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah tersebut. Dengan begitu, akan dapat ditentukan langkah penanganan yang tepat untuk mengatasi hambatan yang ada serta upaya peningkatan kinerja dapat lebih terarah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah? 2. Apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah. 2. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghamabat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi- candi di Jawa Tengah. commit to user 10

D. Manfaat

1. Teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah serta faktor pendorong maupun faktor penghambatnya. 2. Praktis, yaitu dapat memberikan masukan pada BP3 Jateng agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam hal perlindungan candi-candi di Jawa Tengah pada waktu yang akan datang. commit to user 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kinerja

Berikut ini akan dijelaskan beberapa konsep terkait kinerja, yaitu pengertian kinerja, penilaian dan indikator kinerja, serta faktor-faktor yang memengaruhi kinerja. 1. Pengertian Kinerja Kinerja berasal dari kata “to performance” dan menurut The Scibner Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Kanada tahun 1979 dalam Widodo 2008: 77-78, kinerja diartikan sebagai berikut : a. To do or carry out; execute melakukan, menjalankan, melaksanakan. b. To discharge or fulfill; as a vow memenuhi atau menjalankan kewajiban atau nadzar. c. To execute or complete an undertaking melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab. d. To do what is expected of a person or machine melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Hampir sama dengan pengertian di atas, dalam kamus Illustrated Oxford Dictionary 1998:606 dalam Keban 2004:191-192, performance diistilahkan sebagai “the execution or fulfillment of a duty” pelaksanaan atau pencapaian dari suatu tugas. commit to user 12 Bernadin dan Russel 1993:378 dalam Ruky 2002:15 juga memberikan definisi tentang performance sebagai berikut: “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih sebagai berikut: “kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi- fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”. Teresa Curristene 2005:129 juga memberikan definisi tentang kinerja seperti di bawah ini: “Performance means the yield or result of activities carried out in relation to the purpose being pursued. Its objective is to strengthen the degree to which government achieve their purposes” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka artinya kurang lebih seperti di bawah ini: “Kinerja berarti hasil atau hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan tujuan yang dikejar. Tujuannya adalah untuk memperkuat sejauh mana pemerintah mencapai tujuan-tujuan mereka” Sementara menurut Surat Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia NOMOR: 239IX682003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah halaman 10, kinerja instansi pemerintah didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strateji instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan commit to user 13 pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Dari berbagai macam pengertian kinerja yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh sebuah organisasi dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Baik atau buruknya kinerja sebuah organisasi tentunya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Widodo 2001:79 berpendapat bahwa kinerja lembaga organisasi salah satunya ditentukan oleh kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi. Sebaliknya, kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi ditentukan oleh struktur, peralatan, dan keuangan yang dimiliki oleh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa antara sumber daya manusia SDM dengan organisasi saling berkaitan dan berpengaruh dalam hal pencapaian kinerja. Apabila kinerja karyawan SDM sebagai pelaku organisasi baik, tetapi tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, maka dimungkinkan tujuan organisasi tidak tercapai dengan baik dan artinya kinerja organisasi tersebut buruk. Hampir sama dengan yang disampaikan oleh Widodo di atas, Soesilo 2000:22-12-22-13 dalam Tangkilisan 2007:180-181 mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini: commit to user 14 a. Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi. b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi. c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal. d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja. e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi. Atmosoeprapto 2001:11-19 dalam Tangkilisan 2007:181-182 menyampaikan pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Beliau membedakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri, yang terdiri dari: a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi. b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan. commit to user 15 d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan. Faktor ekstenal merupakan faktor yang berasal dari luar organisasi, yang terdiri dari: a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan memengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal. b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar. c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang memengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi dapat berasal dari dalam organisasi itu sendiri internal maupun dari luar organisasi tersebut eksternal. Yang termasuk faktor internal antara lain adalah: struktur organisasi, tujuan organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi manajemen, sarana prasarana, keuangan dana, budaya organisasi. Sedangkan yang atermasuk faktor eksternal antara lain adalah: faktor ekonomi, faktor politik, dam faktor sosial. commit to user 16

3. Penilaian Kinerja dan Indikator

Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan penilaian kinerja serta apa yang dimaksud dengan indikator kinerja itu. Larry D. Stout dalam Bastian 2001 dalam Tangkilisan 2007:174 mengemukakan bahwa pengukuranpenilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi mission accomplishment melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses. Sedangkan Widodo 2008:95 berpendapat bahwa pengukuran kinerja merupakan aktivitas menilai pencapaian hasil kerja yang dicapai oleh organisasi, dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dari dua pendapat diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa ataupun proses, berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Mahmudi 2005:12 berpendapat tentang manfaat dari penilaian kinerja, bahwa pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik. commit to user 17 Selain sebagai alat untuk menilai kesuksesan organisasi, penilaian kinerja memiliki manfaat lain sebagaimana diungkapkan oleh Bastian dalam Tangkilisan 2007:174 seperti di bawah ini: a. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi b. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan c. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi Manfaat dari dilakukannya penilain kinerja adalah kita dapat mengetahui bagaimana kinerja sebuah organisasi. Manfaat dari mengetahui bagaimana kinerja suatu organisasi pemerintah adalah sebagaimana disampaikan oleh Teresa Curristine 2005:129 di bawah ini: “Performance information is important for governments in assessing and improving policies: 1 in managerial analysis, direction and control of public services; 2 in budgetary analysis; 3 in parliamentary oversight of the executive; 4 for public accountability - the general duty on governments to disclose and take responsibility for their decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya seperti di bawah ini: “Informasiketerangan mengenai kinerja penting bagi pemerintah dalam menilai dan memperbaiki kebijakan: 1 di bidang analisis pengelolaan, petunjuk dan kontrol pelayanan publik; 2 dalam analisis anggaran; 3 dalam pengawasan parlemen terhadap eksekutif; 4 untuk akuntabilitas publik-tugas umum pemerintah untuk memperlihatkan dan bertanggungjawab atas keputusan mereka” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, akan dapat ditentukan secara tepat langkah apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. commit to user 18 Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja tentunya berdasarkan pada indikator-indikator tertentu. Indikator kinerja menurut Bastian 2001:33 dalam Tangkilisan 2007:175 adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator berikut ini: a. Indikator masukan inputs Merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumberdaya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya. b. Indikator keluaran outputs Merupakan sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik. c. Indikator hasil outcomes Merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah efek langsung. d. Indikator manfaat benefit Merupakan sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. e. Indikator dampak impacts Merupakan pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. commit to user 19 Berbeda dengan pendapat di atas, Levine dkk. 1990 dalam Dwiyanto 1995 dalam Tangkilisan 2007:170-171 berpendapat bahwa ada tiga konsep yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yaitu: a. Responsivitas responsivveness Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik. b. Responsibilitas responsibility Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prnsip yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan organisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. c. Akuntabilitas accountability Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat politik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak commit to user 20 tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik. Sedangkan Dwiyanto dkk. 2002:48-49 dalam Tangkilisan 2007:176- 178 mengemukakan empat macam ukuran dari tingkat kinerja suatu organisasi publik yang sedikit berbeda dengan pendapat Levinne di atas, yakni seperti di bawah ini: a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tungkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas kemudian dirasa terlalu sempit dan General Accounting Office GAO mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. b. Orientasi Layanan Kepada Pelanggan Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. c. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan commit to user 21 mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. d. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau commit to user 22 pemerintah seperti penerapan target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Salim dan Woodward 1992 dalam Ratminto 2007:174 berpendapat bahwa indikator untuk menilai kinerja adalah sebagai berikut: a. Economy atau ekonomis, adalah penggunaan sumber daya yang sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik. c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan. Ratminto dan Atik 2005:174 berpendapat bahwa indikator-indikator kinerja sangat bervariasi. Akan tetapi, dari sekian banyak indikator tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil. Pengelompokan indikator berdasarkan dua sudut pandang di atas dapat dilihat dalam tabel II.1 di bawah ini: commit to user 23 Tabel II.1 Perbandingan Indikator Pelayanan Publik Pakar Indikator Berorientasi hasil Berorientasi proses McDonald Lawton 1997: · Efficiency · Effectiveness Salim Woodward 1992: · Economy · Eficiency · Effectiveness · Equity Levine 1990: · Responsivitas · Responsibilitas · Akuntabilitas Zeithaml, Pasuraman Berry 1990: · Tangibles · Reliability · Responsiveness · Assurance · Empathy Keputusan MENPAN Nomor 632004: Standar Pelayanan Publik · Waktu peyelesaian · Biaya pelayanan · Produk pelayanan · Prosedur pelayanan · Sarana dan prasarana · Kompetensi petugas pemberi layanan Keputusan MENPAN Nomor 632004: Asas Pelayanan Publik · Transparansi · Akuntabilitas · Kondisional · Partisipatif · Kesamaan hak · Keseimbangan hak dan kewajiban Keputusan MENPAN Nomor 632004: Prinsip Pelayanan Publik · Ketepatan waktu · Akurasi · Kesederhanaan · Kejelasan · Keamanan · Keterbukaan · Tanggung jawab · Kelengkapan sarana dan prasarana · Kenyamanan · Kedisiplinan · Kesopanan dan keramahan · Kemudahan akses Gibson, Ivancevich Donnely 1990 · Kepuasan · Efisiensi · Perkembangan · Keadaptasian commit to user 24 · Produksi · Kelangsungan hidup Sumber: Ratminto dan Atik 2007:178-179 Behn 2003, Hatry 1999, Halachmi 2002a, Halachmi 2002b dalam Marc Holzer dan Kathryn Kloby 2005:1-2 menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian kinerja, yaitu seperti di bawah ini: “Two approaches to measuring and improving government performance are evident in the literature. First, there are those that emphasize the purpose, techniques and utility of performance measurement as a tool for increasing productivity. ... The second approach to measuring performance is addressed by a body of literature providing the argument that citizen inclusion in measuring the performance of government adds value to process and better informs policy decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah seperti di bawah ini: “Dua pendekatan untuk mengukur dan meningkatkan kinerja pemerintah adalah jelas dalam literatur. Pertama, ada yang menekankan tujuan, teknik dan kegunaan pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas. ... Pendekatan kedua untuk mengukur kinerja ditujukan oleh badan literatur memberikan argumen bahwa warga inklusi dalam mengukur kinerja pemerintah menambah nilai proses dan lebih baik menginformasikan keputusan kebijakan” Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja. Pertama, pendekatan dari sisi hasil yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada hasil seperti efektivitas, produktivitas, efisiensi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan dari sisi proses yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada proses seperti responsivitas, akuntabilitas, responsibilitas, dan sebagainya. commit to user 25 Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa indikator yang dipakai untuk menilai kinerja cukup banyak. Akan tetapi dari sekian banyak indikator tersebut tidak semuanya cocok apabila digunakan untuk melakukan penilaian kinerja. Hal tersebut dikarenakan setiap organisasi mempunyai tujuan, bidang kerja, jenis pelayanan langsung dan tidak langsung, dan kegiatan yang berbeda. Dalam penelitian ini penulis ingin menilai kinerja dari dua segi, yaitu dari segi hasil dan dari segi proses. Dari segi hasil, indikator yang dipilih adalah produktivitas. Sedangkan dari segi proses, indikator yang dipilih adalah responsivitas dan akuntabilitas.

B. Perlindungan

Karena candi merupakan BCB, maka perlindungan yang diterapkan sesuai atau mengacu pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM.49UM.001MKP2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No:063U1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, perlindungan didefinisikan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan, dan penertiban. Atmosudiro 2004:12 berpendapat bahwa perlindungan BCB dan situs dapat dilakukan melalui dua cara yaitu perlindungan hukum serta perlindungan fisik. Perlindungan secara hukum dimaksudkan agar setiap commit to user 26 tindakan mempunyai landasan yang legal hingga dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Sedangkan perlindungan secara fisik diterapkan baik pada BCB maupun pada lingkungan sekitar BCB. Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM.49UM.001MKP2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs, kegiatan dalam rangka perlindungan BCB dan situs diatur dalam pasal 23-25. Kegiatan tersebut adalah:

1. Perizinan

Perizinan berasal dari kata izin yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007:447 adalah pernyataan mengabulkan tidak melarang; persetujuan; membolehkan. Perizinan BCB dapat diartikan sebagai tindakan mengabulkan atau tidak mengabulkan segala kegiatan yang berkaitan dengan BCB dan situs. Perizinan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49UM.001MKP2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 23-38.

a. Lingkup perizinan BCB dan situs

Lingkup perizinan BCB dijelaskan pada pasal 23 ayat 1 dimana perizinan tersebut meliputi tiga hal. Pertama: izin membawa BCB ke luar wilayah Republik Indonesia. Kedua, izin membawa BCB antar daerah. Ketiga, izin pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan. Selanjutnya pada ayat 2 menjelaskan bahwa jenis BCB yang commit to user 27 dimaksud di atas meliputi BCB milik Negara maupun perorangan, BCB buatan manusia maupun buatan alam, BCB bergerak maupun tida bergerak. b. Izin membawa BCB Izin membawa BCB diatur dalam pasal 27 ayat 1 dan ayat 2. Pada ayat 1, disebutkan bahwa perizinan pembawaan BCB antar daerah hanya terhadap BCB bergerak dan hanya berlaku untuk tujuan berpindah tetap selamanya karena kepentingan mengikuti pemilik, beralihnya pemilikan, perlindungan dan pelestarian, pertukaran informasi keagamaan dan kebudayan adat. Pada ayat 2 dijelaskan lebih lanjut bahwa permohonan izin pembawaan BCB antar daerah dianggap pendaftaran BCB. c. Izin memanfaatkan BCB Izin memanfaatkan BCB diatur dalam pasal 33 serta pasal 34 ayat 1 dan 2. Dalam pasal 33 dijelaskan bahwa fungsi pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidkan, ilmu pengetahuan danatau kebudayaan meliputi pendayagunaan menurut jenis kebendaan atas benda cagar budaya, bergerak dan tidak bergerak. Pada pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa pendayagunaan BCB bergerak dapat berfungsi sebagai sarana pameran, penelitian, pengembangan IPTEK, serta perkenalan informasi keagamaan dan kebudayaan kesenian dan adat istiadat. Sedangkan pada pasal 34 ayat 2 disebutkan bahwa pendayagunaan BCB tidak bergerak termasuk situs commit to user 28 dapat berfungsi sebagai sarana upacara keagamaan, acara pertunjukan, kegiatan sosialkemasyarakatan, kunjungan wisatawan, kegiatan pendidikan, penelitiansurvei, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Penyelamatan

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49UM.001MKP2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, penyelamatan diartikan sebagai upaya darurat ataupun terencana untuk melindungi benda cagar budaya dan situs dari ancaman kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan. Penyelamatan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49UM.001MKP2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 39-47. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan BCB adalah sebagai berikut: a. Ekskavasi Pengertian ekskavasi terdapat pada pasal 39 ayat 3 yaitu kegiatan penggalian yang mengguanakan metode dan teknik arkeologis sebagaimana kegiatan ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan ekskavasi arkeologi pada umumnya. Dalam pasal 39 ayat 1 dijelaskan tentang tujuan ekskavasi penyelamatan, yaitu untuk menghimpun data secara vertikal yang berhubungan dengan BCB danatau situs yang terancam kelestariannya baik akibat ulah manusia maupun yang disebabkan oleh aktivitas lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, dalam commit to user 29 ayat 2 dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa hasil dari kegiatan ekskavasi dijadikan dasar untuk menentukan langkah kebijakan lebih lanjut dalam upaya penyelamatan dan pelestariannya. b. Studi Analisis Dampak Lingkungan Menurut pasal 41 ayat 1, kegiatan studi analisis mengenai dampak lingkungan ditujukan khusus terhadap BCB danatau situs yang terkena rencana pembangunan renbang. Hal ini sangat penting artinya dan sangat diperlukan bagi proses penentuan keputusankebijakan untuk suatu usaha atau kegiatan, sehingga keamanan dan kelestarian BCB danatau situs dapat terus terjamin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. c. Pemberian Hadiah Menurut pasal 43 ayat 1, kegiatan pemberian hadiah temuan merupakan salah satu upaya penyelamatan BCB dengan cara memberikan hadiahimbalan kepada penemupemilik BCB serta pemberian ganti rugipembebasan tanah kepada pemilik atau yang menguasai lahan situs. Ada empat hal yang perlu diketahui terkait kegiatan pemberian hadiah ini. Pertama, pada ayat 2 dijelaskan bahwa hadiah temuan atau imbalan jasa serta ganti rugi pembebasan tanah lahan situs yang diberikan dapat berupa sejumlah uang atau sertifikat penghargaan. Kedua, pada ayat 3 dijelaskan bahwa terhadap BCB yang telah diberi hadiah temuanimbalan jasa kepada penemu, menjadi milik negara dan ditempatan di museum. Ketiga, pada ayat 4 commit to user 30 dijelaskan juga bahwa terhadap lahan yang telah diganti rugi atau tanahnya telah dibebaskan ditetapkan sebagai situs yang dikuasai oleh negara. d. Pemindahan BCB Menurut pasal 44 ayat 1, pemindahan BCB merupakan salah satu upaya penyelamatan terhadap BCB yang mengalami ancaman atau diduga akan mengalami kerusakan atau kemusnahan akibat ulah manusia atau yang diakibatkan oleh aktifitas lingkungan alam atau sekitarnya. e. Pemintakatan Pemintakatan menurut pasal 46 ayat 1 adalah salah satu upaya perlindungan terhadap BCB danatau situs dengan cara menetapkan lahan peruntukan terhadap situs, yang terdiri atas mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Peruntukan masing- masing mintakat dijelaskan dalam ayat 2 seperti dibawah ini: 1 Mintakat inti, adalah lahan yang merupakan batas asli situs, lahan yang mengandung potensi BCB. Penentuan batas untuk mintakat inti didasarkan pada tiga hal. Pertama, batas asli yaitu batas asli keberadaan BCB. Kedua, batas geotopografis yaitu batas-batas yang mengikuti bentangan alam misalnya lereng, sungai, lembah, dan sebagainya. Ketiga, batas kelayakan pandang, yaitu batas dimana pengunjung dapat mengapreasikan bentuk atau nilai BCB. commit to user 31 2 Mintakat Penyangga berfungsi sebagai penyangga bumper untuk pengaman mintakat inti dari situs dan BCB. Idealnya, pada mintakat penyangga ini lahan telah steril dari BCB. Untuk itu, dalam penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang perlu dilakukan ekskavasi dalam bentuk test pit. Selain itu, penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang dapat mengancam kelestarian situs dan BCB. 3 Mintakat pengembangan, merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pengembangan pemanfaatan serta sebagai lahan pembangunan fasilitas situs. f. Studi Nominasi Warisan Budaya Dunia Menurut pasal 47 ayat 1, kegiatan studi nominasi warisan buadaya dunia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap BCB danatau situs yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri, dan dengan jumlah yang sangat terbatas sehingga memiliki nilai yang bertaraf internasional. Dalam pasal 2 dijelaskan bahwa kegiatan studi nominasi dilakukan untuk menghimpun data-data penunjang guna memenuhi kriteria dan persyaratan yang tercantum dalam standard nominasi warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO.

3. Pengamanan

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49UM.001MKP2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar commit to user 32 Budaya dan Situs, pengamanan diartikan sebagai upaya perlindungan benda cagar budaya dan situs dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia danatau kondisi alam yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya dan situs. Pengamanan BCB diatur dalam pasal 48 ayat 1, yaitu pengamanan dilakukan dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan karena perbuatan manusia, yang antara lain berupa pencurian; pengerusakan dan pencemaran; penyelundupan keluar wilayah Indonesia; penggalian dan penyelaman liar. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa permasalahan pengamanan dan penertiban BCB pada dasarnya dapat dilihat pada dua masalah pokok, yaitu yang disebabkan oleh perbuatan yang ditimbulkan manusia dan yang disebabkan oleh faktor alam. Langkah-langkah prosedur pengamanan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 51 meliputi kegiatan-kegiatan upaya pencegahan preventif maupun upaya penanganan represif, baik yang berupa data, sarana, prasarana, koordinasi, maupun lainnya semuanya meliputi kegiatan pendataan pengamanan, dengan cara menjaring informasi melalui laporan lisan maupun tertulis. Kegiatan pengamanan BCB meliputi: a. Pengawasan dan Penertiban commit to user 33 Untuk BCB bergerak, dilakukan pengawasan lalu lintas keberadaan BCB dimana menurut pasal 52 ayat 1, pengawasan lalu lintas keberadaan BCB ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi peredaran dan pemanfaatan BCB secara ilegal pada masyarakat. Sedangkan untuk BCB tidak bergerak dan situs, langkah penertibannya seperti yang dijelaskan dalam pasal 52 ayat 2, yakni berupa pengaturan pemanfaatan BCB, situs, lingkungan, kawasan, dan pengembangannya termasukdi dalamnya kegiatan pemintakatan zooning, yaitu penentuan batas BCB dan situs sesuai peruntukannya. b. Pemasangan Poster atau Pamflet Salah satu langkah pengamanan terhadap BCB adalah dengan memasang posterpamflet jenis BCB dimana menurut pasal 53 pemasangannya dilakukan di tempat-tempat strategis, sarana angkutan tertentu, berisi himbauan, ajakan, larangan, dan sebagainya. c. Pengamanan Lokasi BCB Dalam pasal 54, pengamana lokasi BCB dilakukan melalui: 1 Sistem jaringan informasi pengamanan agar tidak terjadi pelanggaran atau kejahatan, yaitu melalui kesadaran masyarakat siskamtibmas swakarsa 2 Komunikasi untuk memudahkan hubungan antara para petugas pelaksana di lapangan dengan pihak yang terkait atau yang berwenang. commit to user 34 3 Pemasangan papan informasi pengamanan yang berupa informasi tulisan untuk memberikan penerangan yang bersifat larangan, ajakan, apresiasi, pesan, dan petunjuk pada lokasi atau situs. 4 Pengadaan pos jaga bagi petugas pengamanan yang berfungsi sebagai tempat pemantauan lokasi situs. 5 Pemagaran sebagai pembatas lokasi situs 6 Pengadaan lampu penerangan untuk memantau lokasi situs pada malam hari 7 Monitoring petugas pengamanan untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh petugas pengaman pada lokasi situs baik pada malam hari maupun siang. d. Peningkatan Koordinasi Pengamanan Dalam pasal 55 ayat 1 disebutkan bahwa peningkatan koordinasi pengamanan dengan instansi atau pihak yang terkait dilakukan melaui kerja sama dalam pelaksanaan dan seminar-seminar dalam rangka menyamakan persepsi dan tindak pengamanan terhadap BCB. e. Penambahan Jumlah dan Kualitas Satuan Organisasi Pengaman Menurut pasal 55 ayat 2, peningkatan jumlah dan kualitas satuan organisasi pengaman berupa penambahan sumber daya manusia yang berkualitas kesamaptaan Polri PPNS dan Satpam yang berfungsi melakukan tugas di lapangan dan operasional untuk menghadapi kasus- kasus pelanggaran dan kejahatan. commit to user 35 f. Peningkatan pengaman Pasal 55 menyebutkan bahwa pengaman BCB dan situs dapat melalui peningkatan tindakan pengamanan dalam menangani kasus-kasus yang telah terjadi, baik tindak pelanggaran maupun tindak kejahatan terhadap kelestarian BCB, bekerja sama dengan pihak Polri dan pihak yang berwenang dalam memutuskan perkara. Perlindungan terhadap BCB pada dasarnya bertujuan untuk melestarikannya agar tetap bisa dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia dan memperkuat jati diri bangsa. Perlindungan terhadap BCB merupakan salah satu tugas pokok dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala BP3. Hal tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37OT.001MKP-2006 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, dimana Balai Peninggalan Purbakala BP3 mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, dokumentasi, bimbingan dan penyuluhan, penyelidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs, termasuk yang berada di lapangan maupun tersimpan di ruangan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan perlindungan memerlukan beragam pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, kegiatan perlindungan juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait, bukan hanya oleh pemerintah saja. Hal ini sebagaimana terdapat pada Charter For The commit to user 36 Protection and Management Of The Archeological Heritage 1990 oleh International Council on Monument and Sites ICOMOS sebagai berikut: “The protection of this heritage cannot be based upon the application of archaeological techniques alone. It requires a wider basis of professional and scientific knowledge and skills. Some elements of the archaeological heritage are components of architectural structures and in such cases must be protected in accordance with the criteria for the protection of such structures laid down in the 1966 Venice Charter on the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. Other elements of the archaeological heritage constitute part of the living traditions of indigenous peoples, and for such sites and monuments the participation of local cultural groups is essential for their protection and preservation. For these and other reasons the protection of the archaeological heritage must be based upon effective collaboration between professionals from many disciplines. It also requires the co-operation of government authorities, academic researchers, private or public enterprise, and the general public.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih adalah sebagai berikut: “Perlindungan terhadap heritage tidak dapat didasarkan pada penerapan teknik arkeologi saja. Ini membutuhkan dasar dari profesional dan pengetahuan ilmiah serta keterampilan yang lebih luas. Beberapa elemen dari warisan arkeologi merupakan komponen dari struktur arsitektural dan dalam kasus-kasus seperti itu harus dilindungi sesuai dengan kriteria perlindungan struktur seperti diatur dalam Piagam Venesia tahun 1966 tentang Konservasi dan Restorasi Monumen dan Situs. Elemen lain dari warisan arkeologi merupakan bagian dari tradisi hidup penduduk asli, dan untuk situs dan monumen tersebut partisipasi kelompok budaya lokal penting untuk perlindungan dan pelestarian situs dan monumen tersebut. Untuk alasan ini dan alasan-alasan lainnya, perlindungan terhadap warisan arkeologi harus didasarkan pada kolaborasi efektif antara para profesional dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini juga memerlukan kerjasama dari pemerintah yang berkuasa, peneliti akademis, perusahaan pribadi atau publik, dan masyarakat umum. Dari apa yang dituliskan di atas dapat kita ketahui bahwa BCB yang merupakan warisan arkeologi, perlindungan terhadapnya tidak dapat semata- mata hanya berdasar pada kaidah ilmu arkeologi saja, tetapi juga memerlukan commit to user 37 disiplin ilmu lain seperti teknik, arsitektur, geologi, dan sebagainya. Selain itu, perlindungan hendaknya melibatkan berbagai pihak terkait seperti masyarakat adat atau masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah, serta masyarakat luas. Jika pada ulasan di atas hanya melihat perlindungan dari aspek perlindungan BCB saja, Eisuke Tanaka berpandangan lain seperti tertulis di bawah ini: “However, the idea of protection does not simply mean objects considered cultural property from destruction. The notion of protection is also used to denote protecting the owner’s right to control cultural property. What is often at stake in cultural property debates e.g. disputes over repatriation is where and by whom such objects should be protected, and who can decide where such objects are protected and displayed. This provokes rivalry between different claimants for the ownership of cultural property at international, national and local levels” Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: “Namun, gagasan perlindungan tidak hanya berarti menjaga benda dianggap harta budaya dari kehancuran. Gagasan perlindungan ini juga digunakan untuk menunjukkan melindungi hak pemilik untuk mengontrol kekayaan budaya. Apa yang sering dipertaruhkan dalam perdebatan properti budaya sengketa misalnya lebih dari repatriasi adalah dimana dan oleh siapa objek tersebut harus dilindungi, dan siapa yang bisa menentukan dimana benda tersebut dilindungi dan ditampilkan. Hal ini menimbulkan persaingan antara pengadu yang berbeda untuk kepemilikan budaya properti di tingkat internasional, nasional, dan lokal”

C. Candi

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dua hal. Pertama, sekilas tentang candi yang mencakup pengertian candi, struktur bangunan, tujuan pembuatan, dan langgam candi. Kedua, candi sebagai BCB yang mencakup pengertian BCB, kewajiban terhadap BCB, dan larangan terhadap BCB. commit to user 38

1. Sekilas Tentang Candi

Indonesia pantas mendapat julukan ”Negeri Seribu Candi” karena banyak candi yang bertebaran di Indonesia, yaitu dengan pusatnya di Pulau Jawa www.hurahura.wordpress.com. Definisi tentang candi disampaikan oleh Soekmono 1996 dalam www.wikipedia.com yakni sebagai berikut: Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan. Rusdi 2010:18 menjelaskan bahwa kata ‘candi’ biasanya mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi suatu bangunan. Fungsi bengunan yang dimaksud antara lain adalah sebagai tempat ibadah, pusat pengajaran agama, tempat penyimpanan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayamnya para dewa, petirtaan pemandian, dan gapura. Walaupun fungsi dari bangunan candi cukup beragam, namun secara umum fungsi-fungsi itu tidak terlepas dari kegiatan keagamaan, khususnya untuk agama Hindu dan Budha. Menurut www.wikipedia.com, struktur bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian yaitu: a. Kaki candi: bagian dasar Sekaligus membentuk denahnya berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20 b. Tubuh candi: terdapat kamar–kamar tempat arca atau patung commit to user 39 c. Atap candi: berbentuk limasan, bermahkota stupa, lingga, ratna atau wajra Menurut sumber yang sama, apabila dilihat dari tujuan pembuatannya, candi terbagi menjadi tiga macam yaitu: a. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Plaosan Jawa Tengah b. Candi WanuaWatak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahandi Tulung Agung, Jawa Timur, Candi Gebang Yogya, Candi Pringapus Temanggung, Jawa Tengah. c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh. Contoh: Candi Kidal pendharmaan Anusapati,raja Singhasari, Candi Jajaghu Pendharmaan Wisnuwardhana,raja Singhasari, Candi Ngrimbi pendharmaan Tribuanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk,Candi Tegawangi pendharmaan Bhre Matahun, dan Candi Surawana pendharmaan Bhre Wengker. Masih menurut sumber yang sama, dijelaskan juga bahwa pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi arsitek zaman dahulu. Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India commit to user 40 Selatan. Dalam kitab Manasara tidak hanya berisi patokan-patokan membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kotadesa, dan lain-lain. Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai terutama di dekat pertemuan 2 buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah,dsb. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Opak dan sungai Progo. Bila kita berbicara masalah candi di Jawa, tentunya tidak lepas dari pembahasan mengenai kapan dan oleh siapa candi itu dibuat. Menurut Rusdi 2010:13-14, pada awal abad ke-8 telah berdiri kerajaan besar yang bernama Mataram Kuno, yang berpusat di Jawa Tengah. Kemudian, pada abad ke-10 pusat kerajaan ini berpindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno pernah diperintah oleh dua wangsa dinasti, yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama Budha. commit to user 41 Rusdi 2010:23-24 menambahkan bahwa candi-candi yang terletak Jawa Tengah wilayah utara, umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, dimana candi-candi tersebut adalah candi Hindu. Candi-candi ini biasanya bentuk bangunannya lebih sederhana. Selain itu umumnya candi ini dibangun dalam satu kelompok dengan pola yang sama dimana candi induk terletak di tengah dikelilingi oleh candi Perwara pendamping. Sedangkan untuk candi-candi yang berada di wilayah Jawa Tengah Selatan, umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra dan candi-candi tersebut adalah candi Budha. Umumnya, candi-candi ini bangunannya megah dan sarat dengan hiasan. Lain lagi dengan candi yang berada di Jawa Timur yang umumnya memiliki usia yang lebih muda dibanding dengan candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta.Hal ini karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintah kerajaan-kerajaan penerus Mataram Kuno, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, Majapahit. Selain itu bangunan candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada candi tersebut dibangun pada pemerintahan kerajaan apa. Sebagai contoh, candi yang dibuat pada masa kerajaan Singasari dibuat dari bahan batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana Hindu- Buddha. Sedangkan candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bahan bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha. commit to user 42 Soetarno 2007:6 menyebutkan ciri-ciri Candi Langgam Jawa Tengah sebagai berikut: a. Bentuk bangunannya tambun b. Atapnya nyata berundak-undak c. Puncaknya berbentuk ratna atau stupa d. Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara e. Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis f. Letak candi di tengah halaman g. Kebanyakan menghadap ke timur h. Kebanyakan terbuat dari batu andesit Sedangkan untuk ciri-ciri candi langgam Jawa Timur, Soetarno 2007:122 menjelaskan seperti di bawah ini: a. Bentuk bangunan ramping b. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan c. Puncaknya berbentuk kubus d. Makara tidak ada, dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala e. Letak candi di bagian belakang halaman f. Kebanyakan menghadap ke barat g. Kebanyakan terbuat dari bata Masih berkaitan dengan langgam candi, Soekmono 1973 dalam www.wikipedia.com menjelaskan bahwa berdasarkan langgam seni atau gaya arsitekturnya, candi di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua yaitu commit to user 43 langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Sedangkan untuk candi- candi yang berada di Bali, Kalimantan, dan Sumatra dikategorikan menganut langgam Jawa Timur. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel II.2 di bawah ini: Tabel II.2 Langgam Candi di Indonesia Bagian dari Candi Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur Bentuk Bangunan Cenderung tambun Cenderung tinggi dan ramping Atap Jelas menunjukkan undakan, terdiri atas tiga tingkatan Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Kemuncak Stupa candi Buddha, Ratna atau Vajra candi Hindu Kubus candi Hindu, terkadang Dagoba yang berbentuk tabung candi Buddha Gawang pintu dan hiasan relung Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing- masing sisi pintu Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada Relief Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar Ukiran lebih rendah tipis dan kurang commit to user 44 bergaya naturalis menonjol, gambar bergaya seperti wayang Bali Tata letak dan lokasi candi utama Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi- candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi Linear, asimetris, mengikuti topografi penampang ketinggian lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama Arah hadap bangunan Kebanyakan menghadap ke timur Kebanyakan menghadap ke barat Bahan bangunan Kebanyakan batu andesit Kebanyakan batu bata merah Sumber: www.wikipedia.com Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa antara langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur memiliki perbedaan pada bagian-bagian candi yang dapat kita lihat dengan jelas. Untuk langgam Jawa Tengah sendiri sebenarnya masih dikelompokkan lagi menjadi langgam Jawa Tengah Utara dan langgam Jawa Tengah selatan. Pada langgam Jawa Tengah Utara, ukiran candi lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit. Candi yang termasuk pada langgam Jawa Tengah Utara ini contohnya adalah commit to user 45 candi Gunung Wukir, candi Badut, kompleks candi Gedong Songo dan kompleks candi Dieng. Sedangkan langgam Jawa Tengah Selatan, ukirannya lebih banyak dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur. Candi yang termasuk dalam langgam Jawa Tengah Selatan ini contohnya adalah candi Borobudur, candi Mendut, candi Plaosan dan candi Sewu. Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

2. Candi sebagai Benda Cagar Budaya BCB

Candi merupakan salah satu jenis benda cagar budaya. Oleh karena itu, selain memahami tentang candi kita juga harus mengetahui beberapa hal terkait BCB, yaitu tentang pengertian BCB, kewajiban dan larangan terhadapnya. Hal itu penting karena hal-hal yang merupakan kewajiban terhadap BCB maupun larangan terhadapnya akan berlaku pula pada sebuah candi. Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa benda cagar budaya adalah: commit to user 46 a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 limapuluh tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 lima puluh tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dari pengertian di atas, dapat kita ketahui dua hal: pertama, bahwa BCB ternyata bukan hanya benda buatan manusia saja, tetapi bisa juga benda alam yang memang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan. Kedua, BCB dapat digolongkan menjadi BCB bergerak dan BCB tidak bergerak. BCB bergerak maksudnya adalah BCB yang mudah dipindahkan atau dibawa, contohnya keris, arca, kitab kuno. Sedangkan BCB tidak bergerak adalah BCB yang tidak mudah dipindahkan apalagi dibawa, contohnya candi, benteng, goa. Benda cagar budaya BCB secara umum disebut dengan warisan arkeologi. ICOMOS mendefinisikan warisan arkeologi sebagai berkut: “The archaeological heritage is that part of the material heritage in respect of which archaeological methods provide primary information. It comprises all vestiges of human existence and consists of places relating to all manifestations of human activity, abandoned structures, and remains of all kinds including subterranean and underwater sites, together with all the portable cultural material associated with them.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih adalah sebagai berikut: commit to user 47 “Warisan arkeologi adalah bagian dari warisanpeninggalan arkeologi yang dari metode arkeologi menghasilkan informasi primer. Ini terdiri dari semua sisa keberadaan manusia dan terdiri dari tempat-tempat yang berkaitan dengan semua manifestasi dari aktivitas manusia, struktur yang ditinggalkan, dan sisa-sisa segala jenis termasuk situs di bawah tanah dan bawah air, berikut dengan semua material budaya yang portabemudah dibawa yang terkait dengan mereka.” Melihat nilai penting BCB, jumlahnya yang terbatas, sifatnya yang tidak dapat diperbarui dan digantikan, dan tingkat kerawanan yang tinggi, maka dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang BCB diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan BCB, salah satunya adalah tentang kewajiban dan larangan terhadap BCB. Kewajiban yang harus dilakukan seseorang terhadap BCB adalah sebagai berikut ini: a. Kewajiban melapor Kewajiban melapor ini berlaku bagi setiap orang yang: pertama, menemukan atau mengetahui ditemukannya BCB atau benda yang diduga BCB pasal 10 ayat 1. Kedua, BCB yang dikuasaidimiliki hilang atau rusak pasal 9. b. Kewajiban mendaftarkan BCB, meliputi: pertama, pendaftaran BCB yang dimilikidikuasainya. Kedua, pengalihan hak dan pemindahan BCB pasal 8 ayat 1. c. Kewajiban melindungi dan memelihara BCB Sedangkan larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap BCB adalah seperti di bawah ini: commit to user 48 a. Larangan Mutlak Larangan mutlak adalah larangan yang tidak boleh dilanggar apapun kondisinya. Larangan mulak terhadap BCB ada pada pasal 15 ayat 1 UU Benda Cagar Budaya, dimana setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Kegiatan yang dinilai dapat merusak BCB adalah seperti kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari BCB. Sedangkan kegiatan yang dinilai dapat merusak situs adalah seperti kegiatan mengurangi, mencemari, danatau mengubah fungsi situs. b. Larangan Bersyarat Larangan bersyarat adalah larangan yang berubah menjadi diperbolehkan apabila ada izin dari pemerintah. Larangan tersebut tertulis pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya antara lain: 1 Mencari BCB, benda yang diduga sebagai BCB, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah. Izin pencarian hanya diberikan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelamatan danatau pelestarian BCB Pasal 12. 2 Membawa BCB ke luar wilayah Indonesia pasal 15 ayat 2a. Seseorang hanya dapat melakukannya apabila telah mendapat izin commit to user 49 dari menteri. Izin ini hanya diberikan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sosialbudaya. 3 Memindahkan BCB dari daerah satu ke daerah yang lain pasal 15 ayat 2b. Pemindahan diizinkan kalau tidak menghilangkan ataupun mengurangi nilai sejarah dan fungsi pemanfaatannya. 4 Mengambil atau memindahkan BCB, baik sebagian maupun seluruhnya kecuali untuk penyelamatan dalam keadaan darurat pasal 15 ayat 2c. 5 Mengubah bentuk danatau warna BCB serta memugarnya pasal 15 ayat 2d. 6 Memisahkan sebagian BCB dari kesatuannya pasal 15 ayat 2e. 7 Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan BCB pasal 15 ayat 2f. Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat memiliki izin usaha perdagangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, pedagang juga harus melaporkan secara berkala BCB tertentu yang diperjualbelikan. 8 Memanfaatkan BCB dengan cara penggandaan pasal 23 ayat 23

D. Kinerja BP3 Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa

Tengah Dari penjelasan di atas, kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah adalah hasil kerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan terhadap candi-candi yang commit to user 50 berada di wilayah kerjanya dengan tujuan untuk mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan candi di wilayah Jawa Tengah.

E. Kerangka Berpikir

Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, benda cagar budaya dan situs perlu untuk dilindungi. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Candi merupakan salah satu jenis BCB tidak bergerak yang menyimpan banyak nilai penting. Kita dapat belajar banyak hal dari candi, misalnya arsitektur, bangunan, seni, nilai-nilai luhur serta filosofi kehidupan. Sampai sekarang, keberadaan candi masih terancam oleh kerusakan baik itu karena alam maupun karena manusia. Dengan dilakukannya perlindungan pada candi, ancaman kerusakan pada candi dapat diminimalisir sehingga candi dapat diambil manfaatnya sampai masa yang akan datang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37OT.001MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala BP3, BP3 Jawa Tengah adalah Unit Pelaksana Teknis UPT yang menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja Propinsi Jawa Tengah yang secara langsung bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Salah satu tugas dari BP3 Jawa commit to user 51 Tengah adalah melakukan perlindungan terhadap BCB dan situs yang berada di seluruh wilayah Jawa Tengah, dalam hal ini termasuk melindungi candi juga. Kegiatan Perlindungan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah meliputi kegiatan pengamanan dan penyelamatan. Pencapaian hasil kerja kinerja yang baik dalam hal perlindungan akan mendukung kelestarian candi sehingga akan bisa terus dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pengembangan sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, upacara keagamaan, acara pertunjukan, dan pariwisata. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam kegiatan perlindungan ini akan dinilai berdasarkan indikator produktivitas, responsivitas, dan akuntabilitas, serta melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut. Dengan dilakukan penilaian terhadap kinerja, akan diketahui sejauh mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi yang berada di Jawa Tengah, apakah telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan atau belum. Selain itu, dapat diketahui juga faktor apa saja yang mendukung serta faktor apa saja yang menghambat BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan. Model kerangka berfikir dalam penelitian ini digambarkan seperti gambar II.1 di bawah ini: commit to user 52 Gambar II.1 Model Kerangka Berpikir “Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan candi di Jawa Tengah” Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi- candi di Jawa Tengah · Produktivitas · Responsivitas · Akuntabilitas Faktor-faktor yang mempengaruhi · faktor internal · faktor eksternal Terwujudnya pelestarian dan pemanfaatan candi- candi di Jawa Tengah commit to user 53 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian menurut Sugiyono 2006:1 merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel, validitas data, dan analisis data.

A. Jenis Penelitian