5 tahunnya. Tanamana biofarmaka jenis rimpangan umumnya mengalami
peningkatan dari tahun 2008 ke tahun 2009 kecuali temuireng dan temukunci mengalami penurunan produkstivitas. Tanaman biofarmaka jenis lainya yang
mengalami peningkatan produktivitas adalah mengkudu, sambiloto dan lidah buaya. Produktivitas 15 tanaman biofarmaka dari tahun 2008 dan 2009 dapat
dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produktivitas Tanaman Biofarmaka Indonesia pada Tahun 2008
dan 2009
No. Komoditi
Produktivitas kgm
2
Tahun 2008 Tahun 2009
1. Jahe
1,78 1,78
2. LaosLengkus
2,13 2,49
3. Kencur
1,31 1,70
4. Kunyit
1,88 2,27
5. Lempuyang
1,54 1,61
6. Tamulawak
1,47 1,76
7. Temuireng
1,59 1,90
8. Temukunci
1,69 1,89
9. DringoDlingo
1,91 3,02
10. Kapulaga
7,86 1,34
11. MengkuduPace
16,56 23,36
12. Mahkota Dewa
152,41 73,87
13. Kaji Beling
2,55 2,78
14. Sambiloto
2,83 2,51
15. Lidah Buaya
15,22 13,34
Keterangan : Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Holtikultura, 2010
Diolah
Tabel 4 menunjukkan produktivitas tanaman biofarmaka dari tahun 2008 ke tahun 2009. Beberapa jenis tanaman biofarmaka diatas adalah temulawak dari
jenis rimpangan dan mahkota dewa dari jenis buah, serta pegagan dari jenis daun. Saat ini pegagan belum menjadi 15 tanaman biofarmaka utama. Perubahan
produktivitas tanaman biofarmaka dapat disebabkan oleh berbagai kejadian yang berpeluang terjadi baik dalam proses budidaya dan pasca panen tanaman obat
serta pengolahan tanaman obat atau simplsia menjadi obat herbal. Perlakuan tanaman obat sebelum diolah menjadi obat herbal merupakan salah satu kegiatan
yang dapat menentukan kualitas obat herbal yang akan dihasilkan.
6 Pengusahaan tanaman biofarmaka menjadi obat herbal atau jamu telah
menyebar keseluruh Indonesia. Salah satu instansi di Jawa Barat yang memproduksi tanaman obat-obatan biofarmaka adalah Kebun Unit Konservasi
Budidaya Biofarmaka UKBB yang berlokasi di Blok C Kebun percobaan Cikabayan, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kebun UKBB membudidayakan
tanaman biofarmaka. Kebun UKBB membudidayakan 310 tanaman obat yang terdiri dari tanaman koleksi dan tanaman komersial. Diantara tanaman obat yang
dibudidayakan di kebun UKBB adalah Sambiloto, Jati belanda, Sidaguri, Lidah buaya, Bangle, Brotowali, Pegagan, Daun ungu, Mahkota dewa, Mengkudu,
Mimba, Jambu biji, Sirih hijau, Temulawak, Jahe, dan Kunyit. Temulawak curcumae xanthoriza rhizoma, Pegagan guazumae folium
, dan Mahkota Dewa
phaleria macrocarpa merupakan komoditi utama pada setiap jenisnya di kebun UKBB.
Temulawak curcumae xanthoriza rhizoma merupakan tanaman obat jenis rimpang. Temulawak dapat dikonsumsi dalam bentuk kering simplisia
kering maupun dalam bentuk yang telah diolah seperti serbuk atau kapsul. Temulawak berkhasiat meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, pencegah
kanker, anti oksidan dan anemia. Pegagan guazumae folium merupakan tanaman obat jenis daun. Pegagan berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki fungsi
membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing diuretika, dan penurun panas antipiretika, menghentikan pendarahan haemostatika.
Pegagan dapat dikonsumsi langsung sebagai lalapan atau dikeringkan dan diseduh seperti teh. Mahkota Dewa phaleria macrocarpa merupakan tanaman obat yang
memanfaatkan buahnya. Mahkota dewa dapat mentralisir racun, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi kadar gula, melancarkan peredaran darah,
dan anti alergi. Mahkota dewa dapat dikonsumsi dalam bentuk simplisia kering atau yang sudah diolah seperti dalam bentuk kapsul.
Salah satu kegiatan kebun UKBB yang sangat mempengaruhi kualitas tanaman obat yang akan dihasilkan adalah kegiatan pasca panen. Kegiatan pasca
panen tanaman obat sebelum menjadi obat herbal yang sering disebut juga dengan simplisia berupa penyortiran basah, pencucian, perajangan untuk jenis tanaman
rimpang, pengeringan, dan penyortiran kering serta penyimpanan. Setiap proses
7 tersebut akan menimbulkan peluang kejadian yang dapat mendatangkan kerugian
bagi perusahaan atau yang sering disebut dengan risiko usaha. Kurang optimalnya proses pasca panen tanaman obat ini dapat menimbulkan risiko seperti
berkurangnya kualitas simplisia yang dihasilkan dan tidak dapat memenuhi standar dari Badan POM yaitu simplisia yang baik untuk diolah menjadi obat
herbal adalah 10 persen. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama dan tempat penyimpanan yang tidak baik menyebabkan simplisia busuk atau rusak dan
akhirnya simplisia tidak dapat diproduksi. Salah satu startegi manajemen risiko yang dapat mengurangi risiko yang
ada, dapat dilakukan diversifikasi usaha. Berbeda dengan usaha spesialisasi yang hanya mengusahakan satu unit usaha satu komoditi maka usaha diversifikasi
dilakukan dengan menggabungkan beberapa unit usaha yang ada dalam perusahaan sehingga apabila terjadi kegagalan salah satu unit usaha maka tidak
akan menghabiskan komoditi yang ada atau mengurangi risiko yang dihadapai perusahaan.
1.2 Perumusan Masalah