Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua Lingkungan
40 dapat disimpulkan bahwa suhu yang rendah akan menyebabkan proses
fotosintesis lebih lama sehingga terjadi penumpukan cadangan makanan. Hal ini diduga menyebabkan genotipe tomat di dataran tinggi memiliki tanaman lebih
tinggi, daging buah lebih tebal, dan ukuran buah lebih besar. Ukuran buah yang lebih besar menyebabkan bobot buah lebih tinggi. Ukuran buah yang lebih besar
dapat dilihat dari keragaan buah yang lebih panjang dan memiliki diameter yang lebih lebar Tabel 8; Tabel 23.
Gambar 3 Produktivitas tetua dan hibrida tomat di Bogor dan Lembang Adanya interaksi antara Genetik Lingkungan akan menyebabkan
perubahan rangking terhadap genotipe-genotipe yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hibrida yang memiliki produktivitas tertinggi di Bogor
adalah Kudamati-1 Ranti namun turun ke peringkat terakhir di Lembang. Hibrida Kudamati-1 Lombok-4 yang memiliki produktivitas tinggi di Lembang
juga turun ke peringkat 6 di Bogor Tabel 37; Gambar 2.
Tabel 37 Perubahan peringkat karakter produktivitas tetua dan hibrida tomat hasil persilangan setengah dialel
Genotipe Peringkat
Bogor Lembang
Kudamati-1 Ranti 3
10 Kudamati-1 Aceh-5
7 4
Kudamati-1 Lombok-4 6
2 Ranti Aceh-5
10 9
Ranti Lombok-4 9
5 Aceh-5 Lombok-4
4 3
Kudamati-1 1
8 Ranti
2 7
Aceh-5 5
1 Lombok-4
8 6
10 20
30 40
50 60
70
t h a
-1 Bogor
Lembang
41 Penurunan ini terjadi karena Bogor dan Lembang memiliki lingkungan yang
berbeda. Adanya interaksi genetik lingkungan akan mempersulit pemulia dalam memilih genotipe yang memiliki produktivitas tinggi disemua lingkungan
sehingga diperlukan identifikasi genotipe yang mampu beradaptasi spesifik lokasi Voltas et al. 2002. Kudamati-1 Ranti merupakan hibrida yang memiliki
produksi tertinggi dan mamapu beradaptasi dengan baik di dataran rendah Bogor, sedangkan Kudamati-1 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki
produksi tertinggi dan mampu beradaptasi baik di dataran tinggi Lembang.
Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang berpotensi untuk dikembangkan di dataran tinggi dan dataran rendah karena peringkat berdasarkan
produktivitas di dua lingkungan relatif stabil, hanya turun satu peringkat Tabel 37. Aceh-5 Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di
Lembang dan hanya turun ke peringkat 4 di Bogor, meskipun produktivitas di Lembang jauh lebih tinggi Tabel 36; Gambar 3.
4.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan Setengah Dialel Genotipe Lokal
Gejala layu bakteri pada tanaman tomat ditandai dengan adanya gejala layu eksternal berupa perubahan warna daun, kemudian diikuti dengan merunduknya
tangkai daun dan kelayuan menyeluruh pada tanaman yang bersifat permanen Adriani et al. 2012; Lampiran 11.
Kelayuan pada daun terjadi akibat kerusakan jaringan xylem oleh patogen sehingga pasokan air ke daun berkurang
Agrios 2005. Kerusakan yang sudah parah akan menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan pada pembuluh pengangkut dan apabila batang dibelah akan
mengeluarkan ooz jika dimasukkan ke dalam air Semangun 2004; Lampiran 11.
Tabel 38 Keragaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel
Genotipe Inkubasi
HSI Kejadian
penyakit AUDPC
Respon ketahanan
Aceh-5 Lombok-4 25
13.33 80.00 Tahan
Kudamati-1 Aceh-5 20
20.00 223.33 Tahan
Ranti Lombok-4 21
40.00 413.33 Agak tahan
Kudamati-1 Lombok-4 17
53.33 786.67 Agak rentan
Ranti Aceh-5 12
46.67 950.00 Agak rentan
Kudamati-1 Ranti 15
73.33 1243.33 Rentan
Ranti 10
6.67 150.00 Tahan
Kudamati-1 19
20.00 236.67 Tahan
Lombok-4 11
30.00 694.44 Agak tahan
Aceh-5 5
46.67 1488.46 Agak rentan
Siklus hidup R. solanacearum dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun melalui luka yang dibuat oleh nematoda
peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat pertanian Agrios 2005; Supriadi 2011. Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum
42 akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu xylem dalam akar dan pangkal
batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya xylem oleh jutaan sel R. solanacearum, transportasi air dan mineral dari tanah
terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati Hartati et al. 1994; Supriadi et al. 1995.
Hasil pengujian ketahanan empat tetua dan enam hibrida tomat terhadap bakteri Ralstonia solanacearum menunjukkan respon yang beragam. Masa
inkubasi berada pada kisaran 5 – 25 hari setelah inokulasi HSI. Genotipe rentan
masa inkubasinya relatif lebih cepat jika dibandingkan genotipe tahan Tabel 38. Genotipe yang memiliki masa inkubasi cepat cenderung lebih mudah terserang
penyakit sehingga nilai kejadian penyakit lebih besar. Hal ini terjadi pada Aceh-5 dan Ranti Aceh-5. Aceh-5 paling cepat terserang layu bakteri jika
dibandingkan tetua lain dan Ranti Aceh-5 merupakan hibrida yang paling cepat terserang jika dibandingkan hibrida lain Tabel 38.
Gambar 4 Kurva perkembangan penyakit pada hibrida tomat
Gambar 5 Kurva perkembangan penyakit pada tomat yang dijadikan tetua
10 20
30 40
50 60
70 80
1 3
5 7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Kej ad
ian p
en y
ak it
Hari pengamatan ke- Kdm-1
x Rnt Kdm-1
x Ach-5 Kdm-1
x Lom- 4
Rnt x Ach-5
Rnt x Lom-4
10 20
30 40
50 60
70 80
1 3
5 7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Kej ad
ian p
en y
ak it
Hari pengamatan ke- Kudamati-
1 Kdm-1 Ranti Rnt
Aceh-5 Ach-5
Lombok-4 Lom-4
43 Perbedaan masa inkubasi pada setiap genotipe diduga erat kaitannya dengan
ketahanan gen dan ketahanan varietas tanaman terhadap patogen tertentu sangat bervariasi. Banyaknya variasi dalam ketahanan terhadap patogen antara varietas
tanaman diduga disebabkan perbedaan jumlah gen untuk ketahanan bervariasi mulai dari yang sangat kecil sampai besar tergantung pada fungsi yang
dikendalikan Agrios 2005.
Area Under Disease Progress Curve AUDPC digunakan untuk melihat perkembangan penyakit. Nilai AUDPC yang kecil mengindikasikan bahwa
genotipe tersebut tahan Tabel 38; Gambar 4; Gambar 5. Hal ini dapat dilihat pada dua hibrida tahan yaitu Aceh-5 Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4. Dua
hibrida tersebut memilki nilai AUDPC paling kecil jika dibandingkan hibrida lainnya Tabel 38.
Pengujian terhadap tetua menunjukkan bahwa terdapat tiga tetua tahan Kudamati-1, Ranti, dan Lombok-4 serta satu tetua agak rentan yaitu Aceh-5.
Aceh-5 memiliki niali AUDPC paling tinggi, masa inkubasi paling cepat, dan kejadian penyakit paling tinggi jika dibandingkan tetua lain sehingga Aceh-5
termasuk dalam kategori agak rentan terhadap layu bakteri Tabel 38; Gambar 4. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gumelar et al. 2014. Pengamatan
terhadap layu bakteri pada penelitian tersebut dilakukan dilapang dan hasilnya menunjukkna bahwa Aceh-5 rentan sedangkan Kudamati-1 dan Ranti tahan
terhadap serangan layu bakteri.
Persilangan antar tetua tahan tidak selalu menghasilkan hibrida tahan. Hal ini dapat dilihat pada persilangan Kudamati-1 Ranti, Kudamati-1 Lombok-4,
dan Ranti Lombok-4. Kombinasi persilangan tersebut menghasilkan hibrida rentan, agak rentan, dan agak tahan terhadap layu bakteri. Aceh-5 Lombok-4
merupakan hibrida tahan yang berasal dari persilangan tetua agak rentan dangan agak tahan dan Kudamati-1 Aceh-5 merupakan hibrida tahan yang berasal
dari persilangan tetua tahan dangan agak rentan Tabel 38. Hal ini diduga terjadi karena pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam sehingga
perlu diteliti lebih lanjut. Lebeau et al. 2011 juga menyatakan bahwa masih terbatasnya informasi mengenai mekanisme untuk menentukan karakteristik
tanaman tahan, mengenai genetik Ralstonia solanacearum, dan interaksi genetik yang terlibat antara tanaman tahan dengan bakteri yang menyerang.
44
5 PEMBAHASAN UMUM
Perakitan varietas baru merupakan salah satu upaya dalam mengatasi masalah produksi pada beberapa komoditas hortikultura yang belum mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya impor yang dilakukan oleh pemeritah. Tomat merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang sampai saat ini masih impor. Volume impor pada komoditas ini cenderung menungkat setiap tahunnya DEPTAN 2016b. Masalah lain yang
dihadapi pada pertanaman tomat adalah serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia
solanacearum. Penyakit layu bakteri menyebabkan kematian pada tomat sehingga terjadi kehilangan hasil yang cukup tinggi. Permasalahan ini dapat diatasi salah
satunya dengan menanam varietas tomat yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan layu bakteri.
Varietas tomat yang ditanam di Indonesia merupakan varietas yang menyerbuk alami OP dan varietas hibrida F
1
. Penggunaan varietas hibrida menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun bersamaan dengan perkembangan
industri perbenihan sayuran Purwati 2009. Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat meningkatkan keragaan turunan hasil
persilangan F
1
. Oleh karena itu, pada penelitian ini dirakit varietas hibrida yang bertujuan untuk memperoleh keragaman baru dan diharapkan pada salah satu
kombinasi persilangannya terdapat hibrida F
1
berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Materi genetik yang digunakan merupakan genotipe tomat lokal yang
berasal dari beberapa wilayah di Indonesia yaitu Kudamati-1 yang berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4
berasal dari Lombok.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam perakitan varietas hibrida adalah pendugaan daya gabung. Daya gabung umum digunakan untuk
menentukan tetua superior sedangkan daya gabung khusus untuk menentukan kombinasi persilangan terbaik. Hasil analisis ragam daya gabung umum maupun
daya gabung khusus tidak nyata pada sebagian besar karakter. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu genotipe saling silang dengan genotipe lain atau
disilangkan dengan genotipe tertentu akan menghasilkan hibrida yang tidak jauh berbeda karena memeliki kemampuan bergabung yang tidak beragam. Namun
apabila berkaitan dengan produksi, meskipun perbedaanya sedikit akan berdampak besar jika diaplikasikan pada lahan yang lebih luas.
Kudamati-1 Ranti merupakan hibrida yang memilki bobot buah per tanaman paling tinggi di dataran rendah Tabel 8, namun memiliki daya gabung
khusus rendah untuk karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman Tabel 12. Nilai heterosis pada karakter tersebut juga rendah Tabel 15. Hasil
pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri juga menunjukkan bahwa Kudamati-1 Ranti rentan terhadap layu bakteri Tabel 38. Di dataran tinggi,
hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi adalah Kudamati-1 Lombok 4 Tabel 23. Nilai daya gabung khusus pada hibrida
tersebut untuk karakter panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per tanaman tinggi Tabel 27. Nilai heterosis untuk karakter jumlah buah dan bobot buah juga
45 tinggi Tabel 30, namun Kudamati-1 Lombok 4 agak rentan terhadap penyakit
layu bakteri Tabel 38. Peristiwa heterosis merupakan suatu fenomena yang dimanfaatkan dalam
perakitan hibrida. Efek ini hanya terjadi pada F
1
atau hibrida dan tidak ditemukan pada varietas bersari bebas. Heterosis banyak diteliti pada tanaman menyerbuk
silang seperti jagung namun juga dikembangkan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti tomat Poespodarsono 1988. Efek heterosis dapat berupa
penambahan atau penurunan hibrida terhadap nilai rata-rata tetua. Hibrida yang diharapkan untuk meningkatkan produksi adalah hibrida yang memiliki nilai
heterosis tinggi dan positif. Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter bobot buah di dataran rendah
Tabel 15, sedangkan di dataran tinggi dimiliki oleh Kudamati-1 Lombok 4 Tabel 30.
Pengujian hibrida hasil persilangan setengah dialel dilakukan di dua lingkungan berbeda yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Pengujian di dataran
rendah dilakukan di Bogor 196 m dpl dan di dataran tinggi dilakukan di Lembang 1 250 m dpl. Dilakukannya pengujian di dua lingkungan ini untuk
mengetahui daya hasil tomat di masing-masing lokasi dan sebagai salah satu upaya untuk memperluas area tanam tomat di dataran rendah. Lahan untuk
penanaman tomat di datarn tinggi semakin terbatas karena adanya persaingan dengan komoditas hortikultura lain dan konversi lahan di dataran tinggi semakin
meningkat. Produksi tomat di dataran rendah juga relatif lebih rendah Dane et al. 1991; Hanson et al. 2002 dan jumlah varietas tomat yang sudah dilepas untuk
dataran rendah masih terbatas Purwati 2007.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hibrida ataupun tetua tomat yang ditanam di Lembang dataran tinggi memiliki produksi yang lebih tinggi jika
dibandingkan di Bogor dataran rendah Tabel 36. Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki buah lebih besar sehingga bobot per tanaman juga lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dirakit pada penelitian ini memiliki adaptasi lebih baik di dataran tinggi. Hibrida-hibrida ini dapat juga
ditanam di dataran rendah namun produksinya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan di dataran tinggi.
Aceh-5 Lombok-4 tidak memiliki produksi tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi, sehingga hibrida tersebut berpotensi untuk dikembangkan
menjadi varietas hibrida untuk dataran rendah dan dataran tinggi. Peringkat untuk produktivitas pada Aceh-5 Lombok-4 juga relatif stabil di dataran rendah
maupun di dataran tinggi. Aceh-5 Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat empat di Bogor Tabel 37.
Aceh-5 Lombok-4 juga memiliki nilai daya gabung khusus tinggi pada karakter bobot buah Tabel 12; Tabel 27. Kombinasi persilangan yang memiliki daya
gabung khusus tinggi dapat direkomendasikan untuk merakit varietas hibrida Saleem et al. 2013.
Layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan Nguyen
Ranamukhaarachchi 2010. Cara paling efektif untuk mengendalikan layu bakteri adalah menanam varietas tahan Hayward 1991; Supriadi 2011. Penanaman
varietas kacang tanah yang tahan, seperti Schwarz-21 dan keturunannya telah berhasil mengurangi kerugian akibat penyakit bakteri Machmud 1985. Hal yang
46 sama terjadi pada penanaman varietas tahan tembakau NC95, Coker 347 dan
Speight G-140 dan varietas tahan tomat Hawaii 7996, telah berhasil meredam serangan layu bakteri Boshou 2005.
Pengujian ketahanan terhadap layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida yang tahan. Persilangan antara tetua agak rentan Aceh-5 dengan
tetua agak tahan Lombok-4 dan persilangan tetua tahan Kudamati-1 dengan tetua agak rentan Aceh-5 menghasilkan hibrida tahan. Menurut Grimault et al.
1994 pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dikendalikan satu gen, menurut Osiru et al. 2001 dikendalikan dua gen, menurut Shou et al. 2006
pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dipengaruhi oleh efek maternal, dan menurut Haquarsum 2016, dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi
duplikat resesif epistasis tanpa adanya pengaruh maternal. Hal tersebut menunjukkan bahwa informasi pewarisan karakter ketahanan layu bakteri pada
tomat masih beragam dan belum konsisten sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil yang masih beragam ini diduga terjadi karena perbedaan materi
genetik dan isolat bakteri R. solanacearum yang digunakan serta lingkungan pengujian yang berbeda. Hayward 1991 dan Hanson et al. 1996 juga
memaparkan bahwa ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi.
47
6 KESIMPULAN DAN SARAN