Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua Lingkungan

40 dapat disimpulkan bahwa suhu yang rendah akan menyebabkan proses fotosintesis lebih lama sehingga terjadi penumpukan cadangan makanan. Hal ini diduga menyebabkan genotipe tomat di dataran tinggi memiliki tanaman lebih tinggi, daging buah lebih tebal, dan ukuran buah lebih besar. Ukuran buah yang lebih besar menyebabkan bobot buah lebih tinggi. Ukuran buah yang lebih besar dapat dilihat dari keragaan buah yang lebih panjang dan memiliki diameter yang lebih lebar Tabel 8; Tabel 23. Gambar 3 Produktivitas tetua dan hibrida tomat di Bogor dan Lembang Adanya interaksi antara Genetik  Lingkungan akan menyebabkan perubahan rangking terhadap genotipe-genotipe yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hibrida yang memiliki produktivitas tertinggi di Bogor adalah Kudamati-1  Ranti namun turun ke peringkat terakhir di Lembang. Hibrida Kudamati-1  Lombok-4 yang memiliki produktivitas tinggi di Lembang juga turun ke peringkat 6 di Bogor Tabel 37; Gambar 2. Tabel 37 Perubahan peringkat karakter produktivitas tetua dan hibrida tomat hasil persilangan setengah dialel Genotipe Peringkat Bogor Lembang Kudamati-1  Ranti 3 10 Kudamati-1  Aceh-5 7 4 Kudamati-1  Lombok-4 6 2 Ranti  Aceh-5 10 9 Ranti  Lombok-4 9 5 Aceh-5  Lombok-4 4 3 Kudamati-1 1 8 Ranti 2 7 Aceh-5 5 1 Lombok-4 8 6 10 20 30 40 50 60 70 t h a -1 Bogor Lembang 41 Penurunan ini terjadi karena Bogor dan Lembang memiliki lingkungan yang berbeda. Adanya interaksi genetik  lingkungan akan mempersulit pemulia dalam memilih genotipe yang memiliki produktivitas tinggi disemua lingkungan sehingga diperlukan identifikasi genotipe yang mampu beradaptasi spesifik lokasi Voltas et al. 2002. Kudamati-1  Ranti merupakan hibrida yang memiliki produksi tertinggi dan mamapu beradaptasi dengan baik di dataran rendah Bogor, sedangkan Kudamati-1  Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki produksi tertinggi dan mampu beradaptasi baik di dataran tinggi Lembang. Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida yang berpotensi untuk dikembangkan di dataran tinggi dan dataran rendah karena peringkat berdasarkan produktivitas di dua lingkungan relatif stabil, hanya turun satu peringkat Tabel 37. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat 4 di Bogor, meskipun produktivitas di Lembang jauh lebih tinggi Tabel 36; Gambar 3. 4.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan Setengah Dialel Genotipe Lokal Gejala layu bakteri pada tanaman tomat ditandai dengan adanya gejala layu eksternal berupa perubahan warna daun, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai daun dan kelayuan menyeluruh pada tanaman yang bersifat permanen Adriani et al. 2012; Lampiran 11. Kelayuan pada daun terjadi akibat kerusakan jaringan xylem oleh patogen sehingga pasokan air ke daun berkurang Agrios 2005. Kerusakan yang sudah parah akan menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan pada pembuluh pengangkut dan apabila batang dibelah akan mengeluarkan ooz jika dimasukkan ke dalam air Semangun 2004; Lampiran 11. Tabel 38 Keragaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel Genotipe Inkubasi HSI Kejadian penyakit AUDPC Respon ketahanan Aceh-5  Lombok-4 25 13.33 80.00 Tahan Kudamati-1  Aceh-5 20 20.00 223.33 Tahan Ranti  Lombok-4 21 40.00 413.33 Agak tahan Kudamati-1  Lombok-4 17 53.33 786.67 Agak rentan Ranti  Aceh-5 12 46.67 950.00 Agak rentan Kudamati-1  Ranti 15 73.33 1243.33 Rentan Ranti 10 6.67 150.00 Tahan Kudamati-1 19 20.00 236.67 Tahan Lombok-4 11 30.00 694.44 Agak tahan Aceh-5 5 46.67 1488.46 Agak rentan Siklus hidup R. solanacearum dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun melalui luka yang dibuat oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat pertanian Agrios 2005; Supriadi 2011. Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum 42 akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu xylem dalam akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya xylem oleh jutaan sel R. solanacearum, transportasi air dan mineral dari tanah terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati Hartati et al. 1994; Supriadi et al. 1995. Hasil pengujian ketahanan empat tetua dan enam hibrida tomat terhadap bakteri Ralstonia solanacearum menunjukkan respon yang beragam. Masa inkubasi berada pada kisaran 5 – 25 hari setelah inokulasi HSI. Genotipe rentan masa inkubasinya relatif lebih cepat jika dibandingkan genotipe tahan Tabel 38. Genotipe yang memiliki masa inkubasi cepat cenderung lebih mudah terserang penyakit sehingga nilai kejadian penyakit lebih besar. Hal ini terjadi pada Aceh-5 dan Ranti  Aceh-5. Aceh-5 paling cepat terserang layu bakteri jika dibandingkan tetua lain dan Ranti  Aceh-5 merupakan hibrida yang paling cepat terserang jika dibandingkan hibrida lain Tabel 38. Gambar 4 Kurva perkembangan penyakit pada hibrida tomat Gambar 5 Kurva perkembangan penyakit pada tomat yang dijadikan tetua 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Kej ad ian p en y ak it Hari pengamatan ke- Kdm-1 x Rnt Kdm-1 x Ach-5 Kdm-1 x Lom- 4 Rnt x Ach-5 Rnt x Lom-4 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Kej ad ian p en y ak it Hari pengamatan ke- Kudamati- 1 Kdm-1 Ranti Rnt Aceh-5 Ach-5 Lombok-4 Lom-4 43 Perbedaan masa inkubasi pada setiap genotipe diduga erat kaitannya dengan ketahanan gen dan ketahanan varietas tanaman terhadap patogen tertentu sangat bervariasi. Banyaknya variasi dalam ketahanan terhadap patogen antara varietas tanaman diduga disebabkan perbedaan jumlah gen untuk ketahanan bervariasi mulai dari yang sangat kecil sampai besar tergantung pada fungsi yang dikendalikan Agrios 2005. Area Under Disease Progress Curve AUDPC digunakan untuk melihat perkembangan penyakit. Nilai AUDPC yang kecil mengindikasikan bahwa genotipe tersebut tahan Tabel 38; Gambar 4; Gambar 5. Hal ini dapat dilihat pada dua hibrida tahan yaitu Aceh-5  Lombok-4 dan Aceh-5  Lombok-4. Dua hibrida tersebut memilki nilai AUDPC paling kecil jika dibandingkan hibrida lainnya Tabel 38. Pengujian terhadap tetua menunjukkan bahwa terdapat tiga tetua tahan Kudamati-1, Ranti, dan Lombok-4 serta satu tetua agak rentan yaitu Aceh-5. Aceh-5 memiliki niali AUDPC paling tinggi, masa inkubasi paling cepat, dan kejadian penyakit paling tinggi jika dibandingkan tetua lain sehingga Aceh-5 termasuk dalam kategori agak rentan terhadap layu bakteri Tabel 38; Gambar 4. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gumelar et al. 2014. Pengamatan terhadap layu bakteri pada penelitian tersebut dilakukan dilapang dan hasilnya menunjukkna bahwa Aceh-5 rentan sedangkan Kudamati-1 dan Ranti tahan terhadap serangan layu bakteri. Persilangan antar tetua tahan tidak selalu menghasilkan hibrida tahan. Hal ini dapat dilihat pada persilangan Kudamati-1  Ranti, Kudamati-1  Lombok-4, dan Ranti  Lombok-4. Kombinasi persilangan tersebut menghasilkan hibrida rentan, agak rentan, dan agak tahan terhadap layu bakteri. Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida tahan yang berasal dari persilangan tetua agak rentan dangan agak tahan dan Kudamati-1  Aceh-5 merupakan hibrida tahan yang berasal dari persilangan tetua tahan dangan agak rentan Tabel 38. Hal ini diduga terjadi karena pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Lebeau et al. 2011 juga menyatakan bahwa masih terbatasnya informasi mengenai mekanisme untuk menentukan karakteristik tanaman tahan, mengenai genetik Ralstonia solanacearum, dan interaksi genetik yang terlibat antara tanaman tahan dengan bakteri yang menyerang. 44 5 PEMBAHASAN UMUM Perakitan varietas baru merupakan salah satu upaya dalam mengatasi masalah produksi pada beberapa komoditas hortikultura yang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya impor yang dilakukan oleh pemeritah. Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sampai saat ini masih impor. Volume impor pada komoditas ini cenderung menungkat setiap tahunnya DEPTAN 2016b. Masalah lain yang dihadapi pada pertanaman tomat adalah serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Penyakit layu bakteri menyebabkan kematian pada tomat sehingga terjadi kehilangan hasil yang cukup tinggi. Permasalahan ini dapat diatasi salah satunya dengan menanam varietas tomat yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Varietas tomat yang ditanam di Indonesia merupakan varietas yang menyerbuk alami OP dan varietas hibrida F 1 . Penggunaan varietas hibrida menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun bersamaan dengan perkembangan industri perbenihan sayuran Purwati 2009. Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat meningkatkan keragaan turunan hasil persilangan F 1 . Oleh karena itu, pada penelitian ini dirakit varietas hibrida yang bertujuan untuk memperoleh keragaman baru dan diharapkan pada salah satu kombinasi persilangannya terdapat hibrida F 1 berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Materi genetik yang digunakan merupakan genotipe tomat lokal yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia yaitu Kudamati-1 yang berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam perakitan varietas hibrida adalah pendugaan daya gabung. Daya gabung umum digunakan untuk menentukan tetua superior sedangkan daya gabung khusus untuk menentukan kombinasi persilangan terbaik. Hasil analisis ragam daya gabung umum maupun daya gabung khusus tidak nyata pada sebagian besar karakter. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu genotipe saling silang dengan genotipe lain atau disilangkan dengan genotipe tertentu akan menghasilkan hibrida yang tidak jauh berbeda karena memeliki kemampuan bergabung yang tidak beragam. Namun apabila berkaitan dengan produksi, meskipun perbedaanya sedikit akan berdampak besar jika diaplikasikan pada lahan yang lebih luas. Kudamati-1  Ranti merupakan hibrida yang memilki bobot buah per tanaman paling tinggi di dataran rendah Tabel 8, namun memiliki daya gabung khusus rendah untuk karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman Tabel 12. Nilai heterosis pada karakter tersebut juga rendah Tabel 15. Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri juga menunjukkan bahwa Kudamati-1  Ranti rentan terhadap layu bakteri Tabel 38. Di dataran tinggi, hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi adalah Kudamati-1  Lombok 4 Tabel 23. Nilai daya gabung khusus pada hibrida tersebut untuk karakter panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per tanaman tinggi Tabel 27. Nilai heterosis untuk karakter jumlah buah dan bobot buah juga 45 tinggi Tabel 30, namun Kudamati-1  Lombok 4 agak rentan terhadap penyakit layu bakteri Tabel 38. Peristiwa heterosis merupakan suatu fenomena yang dimanfaatkan dalam perakitan hibrida. Efek ini hanya terjadi pada F 1 atau hibrida dan tidak ditemukan pada varietas bersari bebas. Heterosis banyak diteliti pada tanaman menyerbuk silang seperti jagung namun juga dikembangkan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti tomat Poespodarsono 1988. Efek heterosis dapat berupa penambahan atau penurunan hibrida terhadap nilai rata-rata tetua. Hibrida yang diharapkan untuk meningkatkan produksi adalah hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi dan positif. Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter bobot buah di dataran rendah Tabel 15, sedangkan di dataran tinggi dimiliki oleh Kudamati-1  Lombok 4 Tabel 30. Pengujian hibrida hasil persilangan setengah dialel dilakukan di dua lingkungan berbeda yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Pengujian di dataran rendah dilakukan di Bogor 196 m dpl dan di dataran tinggi dilakukan di Lembang 1 250 m dpl. Dilakukannya pengujian di dua lingkungan ini untuk mengetahui daya hasil tomat di masing-masing lokasi dan sebagai salah satu upaya untuk memperluas area tanam tomat di dataran rendah. Lahan untuk penanaman tomat di datarn tinggi semakin terbatas karena adanya persaingan dengan komoditas hortikultura lain dan konversi lahan di dataran tinggi semakin meningkat. Produksi tomat di dataran rendah juga relatif lebih rendah Dane et al. 1991; Hanson et al. 2002 dan jumlah varietas tomat yang sudah dilepas untuk dataran rendah masih terbatas Purwati 2007. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hibrida ataupun tetua tomat yang ditanam di Lembang dataran tinggi memiliki produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan di Bogor dataran rendah Tabel 36. Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki buah lebih besar sehingga bobot per tanaman juga lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dirakit pada penelitian ini memiliki adaptasi lebih baik di dataran tinggi. Hibrida-hibrida ini dapat juga ditanam di dataran rendah namun produksinya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan di dataran tinggi. Aceh-5  Lombok-4 tidak memiliki produksi tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi, sehingga hibrida tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida untuk dataran rendah dan dataran tinggi. Peringkat untuk produktivitas pada Aceh-5  Lombok-4 juga relatif stabil di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat empat di Bogor Tabel 37. Aceh-5  Lombok-4 juga memiliki nilai daya gabung khusus tinggi pada karakter bobot buah Tabel 12; Tabel 27. Kombinasi persilangan yang memiliki daya gabung khusus tinggi dapat direkomendasikan untuk merakit varietas hibrida Saleem et al. 2013. Layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan Nguyen Ranamukhaarachchi 2010. Cara paling efektif untuk mengendalikan layu bakteri adalah menanam varietas tahan Hayward 1991; Supriadi 2011. Penanaman varietas kacang tanah yang tahan, seperti Schwarz-21 dan keturunannya telah berhasil mengurangi kerugian akibat penyakit bakteri Machmud 1985. Hal yang 46 sama terjadi pada penanaman varietas tahan tembakau NC95, Coker 347 dan Speight G-140 dan varietas tahan tomat Hawaii 7996, telah berhasil meredam serangan layu bakteri Boshou 2005. Pengujian ketahanan terhadap layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida yang tahan. Persilangan antara tetua agak rentan Aceh-5 dengan tetua agak tahan Lombok-4 dan persilangan tetua tahan Kudamati-1 dengan tetua agak rentan Aceh-5 menghasilkan hibrida tahan. Menurut Grimault et al. 1994 pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dikendalikan satu gen, menurut Osiru et al. 2001 dikendalikan dua gen, menurut Shou et al. 2006 pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dipengaruhi oleh efek maternal, dan menurut Haquarsum 2016, dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi duplikat resesif epistasis tanpa adanya pengaruh maternal. Hal tersebut menunjukkan bahwa informasi pewarisan karakter ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam dan belum konsisten sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil yang masih beragam ini diduga terjadi karena perbedaan materi genetik dan isolat bakteri R. solanacearum yang digunakan serta lingkungan pengujian yang berbeda. Hayward 1991 dan Hanson et al. 1996 juga memaparkan bahwa ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi. 47 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada tetua maupun hibrida yang digunakan dalam penelitian. Pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa tomat yang diuji memiliki keragaan lebih baik dan produksi lebih tinggi di dataran tinggi. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produksi yang tinggi dan relatif stabil di dataran rendah dan dataran tinggi jika dibandingkan hibrida lain. Pendugaan terhadap daya gabung di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa Aceh-5  Lombok-4 memiliki daya gabung khusus tinggi untuk panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah. Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida tahan yaitu Kudamati-1  Aceh-5 dan Aceh-5  Lombok-4. Aceh-5  Lombok-4 dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.

6.2 Saran

Kudamati-1  Ranti dan Kudamati-1  Lombok-4 berpotensi menjadi hibrida berdaya hasil tinggi, sedangkan Aceh-5  Lombok-4 berpotensi untuk menjadi hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri sehingga diperlukan uji lanjutan agar dapat dilepas menjadi varietas. Penambahan karakter pengamatan untuk kualitas buah juga perlu dilakukan. 48 DAFTAR PUSTAKA Adriani, Rahman A, Gusnawati HS, Khaeruni A. 2012. Respon ketahanan berbagai varietas tomat terhadap penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum. J Agroteknos. 22:63-68. Agarwal S, Rao AV. 2000. Tomato lycopene and its role in human health and cronic disease. CMAJ. 1636:739-744. Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th Edition. Elsevier Academic Press: California US. Ahmad S, Quamruzzaman AKM, Islam MR. 2011. Estimate of heterosis in tomato Solanum lycopersicon L.. Bangladesh J Agril Res. 363:521-527. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York US: John Willey Sons Inc. 485p. Alvarez B, Elena B, Biosca, Lopez MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Formatex. 267-279. Ameriana M. 1998. Perbaikan Kualitas Sayuran Berdasarkan Preferensi Konsumen. Lembang ID: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 20 hlm. Arif AB. 2010. Pendugaan parameter genetik pada beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada tiga kelompok cabai Capsicum annum L.. [tesis]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Bai Y, Lindhout P. 2007. Domestication and breeding: what we gained and what can we gain in the future. Annals of Botany. 100:1085-1094. Baihaki. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Bandung ID: Universitas Padjajaran. Bergougnoux V. 2013. The history of tomato: from domestication to biopharming. Biotechnol Adv. 2013:1-20 Bhutani RD, Kallo G. 1991. Inheritance studies of locule number in tomato. Haryana J Hor Sci. 20:119-124 Birchler JA, Yao H, Chudalayandi S, Vaiman D, Veitia RA. 2010. Heterosis. The Plant Cell. 222:2105-2112. Boshuo L. 2005. A broad review and perspective on breeding for resistance to bacterial wilt. Di dalam: Allen C, Prior P, Hayward AC, editor. Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species complex. St Paul, Minnesota US: APS Pr. Hlm 225-232. Chattopadhyay A, Paul A. 2012. Studies on heterosis for different fruit quality parameter in tomato. Intl J Agric Env Biotech. 54:405-410. Ciampi L, Sequeira L. 1980. Influence of temperature on virulence of race 3 strains of Pseudomonas solanacearum. Am Potato J. 57: 307-317. Dane F, Hunter AG, Chambliss OL. 1991. Fruit set, pollen fertility, and combining ability of selected tomato genotypes under high temperature field condition. J Amer Soc Hort Sci. 1165:906-910. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Jakarta ID: Deptan. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2016a. Luas panen tomat dan produksi tomat menurut provinsi 2011-2015 [Internet]. [diunduh 2016 Juni 7]. Tersedia pada: http:www.pertanian.go.idData5tahunHortiASEM2015. 49 [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2016b. Impor tomat pernegara asal periode Januari sd Desember 2015 [Internet]. [diunduh 2014 Juni 28]. Tersedia pada: https:aplikasi.pertanian.go.ideksim2012imporNegara.asp. Dewi SM, Sobir, Syukur M. 2015. Interaksi genotipe x lingkungan hasil dan komponen hasil 14 genotipe tomat di empat lingkungan dataran rendah. J Agron Indonesia. 431:59-65. El-Gabry MAH, Solieman TIHM, Abido AIA. 2014. Combining ability and heritability of some tomato Solanum lycopersicum L. cultivars. Scientia Horticulturae. 167:153-157. Elphinstone JG. 2008. The current bacterial wilt situation: a global overview. Di dalam: Allen C, Prior P, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. Minnesota US: APS Pr. Hlm 9-22. Emery JC, Munger HM. 1970. Effect of inherited differences in groeth habit on fruit size and soluble solids in tomato. J Am Soc Hortic Sci. 95:410-412. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Essex GB: Longman. Farzane A, Nemati A, Arouiee H, Mirshamsi A, Kakhki, Vahdati N. 2012. The estimate of combining ability and heterosis for yield and yield componenets in tomato Lycopersicon esculentum Mill. J Biol Environ Sci. 617: 129-124. Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development Vol. 1. New York US: Macmillan. Golani IJ, Mehta DR, Purohit VL, Pandya HM, Kanzaria MV. 2007. Genetic variability, correlation and path coefficient studies in tomato. Indian J Agric Res. 412:146-149. Griffing B. 1956. Concept of general and spesific combining ability in relation to diallel crossing system. Aust Biol Sci. 94:463-493. Grimault V, Anals G, Prior P. 1994. Distribution of Pseudomonas solanacearum in the stem tissue of tomato plant with different levels of resistance to bacterial wilt. Plant Pathol. 43.669-674. Gumelar RMR, Sutjahjo SH, Marwiyah S, Nindita A. 2014. Karakterisasi dan respon pemangkasan tunas air terhadap produksi serta kualitas buah genotipe tomat lokal. J Hort Indonesia. 52:73-83. Hadiati, Murdhaningsih, Baihaki A, Rostini N. 2003. Parameter genetik karakter komponen buah pada beberapa aksesi nanas. Zuriat 142:47-52. Hai TTH, Esch E, Wang JF. 2008. Resistance to Taiwanese race 1 strains of Ralstonia solanacearum in wild tomato germplasm. Eur J Plant Pathol. 122:471-479. Handayani T, Hidayat IM. 2012. Keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter utama pada kedelai sayur dan implikasinya untuk seleksi perbaikan produksi. J Hort. 22:327-333. Hannan MM, Ahmed MB, Roy UK, Razvy MA, Haydar A, Rahman MA, Islam MA, Islam R. 2007a. Heterosis, combining ability and genetics for brix, days to firdt fruit ripening, and yield in tomato Lycopersicon esculentum Mill. Middle-East J Sci Res. 23:128-131.