dijelaskan dari beberapa variabel yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, jumlah tanggungan, lama berprofesi sebagai petani, dan luas lahan yang dikelola.
Karakteristik petani sawah apung disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik Petani Sawah Apung di Desa Ciganjeng Tahun 2014
Karakteristik Jumlah Orang
Persentase Jenis Kelamin :
Pria 31
100,00 Wanita
0,00 Total
60 100,00
Usia : ≤ 25
0,00 26 - 35
9 29,03
36 - 45 8
25,81 46 - 55
6 19,35
55 8
25,81 Total
31 100,00
Pendidikan : SD
15 48,39
SMP 11
35,48 SMA
5 16,13
Total 31
100,00 Jumlah Tanggungan :
– 2 18
58,07 3
– 5 13
41,93 ≥ 6
0,00 Total
31 100,00
Lama Bertani : ≤ 5
8 25,81
6 – 15
7 22,58
16 – 25
6 19,35
≥ 26 10
32,26 Total
31 100,00
Status Lahan : Terdampak
18 58,07
Tidak 13
41,93 Total
31 100,00
Kelompok tani Taruna Tani Mekar Bayu merupakan kelompok tani yang turun langsung dalam pengelolaan sawah apung di Desa Ciganjeng. Anggota
dalam kelompok tani tersebut didominasi oleh laki-laki dengan usia sebagian besar berkisar antara 25 sampai 35 tahun sebanyak 29,03, hal ini dikarenakan
anggota kelompok tani tersebut didominasi oleh kepala keluarga yang baru mulai bertani karena kelompok ini pun baru terbentuk tahun 2008 lalu. Pada Tabel 7
terlihat bahwa mayoritas anggota kelompok hanya tamatan SD yaitu sebanyak 48,39, sisanya SMP dan SMA berturut-turut sebesar 35,48 dan 16,13.
Tingginya presentase tingkat pendidikan SD mengindikasikan bahwa di Desa Ciganjeng dari segi perekonomiannya termasuk kedalam kurang mampu. Jumlah
tanggungan terbanyak dari kelompok tani antara nol sampai dua orang yaitu sebesar 58,07. Sebanyak 32,26 petani sudah bertani lebih dari 26 tahun dan
25,81 baru bertani kurang dari 5 tahun. Kelompok tani Taruna Tani Mekar Bayu berjumlah 31 orang anggota, dengan 18 orang diantaranya mengelola sawah di
zona merah yang terdampak karena banjir tahunan atau sekitar 58,07, sedangkan sisanya 13 orang atau 41,93 lahan persawahannya masuk pada zona
kuning dan zona hijau yang artinya tidak setiap tahun terdampak banjir.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kelayakan Usahatani Sawah Apung
Adanya sawah apung di Desa Ciganjeng didasarkan pada keadaan bahwa sebagian besar lahan persawahan di Desa Ciganjeng setiap tahunnya terendam
banjir dengan durasi hingga enam bulan lamanya. Lahan yang terendam banjir menyebabkan petani tidak mendapat pemasukan apapun. Pemanfaatan lahan yang
terendam banjir di Desa Ciganjeng perlu dianalisis komponen biaya dan kelayakan investasinya agar dapat diketahui usahatani sawah apung ini layak atau
tidak untuk dijalankan.
6.1.1 Biaya Usahatani Sawah Apung
Biaya dalam usahatani sawah apung dibedakan atas biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi terdiri dari biaya pembuatan rakit sebagai
media tanam sawah apung, jaring sebagai penahan media tanam berupa tanah agar tidak rusak ketika terkena ombak saat banjir, rumah kompos sebagai media
pembuatan pupuk sehingga petani tidak membeli pupuk untuk perawatan sawah apung. Umur proyek usahatani ditetapkan selama enam tahun berdasarkan umur
ekonomis dan investasi yang mengeluarkan biaya terbesar yaitu rakit. Biaya operasional terdiri dari biaya untuk pembelian jerami, sabut kelapa, perawatan
pupuk, dan pemanenan. Biaya yang dikeluarkan pada tahun pertama sebesar Rp 4.494.000,00
meliputi biaya operasional antara lain jerami, sabut kelapa, perawatan pupuk, dan pemanenan. Pada tahun pertama hasil panen perdana sawah apung mencapai
3.500 kg gabah kering dari luasan 1 Ha dengan harga jual gabah Rp 4.500,00kg manfaat bersih yang didapatkan petani sebesar Rp 11.256.000,00 tetapi secara
umum proyek tersebut masih rugi dikarenakan biaya investasi yang tinggi mencapai Rp 39.885.000,00.
Biaya operasional yang dikeluarkan di tahun kedua sampai tahun keenam diasumsikan sama begitupun dengan hasil panen yang didapatkan petani. Manfaat
bersih yang didapatkan petani pada tahun kedua sebesar Rp 11.156.000,00, mengalami penurunan dibandingkan tahun pertama, hal ini disebabkan adanya
reinvestasi biaya karena umur ekonomis alat. Biaya reinvestasi terbesar ada pada
tahun keempat yaitu sebesar Rp 800.000,00 terdiri dari reinvestasi alat-alat pertanian seperti arid dan terpal yang menyebabkan manfaat bersih yang
didapatkan petani turun menjadi Rp 10.456.000,00. Rincian manfaat bersih dapat dilihat pada Lampiran 2.
6.1.2 Kelayakan Usahatani Sawah Apung
Kelayakan investasi dianalisis menggunakan kriteria investasi berupa NPV, IRR, Net BC, PBP, dan Sensitivitas. Manfaat bersih yang diperoleh didiskonto
untuk mengetahui kelayakan finansial. Hasil perhitungan NPV, IRR, Net BC, dan PBP pada tingkat diskonto 15 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil Kelayakan Finansial Sawah Apung pada Tingkat Diskonto 15
Kriteria Investasi Hasil Perhitungan
NPV Rp. 2.074.740,338
Net BC 1,052
IRR 2
Payback Period PBP 5,703 tahun
Pada analisis finansial usahatani sawah apung dengan luasan 1 hektar diperoleh NPV sebesar Rp. 2.074.740,338 yang menunjukkan bahwa penanaman
investasi pada usahatani sawah apung akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2.074.740,338 selama enam tahun menurut nilai sekarang. Nilai Net BC yang
diperoleh sebesar 1,052 yang artinya setiap nilai sekarang dari pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan memberikan manfaat sebesar Rp 1,052. IRR yang didapat
sebesar 2 menunjukkan bahwa investasi pada usahatani sawah apung pada tingkat diskonto 15 tidak layak karena IRR lebih kecil dari tingkat diskonto.
Masa pengembalian investasi dicapai dalam waktu 5,7 tahun yang lebih kecil dari umur proyek yaitu 6 tahun. Dari hasil keempat kriteria investasi dapat
disimpulkan bahwa usahatani sawah apung pada tingkat diskonto 15 dan umur proyek 6 tahun layak diusahakan tetapi sedikit memberikan manfaat tambahan.
Usahatani sawah apung yang layak tetapi hanya sedikit memberikan manfaat tambahan dapat disebabkan biaya investasi yang besar, karena
mengharuskan pembuatan rakit, penambahan jaring, dan biaya operasional tambahan untuk media tanam. Secara rinci cashflow sawah apung dapat dilihat di
Lampiran 2. Penggunaan pupuk pada usahatani tidak mengeluarkan biaya
dikarenakan kelompok petani di Desa Ciganjeng membuat secara mandiri pupuk dan pestisida sebagai pengganti pupuk dan pestisida kimia. Biaya tenaga kerja
juga tidak diperhitungkan karena kelompok petani di Desa Ciganjeng secara swadaya mengelola sawah apung tersebut, baik pada saat persiapan lahan,
persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
6.2 Analisis Sensitivitas
Nilai NPV, IRR, Net BC, dan PBP yang diperoleh dari perhitungan menunjukkan bahwa usahatani sawah apung menguntungkan tetapi hanya sedikit
memberikan manfaat tambahan. Usahatani sawah apung ini mengandung ketidakpastian dalam beberapa hal, seperti perubahan dalam produksi dan
kenaikan harga jual produksi. Perubahan dalam produksi dapat terjadi bila banjir surut yang menyebabkan produksi tidak maksimal. Perubahan harga jual dapat
terjadi sebagai akibat produksi sampai tingkat beras tidak hanya sampai gabah, karena pada kenyataannya beras organik di Desa Ciganjeng per kilogramnya
berkisar Rp. 9.500,00 sampai Rp. 10.000,00. Untuk mengetahui kepekaan usahatani sawah apung jika terjadi perubahan-
perubahan di atas, perlu dilakukan asumsi terhadap beberapa kemungkinan yaitu: 1.
Terjadi kenaikan harga jual yang semula Rp. 4.500,00kg menjadi Rp. 10.000,00kg dan biaya total naik akibat penambahan biaya input berupa biaya
sewa mesin giling tidak ada bantuan pemerintah dengan rasio perubahan gabah menjadi beras 65.
2. Terjadi kenaikan harga jual yang semula Rp. 4.500,00kg menjadi Rp.
10.000,00kg dan biaya total naik akibat penambahan biaya input berupa biaya operasional mesin giling mendapat bantuan mesin giling dari pemerintah
dengan rasio perubahan gabah menjadi beras 65. 3.
Terjadi penurunan produksi sebesar 5, harga jual naik akibat perubahan komoditas gabah menjadi beras organik dan biaya total naik akibat
penambahan biaya input berupa biaya sewa mesin giling tidak ada bantuan pemerintah dengan rasio perubahan gabah menjadi beras 65.
4. Terjadi penurunan produksi sebesar 5, harga jual naik akibat perubahan
komoditas gabah menjadi beras organik dan biaya total naik akibat