PENGAWETAN TEMPE PROSES TERMAL

6 C. MUTU TEMPE Karakteristik dan mutu tempe kedelai selain dipengaruhi oleh teknologi prosesnya juga ditentukan oleh jenis dan mutu kedelai serta mikroba yang digunakan. Ketiga faktor tersebut bersama-sama menentukan karakteristik mutu fisik, organoleptik, dan kimiawi komposisi dan nilai gizi. Tempe yang bermutu tinggi masih berwarna putih, belum terbentuk spora kapang yang berwarna abu-abu kehitaman dan aroma amoniak Syarief et al. 1999. Sifat fisik tempe yang biasa dijadikan parameter mutu antara lain kekompakan, daya iris, daya iris dan kelenturan. Mutu tempe yang kurang baik sering disebabkan oleh faktor pertumbuhan kapang pada tempe, seperti oksigen, suhu, jenis laru, dan nilai pH derajat keasaman. Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi oksigen berlebih dapat menyebabkan metabolisme berlebihan dan peningkatan suhu sehingga kapang menjadi mati. Kapang tempe bersifat mesofilik tumbuh pada suhu 25-30 ˚C. Kondisi yang kurang asam juga menyebabkan pembuatan tempe mengalami kegagalan Syarief et al. 1999.

D. PENGAWETAN TEMPE

Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi 1980 antara lain, yaitu 1 penyimpanan suhu dingin, bisa memperpanjang umur simpan maksimal satu minggu, 2 pembekuan, 3 blansir, merupakan perlakuan pendahuluan sebelum penyimpanan suhu rendah maupun pembekuan, yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, menghambat pertumbuhan kapang dan menurunkan jumlah bakteri, 4 pengeringan, 5 pengeringan beku freeze drying dilakukan dengan cepat, 6 pengeringan semprot spray drying, 7 penggorengan dan 8 pengalengan. Salah satu cara untuk meningkatkan daya simpan tempe adalah dengan cara pembekuan dan pengalengan. Tempe yang akan dibekukan diproses dengan blansir terlebih dahulu selama 5 menit dalam air mendidih untuk menginaktifkan kapang, enzim proteolitik, dan lipolitik. Tempe tersebut dapat bertahan hingga 100 hari. Tempe yang dikalengkan mampu bertahan hingga 10 minggu Suhendri 2009. Tahap-tahap pengalengan tempe antara lain persiapan bahan, pengisian filling, exhausting dan penutupan, processing dan pendinginan Koswara 1992. Teknik baru untuk meningkatkan umur simpan tempe adalah dengan menunda proses fermentasi.

E. PROSES TERMAL

Proses termal merupakan salah satu cara untuk memusnahkan mikroba selain cara irradiasi, tekanan osmotik tinggi, listrik bertegangan tinggi, kombinasi ultrasonik, panas, dan tekanan Sala et al. 1995. Menurut Hariyadi 2000, beberapa keuntungan proses termal antara lain: 1. Terbentuknya tekstur dan citarsa yang khas dan disukai 2. Rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi misalnya inhibitor antitripsin pada kedelai 3. Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat 4. Terbunuhnya mikroba sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan 5. Menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan 7 Berdasarkan pada kriteria suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, maka proses pemanasan dapat dibagi menjadi beberapa operasi, antara lain proses blansir blanching, pasteursisasi dan sterilisasi. Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan pada proses pengalengan dengan tujuan memperbaiki mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Proses blansir bertujuan untuk a membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal, b meningkatkan suhu produk atau jaringan, c mengeluarkan udara dalam jaringan, d menginaktivasi enzim, e menghilangkan rasa mentah, f mempermudah proses pemotongan, g mempermudah pengupasan, h memberikan warna yang dikehendaki, dan i mempermudah pengaturan produk dalam kaleng Kusnandar et al. 2006. Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroba yang terdapat di dalam makanan. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya. Sterilisasi adalah proses termal pada suhu di atas 100 o C dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri Syarief et al. 1989. Karena beberapa spora bakteri relatif lebih tahan panas, sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang tinggi misalnya 121 o C 250 o F selama 15 menit. Proses sterilisasi merupakan metode yang banyak digunakan dalam pengawetan bahan pangan yang bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya, sehingga dapat mencegah pembusukan selama penyimpanan dan bahan pangan tersebut tidak membahayakan bagi kesehatan konsumen. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun toksik dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri non patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman tidak dalam kondisi aktif bereproduksi, sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal Hariyadi 2000. Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain, jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi Kusnandar et al. 2006. Menurut Reuter 1993, kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi rendah ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal, wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Keberhasilan penuh dari proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk 8 dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat Holdsworth 1997. Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dan kritis dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen, seperti C.botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti B.thermoacidurans atau B.coagulans . Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak rusak oleh bakteri berspora Fardiaz 1992. Kecukupan proses panas tergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroba atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas Fellows 2000. Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Sejak saat itu dan selanjutnya percobaan dan perhitungan kecukupan panas dijadikan dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan schedule process .

F. PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS