KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA (BP3) JAWA TENGAH DALAM PERLINDUNGAN CANDI CANDI DI JAWA TENGAH

(1)

commit to user

KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN

PURBAKALA (BP3) JAWA TENGAH DALAM

PERLINDUNGAN CANDI-CANDI DI JAWA TENGAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

Disusun Oleh : REHELA RAVITA SARI

D 0106088

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan ... 9

D. Manfaat ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Kinerja ... 11

B. Perlindungan ... 25


(3)

commit to user

ix

D. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di

Jawa Tengah ... 49

E. Kerangka Berfikir ... 50

BAB III. METODE PENELITIAN ... 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Sumber Data... 54

D. Teknik Pengumpulan Data ... 55

E. Teknik Pengambilan Sampel ... 57

F. Validitas Data ... 58

G. Analisis Data ... 59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Gambaran Umum Bp3 Jawa Tengah ... 62

B. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah ... 78

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja ... 124

BAB V PENUTUP ... 133

D. Kesimpulan ... 133

E. Saran ... 135 DAFTAR PUSTAKA


(4)

commit to user

xii

ABSTRAK

Rehela Ravita Sari, D0106088, “Kinerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah.” Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 138 halaman.

Perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah yang kaya akan nilai penting bertujuan untuk mencegah dan menghindarkannya dari kerusakan oleh faktor alam maupun manusia. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi pemerintah yang bertugas melaksanakan perlindungan terhadap candi-candi yang berada di Jawa Tengah.

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, serta mengetahui faktor yang mendukung dan faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif yang, menggunakan data primer yang didapat melalui wawancara dan observasi, serta data sekunder berupa buku, peraturan perundangan, data statistik, dan laporan kegiatan. Validitas data diuji menggunakan teknik triangulasi data. Teknik analisis data menggunakan model interaktif yang mencakup reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Secara umum kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah baik.

Dari segi produktivitas, kegiatan perlindungan dilakukan dengan penuh pertimbangan, fleksibel, berdasarkan skala prioritas walaupun masih terkesan kurang memperhatikan candi di lokasi terpencil. Dari segi responsivitas, BP3 Jawa Tengah menerima dengan baik aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat website dan pameran, tetapi kurang menanggapi keluhan dari satpam dan juru pelihara candi. Dari segi akuntabilitas, BP3 Jawa Tengah telah membuat LAKIP dan laporan realisasi anggaran. Faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah kepedulian masyarakat sekitar candi serta LSM di bidang budaya. Sedangkan faktor penghambatnya adalah keterbatasan dana, wilayah kerja yang luas, partisipasi minim dari pemerintah kabupaten/kota, dan ancaman kolektor.


(5)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang sangat kaya, tidak hanya kaya akan sumber daya alam saja, tetapi juga kaya akan sumber daya budaya baik yang bersifat

tangible maupun yang intangible. Dalam www.wikipedia.org disebutkan

bahwa bangsa Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat panjang dari zaman prasejarah hingga zaman sejarah. Zaman prasejarah dimulai sekitar 1,7 juta tahun yang lalu berdasarkan penemuan “manusia Jawa”. Sedangkan periode sejarah dapat dibagi menjadi lima era yaitu era Pra-Kolonial, era Kolonial, era Kemerdekaan Awal, era Orde Baru, dan era Reformasi.

Selama kurun waktu tersebut tentunya banyak ditinggalkan jejak-jejak peradaban baik yang bersifat benda maupun tak benda. Dari situ kita dapat memperoleh gambaran tentang bagaimana kehidupan masa lalu, diantaranya tentang teknologi, seni, kepercayaan, kondisi pemerintahan, mata pencaharian masyarakat pada waktu tersebut. Peninggalan berupa tak benda contohnya adalah tari-tarian, upacara adat, bahasa. Sedangkan peninggalan berupa benda diantaranya adalah fosil manusia purba, kapak batu, candi, keraton, benteng, stasiun kereta api.

Dalam pasal 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, terkandung pengertian bahwa benda peninggalan sejarah dan


(6)

commit to user

purbakala yang memiliki nilai penting bagi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan digolongkan sebagai benda cagar budaya (BCB).

BCB memiliki nilai penting yang dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu:

1. Nilai Penting Informatif/Ilmu Pengetahuan

BCB dikatakan memiliki nilai penting ilmu pengetahuan karena tiga hal. Pertama, BCB merupakan data untuk merekonstruksi aspek-aspek kebudayaan masyarakat masa lampau yang antara lain tentang ideologi, ekonomi, sosial, teknologi, seni. Kedua, BCB merupakan sumber inspirasi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Ketiga, BCB dapat menjadi wahana pendidikan.

2. Nilai Penting Asosiatif

BCB dapat dikatakan mempunyai nilai penting asosiatif karena tiga hal. Pertama, BCB merupakan mata rantai pemahaman terhadap sejarah dan jatidiri bangsa. Kedua, BCB adalah legitimation of action, yang artinya adalah dasar legitimasi untuk suatu tujuan yang terkait dengan kesatuan etnis, wilayah, kekerabtan. Ketiga, BCB dapat berguna untuk mewujudkan

social solidarity and integration atau solidaritas sosial dan integritas

masyarakat.

3. Nilai Penting Estetika

BCB memiliki nilai penting estetika karena dua hal. Pertama, BCB merupakan wujud dan bukti hasil pencapaian cita rasa seni yang


(7)

commit to user

bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, BCB menjadi sumber inspirasi pengembangan hasil seni pada masa sekarang.

4. Nilai Penting Ekonomi

BCB memiliki nilai penting ekonomi karena dua hal. Pertama, BCB dapat dikembangkan dan dikelola sebagai aset budaya dan pariwisata yang bernilai ekonomi. Kedua, BCB merupakan kekayaan budaya daerah yang potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Salah satu jenis BCB yang memiliki nilai penting bagi pengembangan sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah candi. Dari candi kita dapat belajar banyak hal, misalnya tentang teknik pembuatan, arsitektur, seni manik-manik atau perhiasan yang terdapat pada arca, nilai-nilai luhur, cerita dari relief candi, filosofi dari bangunan candi. J. A. Sonjaya dalam sebuah artikel yang berjudul ‘candi untuk masa depan’ menuliskan bahwa dari candi kita dapat belajar banyak hal, salah satunya tentang konsep pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika.

Artikel tersebut menjelaskan tentang konsep pluralisme masa lampau yang dapat dilihat pada kompleks candi Prambanan yang bercorak Hindu dan kompleks candi Sewu yang bercorak Budha. Kedua candi ini berbeda ideologi namun berada di lokasi yang sama dan saling berdampingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa leluhur kita sudah jauh lebih dahulu mengenal konsep pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, dimana mereka tetap bersatu dalam jalinan sosial-kenegaraan walaupun berbeda keyakinan.


(8)

commit to user

Selain memiliki nilai penting seperti dijelaskan di atas, candi juga dapat membangkitkan rasa kebanggaan nasional, contohnya adalah candi Borobudur. Candi Borobudur merupakan monumen Budha terbesar di dunia yang terdiri dari sepuluh tingkat. Candi ini sangat megah, dimana dalam Rusdi (2010:42-43) disebutkan bahwa Borobudur memiliki luas bangunan 15.129 m2, memiliki relief yang merupakan rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel. Apabila dijumlahkan, panjang relief itu dapat mencapai 3km. Selain itu, Borobudur juga memiliki 504 buah arca. Candi Borobudur memang merupakan hasil karya masa lalu, tetapi kemegahannya tidak kalah oleh bangunan-bangunan masa kini sehingga sampai sekarang masih tetap menjadi kebanggaan bangsa Indonesia serta umat Budha di seluruh dunia.

Salah satu daerah di Indonesia yang banyak memiliki candi adalah Jawa Tengah. Sampai sekarang ini setidaknya telah ditemukan 64 candi di Jawa Tengah (lihat lampiran). Sayangnya, candi-candi yang menyimpan banyak nilai penting itu keberadaannya tidak lepas dari ancaman kerusakan, baik yang ditimbulkan oleh alam maupun yang ditimbulkan oleh manusia.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor alam antara lain ketuaan, pelapukan, bencana alam seperti gunung meletus, lahar dingin, tanah longsor, gempa, dan tsunami. Contohnya adalah gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 lalu yang mengakibatkan candi-candi terutama di daerah Prambanan seperti candi Sewu, Plaosan, Sojiwan dan lainnya mengalami kerusakan cukup parah.


(9)

commit to user

Sedangkan ancaman kerusakan BCB yang diakibatkan oleh faktor manusia adalah pencurian, pemalsuan, pembangunan yang tidak memperhatikan keberadaan BCB, dan kelalaian dalam pemeliharaan BCB. Candi di Jawa Tengah dapat dikatakan sering mengalami pencurian arca, kala, relief, serta beberapa bagian candi lainnya. Kasus pencurian yang menimpa candi-candi di Jawa Tengah selama tahun 1990-2009 dapat dilihat pada tabel I.1 di bawah ini:

Tabel I.1

Kasus Perusakan Candi-Candi di Jawa Tengah Tahun 1990-2009

No Tanggal Nama Benda Jmlh Lokasi Koordinasi

1. 15-01-1990 Arca Batu 1 Candi Selogriyo Polres Magelang 2. 02-02-1990 Relief Kala 1 Candi Ngawen Polres Magelang 3. 08-02-1990 Arca Naga 1 Candi Pengilon Polres Kendal 4. 12-04-1990 - Batu Candi

- Kemuncak 2

Candi Gondosuli Polres Temanggung 5. 04-05-1990 Arca Ganesha 1 Candi Umbul Polres Magelang 6. 07-05-1990 Arca Makara 2 Candi Gedong

Songo

Polres Salatiga 7. 14-06-1990 Arca Kudhu 1 Candi Bima Polres Banjarnegara 8. 28-06-1990 Arca Kudhu 1 Candi Bima Polres Banjarnegara 9. 11-07-1990 Yoni 1 Candi Gumeng Polres Magelang 10. 13-07-1990 Makara 1 Candi Gedong

Songo

Polres Salatiga 11. 13-08-1990 Arca Kala 1 Candi Gedong

Songo

Polres Salatiga 12. 04-10-1990 Arca Budha 1 Candi Mendut Polres Magelang 13. 03-11-1990 Arca 1 Candi Ceto Polres Karanganyar 14. 04-12-1990 Arca Nyai Gumuk 1 Candi Ceto Polres Karanganyar 15. 15-12-1990 Arca Batu 1 Candi Pringapus Polres Temanggung 16. 17-12-1990 - Arca Kepala

Manusia

- Arca Berbentuk Setengah

4


(10)

commit to user

Manusia

- Arca Berbentuk Kemaluan - Arca Berbentuk

Manusia Berdiri 17. 18-12-1990 - Arca Eyang Agni

- Arca Sabdopalon - Arca Porno

3

Candi Ceto Polres Karanganyar

18. 20-12-1990 Arca Ganeca 1 Candi Umbul Polres Magelang 19. 27-12-1990 Relief Candi

Lumbung

1 Candi Lumbung Polres Magelang 20. 01-05-1991 Arca Manusia

Duduk Bersila

1 Candi Ceto Polres Karanganyar 21. 20-03-1993 - Kala

- Batu Relief (gambar Kepala Ular)

2

Candi Dukuh Polres Semarang

22. 26-07-1994 Batu Antefik 2 Candi Gedong Songo

Polsek Ambarawa 23. 24-01-2000 Relief Arca 1 Candi Plaosan

Lor

Polsek Prambanan 24. 25-02-2000 Relief Arca 1 Candi Plosan

Lor

Polsek Prambanan 25. 12-06-2000 Arca Kudu 1 Candi Bima Polsek Banjarnegara 26. Juli 2000 Arca Brahmana 1 Candi Parikesit Polres Wonosobo 27. 30-08-2003 Arca Kudu 1 Candi Bima Polsek Batur 28. 21-02-2007 Kala Pipi Tangga 1 Candi Plaosan

Lor

Polsek Prambanan 29. 23-11-2009 - Kepala Arca

Dhyani Bodhisatva - Kepala Arca

Dhyani Buddha

2

Candi Plaosan Lor

Polsek Prambanan

30. - Antefik 4 Candi Losari Polsek Salam 31. 06-12-2009 Kepala Arca

Buddha

1 Candi Plaosan Lor

Polres Klaten Sumber:BP3 Jawa Tengah


(11)

commit to user

Dari tabel I.1 di atas dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 1990-2009 telah terjadi 31 kasus pencurian terhadap bagian-bagian candi. Bila diamati lebih lanjut, pencurian paling marak terjadi pada tahun 1990 yaitu sebanyak 19 kasus. Kemudian turun drastis pada tahun 1991 sampai beberapa tahun sesudahnya dimana kasus pencurian tiap tahunnya paling banyak adalah satu kasus. Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang BCB pada tahun 1992. Namun, pada tahun 2000 pencurian kembali meningkat, yakni sebanyak empat kasus. Hal itu mungkin dikarenakan stabilitas nasional yang sedang terganggu karena jatuhnya rezim orde baru dan digantikan oleh era reformasi.

Angka pencurian tersebut di atas memang terlihat kecil, akan tetapi bila tiap tahun terus terjadi maka dihawatirkan kelestarian candi akan terancam dan nilai pentingnya dapat berkurang bahkan hilang. Hal tersebut mengingat benda yang dicuri merupakan benda yang sangat terbatas jumlahnya, bernilai, langka dan tidak dapat diperbarui lagi karena memiliki nilai arkeologis tersendiri. Dihawatirkan, generasi yang akan datang tidak akan dapat mengambil nilai penting dari candi. Salah satu dampaknya adalah kesadaran jati diri bangsa akan memudar sehingga mereka akan menjadi generasi yang tidak menghargai bangsanya sendiri.

Apalagi sekarang ini arus globalisasi semakin kuat dan teknologi komunikasi semakin maju, dimana dalam kondisi tersebut interaksi budaya antar bangsa menjadi tak terkendali. Bangsa Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, suka gotong royong, saling menghormati,


(12)

commit to user

akan berubah menjadi bangsa yang individualis, penuh kebebasan, suka kekerasan, mudah tercerai berai, dan tidak peduli terhadap sesama. Karena hal itulah maka upaya perlindungan terhadap candi sangat penting untuk dilakukan.

Disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, bahwa semua BCB, termasuk candi didalamnya, dikuasai oleh Negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap upaya pelestarian BCB, yang terdiri dari kegiatan perlindungan, pemugaran, pemeliharaan, inventarisasi dan dokumentasi BCB.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bertugas menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja Provinsi Jawa Tengah. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi yang bertugas melestarian BCB dan situs di Jawa Tengah. Kegiatan pelestarian itu salah satunya adalah kegiatan perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah.

Keutuhan candi-candi di Jawa Tengah akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap candi-candi tersebut. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penelitian dengan judul “kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan


(13)

commit to user

dipengaruhi faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka penelitian ini juga akan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana hasil yang telah dicapai, mengungkap apa saja masalah yang terjadi dalam upaya perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, faktor apa saja yang mendukung dan faktor apa yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah tersebut. Dengan begitu, akan dapat ditentukan langkah penanganan yang tepat untuk mengatasi hambatan yang ada serta upaya peningkatan kinerja dapat lebih terarah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah?

2. Apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah.

2. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghamabat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah.


(14)

commit to user

D. Manfaat

1. Teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah serta faktor pendorong maupun faktor penghambatnya. 2. Praktis, yaitu dapat memberikan masukan pada BP3 Jateng agar dapat

meningkatkan kinerjanya dalam hal perlindungan candi-candi di Jawa Tengah pada waktu yang akan datang.


(15)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kinerja

Berikut ini akan dijelaskan beberapa konsep terkait kinerja, yaitu pengertian kinerja, penilaian dan indikator kinerja, serta faktor-faktor yang memengaruhi kinerja.

1. Pengertian Kinerja

Kinerja berasal dari kata “to performance” dan menurut The Scibner

Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Kanada tahun

1979 dalam Widodo (2008: 77-78), kinerja diartikan sebagai berikut :

a. To do or carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan).

b. To discharge or fulfill; as a vow (memenuhi atau menjalankan

kewajiban atau nadzar).

c. To execute or complete an undertaking (melaksanakan atau

menyempurnakan tanggung jawab).

d. To do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu

yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).

Hampir sama dengan pengertian di atas, dalam kamus Illustrated Oxford Dictionary (1998:606) dalam Keban (2004:191-192), performance

diistilahkan sebagai “the execution or fulfillment of a duty” (pelaksanaan atau pencapaian dari suatu tugas).


(16)

commit to user

Bernadin dan Russel (1993:378) dalam Ruky (2002:15) juga memberikan definisi tentang performance sebagai berikut:

performance is defined as the record of outcomes produced on a

specified job function or activity during a specified time period”.

Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih sebagai berikut:

“kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”.

Teresa Curristene (2005:129) juga memberikan definisi tentang kinerja

seperti di bawah ini:

“Performance means the yield or result of activities carried out in relation to the purpose being pursued. Its objective is to strengthen the degree to which government achieve their purposes”

Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka artinya kurang lebih seperti di bawah ini:

“Kinerja berarti hasil atau hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan tujuan yang dikejar. Tujuannya adalah untuk memperkuat sejauh mana pemerintah mencapai tujuan-tujuan mereka” Sementara menurut Surat Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia NOMOR: 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah halaman 10, kinerja instansi pemerintah didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strateji instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan


(17)

commit to user

pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.

Dari berbagai macam pengertian kinerja yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh sebuah organisasi dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Baik atau buruknya kinerja sebuah organisasi tentunya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Widodo (2001:79) berpendapat bahwa kinerja lembaga (organisasi) salah satunya ditentukan oleh kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi. Sebaliknya, kinerja sekelompok orang sebagai pelaku organisasi ditentukan oleh struktur, peralatan, dan keuangan yang dimiliki oleh organisasi.

Hal ini menunjukkan bahwa antara sumber daya manusia (SDM) dengan organisasi saling berkaitan dan berpengaruh dalam hal pencapaian kinerja. Apabila kinerja karyawan (SDM) sebagai pelaku organisasi baik, tetapi tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, maka dimungkinkan tujuan organisasi tidak tercapai dengan baik dan artinya kinerja organisasi tersebut buruk.

Hampir sama dengan yang disampaikan oleh Widodo di atas, Soesilo (2000:22-12-22-13) dalam Tangkilisan (2007:180-181) mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:


(18)

commit to user

a. Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi.

b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi.

c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal.

d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan

database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja.

e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi.

Atmosoeprapto (2001:11-19) dalam Tangkilisan (2007:181-182) menyampaikan pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Beliau membedakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri, yang terdiri dari:

a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi.

b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada.

c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.


(19)

commit to user

d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

Faktor ekstenal merupakan faktor yang berasal dari luar organisasi, yang terdiri dari:

a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan memengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.

b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.

c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang memengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi dapat berasal dari dalam organisasi itu sendiri (internal) maupun dari luar organisasi tersebut (eksternal). Yang termasuk faktor internal antara lain adalah: struktur organisasi, tujuan organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi manajemen, sarana prasarana, keuangan (dana), budaya organisasi. Sedangkan yang atermasuk faktor eksternal antara lain adalah: faktor ekonomi, faktor politik, dam faktor sosial.


(20)

commit to user

3. Penilaian Kinerja dan Indikator

Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan penilaian kinerja serta apa yang dimaksud dengan indikator kinerja itu.

Larry D. Stout dalam Bastian (2001) dalam Tangkilisan (2007:174) mengemukakan bahwa pengukuran/penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses. Sedangkan Widodo (2008:95) berpendapat bahwa pengukuran kinerja merupakan aktivitas menilai pencapaian hasil kerja yang dicapai oleh organisasi, dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan.

Dari dua pendapat diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa ataupun proses, berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan.

Mahmudi (2005:12) berpendapat tentang manfaat dari penilaian kinerja, bahwa pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik.


(21)

commit to user

Selain sebagai alat untuk menilai kesuksesan organisasi, penilaian kinerja memiliki manfaat lain sebagaimana diungkapkan oleh Bastian dalam Tangkilisan (2007:174) seperti di bawah ini:

a. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi b. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan

c. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi

Manfaat dari dilakukannya penilain kinerja adalah kita dapat mengetahui bagaimana kinerja sebuah organisasi. Manfaat dari mengetahui bagaimana kinerja suatu organisasi pemerintah adalah sebagaimana disampaikan oleh Teresa Curristine (2005:129) di bawah ini:

“Performance information is important for governments in assessing and improving policies: (1) in managerial analysis, direction and control of public services; (2) in budgetary analysis; (3) in parliamentary oversight of the executive; (4) for public accountability - the general duty on governments to disclose and take responsibility for their decision”

Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya seperti di bawah ini:

“Informasi/keterangan mengenai kinerja penting bagi pemerintah dalam menilai dan memperbaiki kebijakan: (1) di bidang analisis pengelolaan, petunjuk dan kontrol pelayanan publik; (2) dalam analisis anggaran; (3) dalam pengawasan parlemen terhadap eksekutif; (4) untuk akuntabilitas publik-tugas umum pemerintah untuk memperlihatkan dan bertanggungjawab atas keputusan mereka”

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, akan dapat ditentukan secara tepat langkah apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja.


(22)

commit to user

Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja tentunya berdasarkan pada indikator-indikator tertentu. Indikator kinerja menurut Bastian (2001:33) dalam Tangkilisan (2007:175) adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator berikut ini: a. Indikator masukan (inputs)

Merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumberdaya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.

b. Indikator keluaran (outputs)

Merupakan sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.

c. Indikator hasil (outcomes)

Merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).

d. Indikator manfaat (benefit)

Merupakan sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.

e. Indikator dampak (impacts)

Merupakan pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.


(23)

commit to user

Berbeda dengan pendapat di atas, Levine dkk. (1990) dalam Dwiyanto (1995) dalam Tangkilisan (2007:170-171) berpendapat bahwa ada tiga konsep yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yaitu:

a. Responsivitas (responsivveness)

Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik.

b. Responsibilitas (responsibility)

Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prnsip yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan organisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik.

c. Akuntabilitas (accountability)

Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat politik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak


(24)

commit to user

tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.

Sedangkan Dwiyanto dkk. (2002:48-49) dalam Tangkilisan (2007:176-178) mengemukakan empat macam ukuran dari tingkat kinerja suatu organisasi publik yang sedikit berbeda dengan pendapat Levinne di atas, yakni seperti di bawah ini:

a. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tungkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas kemudian dirasa terlalu sempit dan General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

b. Orientasi Layanan Kepada Pelanggan

Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.

c. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan


(25)

commit to user

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

d. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau


(26)

commit to user

pemerintah seperti penerapan target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Salim dan Woodward (1992) dalam Ratminto (2007:174) berpendapat bahwa indikator untuk menilai kinerja adalah sebagai berikut:

a. Economy atau ekonomis, adalah penggunaan sumber daya yang

sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan

tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah

ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan

dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.

Ratminto dan Atik (2005:174) berpendapat bahwa indikator-indikator kinerja sangat bervariasi. Akan tetapi, dari sekian banyak indikator tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil. Pengelompokan indikator berdasarkan dua sudut pandang di atas dapat dilihat dalam tabel II.1 di bawah ini:


(27)

commit to user

Tabel II.1

Perbandingan Indikator Pelayanan Publik

Pakar Indikator

Berorientasi hasil Berorientasi proses

McDonald & Lawton (1997): ·

Efficiency

· Effectiveness Salim & Woodward

(1992):

· Economy

· Eficiency

· Effectiveness

· Equity

Levine (1990): · Responsivitas

· Responsibilitas

· Akuntabilitas Zeithaml, Pasuraman &

Berry (1990):

· Tangibles · Reliability

· Responsiveness · Assurance · Empathy Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Standar Pelayanan Publik

· Waktu peyelesaian

· Biaya pelayanan

· Produk pelayanan

· Prosedur pelayanan

· Sarana dan prasarana

· Kompetensi petugas pemberi layanan

Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Asas Pelayanan Publik

· Transparansi

· Akuntabilitas

· Kondisional

· Partisipatif

· Kesamaan hak

· Keseimbangan hak dan kewajiban

Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Prinsip Pelayanan Publik

· Ketepatan waktu

· Akurasi

· Kesederhanaan

· Kejelasan

· Keamanan

· Keterbukaan

· Tanggung jawab

· Kelengkapan sarana dan prasarana

· Kenyamanan

· Kedisiplinan

· Kesopanan dan keramahan

· Kemudahan akses Gibson, Ivancevich &

Donnely (1990) ·

Kepuasan

· Efisiensi

· Perkembangan


(28)

commit to user

· Produksi · Kelangsungan hidup Sumber: Ratminto dan Atik (2007:178-179)

Behn (2003), Hatry (1999), Halachmi (2002a), Halachmi (2002b) dalam Marc Holzer dan Kathryn Kloby (2005:1-2) menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian kinerja, yaitu seperti di bawah ini:

“Two approaches to measuring and improving government performance are evident in the literature. First, there are those that emphasize the purpose, techniques and utility of performance measurement as a tool for increasing productivity. ... The second approach to measuring performance is addressed by a body of literature providing the argument that citizen inclusion in measuring the performance of government adds value to process and better informs policy decision”

Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah seperti di bawah ini:

“Dua pendekatan untuk mengukur dan meningkatkan kinerja pemerintah adalah jelas dalam literatur. Pertama, ada yang menekankan tujuan, teknik dan kegunaan pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas. ... Pendekatan kedua untuk mengukur kinerja ditujukan oleh badan literatur memberikan argumen bahwa warga inklusi dalam mengukur kinerja pemerintah menambah nilai proses dan lebih baik menginformasikan keputusan kebijakan”

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja. Pertama, pendekatan dari sisi hasil yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada hasil seperti efektivitas, produktivitas, efisiensi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan dari sisi proses yaitu menilai kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada proses seperti responsivitas, akuntabilitas, responsibilitas, dan sebagainya.


(29)

commit to user

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa indikator yang dipakai untuk menilai kinerja cukup banyak. Akan tetapi dari sekian banyak indikator tersebut tidak semuanya cocok apabila digunakan untuk melakukan penilaian kinerja. Hal tersebut dikarenakan setiap organisasi mempunyai tujuan, bidang kerja, jenis pelayanan (langsung dan tidak langsung), dan kegiatan yang berbeda.

Dalam penelitian ini penulis ingin menilai kinerja dari dua segi, yaitu dari segi hasil dan dari segi proses. Dari segi hasil, indikator yang dipilih adalah produktivitas. Sedangkan dari segi proses, indikator yang dipilih adalah responsivitas dan akuntabilitas.

B. Perlindungan

Karena candi merupakan BCB, maka perlindungan yang diterapkan sesuai atau mengacu pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No:063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, perlindungan didefinisikan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan, dan penertiban.

Atmosudiro (2004:12) berpendapat bahwa perlindungan BCB dan situs dapat dilakukan melalui dua cara yaitu perlindungan hukum serta perlindungan fisik. Perlindungan secara hukum dimaksudkan agar setiap


(30)

commit to user

tindakan mempunyai landasan yang legal hingga dapat dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Sedangkan perlindungan secara fisik diterapkan baik pada BCB maupun pada lingkungan sekitar BCB.

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs, kegiatan dalam rangka perlindungan BCB dan situs diatur dalam pasal 23-25. Kegiatan tersebut adalah:

1. Perizinan

Perizinan berasal dari kata izin yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:447) adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang); persetujuan; membolehkan. Perizinan BCB dapat diartikan sebagai tindakan mengabulkan atau tidak mengabulkan segala kegiatan yang berkaitan dengan BCB dan situs.

Perizinan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 23-38.

a. Lingkup perizinan BCB dan situs

Lingkup perizinan BCB dijelaskan pada pasal 23 ayat (1) dimana perizinan tersebut meliputi tiga hal. Pertama: izin membawa BCB ke luar wilayah Republik Indonesia. Kedua, izin membawa BCB antar daerah. Ketiga, izin pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan. Selanjutnya pada ayat (2) menjelaskan bahwa jenis BCB yang


(31)

commit to user

dimaksud di atas meliputi BCB milik Negara maupun perorangan, BCB buatan manusia maupun buatan alam, BCB bergerak maupun tida bergerak.

b. Izin membawa BCB

Izin membawa BCB diatur dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2). Pada ayat (1), disebutkan bahwa perizinan pembawaan BCB antar daerah hanya terhadap BCB bergerak dan hanya berlaku untuk tujuan berpindah tetap (selamanya) karena kepentingan mengikuti pemilik, beralihnya pemilikan, perlindungan dan pelestarian, pertukaran informasi keagamaan dan kebudayan (adat). Pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa permohonan izin pembawaan BCB antar daerah dianggap pendaftaran BCB.

c. Izin memanfaatkan BCB

Izin memanfaatkan BCB diatur dalam pasal 33 serta pasal 34 ayat (1) dan (2). Dalam pasal 33 dijelaskan bahwa fungsi pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidkan, ilmu pengetahuan dan/atau kebudayaan meliputi pendayagunaan menurut jenis kebendaan atas benda cagar budaya, bergerak dan tidak bergerak. Pada pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa pendayagunaan BCB bergerak dapat berfungsi sebagai sarana pameran, penelitian, pengembangan IPTEK, serta perkenalan informasi keagamaan dan kebudayaan (kesenian dan adat istiadat). Sedangkan pada pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pendayagunaan BCB tidak bergerak termasuk situs


(32)

commit to user

dapat berfungsi sebagai sarana upacara keagamaan, acara pertunjukan, kegiatan sosial/kemasyarakatan, kunjungan wisatawan, kegiatan pendidikan, penelitian/survei, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Penyelamatan

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, penyelamatan diartikan sebagai upaya darurat ataupun terencana untuk melindungi benda cagar budaya dan situs dari ancaman kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan.

Penyelamatan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 39-47. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan BCB adalah sebagai berikut:

a. Ekskavasi

Pengertian ekskavasi terdapat pada pasal 39 ayat (3) yaitu kegiatan penggalian yang mengguanakan metode dan teknik arkeologis sebagaimana kegiatan ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan ekskavasi arkeologi pada umumnya. Dalam pasal 39 ayat (1) dijelaskan tentang tujuan ekskavasi penyelamatan, yaitu untuk menghimpun data secara vertikal yang berhubungan dengan BCB dan/atau situs yang terancam kelestariannya baik akibat ulah manusia maupun yang disebabkan oleh aktivitas lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, dalam


(33)

commit to user

ayat (2) dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa hasil dari kegiatan ekskavasi dijadikan dasar untuk menentukan langkah kebijakan lebih lanjut dalam upaya penyelamatan dan pelestariannya.

b. Studi Analisis Dampak Lingkungan

Menurut pasal 41 ayat (1), kegiatan studi analisis mengenai dampak lingkungan ditujukan khusus terhadap BCB dan/atau situs yang terkena rencana pembangunan (renbang). Hal ini sangat penting artinya dan sangat diperlukan bagi proses penentuan keputusan/kebijakan untuk suatu usaha atau kegiatan, sehingga keamanan dan kelestarian BCB dan/atau situs dapat terus terjamin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

c. Pemberian Hadiah

Menurut pasal 43 ayat (1), kegiatan pemberian hadiah temuan merupakan salah satu upaya penyelamatan BCB dengan cara memberikan hadiah/imbalan kepada penemu/pemilik BCB serta pemberian ganti rugi/pembebasan tanah kepada pemilik atau yang menguasai lahan situs. Ada empat hal yang perlu diketahui terkait kegiatan pemberian hadiah ini. Pertama, pada ayat (2) dijelaskan bahwa hadiah temuan atau imbalan jasa serta ganti rugi pembebasan tanah lahan situs yang diberikan dapat berupa sejumlah uang atau sertifikat penghargaan. Kedua, pada ayat (3) dijelaskan bahwa terhadap BCB yang telah diberi hadiah temuan/imbalan jasa kepada penemu, menjadi milik negara dan ditempatan di museum. Ketiga, pada ayat (4)


(34)

commit to user

dijelaskan juga bahwa terhadap lahan yang telah diganti rugi atau tanahnya telah dibebaskan ditetapkan sebagai situs yang dikuasai oleh negara.

d. Pemindahan BCB

Menurut pasal 44 ayat (1), pemindahan BCB merupakan salah satu upaya penyelamatan terhadap BCB yang mengalami ancaman atau diduga akan mengalami kerusakan atau kemusnahan akibat ulah manusia atau yang diakibatkan oleh aktifitas lingkungan alam atau sekitarnya.

e. Pemintakatan

Pemintakatan menurut pasal 46 ayat (1) adalah salah satu upaya perlindungan terhadap BCB dan/atau situs dengan cara menetapkan lahan peruntukan terhadap situs, yang terdiri atas mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Peruntukan masing-masing mintakat dijelaskan dalam ayat (2) seperti dibawah ini:

1)Mintakat inti, adalah lahan yang merupakan batas asli situs, lahan yang mengandung potensi BCB. Penentuan batas untuk mintakat inti didasarkan pada tiga hal. Pertama, batas asli yaitu batas asli keberadaan BCB. Kedua, batas geotopografis yaitu batas-batas yang mengikuti bentangan alam misalnya lereng, sungai, lembah, dan sebagainya. Ketiga, batas kelayakan pandang, yaitu batas dimana pengunjung dapat mengapreasikan bentuk atau nilai BCB.


(35)

commit to user

2)Mintakat Penyangga berfungsi sebagai penyangga (bumper) untuk pengaman mintakat inti dari situs dan BCB. Idealnya, pada mintakat penyangga ini lahan telah steril dari BCB. Untuk itu, dalam penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang perlu dilakukan ekskavasi dalam bentuk test pit. Selain itu, penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan potensi ancaman yang dapat mengancam kelestarian situs dan BCB.

3)Mintakat pengembangan, merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pengembangan pemanfaatan serta sebagai lahan pembangunan fasilitas situs.

f. Studi Nominasi Warisan Budaya Dunia

Menurut pasal 47 ayat (1), kegiatan studi nominasi warisan buadaya dunia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap BCB dan/atau situs yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri, dan dengan jumlah yang sangat terbatas sehingga memiliki nilai yang bertaraf internasional. Dalam pasal (2) dijelaskan bahwa kegiatan studi nominasi dilakukan untuk menghimpun data-data penunjang guna memenuhi kriteria dan persyaratan yang tercantum dalam standard nominasi warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO.

3. Pengamanan

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar


(36)

commit to user

Budaya dan Situs, pengamanan diartikan sebagai upaya perlindungan benda cagar budaya dan situs dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau kondisi alam yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya dan situs.

Pengamanan BCB diatur dalam pasal 48 ayat (1), yaitu pengamanan dilakukan dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan karena perbuatan manusia, yang antara lain berupa pencurian; pengerusakan dan pencemaran; penyelundupan keluar wilayah Indonesia; penggalian dan penyelaman liar. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa permasalahan pengamanan dan penertiban BCB pada dasarnya dapat dilihat pada dua masalah pokok, yaitu yang disebabkan oleh perbuatan yang ditimbulkan manusia dan yang disebabkan oleh faktor alam.

Langkah-langkah prosedur pengamanan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 51 meliputi kegiatan-kegiatan upaya pencegahan (preventif) maupun upaya penanganan (represif), baik yang berupa data, sarana, prasarana, koordinasi, maupun lainnya semuanya meliputi kegiatan pendataan pengamanan, dengan cara menjaring informasi melalui laporan lisan maupun tertulis.

Kegiatan pengamanan BCB meliputi: a. Pengawasan dan Penertiban


(37)

commit to user

Untuk BCB bergerak, dilakukan pengawasan lalu lintas keberadaan BCB dimana menurut pasal 52 ayat (1), pengawasan lalu lintas keberadaan BCB ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi peredaran dan pemanfaatan BCB secara ilegal pada masyarakat. Sedangkan untuk BCB tidak bergerak dan situs, langkah penertibannya seperti yang dijelaskan dalam pasal 52 ayat (2), yakni berupa pengaturan pemanfaatan BCB, situs, lingkungan, kawasan, dan pengembangannya termasukdi dalamnya kegiatan pemintakatan (zooning), yaitu penentuan batas BCB dan situs sesuai peruntukannya.

b. Pemasangan Poster atau Pamflet

Salah satu langkah pengamanan terhadap BCB adalah dengan memasang poster/pamflet jenis BCB dimana menurut pasal 53 pemasangannya dilakukan di tempat-tempat strategis, sarana angkutan tertentu, berisi himbauan, ajakan, larangan, dan sebagainya.

c. Pengamanan Lokasi BCB

Dalam pasal 54, pengamana lokasi BCB dilakukan melalui:

1)Sistem jaringan informasi pengamanan agar tidak terjadi pelanggaran atau kejahatan, yaitu melalui kesadaran masyarakat (siskamtibmas swakarsa)

2)Komunikasi untuk memudahkan hubungan antara para petugas pelaksana di lapangan dengan pihak yang terkait atau yang berwenang.


(38)

commit to user

3)Pemasangan papan informasi pengamanan yang berupa informasi tulisan untuk memberikan penerangan yang bersifat larangan, ajakan, apresiasi, pesan, dan petunjuk pada lokasi atau situs.

4)Pengadaan pos jaga bagi petugas pengamanan yang berfungsi sebagai tempat pemantauan lokasi situs.

5)Pemagaran sebagai pembatas lokasi situs

6)Pengadaan lampu penerangan untuk memantau lokasi situs pada malam hari

7)Monitoring petugas pengamanan untuk memantau dan mengontrol pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh petugas pengaman pada lokasi situs baik pada malam hari maupun siang.

d. Peningkatan Koordinasi Pengamanan

Dalam pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa peningkatan koordinasi pengamanan dengan instansi atau pihak yang terkait dilakukan melaui kerja sama dalam pelaksanaan dan seminar-seminar dalam rangka menyamakan persepsi dan tindak pengamanan terhadap BCB.

e. Penambahan Jumlah dan Kualitas Satuan Organisasi Pengaman

Menurut pasal 55 ayat (2), peningkatan jumlah dan kualitas satuan organisasi pengaman berupa penambahan sumber daya manusia yang berkualitas kesamaptaan Polri (PPNS dan Satpam) yang berfungsi melakukan tugas di lapangan dan operasional untuk menghadapi kasus-kasus pelanggaran dan kejahatan.


(39)

commit to user

f. Peningkatan pengaman

Pasal 55 menyebutkan bahwa pengaman BCB dan situs dapat melalui peningkatan tindakan pengamanan dalam menangani kasus-kasus yang telah terjadi, baik tindak pelanggaran maupun tindak kejahatan terhadap kelestarian BCB, bekerja sama dengan pihak Polri dan pihak yang berwenang dalam memutuskan perkara.

Perlindungan terhadap BCB pada dasarnya bertujuan untuk melestarikannya agar tetap bisa dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia dan memperkuat jati diri bangsa. Perlindungan terhadap BCB merupakan salah satu tugas pokok dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3).

Hal tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang Organisasi dan Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, dimana Balai Peninggalan Purbakala (BP3) mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, dokumentasi, bimbingan dan penyuluhan, penyelidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs, termasuk yang berada di lapangan maupun tersimpan di ruangan.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan perlindungan memerlukan beragam pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, kegiatan perlindungan juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait, bukan hanya oleh pemerintah saja. Hal ini sebagaimana terdapat pada Charter For The


(40)

commit to user

Protection and Management Of The Archeological Heritage (1990) oleh

International Council on Monument and Sites (ICOMOS) sebagai berikut:

“The protection of this heritage cannot be based upon the application of archaeological techniques alone. It requires a wider basis of professional and scientific knowledge and skills. Some elements of the archaeological heritage are components of architectural structures and in such cases must be protected in accordance with the criteria for the protection of such structures laid down in the 1966 Venice Charter on the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. Other elements of the archaeological heritage constitute part of the living traditions of indigenous peoples, and for such sites and monuments the participation of local cultural groups is essential for their protection and preservation. For these and other reasons the protection of the archaeological heritage must be based upon effective collaboration between professionals from many disciplines. It also requires the co-operation of government authorities, academic researchers, private or public enterprise, and the general public.”

Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih adalah sebagai berikut:

“Perlindungan terhadap heritage tidak dapat didasarkan pada penerapan teknik arkeologi saja. Ini membutuhkan dasar dari profesional dan pengetahuan ilmiah serta keterampilan yang lebih luas. Beberapa elemen dari warisan arkeologi merupakan komponen dari struktur arsitektural dan dalam kasus-kasus seperti itu harus dilindungi sesuai dengan kriteria perlindungan struktur seperti diatur dalam Piagam Venesia tahun 1966 tentang Konservasi dan Restorasi Monumen dan Situs. Elemen lain dari warisan arkeologi merupakan bagian dari tradisi hidup penduduk asli, dan untuk situs dan monumen tersebut partisipasi kelompok budaya lokal penting untuk perlindungan dan pelestarian situs dan monumen tersebut. Untuk alasan ini dan alasan-alasan lainnya, perlindungan terhadap warisan arkeologi harus didasarkan pada kolaborasi efektif antara para profesional dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini juga memerlukan kerjasama dari pemerintah yang berkuasa, peneliti akademis, perusahaan pribadi atau publik, dan masyarakat umum.

Dari apa yang dituliskan di atas dapat kita ketahui bahwa BCB yang merupakan warisan arkeologi, perlindungan terhadapnya tidak dapat semata-mata hanya berdasar pada kaidah ilmu arkeologi saja, tetapi juga memerlukan


(41)

commit to user

disiplin ilmu lain seperti teknik, arsitektur, geologi, dan sebagainya. Selain itu, perlindungan hendaknya melibatkan berbagai pihak terkait seperti masyarakat adat atau masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah, serta masyarakat luas.

Jika pada ulasan di atas hanya melihat perlindungan dari aspek perlindungan BCB saja, Eisuke Tanaka berpandangan lain seperti tertulis di bawah ini:

“However, the idea of protection does not simply mean objects considered cultural property from destruction. The notion of protection is also used to denote protecting the owner’s right to control cultural property. What is often at stake in cultural property debates (e.g. disputes over repatriation) is where and by whom such objects should be protected, and who can decide where such objects are protected and displayed. This provokes rivalry between different claimants for the ownership of cultural property at international, national and local levels”

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

“Namun, gagasan perlindungan tidak hanya berarti menjaga benda dianggap harta budaya dari kehancuran. Gagasan perlindungan ini juga digunakan untuk menunjukkan melindungi hak pemilik untuk mengontrol kekayaan budaya. Apa yang sering dipertaruhkan dalam perdebatan properti budaya (sengketa misalnya lebih dari repatriasi) adalah dimana dan oleh siapa objek tersebut harus dilindungi, dan siapa yang bisa menentukan dimana benda tersebut dilindungi dan ditampilkan. Hal ini menimbulkan persaingan antara pengadu yang berbeda untuk kepemilikan budaya properti di tingkat internasional, nasional, dan lokal”

C. Candi

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dua hal. Pertama, sekilas tentang candi yang mencakup pengertian candi, struktur bangunan, tujuan pembuatan, dan langgam candi. Kedua, candi sebagai BCB yang mencakup pengertian BCB, kewajiban terhadap BCB, dan larangan terhadap BCB.


(42)

commit to user

1. Sekilas Tentang Candi

Indonesia pantas mendapat julukan ”Negeri Seribu Candi” karena banyak candi yang bertebaran di Indonesia, yaitu dengan pusatnya di Pulau Jawa (www.hurahura.wordpress.com). Definisi tentang candi disampaikan oleh Soekmono (1996) dalam www.wikipedia.com yakni sebagai berikut:

"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan."

Rusdi (2010:18) menjelaskan bahwa kata ‘candi’ biasanya mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi suatu bangunan. Fungsi bengunan yang dimaksud antara lain adalah sebagai tempat ibadah, pusat pengajaran agama, tempat penyimpanan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayamnya para dewa, petirtaan (pemandian), dan gapura. Walaupun fungsi dari bangunan candi cukup beragam, namun secara umum fungsi-fungsi itu tidak terlepas dari kegiatan keagamaan, khususnya untuk agama Hindu dan Budha.

Menurut www.wikipedia.com, struktur bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. Kaki candi: bagian dasar Sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20)


(43)

commit to user

c. Atap candi: berbentuk limasan, bermahkota stupa, lingga, ratna atau wajra

Menurut sumber yang sama, apabila dilihat dari tujuan pembuatannya, candi terbagi menjadi tiga macam yaitu:

a. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Plaosan (Jawa Tengah)

b. Candi Wanua/Watak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahandi (Tulung Agung, Jawa Timur), Candi Gebang (Yogya), Candi Pringapus (Temanggung, Jawa Tengah).

c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,raja Singhasari), Candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana,raja Singhasari), Candi Ngrimbi (pendharmaan Tribuanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk),Candi Tegawangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).

Masih menurut sumber yang sama, dijelaskan juga bahwa pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin

yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India


(44)

commit to user

Selatan. Dalam kitab Manasara tidak hanya berisi patokan-patokan membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota/desa, dan lain-lain.

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai (terutama di dekat pertemuan 2 buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah,dsb. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Opak dan sungai Progo.

Bila kita berbicara masalah candi di Jawa, tentunya tidak lepas dari pembahasan mengenai kapan dan oleh siapa candi itu dibuat. Menurut Rusdi (2010:13-14), pada awal abad ke-8 telah berdiri kerajaan besar yang bernama Mataram Kuno, yang berpusat di Jawa Tengah. Kemudian, pada abad ke-10 pusat kerajaan ini berpindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno pernah diperintah oleh dua wangsa (dinasti), yaitu Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama Budha.


(45)

commit to user

Rusdi (2010:23-24) menambahkan bahwa candi-candi yang terletak Jawa Tengah wilayah utara, umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, dimana candi-candi tersebut adalah candi Hindu. Candi-candi ini biasanya bentuk bangunannya lebih sederhana. Selain itu umumnya candi ini dibangun dalam satu kelompok dengan pola yang sama dimana candi induk terletak di tengah dikelilingi oleh candi Perwara (pendamping).

Sedangkan untuk candi-candi yang berada di wilayah Jawa Tengah Selatan, umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra dan candi-candi tersebut adalah candi Budha. Umumnya, candi-candi ini bangunannya megah dan sarat dengan hiasan.

Lain lagi dengan candi yang berada di Jawa Timur yang umumnya memiliki usia yang lebih muda dibanding dengan candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta.Hal ini karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintah kerajaan-kerajaan penerus Mataram Kuno, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, Majapahit. Selain itu bangunan candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada candi tersebut dibangun pada pemerintahan kerajaan apa.

Sebagai contoh, candi yang dibuat pada masa kerajaan Singasari dibuat dari bahan batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha). Sedangkan candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bahan bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.


(46)

commit to user

Soetarno (2007:6) menyebutkan ciri-ciri Candi Langgam Jawa Tengah sebagai berikut:

a. Bentuk bangunannya tambun b. Atapnya nyata berundak-undak c. Puncaknya berbentuk ratna atau stupa

d. Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara e. Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis f. Letak candi di tengah halaman

g. Kebanyakan menghadap ke timur h. Kebanyakan terbuat dari batu andesit

Sedangkan untuk ciri-ciri candi langgam Jawa Timur, Soetarno (2007:122) menjelaskan seperti di bawah ini:

a. Bentuk bangunan ramping

b. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan c. Puncaknya berbentuk kubus

d. Makara tidak ada, dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala

e. Letak candi di bagian belakang halaman f. Kebanyakan menghadap ke barat

g. Kebanyakan terbuat dari bata

Masih berkaitan dengan langgam candi, Soekmono (1973) dalam

www.wikipedia.com menjelaskan bahwa berdasarkan langgam seni atau


(47)

commit to user

langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Sedangkan untuk candi-candi yang berada di Bali, Kalimantan, dan Sumatra dikategorikan menganut langgam Jawa Timur. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel II.2 di bawah ini:

Tabel II.2

Langgam Candi di Indonesia

Bagian dari Candi Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur

Bentuk Bangunan Cenderung tambun Cenderung tinggi dan ramping

Atap Jelas menunjukkan undakan, terdiri atas tiga tingkatan

Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Kemuncak Stupa (candi Buddha),

Ratna atau Vajra (candi Hindu)

Kubus (candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk tabung (candi Buddha)

Gawang pintu dan hiasan relung

Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing-masing sisi pintu

Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada

Relief Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar

Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang


(48)

commit to user

bergaya naturalis menonjol, gambar bergaya seperti wayang Bali

Tata letak dan lokasi candi utama

Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi-candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi

Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian) lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu masuk, dan seringkali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama

Arah hadap bangunan Kebanyakan menghadap ke timur

Kebanyakan menghadap ke barat

Bahan bangunan Kebanyakan batu andesit Kebanyakan batu bata merah

Sumber: www.wikipedia.com

Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa antara langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur memiliki perbedaan pada bagian-bagian candi yang dapat kita lihat dengan jelas. Untuk langgam Jawa Tengah sendiri sebenarnya masih dikelompokkan lagi menjadi langgam Jawa Tengah Utara dan langgam Jawa Tengah selatan.

Pada langgam Jawa Tengah Utara, ukiran candi lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit. Candi yang termasuk pada langgam Jawa Tengah Utara ini contohnya adalah


(49)

commit to user

candi Gunung Wukir, candi Badut, kompleks candi Gedong Songo dan kompleks candi Dieng. Sedangkan langgam Jawa Tengah Selatan, ukirannya lebih banyak dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur. Candi yang termasuk dalam langgam Jawa Tengah Selatan ini contohnya adalah candi Borobudur, candi Mendut, candi Plaosan dan candi Sewu.

Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

2. Candi sebagai Benda Cagar Budaya (BCB)

Candi merupakan salah satu jenis benda cagar budaya. Oleh karena itu, selain memahami tentang candi kita juga harus mengetahui beberapa hal terkait BCB, yaitu tentang pengertian BCB, kewajiban dan larangan terhadapnya. Hal itu penting karena hal-hal yang merupakan kewajiban terhadap BCB maupun larangan terhadapnya akan berlaku pula pada sebuah candi.

Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa benda cagar budaya adalah:


(50)

commit to user

a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dari pengertian di atas, dapat kita ketahui dua hal: pertama, bahwa BCB ternyata bukan hanya benda buatan manusia saja, tetapi bisa juga benda alam yang memang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan. Kedua, BCB dapat digolongkan menjadi BCB bergerak dan BCB tidak bergerak. BCB bergerak maksudnya adalah BCB yang mudah dipindahkan atau dibawa, contohnya keris, arca, kitab kuno. Sedangkan BCB tidak bergerak adalah BCB yang tidak mudah dipindahkan apalagi dibawa, contohnya candi, benteng, goa.

Benda cagar budaya (BCB) secara umum disebut dengan warisan arkeologi. ICOMOS mendefinisikan warisan arkeologi sebagai berkut:

“The "archaeological heritage" is that part of the material heritage in respect of which archaeological methods provide primary information. It comprises all vestiges of human existence and consists of places relating to all manifestations of human activity, abandoned structures, and remains of all kinds (including subterranean and underwater sites), together with all the portable cultural material associated with them.”

Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih adalah sebagai berikut:


(51)

commit to user

“Warisan arkeologi adalah bagian dari warisan/peninggalan arkeologi yang dari metode arkeologi menghasilkan informasi primer. Ini terdiri dari semua sisa keberadaan manusia dan terdiri dari tempat-tempat yang berkaitan dengan semua manifestasi dari aktivitas manusia, struktur yang ditinggalkan, dan sisa-sisa segala jenis (termasuk situs di bawah tanah dan bawah air), berikut dengan semua material budaya yang portabe/mudah dibawa yang terkait dengan mereka.”

Melihat nilai penting BCB, jumlahnya yang terbatas, sifatnya yang tidak dapat diperbarui dan digantikan, dan tingkat kerawanan yang tinggi, maka dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang BCB diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan BCB, salah satunya adalah tentang kewajiban dan larangan terhadap BCB.

Kewajiban yang harus dilakukan seseorang terhadap BCB adalah sebagai berikut ini:

a. Kewajiban melapor

Kewajiban melapor ini berlaku bagi setiap orang yang: pertama, menemukan atau mengetahui ditemukannya BCB atau benda yang diduga BCB (pasal 10 ayat (1)). Kedua, BCB yang dikuasai/dimiliki hilang atau rusak (pasal 9).

b. Kewajiban mendaftarkan BCB, meliputi: pertama, pendaftaran BCB yang dimiliki/dikuasainya. Kedua, pengalihan hak dan pemindahan BCB (pasal 8 ayat (1)).

c. Kewajiban melindungi dan memelihara BCB

Sedangkan larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap BCB adalah seperti di bawah ini:


(52)

commit to user

a. Larangan Mutlak

Larangan mutlak adalah larangan yang tidak boleh dilanggar apapun kondisinya. Larangan mulak terhadap BCB ada pada pasal 15 ayat (1) UU Benda Cagar Budaya, dimana setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Kegiatan yang dinilai dapat merusak BCB adalah seperti kegiatan mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari BCB. Sedangkan kegiatan yang dinilai dapat merusak situs adalah seperti kegiatan mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs.

b. Larangan Bersyarat

Larangan bersyarat adalah larangan yang berubah menjadi diperbolehkan apabila ada izin dari pemerintah. Larangan tersebut tertulis pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Benda Cagar Budaya antara lain:

1) Mencari BCB, benda yang diduga sebagai BCB, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah. Izin pencarian hanya diberikan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelamatan dan/atau pelestarian BCB (Pasal 12).

2) Membawa BCB ke luar wilayah Indonesia (pasal 15 ayat (2a)). Seseorang hanya dapat melakukannya apabila telah mendapat izin


(53)

commit to user

dari menteri. Izin ini hanya diberikan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sosial/budaya.

3) Memindahkan BCB dari daerah satu ke daerah yang lain (pasal 15 ayat (2b)). Pemindahan diizinkan kalau tidak menghilangkan ataupun mengurangi nilai sejarah dan fungsi pemanfaatannya. 4) Mengambil atau memindahkan BCB, baik sebagian maupun

seluruhnya kecuali untuk penyelamatan dalam keadaan darurat (pasal 15 ayat (2c)).

5) Mengubah bentuk dan/atau warna BCB serta memugarnya (pasal 15 ayat (2d)).

6) Memisahkan sebagian BCB dari kesatuannya (pasal 15 ayat (2e)). 7) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan

BCB (pasal 15 ayat (2f)). Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat memiliki izin usaha perdagangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, pedagang juga harus melaporkan secara berkala BCB tertentu yang diperjualbelikan.

8) Memanfaatkan BCB dengan cara penggandaan (pasal 23 ayat (23))

D. Kinerja BP3 Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah

Dari penjelasan di atas, kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah adalah hasil kerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan terhadap candi-candi yang


(54)

commit to user

berada di wilayah kerjanya dengan tujuan untuk mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan candi di wilayah Jawa Tengah.

E. Kerangka Berpikir

Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, benda cagar budaya dan situs perlu untuk dilindungi. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Candi merupakan salah satu jenis BCB tidak bergerak yang menyimpan banyak nilai penting. Kita dapat belajar banyak hal dari candi, misalnya arsitektur, bangunan, seni, nilai-nilai luhur serta filosofi kehidupan. Sampai sekarang, keberadaan candi masih terancam oleh kerusakan baik itu karena alam maupun karena manusia. Dengan dilakukannya perlindungan pada candi, ancaman kerusakan pada candi dapat diminimalisir sehingga candi dapat diambil manfaatnya sampai masa yang akan datang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja Propinsi Jawa Tengah yang secara langsung bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Salah satu tugas dari BP3 Jawa


(55)

commit to user

Tengah adalah melakukan perlindungan terhadap BCB dan situs yang berada di seluruh wilayah Jawa Tengah, dalam hal ini termasuk melindungi candi juga.

Kegiatan Perlindungan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah meliputi kegiatan pengamanan dan penyelamatan. Pencapaian hasil kerja (kinerja) yang baik dalam hal perlindungan akan mendukung kelestarian candi sehingga akan bisa terus dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pengembangan sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, upacara keagamaan, acara pertunjukan, dan pariwisata. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam kegiatan perlindungan ini akan dinilai berdasarkan indikator produktivitas, responsivitas, dan akuntabilitas, serta melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut.

Dengan dilakukan penilaian terhadap kinerja, akan diketahui sejauh mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi yang berada di Jawa Tengah, apakah telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan atau belum. Selain itu, dapat diketahui juga faktor apa saja yang mendukung serta faktor apa saja yang menghambat BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan. Model kerangka berfikir dalam penelitian ini digambarkan seperti gambar II.1 di bawah ini:


(56)

commit to user

Gambar II.1 Model Kerangka Berpikir

“Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan candi di Jawa Tengah”

Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah

· Produktivitas

· Responsivitas

· Akuntabilitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi

· faktor internal

· faktor eksternal

Terwujudnya pelestarian dan pemanfaatan candi-candi di Jawa Tengah


(1)

commit to user

pencuri atau pengepulnya saja. Untuk jaringan pencurian BCB tersebut masih belum dapat dilacak hingga saat ini.


(2)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian kinerja melalui tiga indikator yang digunakan, seperti di bawah ini:

1. Produktivitas

Dalam hal melaksanakan perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, produktivitas BP3 Jawa Tengah adalah baik. Hal tersebut dikarenakan kegiatan perlindungan yang dihasilkan didasari oleh pertimbangan yang matang dan berdasarkan pada skala prioritas, serta memaksimalkan sumberdaya yang ada. Dalam melakukan pemasangan papan larangan dan pagar, BP3 Jawa Tengah telah mempertimbangkannya dari segi bahan, estetika, keawetan, serta harga. Dalam hal membangun pos jaga, menempatkan satpam serta melakukan pemintakatan, BP3 Jawa Tengah mendahulukan candi yang sekiranya memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Selain itu dalam melakukan pengamanan pada candi di lokasi terpencil yang belum memiliki satpam, BP3 Jawa Tengah memaksimalkan sumberdaya yang ada yakni juru pelihara candi tersebut untuk merangkap tugas sebagai satpam.


(3)

commit to user

2. Responsivitas

Responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan perlindungan pada candi-candi di Jawa Tengah adalah cukup baik. Hal tersebut karena BP3 Jawa Tengah telah memiliki website dimana melalui website itu masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka. Sayangnya, BP3 Jawa Tengah belum memberikan respon atau tanggapan terhadap aspirasi tersebut. Selain itu, setiap ada laporan dari masyarakat terkait penemuan atau kerusakan BCB akan segera dilakukan peninjauan. Tidak hanya itu, dalam melaksanakan pemintakatan BP3 Jawa Tengah juga selalu melibatkan masyarakat sekitar candi untuk dimintai pendapatnya. Sedangkan terkait masukan masyarakat terkait pelaksanaan kegiatan perlindungan, sepertinya BP3 Jawa Tengah belum dapat menjaring masukan itu. Untuk masalah komunikasi antara BP3 Jawa Tengah dengan petugas ujung tombak di lapangan yakni satpam dan juru pelihara, sepertinya masih kurang. Hal itu karena melihat masih adanya perbedaan pandangan tentang cukup atau tidaknya fasilitas penunjang keamanan pada lokasi candi.

3. Akuntabilitas

Akuntabilitas BP3 Jawa Tengah terhadap kegiatan perlindungan yang telah dilakukan adalah baik. BP3 Jawa Tengah telah melaksanakan pertanggungjawaban kegiatan melalui LAKIP kepada kepada instansi di atasnya yakni Direktorat Sejarah dan Purbakala. Akan tetapi dalam pelaksanaanya mengalami hambatan yang disebabkan oleh indikator


(4)

commit to user

kinerja yang digunakan untuk menyusun sebuah LAKIP sering berubah. Peubahan tersebut merupakan keputusan dari pemerintah pusat, yakni Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dimana BP3 Jawa Tengah sebagai UPT kementerian tersebut harus mengikuti perubahan tersebut. Selain itu, banyak kegiatan yang sifatnya rutin belum dapat dimasukkan ke dalam LAKIP. Walaupun begitu, BP3 Jawa Tengah terus membuat LAKIP dengan segenap kemampuan yang ada.

Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, dimana faktor-faktor tersebut dapat mendukung kinerja ataupun sebaliknya. Faktor-faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah adalah masyarakat sekitar candi yang peduli terhadap keberadaan candi, contohnya adalah masyarakat sekitar candi Ceto dan Sojiwan. Selain itu LSM yang bergerak di bidang budaya juga turut mendukung karena biasanya LSM tersebut akan ikut memantau kondisi candi.

Sedangkan faktor-faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi di Jawa Tengah adalah jumlah dana yang terbatas, wilayah kerja yang luas meliputi seluruh Jawa Tengah, kurangnya dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, dan ancaman dari kolektor BCB.


(5)

commit to user

Dari kesimpulan di atas, peulis akan menyampaikan beberapa saran dengan harapan dapat ikut membantu BP3 Jawa Tengah dalam meningkatkan kinerjanya pada waktu yang akan datang. Saran tersebut adalah seperti di bawah ini:

1. Dalam penyusunan kegiatan perlindungan, hendaknya pada waktu yang akan datang BP3 Jawa Tengah tidak melupakan candi-candi yang berada di lokasi terpencil. Sekecil apapun candi itu, tetaplah memiliki keistimewaan sendiri yang bisa jadi tidak dimiliki oleh candi besar sekalipun.

2. Sebaiknya BP3 Jawa Tengah lebih mengembangkan websitenya agar dapat menyerap lebih banyak aspirasi masyarakat. BP3 Jawa Tengah harus berusaha memberikan tanggapan atas setiap aspirasi masyarakat yang masuk, sebagai bentuk penghargaan atas kepedulian masyarakat atas candi. Hal lain yang harus dioptimalkan adalah penggunaan buku tamu agar tidak hanya berfungsi untuk mencatat jumlah pengunjung saja, tetapi dapat digunakan sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat. Hal tersebut juga harus disertai himbauan kepada satpam dan juru pelihara supaya melaporkan apabila ada aspirasi masyarakat yang tertulis di buku tamu. Selain itu, BP3 Jawa Tengah sebaiknya lebih intens menjalin komunikasi dengan petugas di lapangan seperti satpam dan juru pelihara. Bagaimanapun juga, mereka adalah petugas lapangan yang mengetahui secara pasti bagaimana kondisi yang ada serta apa saja hal-hal yang sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pengamanan.


(6)

commit to user

3. Akan lebih baik lagi kalau BP3 Jawa Tengah dalam pemenuhan sarana-prasarana perlindungan tidak hanya bergantung pada dana dari pusat saja. Misalnya tentang arisan HT di candi Plaosan Lor yang diikuti oleh para satpam, bisa saja lingkup arisan itu dibuat lebih besar lagi sehingga membuka peluang bagi para satpam maupun juru pelihara yang bertugas di candi lain yang berminat agar dapat ikut.

4. Selama ini sepertinya tidak ada wadah atau bagi orang-orang yang menaruh minat atau kepedulian besar pada candi. Padahal bisa jadi jumlahnya besar, tetapi orang-orang tersebut sulit menyalurkan minatnya tersebut. Dengan dibuatnya sebuah komunitas atau organisasi pecinta candi misalnya, organisasi tersebut akan ikut membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami candi. Nantinya komunitas ini dapat bekerjasama dengan BP3 Jawa Tengah dan dapat berbagi tugas. Bisa saja komunitas ini mendapat tugas menggalang dana untuk pembangunan fasilitas penunjang kegiatan perlindungan candi, dan mengkampanyekan pada masyarakat tentang nilai penting candi.