Pengaruh penambahan minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap karakteristik dan sifat fisik sediaan gel ekstrak tempe.

(1)

INTISARI

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah diketahui efek isoflavon dalam ekstrak tempe dalam mencegah terjadinya penuaan dini pada kulit, khususnya isoflavon genistein. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat peppermint oil sebagai enhancer dalam formulasi terhadap karakteristik dan sifat fisik sediaan gel. Berbagai konsentrasi minyak peppermint (0,5%; 1%; 2%) diformulasikan ke dalam sediaan gel. Formulasi gel ekstrak tempe yang telah dibuat kemudian diuji karakteristiknya seperti pH, viskositas, dan daya sebarnya. Uji iritasi dilakukan dengan metode HET-CAM yang menggunakan membran chorioallantoic pada telur ayam. Data kemudian dianalisis dengan ANOVA untuk data parametrik dan Kruskal-Wallis untuk data non-parametrik menggunakan program R 2.1.3.2. Analisis stastistik dilakukan pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan peppermint oil dalam formulasi memberikan pengaruh terhadap viskositas dan daya sebar sediaan berdasarkan uji Kruskal-Wallis. Tidak ada efek iritasi ditemukan pada hasil HET-CAM setiap formula. Semua formula memenuhi kriteria sifat fisik yang disyaratkan.


(2)

ABSTRACT

Recent studies have shown the effect of soy isoflavones in tempeh extract in preventing skin photoaging, especially for genistein. The objective of this study was to observe the effect of peppermint oil as penetration enhancer in gel formulation on its characteristic and physical properties. Various concentrations of peppermint oil (0,5%; 1%; 2%) were incorporated into gels. The tempeh crude extracts were made into suitable gel formulation and is evaluated for their gel characteristics such as: pH, viscosity, and spreadability. The irritation test was examined with HET-CAM methods using chorioallantoic membrane on Hen’s

egg. Data were analyzed using R 2.13.2 program with ANOVA test for parametric data and Kruskal-wallis test for nonparametric data. Statistical analysis was performed at 95% confidence interval.

The result of this study showed that incorporation of peppermint oil in formulation was significantly affecting the viscosity and spreadability based on Kruskal Wallis test.There were no irritation effect in all formulas’ result on HET -CAM to be found.All of the formulas met the physical properties in accordance with criteria.

Keywords : tempeh extract, gel, peppermint oil, irritation test, physical


(3)

EKSTRAK TEMPE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Cindy Tiara Sari NIM : 108114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

i

PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK PEPPERMINT SEBAGAI

PENETRATION ENHANCER TERHADAP KARAKTERISTIK DAN

SIFAT FISIK SEDIAAN GEL EKSTRAK TEMPE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Cindy Tiara Sari NIM : 108114142

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“All that is gold does not glitter; not all those who wander are lost; the old that is strong does not wither; deep roots are not reached by the frost.”

–J. R. R. Tolkien

"You are not entitled to your opinion. You are entitled to your informed opinion. No one is entitled to be ignorant."

–Harlan Ellison

“Whether the chicken crossed the road or the road crossed the chicken depends on your frame of reference.”

–Albert Einstein

“Life is either a daring adventure or nothing at all.” – Helen Keller

Karya ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus, Eyang Putri, Mama, Pakde, Bude, dan semua saudara dan adik-adikku , sahabat-sahabatku, semua yang telah mendukungku, almamaterku, dan semua yang membutuhkan


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penambahan Minyak Peppermint Sebagai Penetration Enhancer

Terhadap Karakteristik Dan Sifat Fisik Sediaan Gel Ekstrak Tempe” ini dengan baik.

Penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan dalam proses penyusunan skripsi ini. Namun, dengan adanya bantuan dan dukungan dari perbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Eyang Putri, Mama, Pakde Tomi, Bude Reni, Prima, Putri, dan dek Rara yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, dan doa selama penulis menempuh perkuliahan dan tugas akhir.

2. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, perhatian, semangat, dukungan dan kesabaran yang diberikan selama penyusunan skripsi ini.

4. C. M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji atas bimbingan, saran dan pengarahannya selama penyusunan skripsi.

5. Melania Perwitasari, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji atas bimbingan, saran dan pengarahannya selama penyusunan skripsi ini.


(11)

viii

6. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., Phebe Hendra, Ph.D., Apt. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt., dan Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si., atas kesediaan untuk berkonsultasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam penyelesaian tugas akhir.

7. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas kesabarannya dalam mengajar dan membimbing penulis selama perkuliahan.

8. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Bimo, Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Wagiran, Pak Iswandi, dan laboran-laboran lain serta Pak Darto atas bantuan yang diberikan selama penelitian dan menempuh perkuliahan.

9. Sahabat-sahabat penulis Mega, Lia, Ivan, Jessi, Tere dan Tari yang selalu menemani, menghibur dan mendoakan selama ini serta kesediaan untuk selalu direpotkan.

10. Segenap umat Lingkungan St. Antonius Gendeng Selatan atas doa, dukungan, perhatian, dan pengertiannya selama ini.

11.Dion, Nana, Detha, Acong (Reza), Koko Kiki, Satya, mbak Dynna, dan teman-teman Gereja Kristus Raja Paroki Kristus Raja Baciro untuk semangat, doa, dan perhatian yang diberikan selama ini.

12.Vivian, Lilin, Sisca, Sita, Nessya, Sefi, Bakti, Kelvin, Rosa, Marcel, dan teman-teman satu kelompok praktikum dan kelompok presentasi, FST B 2010 dan seluruh angkatan 2010 atas kebersamaan dan keceriaannya selama ini. 13.Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan


(12)

(13)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iiv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xivv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I ... 1

A.Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

B.Tujuan Penelitian ... 6

BAB II ... 7

A. Skin Aging ... 7

B.Kulit ... 9

C.Kedelai ... 12


(14)

xi

E. Bahan Formulasi ... 18

1. Gelling Agent ... 18

2. Penetration enhancer ... 19

3. Propilen Glikol ... 22

4. Trietanolamin ... 22

5. Benzalkonium Klorida ... 23

6. Tween 80 ... 24

F. Uji Iritasi HET-CAM ... 25

G.Uji Sifat Fisik ... 26

1. Viskositas... 26

2. Daya sebar ... 27

H.Metode Penetapan Kadar dengan menggunakan HPLC ... 28

I. Landasan Teori ... 31

J. Hipotesis ... 32

BAB III ... 33

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B.Variabel Penelitian ... 33

C.Definisi Operasional... 34

D.Bahan Penelitian... 35

E. Alat Penelitian ... 35

F. Tata Cara Penelitian ... 36

1. Pembuatan crude extract tempe ... 36

2. Penetapan kadar isoflavon genistein dari crude extract tempe ... 36

3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai ... 38


(15)

xii

5. Uji Iritasi HET-CAM... 41

BAB IV ... 43

A.Ekstraksi isoflavon genistein dari tempe... 43

B.Standarisasi isoflavon genistein dari tempe ... 46

C.Pembuatan Gel Anti-Aging ... 51

1. Uji Organoleptis dan pH ... 54

2. Uji Viskositas ... 55

3. Uji Daya Sebar... 57

D.Uji Iritasi HET-CAM ... 59

BAB V ... 62

A.Kesimpulan ... 62

B.Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 69


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Uji Iritasi HET-CAM ... 26

Tabel 2. Kategori Iritasi Berdasarkan Skor Iritasi Pada HET-CAM ... 26

Tabel 3. Batas Bawah Transparensi Macam-Macam Pelarut Organik ... 30

Tabel 4. Perhitungan regresi linier kurva baku standar genistein ... 48

Tabel 5. Perhitungan Jumlah Genistein dalam Ekstrak Tempe dengan Kurva Loading Mass ... 50

Tabel 6. Hasil Uji Saphiro-Wilk Viskositas ... 57

Tabel 7. Hasil Uji Saphiro-Wilk ... 58


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema perbedaan kulit pada usia muda usia dan tua ... 7

Gambar 2. Bagian-bagian dari epidermis... 10

Gambar 3. Mekanisme absorpsi dan rute obat dalam sistem penghantaran obat topikal dan transdermal ... 11

Gambar 4. Struktur umum isoflavon kedelai dan singkatannya ... 14

Gambar 5. Struktur Carbopol® ... 19

Gambar 6. Struktur Propilen Glikol ... 22

Gambar 7. Stuktur Trietanolamin ... 23

Gambar 8.Struktur Benzalkonium klorida ... 24

Gambar 9. Macam-macam modifikasi gel silica... 29

Gambar 10. Reaksi Hidrolisis Glukosida Isoflavon Genistin menjadi Aglikon Isoflavon Genistein ... 43

Gambar 11. Kurva Baku Standar Genistein AUC vs Konsentrasi (ppm) ... 49

Gambar 12. Kromatogram ekstrak tempe ... 50

Gambar 13. Carbomer dalam bentuk coil akan mengalami pembasahan dan mengembang ketika didispersikan dalam air ... 52

Gambar 14. Molekul Carbopol® terurai (uncoil) ketika molekul asamnya ternetralisir menjadi bentuk garam dan mencapai kekentalan maksimum ... 53


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan crude extract tempe ... 70

Lampiran 2. Standarisasi kandungan isoflavon genistein dari crude extract tempe… ... 70

Lampiran 3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai ... 76

Lampiran 4. Uji Sifat Fisik ... 77

Lampiran 5. Uji Statistik ... 78


(19)

xvi INTISARI

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah diketahui efek isoflavon dalam ekstrak tempe dalam mencegah terjadinya penuaan dini pada kulit, khususnya isoflavon genistein. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat

peppermint oil sebagai enhancer dalam formulasi terhadap karakteristik dan sifat

fisik sediaan gel. Berbagai konsentrasi minyak peppermint (0,5%; 1%; 2%) diformulasikan ke dalam sediaan gel. Formulasi gel ekstrak tempe yang telah dibuat kemudian diuji karakteristiknya seperti pH, viskositas, dan daya sebarnya. Uji iritasi dilakukan dengan metode HET-CAM yang menggunakan membran

chorioallantoic pada telur ayam. Data kemudian dianalisis dengan ANOVA untuk

data parametrik dan Kruskal-Wallis untuk data non-parametrik menggunakan program R 2.1.3.2. Analisis stastistik dilakukan pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan peppermint oil

dalam formulasi memberikan pengaruh terhadap viskositas dan daya sebar sediaan berdasarkan uji Kruskal-Wallis. Tidak ada efek iritasi ditemukan pada hasil HET-CAM setiap formula. Semua formula memenuhi kriteria sifat fisik yang disyaratkan.


(20)

xvii

ABSTRACT

Recent studies have shown the effect of soy isoflavones in tempeh extract in preventing skin photoaging, especially for genistein. The objective of this study was to observe the effect of peppermint oil as penetration enhancer in gel formulation on its characteristic and physical properties. Various concentrations of peppermint oil (0,5%; 1%; 2%) were incorporated into gels. The tempeh crude extracts were made into suitable gel formulation and is evaluated for their gel characteristics such as: pH, viscosity, and spreadability. The irritation test was examined with HET-CAM methods using chorioallantoic membrane on Hen’s egg. Data were analyzed using R 2.13.2 program with ANOVA test for parametric data and Kruskal-wallis test for nonparametric data. Statistical analysis was performed at 95% confidence interval.

The result of this study showed that incorporation of peppermint oil in formulation was significantly affecting the viscosity and spreadability based on Kruskal Wallis test. There were no irritation effect in all formulas’ result on HET -CAM to be found. All of the formulas met the physical properties in accordance with criteria.

Keywords : tempeh extract, gel, peppermint oil, irritation test, physical


(21)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penuaan merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam siklus hidup manusia. Namun laju penuaan dapat diatasi sehingga membuat penampilan seseorang tetap awet muda. Gejala penuaan pada kulit (skin aging) yang dapat diamati dengan kasat mata antara lain: kulit menipis dan menjadi longgar serta elastisitasnya berkurang (Brincat, Kabalan, Studd, Moniz, de Trafford, dan Montgomery, 1987). Elastisitas kulit berkurang karena adanya penurunan jumlah hormon estrogen yang menyebabkannya menurunnya jumlah kolagen dan serat elastin. Kolagen dan serat elastin merupakan komponen penting dalam mempertahankan konsistensi dan kekenyalan kulit (Brincat et al., 1987).

Ada berbagai macam cara untuk mengatasi aging, salah satunya dengan terapi estrogen. Namun terapi ini dapat menyebabkan efek samping dalam jangka panjang (U.S. Department Of Health and Human Services, 2005). Salah satu alternatif dari terapi estrogen adalah menggunakan senyawa fitoestrogen dalam sediaan. Senyawa fitoestrogen mempunyai struktur yang mirip dengan steroid estrogen. Aglikon isoflavon pada tanaman kedelai (Glycine max) merupakan salah satu contoh fitoestrogen. Salah satu isoflavon kedelai, genistein, menunjukkan aktivitas penghambatan enzim tirosin kinase dan MAP kinase. Genistein yang berperan sebagai inhibitor tirosin kinase merangsang produksi kolagen melalui


(22)

jalurde novo (Yoon, Chen, Baylink, dan Lau, 1998), menghambat terbentuknya proteinase yang secara spesifik dapat mendegradasi kolagen atau elastin (Shao, Shen, dan Barsky, 1998). Penelitian Indranupakorn (2010) menyatakan genistein terbukti efektif dalam melindungi kulit dari oxidative stress yang disebabkan oleh paparan sinar UV B sebagai antioksidan. Hal ini menunjukkan bahwa genistein yang berada pada ekstrak kedelai berpotensi untuk diformulasikan ke dalam sediaan anti-ageing.

Isoflavon genistein yang diaplikasikan topikal dapat menimbulkan efek lokal pada terapi kemopreventif dari sinar UV yang dapat memicu kerusakan kulit maupun efek sistemik dalam mencegah pertumbuhan beberapa jenis kanker. Sediaan topikal juga membantu memperbaiki bioavalabilitas genistein yang masuk ke dalam tubuh dibandingkan ketika diberikan secara oral, di mana terjadi pengurangan yang cukup berarti karena adanya first pass hepatic system (Setchell, 1998). Sediaan anti-ageing dibuat ke dalam gel. Gel merupakan sediaan semisolid yang menimbulkan cooling effect sehingga nyaman digunakan dan mudah diaplikasikan. Basis gel single phase sering digunakan pada formulasi sediaan topikal dan kosmetik karena mempunyai berbagai keuntungan, seperti: warna lebih menarik, mudah diaplikasikan dan mudah juga untuk dicuci. Gel berpotensi untuk memberikan pelepasan yang lebih baik, karena dalam menghantarkan senyawa tidak tergantung pada kelarutan senyawa tersebut dalam air dibandingkan dengan dalam bentuk krim dan losion. Selain itu gel dapat meningkatkan waktu retensi obat pada kulit sehingga meningkatkan efek lokal terapeutik.


(23)

Efek yang optimal dari terapi anti-ageing dapat ditingkatkan dengan menggunakan penetration enhancer dalam formulasi. Dalam formulasi sediaan biasanya digunakan chemical enhancer yang mempunyai kelebihan yaitu dapat diaplikasikan ke area yang lebih luas (>10 cm2). Chemical enhancer ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan partisi senyawa aktif sehingga dapat menembus stratum corneum dan mempengaruhi properti dari diffusional barrier-nya. Terpen diketahui mempunyai aktivitas sebagai penetration enhancer dengan memodifikasi kelarutan pelarut pada stratum corneum sehingga dapat meningkatkan partisi obat ke dalam kulit (Vikas, Seema, Gurpreet, Rana, dan Baibhav, 2011). Dalam peppermint oil mengandung banyak terpen: pinene, phellandrene, sineol (3,5 – 14%), limonene (1 – 5%), menthone (14 – 32%), menthol (30 – 55%), menthofuran (1 – 9%), isomenthone (1,5 – 10%), menthyl acetate (2,8 – 10%), pulegone (<4%), dan carvone (≤1%) (Sayre, 1917; Alankar, 2009). Namun, minyak peppermint mempunyai sifat mengiritasi ringan sehingga perlu dilakukan uji iritasi untuk menghasilkan sediaan yang aman dan acceptable. Dalam formulasi, pencampuran bahan-bahan sediaan eksipien dalam sediaan dapat mempengaruhi sifat fisika kimia dari sediaan yang dihasilkan. Atas pertimbangan tersebut maka peneliti melihat pengaruh dari peppermint oil sebagai penetration enhancer terhadap sifat fisika kimia dari gel ekstrak tempe dan potensi iritannya dengan menggunakan uji HET-CAM dalam formulasi sediaan gel pada penelitian kali ini.


(24)

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah peningkatan penambahan peppermint oil sebagai penetration enhancer mempengaruhi sifat fisika kimia dari sediaan gel ekstrak tempe secara signifikan?

b. Apakah penambahan peppermint oil dalam formulasi sediaan gel ekstrak tempe menimbulkan reaksi iritasi melalui uji iritasi HET-CAM?

2. Keaslian Penelitian

Zukhdiyanah (2012) pada tesisnya memformulasikan minyak atsiri daun jeruk purut ke dalam emulgel berbasis Carbopol® kemudian dilihat pengaruh peningkatan konsentrasinya terhadap sifat fisika kimia dan uji aktivitas terhadap bakteri P. acne. Hubungan peningkatan konsentrasi minyak atsiri daun jeruk purut dengan sifat fisika kimia dan aktivitas diuji menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri daun jeruk purut dalam emulgel maka pH, viskositas, daya sebar semakin rendah.

Rajan dan Vasudevan (2012) meneliti kemampuan peppermint oil dalam meningkatkan penetrasi ketoconazole yang diformulasikan dalam basis hidrogel dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, seperti eucalyptus oil, dan turpentine oil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eucalyptus oil, turpentine oil, dan peppermint oil mempunyai aktivitas peningkatan permeasi ketoconazole secara signifikan.


(25)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan terletak pada ekstrak yang digunakan, dan minyak atsiri yang digunakan. Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang pengaruh pemberian minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap sifat fisika kimia gel ekstrak tempe dan potensi iritannya belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoretis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengaruh peningkatan pemberian minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap kemampuan sifat fisika kimia gel ekstrak tempe dalam formulasi sediaan.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bentuk sediaan kosmetik berupa gel anti-aging ekstrak kedelai yang memenuhi persyaratan kriteria sifat fisik, efektif, dan aman untuk digunakan oleh pasien.

c. Manfaat metodologis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam bidang kefarmasian mengenai penerapan uji statistika dalam mengamati pengaruh peningkatan pemberian minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap sifat fisika kimia sediaan gel dalam formulasi sediaan.


(26)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengamati sifat fisik dan kemanan sediaan gel ekstrak tempe yang dibuat sesuai dengan formula yang telah ditentukan.

2. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi pengaruh peningkatan penambahan minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap sifat fisika kimia gel ekstrak tempe dalam formulasi sediaan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah pemberian peppermint oil dalam formulasi sediaan gel ekstrak tempe memberikan efek iritasi pada uji HET-CAM atau tidak.


(27)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Skin Aging

Menua (aging) secara umum adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita. Gejala penuaan pada kulit (skin aging) yang dapat diamati dengan kasat mata antara lain: kulit menipis dan menjadi longgar serta elastisitasnya berkurang. Pada pria proses ini terjadi secara bertahap dan konstan setiap tahunnya. Pada wanita, ketika memasuki tahap menopause kulit dapat mengalami perubahan biologis yang cukup drastis, karena adanya penurunan produksi hormon estrogen dan progesterone (Brincat et al., 1987).Pada kulit yang mengalami aging perubahan lebih banyak terjadi pada dermis daripada pada lapisan epidermis (Schmid, 2001).

Gambar 1. Skema perbedaan kulit pada usia muda usia dan tua (Schmid, 2001).

kulit pada usia muda kulit pada usia tua

keratinosit


(28)

Lapisan dermis tersusun dari serat kolagen dan serat elastin yang tergabung dalam kompleks dengan proteoglikan dan penyusun matriks ekstraseluler lainnya. Sel fibroblast juga terikat pada matrik ekstraseluler. Protein kolagen dan elastin mempunyai peranan penting untuk menjaga kekuatan dan kekenyalan kulit. Pada kulit yang mengalami aging, jika dilihat dari histologinya mengalami kelainan pada jaringan konektif dermal (Campisi, 1998).

Reseptor estrogen mempunyai peranan penting terhadap keadaan fisiologis kulit. Estrogen menstimulasi terbentuknya kolagen dan elastin dan menghambat pemecahan kolagen yang sudah terbentuk (Brincat et al., 1987). Kolagen dan serat elastin mempunyai peranan penting terhadap mempertahankan konsistensi kekenyalan kulit. Jumlah estrogen yang menurun dalam darah berakibat kulit menjadi rapuh, penggelapan warna kulit yang berujung pada kulit mengendur dan terbentuknya keriput (Krutman, 2006).

Penuaan dapat mengalami percepatan, yang disebut juga dengan istilah premature aging. Terdapat dua faktor yang dapat mempercepat terjadinya penuaan pada kulit; faktor internal dan faktor eksternal. Contoh dari faktor internal penuaan dini adalah pemendekan telomer secara progresif, sehingga terjadi penuaan sel kulit lebih cepat dari yang seharusnya. Contoh dari faktor eksternal (di luar tubuh) antara lain: asap rokok, minuman keras, nutrisi yang kurang, dan paparan sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama (Binic, Lazarevic, Ljubenovic, Mojsa, dan Sokolovic, 2013). Radiasi sinar UV dari paparan sinar matahari menyebabkan terbentuknya ROS (Reactive Oxygen Species) dalam darah.ROS inilah yang berperan dalam mempercepat terjadinya


(29)

penuaan pada kulit.ROS (Reactive Oxygen Species) dapat merusak membran sel kulit (Zanchetta, Kirk, Lyng, Walsh, dan Murphy, 2010) sehingga mengakibatkan terjadinya aging. Terbentuknya ROS secara berkelanjutan berakibat timbulnya kerusakan di dalam sel secara kumulatif (oxidative stress) sehingga muncul gejala-gejala aging pada kulit: menipisnya lapisan antara dermis-epidermis, kerusakan matriks ekstraselular karena adanya penurunan jumlah fibroblast, kolagen dan elastin (Campisi, Velarde, Flynn, Day, dan Melov, 2012,).

B. Kulit

Kulit merupakan bagian paling luar dari tubuh, dan merupakan organ yang paling besar. Terdapat bermacam-macam aplikasi penghantaran obat topikal dan transdermal dalam terapi, namun untuk mencapai sistem penghantaran yang diinginkan obat terlebih dahulu harus melalui barrier pertama yang cukup kuat, yaitu kulit. Kulit terdiri dari tiga komponen utama: epidermis, dermis, dan lapisan subkutan atau hipodermis. Dari tiga lapisan tersebut, epidermis merupakan lapisan yang paling susah ditembus. Epidermis sendiri merupakan membran multi-layer, dengan ketebalan berbeda-beda di tiap-tiap bagian kulit dari 60 μm pada kelopak mata sampai kurang lebih 800 μm pada telapak tangan dan kaki. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah maka untuk menjaga integritasnya nutrisi dan metabolit harus berdifusi melalui lapisan dermo-epidermal. Epidermis terdiri dari lima lapisan yang mempunyai histologi berbeda-beda, dari dalam ke luar: stratum germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, sratum lucidum dan stratum korneum (Hadgraft, 2001).


(30)

Gambar 2. Bagian-bagian dari epidermis (Kelly et al., 2009)

Stratum korneum terdiri dari susunan sel kulit mati datar yang berbentuk seperti amplop, pipih, polihedral, lebar, dan berisi keratin yang bermigrasi dari stratum granulosum. Meskipun tebal stratum korneum kurang lebih 20 dan 25 µm, sudah efektif dalam membatasi penetrasi obat dan senyawa kimia lainnya. Sifat kulit yang impermeabel menjadi masalah yang perlu diatasi untuk mendapatkan penghantaran obat yang diinginkan (Hadgraft, 2001; Trommer dan Neubert, 2006). Stratum lucidum terletak di bawah stratum korneum. Lapisan ini hanya ditemukan pada epidermis bagian kulit yang lebih tebal di telapak tangan dan kaki. Lapisan ini terdiri dari 5 lapis sel keratinosit yang sudah mati dan memipih. Di bawahnya lagi terdapat stratum granulosum dan stratum spinosum, sedangkan lapisan terbawah epidermis adalah stratum germinativum atau lapisan basal (stratum basale). Sel basal pada lapisan ini disebut sebagai sel akar dari epidermis yang belum berdiferensiasi dan bertugas untuk proliferasi dan menciptakan sel anak yang akan bermigrasi ke atas dan mengalami proses diferensiasi (Hadgraft, 2001; McGrath et al., 2004).


(31)

Sifat barrier pada kulit telah diteliti sejak bertahun-tahun lamanya untuk permeasi obat dan beberapa penemuan dengan menggunakan teknik biofisika telah menyediakan informasi mengenai mekanisme absorpsi obat pada level molekular (Guy dan Hadgraft, 1989; Roberts dan Walters, 1998; Hadgraft 2001). Terdapat beberapa macam cara agar obat dapat menembus stratum korneum, yaitu: interselular, transelular, dan rute melalui pori-pori kulit. Rute transeluler dan interseluler dikenal sebagai rute transepidermal. Rute transeluler bersifat lebih langsung, di mana obat menembus langsung melalui lapisan lemak pada stratum korneum dan sitoplasma sel keratinosit yang telah mati. Meskipun rute ini merupakan rute yang paling pendek dalam permeasi, namun molekul obat mempunyai sifat yang terbatas karena struktur lipofilik dan hidrofilik yang dimilikinya (Hadgraft, 2001). Rute interseluler lebih banyak dipakai dalam permeasi obat karena obat dapat menembus stratum korneum melewati sela-sela korneosit (Trommer dan Neubert, 2006).

Gambar 3. Mekanisme absorpsi dan rute obat dalam sistem penghantaran obat topikal dan transdermal (Williams, 2003)


(32)

C. Kedelai

Kedelai mempunyai nama ilmiah Glycine max (L.) Merill. Menurut Adisarwanto (2005) klasifikasi tanaman kedelai yaitu sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (L.) Merr.

Pada tanaman golongan Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi. Bagian tanaman kedelai yang mengandung senyawa isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai (Anderson, 1999). Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g kedelai.Senyawa isoflavon tersebut pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa ikatan glukosida (Synder dan Kwon, 1987). Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa, sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon. Senyawa aglikon tersebut adalah genistein, glisitein dan daidzein


(33)

(Pawiroharsono,1998). Selain pada tanaman kedelai, senyawa isoflavon dapat ditemukan terutama produk-produk olahannya, seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap (Achdiat, 2003).

Kandungan isoflavon yang terdapat dalam kedelai telah banyak diteliti untuk diformulasikan ke dalam kosmetik untuk terapi anti-aging karena aktivitas antioksidan yang dimiliki dan peranannya sebagai fitoestrogen (Wang dan Murphy, 1994). Aglikon isoflavon mempunyai struktur yang sangat mirip dengan steroid estrogen. Kemiripan struktur ini memungkinkan aglikon isoflavon dapat mengikat pada reseptor yang sama dengan hormon estrogen. Terapi estrogen telah diketahui dapat mengembalikan jumlah serat kolagen, ketebalan dan elastisitas kulit wanita setelah mengalami menopause (Callens et al. 1996; Schmidt et al. 1996). Dibandingkan dengan hormon estrogen, aglikon isoflavon mempunyai afinitas lebih lemah terhadap ERα, sedangkan terhadap ERß afinitasnya sama kuat (Kuiper, Lemmen, Carlsson, Corton, Safe, Van Der Saag, Van Der Burg, dan Gustafsson, 1998). Digunakannya fitoestrogen sebagai senyawa aktif dalam formulasi sediaan kosmetik anti-aging untuk menggantikan terapi hormon estrogen yang penggunaannya dilarang dalam kosmetik karena berpotensi menimbulkan efek samping yaitu meningkatkan resiko terbentuknya kanker rahim atau payudara akibat pengonsumsian jangka panjang (National Health Institute, 2010). Kandungan isoflavon utama yang terdapat dalam adalah genistein (4,5,7-trihidroxyisoflavone), daidzein (4,7-dihidroxyisoflavone), glycitein (4,7 -dihidroxy-6-metoxi-isoflavone) dan bentuk lain dari isoflavon tersebut dalam


(34)

asetil, malonil, dan aglikon (Bingham, Atkinson, Liggins, Bluck, dan Coward, 1998).

Gambar 4. Struktur umum isoflavon kedelai dan singkatannya (Rostagno et al., 2008)

Salah satu isoflavon kedelai, genistein, menunjukkan aktivitas penghambatan enzim tirosin kinase dan MAP kinase. Enzim-enzim ini terlibat dalam transmisi sinyal intraseluler yang memodulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Genistein yang berperan sebagai inhibitor tirosin kinase


(35)

merangsang produksi kolagen melalui jalur de novo (Yoon et al. 1998), menghambat terbentuknya proteinase yang secara spesifik dapat mendegradasi kolagen atau elastin (Shao et al., 1998). Uji pada kultur sel menunjukkan bahwa genistein mengatur metabolisme komponen matriks kulit kolagen dan elastin. Studi yang lain menunjukkan bahwa isoflavon kedelai mempunyai aktivitas antioksidan dengan DPPH radical scavenging assay. Pada studi tersebut dinyatakan genistein mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan daripada isoflavon lainnya, yaitu daidzein berdasarkan nilai TEAC-nya (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity) (Indranupakorn, 2010).

Metode ekstraksi isoflavon biasanya menggunakan pelarut organik seperti: methanol (MeOH) murni atau methanol campuran dengan air, ethanol (EtOH), asetonitril (ACN) atau acetone (ACE) dengan atau tanpa menggunakan penambahan asam kemudian dapat direndam, digojog, dicampur atu diekstraksi dengan soxlethasi (Luthria dan Natarajan 2007).

D. Gel

Gel adalah suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Konsistensi gel berasal dari gelling agent (zat pengental), biasanya berbentuk polimer, membentuk struktur tiga dimensi. Gaya intermolekul kemudian mengikat pelarut di sekitar struktur polimer, menstabilkan gerakan molekulnya sehingga kekentalan pelarut meningkat. Gel biasanya berwarna transparan, warna transparan tersebut didapat


(36)

apabila semua bahan terlarut atau terdispersi secara koloidal, misalnya sampai dalam ukuran partikel submikron (Lachmann, 1989). Sifat dan karakteristik gel adalah sebagai berikut:

a. Swelling

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume.Pelarut akan berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. (Lachmann, 1989).

b. Sineresis.

Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun organogel (Lachmann, 1989). c. Efek suhu

Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer separti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut


(37)

membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation (Lachmann, 1989).

d. Efek elektrolit.

Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut (Lachmann, 1989).

e. Elastisitas dan rigiditas

Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa, selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel. (Lachmann, 1989).

f. Rheologi

Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan aliran non – Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju aliran (Lachmann, 1989).


(38)

Hidrogel merupkan polimer hidrofilik, mengandung 85 – 95% air atau campuran air dengan alkohol. Contoh dari hidrogel adalah: asam poliakrilat (Carbopol®), sodium karboksimetilselulosa, atau selulose ester nonionik. Formulasi dengan hidrogel harus menggunakan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Setelah pemakaian, hidrogel membarikan sensasi dingin pada kulit karena adanya pelarut yang menguap. Gel mudah diaplikasikan dan mudah melembabkan kulit, namun penambahan pada humektan tetap disarankan dalam formulasinya (Aulton, 2013).

Salah satu alasan mengapa hidrogel lebih disukai sebagai komponen dari sistem penghantaran dan pelepasan obat adalah kompatibilitasnya yang relatif baik dengan jaringan biologis (Zatz dan Kushla, 1996). Setelah pemakaian, hidrogel akan meninggalkan lapisan tipis yang transparan dan memiliki daya lekat yang tinggi, serta mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).

E. Bahan Formulasi

1. Gelling Agent

Gelling Agent yang digunakan dalam percobaan ini adalah Carbopol®. Carbopol® merupakan polimer asam akrilat yang mempunyai rantai cross-link dengan polialkenil eter, alil sukrosa, atau divinil alkohol. Polimer Carbopol® mempunyai kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah banyak. Polimer ini mengembang sampai 1000 kali dari volume asal dan diameternya ikut mengembang sampai 10 kali dalam bentuk gel ketika dilarutkan dalam air dengan pH di atas pKa 6. Dalam proses pengembangan ini terjadi ionisasi gugus karboksilat pada backbone polimer sehingga partikel negatif akan saling tolak


(39)

menolak menyebabkan gel mengembang (Carnali dan Naser 1992; Rowe et al., 2006). Formulasi sediaan semisolid menggunakan Carbopol® terbukti aman dan efektif karena mempunyai potensi iritan yang sangat rendah dan tidak memicu kulit sensitive untuk pemakaian yang berulang. Karena mempunyai bobot molekul yang cukup tinggi, Carbopol® tidak terpenetrasi ke dalam kulit maupun mempengaruhi senyawa obat yang didispersikan (Chadha, 2009).

Gambar 5. Struktur Carbopol® (Rowe et al., 2006).

2. Penetration enhancer

Penetration enhancer digunakan untuk meningkatkan transport obat melalui sawar kulit. Terdapat bermacam-macam mekanisme dalam meningkatkan penetrasi, salah satunya interaksi antara enhancer dengan gugus kepala polar dari struktur fosfolipid pada kulit sehingga dapat meningkatkan penetrasi obat. Mekanisme lain melalui interaksi antar lemak pada gugus kepala dan struktur lemak yang berubah karena adanya fasilitator terhadap difusi senyawa hidrofilik (Vikas, 2011).

Penetration enhancer yang ideal harus dapat mengurangi pertahanan sawar kulit pada stratum corneum secara reversibel tanpa merusak sel kulit.


(40)

Menunrun Finnin et al. (cit. Rachakonda, 2008), penetration enhancer yang ideal harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Inert secara farmakologis.

2. non-toksik, tidak mengiritasi, dan non-alergenik.

3. Mempercepat onset dengan waktu dan durasi yang tepat sesuai dengan tujuan terapi.

4. Efeknya bersifat reversible pada stratum corneum. 5. Kompatibel secara disik dan kimia dengan sediaan.

6. Tidak mahal dan acceptable ketika digunakan untuk kosmetik.

Berdasarkan konsep partisi obat terhadap struktur lemak-protein, terdapat tiga peran utama penetration enhancer (Vikas, 2011):

1. Perusakan struktur lemak – enhancer mengubah struktur lemak stratum corneum dan membuatnya menjadi permeabel terhadap obat.

2. Modifikasi protein – surfaktan ionik, desilmetilsulfoksida dan DMSO berinteraksi dengan keratin pada korneosit dan membuka struktur protein yang semula rapat sehingga lebih permeabel.

3. Peningkatan partisi – penggunaan pelarut yang mengubah kelarutan obat pada lapisan tanduk dan meningkatkan kekuatan partisi dari obat, sebagai co-enhancer maupun kosolven.

Bermacam-macam jenis penetration enhancer di antaranya (Trommer dan Neubert, 2006): alkohol dan glikol, alkyl-N,N-disubstitusi aminoasetat, azon dan turunannya, ester, asam lemak, propilen glikol, pirolidon, sulfoksida,


(41)

surfaktan, terpen dan terpenoid, urea dan turunannya. Oleum menthae piperita atau peppermint oil merupakan minyak hasil distilasi dari bagian tanaman Menthae piperita yang berupa cairan tidak berwarna atau kekuningan atau kuning kehijauan; berubah gelap dan kental karena penyimpanan atau terkena udara; memiliki aroma khas yang kuat, rasa pedas diikuti sensasi dingin ketika diaplikasikan. Dalam peppermint oil mengandung banyak terpen: pinene, phellandrene, sineol (3,5 – 14%), limonene (1 – 5%), menthone (14 – 32%), menthol (30 – 55%), menthofuran (1 – 9%), isomenthone (1,5 – 10%), menthyl acetate (2,8 – 10%), pulegone (<4%), dan carvone (≤1%) (Sayre, 1917; Alankar, 2009). Struktur terpen berbentuk rantai isoprena berulang yang dikelompokkan sesuai dengan jumlah unit isoprenanya. Klasifikasi terpen meliputi monoterpen yang mempunyai dua unit isoprena (C10), seskuiterpen yang mempunyai tiga unit (C15), dan diterpen yang mempunyai empat unit isopren (C20) units (Sinha dan Kaur 2000). Terpen merupakan komponen yang sangat lipofilik karena mempunyai koefisien partisi oktanol/air yang tinggi (Williams dan Barry 2004).

Terpen diketahui mempunyai aktivitas sebagai penetration enhancer dengan memodifikasi kelarutan pelarut pada stratum corneum sehingga dapat meningkatkan partisi obat ke dalam kulit (Vikas, 2011). Aktivitas terpen dipengaruhi oleh kecocokan struktur kimia terpen tersebut dan sifat fisika kimia dari senyawa yang akan ditranspor. Senyawa yang bersifat lipofilik lebih baik dipermeasikan dengan terpen yang bersifat lipofilik (Okabe, Takayama, Ogura, dan Nagai, 1989).


(42)

Pada penggunaan peppermint oil sebagai penetration enhancer dalam sediaan perlu dilakukan uji iritasi karena kandungan menthol di dalamnya dilaporkan menimbulkan iritasi sedang pada kulit dan sedikit mengiritasi mata meskipun tidak menyebabkan edema yang berkelanjutan (Asbill et al., 2000). Menurut Orafidiya dan Oladimeji (2002), rHLB minyak peppermint adalah sebesar 12,3.

3. Propilen Glikol

Gambar 6. Struktur Propilen Glikol (Rowe, et al., 2006).

Propilen glikol berbentuk cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau.Propilen glikol dapat berfungsi sebagai pengawet, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizing agent dan kosolven water-miscible. Pada formulasi sediaan topikal propilen glikol digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi ≈15%.Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, etanol, gliserin, dan air.Propilen glikol bersifat higroskopis (Rowe, et al., 2009).

4. Trietanolamin


(43)

Trietanolamin (TEA) berbentuk cairan kental, tidak berwarna sampai kuning pucat dan berbau amoniak.TEA berperan sebagai alkalizing agent. TEA bersifat sangat higroskopis dan larut dalam air (Rowe, et al., 2009).

Trietanolamin yang bersifat basa dapat digunakan untuk netralisasi Carbopol®. Penambahan trietanolamin pada Carbopol® akan menetralisasi gugus asam karboksilat, membentuk garam yang larut. Sebelum netralisasi, Carbopol® di dalam air akan ada dalam bentuk tak terion pada pH sekitar 3. Pada pH ini, polimer sangat fleksibel dan strukturnya random coil. Penambahan trietanolamin akan menggeser kesetimbangan ionik membentuk garam yang larut. Hasilnya adalah ion yang saling tolak menolak dari gugus karboksilat dan polimer menjadi kaku dan rigid, sehingga meningkatkan viskositas.

Viskositas dan kejernihan gel yang dapat diterima yaitu pada pH 4,5-5,0 dan mencapai titik optimum pada pH 7 (Osborne and Amann, 1990). Overnetralisasi dapat menyebabkan penurunan viskositas karena kation basa yang berlebih akan melingkupi gugus karboksilat sehingga mengurangi tolakan elektrostatik (Walters, 2007).

5. Benzalkonium Klorida


(44)

Benzalkonium klorida merupakan senyawa ammonium kuartener yang digunakan dalam sebagai pengawet dalam formulasi produk farmasetika.Benzalkonium klorida juga biasanya ditambahkan ke dalam formulasi kosmetik.Benzalkonium klorida berbentuk bubuk amorf berwarna putih atau putih kekuningan, dapat juga dalam bentuk yang menyerupai gel. Benzalkonium klorida bersifat higroskopis, melihat bau khas yang lemah, dan rasa yang pahit. Berat jenis benzalkonium klorida pada suhu 20o C adalah 0,98 g/cm3. Dalam pengadukan, larutan benzalkonium klorida dapat membentuk foam sehingga dapat menurukan tegangan antar muka (Rowe, et al., 2009).

6. Tween 80

Tween 80 mempunyai kelarutan yang baik dalam air, larut dalam etanol 95% dan etilasetat, dan tidak larut dalam parafin cair (Depkes RI, 1993).Tween 80 memiliki nilai HLB sebesar 15 (Zhong, Xu, Fu, dan Li, 2012). Penggunaan tween 80 dalam farmasi yakni sebagai emulsifying agent, wetting agent, penetrating agent, dan diffusan (Som, Bhatia, danYasir, 2012). Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam medium (Martin, 1993). Tween 80 termasuk golongan polisorbat, oleh sebab itu mempunyai inkompatibilitas dengan pengawet paraben, karena dapat membentuk misel dan menurunkan aktivitas antimikrobial dari paraben tersebut (Rowe, et al., 2009).


(45)

F. Uji Iritasi HET-CAM

Hen's Egg Test-Chorioallantoic Membrane (HET-CAM) merupakan

salah satu metode uji iritasi menggunakan hewan uji yaitu telur ayam. Sebelum dilakukan uji, telur ditempatkan dalam inkubator dan disimpan pada suhu 38,3°C ± 0,2°C dan kelembaban relatif 58,5% ± 2%. Uji dilakukan saat embrio berusia 9-10 hari (Interagency Coordinating Committee on the Validation of Alternative

Methods, 2006). Metode HET-CAM menggunakan membran chorioallantoic

(CAM), membran pernapasan vaskuler yang mengelilingi embrio burung yang sedang berkembang. Pembuluh darah yang ada pada CAM adalah cabang dari arteri dan vena dari allantois embrio yang berisi eritrosit dan leukosit yang terlibat dalam respon inflamasi jika terkena rangsangan eksternal. Contohnya adalah efek iritasi yang disebabkan oleh zat uji pada pembuluh darah dan protein pada jaringan lunak membran ini (ICCVAM, 2006).

Tujuan uji HET-CAM ini adalah memberi data tentang potensi iritan sejumlah sampel sediaan dari kemampuannya menginduksi toksisitas pada membran chorioallantoic ayam. Metode ini meliputi uji terhadap kontrol negatif, kontrol pelarut (jika diperlukan), kontrol positif, dan kontrol pembanding (jika diperlukan).Efek toksisitas diamati dari waktu onset (1) hemorrhagia; (2) koagulasi; dan (3) pecahnya pembuluh darah. Hasil data ini kemudian dikombinasikan dan diderivatisasi menjadi skor untuk mengklasifikasi level iritasi yang ditimbulkan oleh sediaan. Nilai skor maksimal untuk potensi iritan yang paling berat adalah 21 (ICCVAM, 2006).


(46)

Tabel 1. Skor Uji Iritasi HET-CAM (Luepke, 1985)

Efek Skor

0,5 menit 2 menit 5 menit

Lisis 5 3 1

Hemorraghia 7 5 3

Koagulasi 9 7 5

Tingkat iritasi kemudian ditentukan dari nilai rata-rata skor ketiga telur dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 2. Kategori Iritasi Berdasarkan Skor Iritasi Pada HET-CAM (Luepke, 1985)

Skor HET-CAM Kategori Iritasi 0 – 0,9 Tidak mengiritasi 1 – 4,9 Iritasi lemah 5 – 8,9 atau 5 – 9,9 Iritasi sedang 9 – 21 atau 10 – 21 Iritasi kuat

G. Uji Sifat Fisik 1. Viskositas

Pada pembuatan kosmetik, reologi berpengaruh pada penerimaan pasien, stabilitas fisika dan ketersediaan hayati, salah satunya adalah viskositas. Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu sistem di bawah stress yang digunakan. Makin kental suatu cairan, makin besar kekuatan yang diperlukan untuk digunakan supaya cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu (Martin, et al., 1993). Peningkatan viskositas akan meningkatkan waktu retensi pada tempat aplikasi, tetapi menurunkan daya sebar (Garg, Aggarwal, Garg, dan Singla, 2002).


(47)

Ketika menggunakan Carbopol® sebagai basis gel, sifat viskoelastis dari dispersi Carbopol® memungkinkan basis ini sangat cocok digunakan dalam sediaan topikal sebagai mukoadesif. Pada konsentrasi 0,2% pH 7,5 viskositas Carbopol® dapat mencapai 200 – 300 mPas. Viskositas gel Carbopol® stabil dalam perubahan suhu karena adanya struktur cross-linked dari mikrogel. Penambahan bahan humektan seperti propilen glikol dapat memodifikasi ikatan hidrogen antara air, pelarut, dan polimer sehingga dapat mempengaruhi sifat viskoelastis dari Carbopol® (Islam, 2004).

2. Daya sebar

Daya sebar adalah kemampuan dari suatu sediaan untuk menyebar di tempat aplikasi. Hal ini berhubungan dengan sudut kontak dari sediaan dengan tempat aplikasinya. Daya sebar merupakan salah satu karakteristik yang bertanggung jawab dalam keefektifan dalam pelepasan zat aktif dan penerimaan konsumen dalam menggunakan sediaan semisolid. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya sebar yaitu viskositas sediaan, lama tekanan, temperatur tempat aksi (Garg, et al., 2002).

Metode plat sejajar adalah metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan dan mengukur daya sebar sediaan semi padat. Keuntungan dari metode ini adalah sederhana dan relatif murah. Selain itu, peralatan dapat didesain dan dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap individu berdasarkan tipe data yang dibutuhkan, rute administrasi, luas permukaan yang ditutupi, dan pertimbangan model membran (Garg, et al., 2002).


(48)

H. Metode Penetapan Kadar dengan menggunakan HPLC

Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fase, satu dari fase-fase ini membentuk suatu lapisan stasioner dengan luas permukaan yang besar dan yang lainnya merupakan cairan yang merembes lewat atau melalui lapisan yang stasioner (Day dan Underwood, 2002). HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan teknik kromatografi yang banyak dilakukan untuk analisis baik kualitatif maupun kuantitatif suatu senyawa organik yang terdapat di dalam suatu bahan multikomponen, seperti ekstrak tanaman. Sistem HPLC terdiri dari kolom, botol fase gerak (eluen), pompa fase gerak, injektor, dan detektor. Sistem HPLC diatur oleh suatu program komputer yang menyertakan profil kromatografi dan data-data peak seperti: waktu retensi (time retention; Tr), tinggi peak, lebar peak, luas area peak, efisiensi sistem, peak symmetry factor, dan sebagainya. Kolom di mana tempat pemisahan senyawa analit terjadi tersambung dengan detektor, sehingga HPLC dapat mendeteksi dan mengindentifikasi secara langsung berbagai macam senyawa organik maupun anorganik (Kazekevich, 2007).

Elemen utama yang terdapat pada HPLC adalah kolom yang digunakan dalam proses separasi analit. Dalam analisis dibutuhkan kolom yang digunakan dalam waktu yang lama, dan berperforma prima (Rohman, 2009).

Kebanyakan fase diam pada HPLC berupa silica yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan


(49)

divinil benzene.Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH) (Rohman, 2009).

Gambar 9. Macam-macam modifikasi gel silica (Corradini, 1998)

HPLC dengan metode fase terbalik (reversed-phase) merupakan teknik kromatografi yang paling sering digunakan.Sebagian besar proses pemisahan analit menggunakan fase diam yang dimodifikasi dengan rantai oktadesil silika (C18). Kromatografi fase terbalik (Reversed-phase chromatography) adalah metode kebalikan dari kromatografi fase normal dimana fase diam lebih bersifat non-polar daripada fase gerak (Sarker, Latif, danGray, 2006).Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Selain itu metode analisis dengan fase diam ini relatif lebih murah dan mudah (Rohman, 2009).

Fase gerak yang sering digunakan pada KCKT fase terbalik (reverse-phase) merupakan campuran pelarut organik dan air. Modifikasi yang paling sering digunakan adalah methanol atau asetonitril. Konsentrasi pelarut organik yang digunakan sebagai eluen menjadi salah satu faktor penting untuk


(50)

menentukan retensi analit pada metode fase terbalik. Kemurnian pelarut yang digunakan juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk meminimalkan kontaminasi pada fase diam dan mereduksi absorbansi komponen pengotor yang bisa dideteksi dengan panjang gelombang > 190 nm. Disarankan untuk menggunakan pelarut HPLC grade (Kazekevich, 2007).

Faktor-faktor yang bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih fase gerak yaitu: kompatibilitas antar pelarut, kelarutan sampel analit dalam eluen, polaritas, transmisi cahaya, viskositas, stabilitas, dan pH. Pelarut fase gerak harus dapat bercampur dan tidak menimbulkan pengendapan ketika dicampurkan. Sampel juga harus larut pada fase gerak untuk mencegah terjadinya pengendapan pada kolom. Transmisi cahaya menjadi salah satu faktor penting apabila detektor yang digunakan adalah detektor UV (Kazekevich, 2007).

Tabel 3. Batas Bawah Transparensi Macam-Macam Pelarut Organik

Pelarut UV Cutoff

Asetonitril 190 Isopropil alkohol 205

Methanol 205

Ethanol 205

THF 215

Etil asetat 256

DMSO 268

Pelarut yang mempunyai UV cutoff yang tinggi seperti aseton (UV cutoff 330 nm dan etil asetat (UV cutoff 256 nm) tidak dapat digunakan pada panjang gelombang rendah, misalnya pada 210 nm. Methanol, ethanol, dan isopropanol mempunyai UV cutoff < 205 nm pada konsentrasi pelarut organik yang semakin


(51)

tinggi mentrasmisikan lebih sedikit cahaya sehingga cocok untuk dipakai dalam analisis yang menggunakan panjang gelombang > 210 nm (Kazekevich, 2007).

I. Landasan Teori

Aging pada kulit membuat tampak menipis dan menjadi longgar serta elastisitasnya berkurang sehingga dapat mengurangi estetika penampilan tubuh.

Aging pada kulit disebabkan karena kurangnya hormon estrogen yang

menstimulasi pembentukan serat kolagen dan elastin, dua komponen penting yang berperan dalam menjaga konsistensi dan kekenyalan kulit. Fitoestrogen merupakan senyawa dari tumbuhan yang mempunyai struktur yang mirip dengan steroid estrogen. Aglikon isoflavon dari tanaman kedelai merupakan salah satu senyawa yang mempunyai struktur yang mirip dengan steroid estrogen. Salah satu isoflavon dari tanaman kedelai, genistein, merangsang produksi kolagen dengan menghambat enzim pemecah kolagen. Selain itu, genistein juga memilki aktivitas antioksidan yang dapat mencegah terbentuknya radikal bebas yang dapat mempercepat terjadinya penuaan dini.

Gel merupakan suatu sediaan dispersi semisolid yang mengandung gelling agent yang mengembang dalam pelarut menjadi struktur tiga dimensi. Gel termasuk ke dalam bentuk sediaan yang paling banyak diminati sebagai sediaan topikal karena propertinya yang menarik, warnanya yang transparan, dan menimbulkan sensasi dingin ketika diaplikasikan pada kulit. Dalam formulasi sediaan gel untuk meningkatkan efektifitas terapi diperlukan penetration enhancer dalam meningkatkan kekuatan permeasi zat aktif dalam sediaan tersebut.


(52)

Sifat fisika kimia sediaan sangat penting karena berpengaruh terhadap acceptability pasien dan efektifitas terapetik suatu sediaan. Pencampuran bahan-bahan dalam formulasi sediaan semisolid dapat mempengaruhi karakteristik dari sediaan yang dihasilkan.

J. Hipotesis

Peningkatan penambahan peppermint oil dalam formulasi sediaan anti-aging memberikan pengaruh pada sifat fisika gel ekstrak tempe. Pemberian peppermint oil tidak memberikan efek iritasi pada uji iritasi HET-CAM.


(53)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang pengaruh penambahan peppermint oil ke dalam sediaan gel anti-aging ekstrak tempe terhadap sifat fisika kimia dari sediaan termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Utama

a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah konsentrasi penetration enhancer yaitu peppermint oil.

b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah sifat fisik gel yang dilihat dari viskositas dan daya sebar dari gel.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah urutan pencampuran bahan ketika pembuatan sediaan.

b. Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah suhu dan kelembaban ruangan ketika pembuatan sediaan.


(54)

C. Definisi Operasional

1. Gel adalah suatu sediaan dispersi semisolid yang mengandung gelling agent yang mengembang dalam pelarut menjadi struktur tiga dimensi. Gel ekstrak tempe adalah sediaan semisolid dengan basis gel yang mengandung ekstrak tempe sebanyak 1% dari total formula.

2. Penetration enhancer adalah bahan yang digunakan untuk meningkatkan transport obat melalui sawar kulit. Dalam percobaan ini digunakan peppermint oil sebagai penetration enhancer.

3. Sifat fisik gel adalah parameter untuk mengetahui kualitas fisik gel yang meliputi viskositas dan daya sebar.

4. Viskositas sadalah suatu pertahanan dari gel untuk mengalir setelah adanya pemberian gaya. Semakin besar viskositas, maka gel akan makin tidak mudah untuk mengalir. Kriteria viskositas optimum adalah 200-300 dPas.

5. Daya sebar adalah diameter penyebaran tiap 1 gram gel pada alat uji daya sebar yang diberi beban kaca dan pemberat hingga 125 gram dan didiamkan. Kriteria daya sebar optimum adalah 3 – 5 cm.

6. Iritasi adalah terjadinya hemoragi dan lisis pada bagian Chorioallantoic Membrane (CAM) telur ayam yang mungkin timbul setelah pengaplikasian sediaan gel. Hemoragi merupakan perdarahan pembuluh darah, sedangkan lisis merupakan pecahnya pembuluh darah.


(55)

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Carbopol® 940, Tween 80, Oleum Menthae Piperita, Propilenglikol, tempe kedelai putih, aquadest, etanol teknis, etil asetat p.a, etanol p.a, metanol p.a, aquabidest, petroleum eter, standar Genistein, NaOH 1N, telur ayam berumur 9-10 hari.

E. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (PYREX GERMANY), corong pisah, cawan porselen, neraca digital, waterbath, magnetic stirrer, tabung effendorf, pipet volume, HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography) Shimadzu model LC-2010C HT, Serial No. C21254706757 LP, Cat. No. 228-46703-38, membrane filter, sendok, pH meter (pH meter 744 Methrom), kertas pH, mikropipet Socorex, pompa vakum, corong buchner, kertas saring, kertas saring metanol, kertas saring, aquadest, penyaring milipore, spuit, Viskometer seri VT 04 (RION-JAPAN), scalpel, pH stick, kolom oktadesilsilan Shim-Pack XR-ODS dengan dimensi 150 x 4,6 mm, syringe filter 0,22 μm , syringe filter 0,45 μm, degassing, botol fase gerak, Spektrofotometri UV-Vis merk Shimadzu UVmini-1240.


(56)

F. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan crude extract tempe

Tempe seberat 1 kg dihaluskan dengan blender kemudian direndam dengan perbandingan 1:1 dengan petroleum eter, setelah itu cairan filtrat dibuang dengan cara menyaring tempe dengan corong Buchner. Tempe yang sudah disaring kemudian dimaserasi dengan etanol teknis 70% dengan perbandingan 1:2 selama 24 jam dengan kecepatan 150 rpm. Hasil maserasi disaring dengan corong Buchner sehingga didapatkan residu padat dan ekstrak cair kuning kecoklatan. Residu filtrat kemudian diremaserasi dengan etanol teknis 70% dengan perbandingan 1:1. Hasil remaserasi disaring kembali kemudian ekstrak cair yang didapatkan dari hasil maserasi pertama dan kedua dipekatkan menggunakan rotary evaporator selama 45-60 menit dengan suhu 50o C hingga didapatkan volume sebanyak 10% volume awal. Ekstrak tempe kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 ºC hingga bobot tetap.

2. Penetapan kadar isoflavon genistein dari crude extract tempe a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum

Standar genistein konsentrasi 186 ppm diukur pada panjang gelombang 200 – 361 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV sebanyak tiga kali repetisi. Hasil rata-rata pengukuran yang memberikan serapan yang paling besar digunakan sebagai panjang gelombang maksimum pengukuran kadar isoflavon genistein menggunakan instrumen HPLC.


(57)

b. Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol:air pada perbandingan (70:30). Fase gerak yakni 500 mL metanol p.a dan aquabidest difilter terlebih dahulu dengan menggunakan membrane filter yang diintegrasikan dengan corong buchner. Sebelum dipompakan pada system HPLC perlu dilakukan degassing pada metanol p.a dan aquabidest untuk mengusir gelembung dan gas yang terlarut dalam solvent.

c. Pembuatan larutan stok genistein

Larutan stok dibuat dengan menimbang standar genistein sebanyak 2 mg kemudian melarutkannya dalam tabung effendorf dengan pelarut ethanol p.a sebanyak 1 mL.

d. Pembuatan kurva baku standar genistein

Larutan stok genistein kemudian disaring dengan menggunakan membrane filter dengan diameter pori 0,45 µm dan di-degassing untuk mengeluarkan gelembung udara di dalamnya. Standar genistein kemudian diinjeksikan ke dalam sistem dengan volume injeksi yang berbeda-beda, yaitu 1 µL, 2 µL, 3 µL, 4 µL, dan 5 µL. Metode HPLC yang digunakan adalah isokratik dengan kolom C18, flow rate 0,7 mL / menit dan volume injeksi sebanyak 10 μl untuk sampel dan pembuatan kurva baku. Data respon yang muncul dilihat regresi linearnya dari 3 repetisi untuk menentukan persamaan kurva baku yang sesuai.


(58)

e. Penetapan kadar genistein pada crude extract tempe

Crude extract tempe ditimbang sebanyak 0,5 g dan dilarutkan dalam labu ukur 25 mL dengan pelarut ethanol p.a. Kemudian sebanyak sebanyak 500 µl diambil dari larutan stok crude extract dan dilarutkan dalam labu ukur 10 mL dengan pelarut ethanol p.a. Larutan sampel crude extract dibuat replikasi sebanyak tiga kali dan disaring dengan menggunakan membrane filter. Data respon yang didapat pada analisis sampel ekstrak dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku untuk diketahui kadar dalam satuan ppm.

3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai a. Formulasi gel anti-aging

Pada pengamatan pengaruh penambahan peppermint oil terhadap permeasi genistein dari sediaan gel anti-aging digunakan variasi konsentrasi peppermint oil dalam formulasi gel anti-aging sebagai berikut:

Bahan Formula I Formula II Formula III Formula IV Crude extract

tempe

0,5 g 0,5 g 0,5 g 0,5 g

Carbopol® 940 0,5 g 0,5 g 0,5 g 0,5 g Aquadest 28,35 g 28,10 g 27,85 g 27,35 g

Tween 80 15 g 15 g 15 g 15 g

Propilenglikol 5 g 5 g 5 g 5 g

Benzalkonium klorida

0,05 g 0,05 g 0,05 g 0,05 g Trietanolamin 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g

Peppermint oil - 0,25 g 0,5 g 1 g

Total berat 50 g 50 g 50 g 50 g

b. Pembuatan gel anti-aging

Carbopol® 940 dikembangkan dengan menggunakan sebagian aquadest dari formula selama 24 jam. Setelah serbuk Carbopol® terbasahi


(59)

dengan sempurna, trietanolamin dan benzalkonium klorida ditambahkan ke dalam kembangan Carbopol® kemudian dihomogenkan sampai merata menggunakan mixer. Crude extract kedelai yang dilarutkan dalam propilenglikol, dan tween 80 ditambahkan ke dalam gel kemudian dihomogenkan dengan mixer selama 5 menit dengan kecepatan 40 rpm.

Peppermint oil ditambahkan kemudian dihomogenkan kembali dengan

mixer dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya selama 1 menit.

4. Uji Sifat Fisik

a. Uji Organoleptis dan pH

Uji Organoleptis dilakukan dengan mengamati warna, bentuk, dan bau dari sediaan gel anti-aging. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan indikator pH universal, yaitu dengan memasukkan indikator pH universal (pH strips) ke dalam gel anti-aging ekstrak kedelai yang telah dibuat. Kemudian warna yang muncul pada kertas pH strips dibandingkan dengan nilai pH pada kotak kemasan pH strips.

b. Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan satu kali setelah 48 jam pembuatan sediaan gel dengan menggunakan alat Viscotester Rion seri VT 04. Ukuran rotor yang digunakan adalah 2. Data yang didapat kemudian dikonversi ke dalam cP (centipoise).

c. Uji Daya Sebar

Pengujian daya sebar dilakukan dengan modifikasi metode dari Garg, et al. (2002). Sediaan gel ditimbang seberat 1 gram dan diletakkan


(60)

di tengah kaca bulat berskala. Di atas gel diletakkan kaca bulat lain dan pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, didiamkan selama 1 menit, kemudian dicatat penyebarannya. Pengujian daya sebar dilakukan 48 jam setelah gel selesai dibuat. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.

d. Analisis statistik pengaruh peningkatan pemberian minyak

peppermint terhadap sifat fisik gel

Data viskositas dan daya sebar dianalisis dengan uji Saphiro-wilk (untuk sampel yang kurang dari atau sama dengan 50) untuk melihat kenormalan distribusi data dan uji kesamaan varians Levene’s test untuk melihat kesamaan variansi. Dalam uji normalitas Shapiro-wilk dengan taraf kepercayaan 95%, jika nilai probability value (p-value) lebih dari 0,05 maka data terdistribusi normal sedangkan jika p-value kurang dari 0,05 maka data terdistribusi tidak normal.

Data yang diperoleh terdiri dari 5 kelompok formula sehinnga pengujian dilakukan dengan menggunakan one way ANOVA atau uji Kruskal-wallis. Jika data sesuai dengan kriteria uji statistik parametrik yakni memiliki distribusi data yang normal dan kesamaan varians, maka analisis dilanjutkan dengan pengujian signifikansi menggunakan one way ANOVA. Jika data tidak memenuhi kriteria uji statistik parametrik, maka analisis data menggunakan uji statistik non-parametrik yaitu uji Kruskal-wallis. Pada uji one way ANOVA dan Kruskal-wallis dengan tingkat kepercayaan 95%, maka faktor dikatakan berpengaruh signifikan jika


(61)

nilai p-value kurang dari 0,05 yang berarti paling tidak terdapat dua kelompok data yang memiliki perbedaan signifikan.

Analisis Post-Hoc dilakukan apabila data berbeda signifikan dimana uji Post-Hoc dilakukan untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan signifikan (Dahlan, 2009). Analisis Post-Hoc untuk ANOVA yaitu dengan uji T sedangkan untuk Kruskal-wallis adalah dengan uji Wilcoxon. Pada uji T dua arah dan Wilcoxon dua arah, dengan tingkat kepercayaan 95%, maka dua kelompok dikatakan berbeda jika nilai p-value kurang dari 0,05. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software R 2.13.2.

5. Uji Iritasi HET-CAM

Uji iritasi dengan metode HET-CAM dilakukan sesuai rekomendasi prosedur dari ICCVAM (2006).Uji iritasi dilakukan dengan menggunakan telur ayam dimana uji dilakukan pada saat embrio berusia 9 hari. Pada saat uji dilakukan, kulit telur disekitar rongga udara dibuka sehingga akan terlihat membran dalam telur. Membran dalam tersebut dibasahi dengan larutan NaCl 0,9 % hingga membran berwarna bening. Setelah itu, dengan bantuan pinset membran dalam dibuang sehingga akan terlihat chorioallantoic membrane CAM. Dilakukan analisis visual ntuk memverifikasi apakah terdapat kondisi dalam sistem vaskular CAM yang membuat telur tidak layak untuk uji. Berikutnya sebanyak 0,3 gram sediaan uji ditempatkan pada permukaan CAM. Setelah 20 detik, sediaan uji dicuci dengan larutan NaCl 0,9% hingga benar-benar hilang. Telur kemudian diamati dibawah kaca pembesar selama 300


(62)

detik untuk mengamati apakah terjadi efek iritan pada pembuluh darah CAM meliputi hemoragi, lisis dan koagulasi. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.


(63)

43 BAB IV

DATA DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi isoflavon genistein dari tempe

Ekstraksi merupakan pengambilan senyawa aktif dalam bagian tanaman tertentu dengan menggunakan pelarut tertentu yang selektif. Dalam penelitian kali ini senyawa aktif yang akan diekstraksi dan ditentukan kadarnya adalah aglikon isoflavon genistein. Dalam pembuatan crude extract kedelai digunakan tempe dari kedelai putih. Ekstrak dari produk kedelai yang telah difermentasi mengandung lebih banyak aglikon isoflavon. Selama proses fermentasi, ikatan -O- glikosidik terhidrolisis, sehingga dibebaskan senyawa gula dan isoflavon aglikon yang bebas. Senyawa isoflavon aglikon ini dapat mengalami transformasi lebih lanjut membentuk senyawa transforman baru. Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon ini justru menghasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi (Pawiroharsono, 2001). Tempe mengandung total isoflavon genistein yang paling banyak dibandingkan dengan produk fermentasi kedelai lainnya.

Gambar 10. Reaksi Hidrolisis Glukosida Isoflavon Genistin menjadi Aglikon Isoflavon Genistein (Ariani, 2003).


(64)

Tempe dihaluskan terlebih dahulu dengan blender sebelum dimaserasi untuk memperkecil ukuran partikel sehingga kontak pelarut dengan sampel tempe semakin luas. Luas permukaan yang semakin besar akan memperbesar pembasahan bahan yang akan diekstrak sehingga penyarian senyawa aktif dapat berjalan dengan optimal (Harborne, 1987). Setelah tempe dihaluskan kemudian dilakukan perendaman dengan petroleum eter untuk menghilangkan lemak pada matriks. Perendaman dilakukan selama 45 menit dengan penggojogan oleh shaker supaya setiap partikel bahan lebih terbasahi oleh petroleum eter sehingga dapat menyari lemak secara optimal.

Pelarut yang digunakan dalam menyari senyawa aglikon isoflavon genistein adalah etanol teknis 70%. Dipilih pelarut organik etanol sebagai penyari karena aglikon isoflavon genistein termasuk golongan senyawa fenolik. Dalam mengekstraksi senyawa fenolik biasanya digunakan pelarut seperti etanol, metanol, n-butanol, aseton, dimetilformamida, dimetilsulfoksida dan air.Pelarut-pelarut ini aman untuk digunakan karena dapat mencegah pertumbuhan kapang dan jamur, netral, tidak toksik, dan absorbsinya baik (Hargono, 1997). Selain itu etanol dipilih karena murah dan ramah lingkungan. (2004). Rostagno et al. melakukan optimasi penyarian isoflavon dengan memvariasikan komposisi etanol dan air. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan efisiensi ekstraksi berbanding lurus dengan peningkatan jumlah komposisi air pada persentase air 0-30%, sementara jumlah komposisi air di atas presentase tersebut menurunkan efektifitas efisiensi. Digunakan komposisi etanol 70% berdasarkan optimasi dari penelitian yang dilakukan oleh Rostagno et al.


(65)

Pada ekstraksi aglikon isoflavon pada penelitian kali ini digunakan metode maserasi karena metode ini tidak membutuhkan pemanasan. Pemanasan sampai 60o C dapat mengkonversi bentuk isoflavon yang akan diekstraksi karena reaksi de-esterifikasi dan pemanasan sampai 80 o C dapat mempercepat laju reaksi de-esterifikasi tersebut ke bentuk isoflavon yang tidak dikehendaki (Barnes et al., 1994). Metode maserasi juga bersifat lebih praktis, efisien, dan harganya lebih terjangkau jika dibandingkan dengan metode lain seperti perkolasi. Pada maserasi dilakukan penggojogan juga dengan bantuan shaker untuk membantu mengoptimalkan kontak sel pada tempe dengan pelarut sehingga pelarut dapat menyari isoflavon secara optimal apabila dibandingkan dengan yang hanya didiamkan saja. Dalam maserasi digunakan perbandingan antara sampel dan pelarut etanol 1:2 pada maserasi pertama dan 1:1 pada maserasi kedua. Dilakukan remaserasi untuk memaksimalkan proses penyarian isoflavon dari matriks tempe jika dibandingkan dengan satu kali maserasi.

Setelah sampel tempe dimaserasi dengan pelarut etanol tahap selanjutnya adalah penyaringan. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan pelarut yang sudah menyari senyawa analit pada sampel dengan matriks. Pada proses penyaringan menggunakan corong Buchner yang dihubungkan dengan pompa vakum untuk mempercepat waktu dan meningkatkan efisiensi penyaringan. Prinsip kerja dari corong Buchner sendiri adalah memisahkan endapan dari pelarutnya atau cairan dari residunya dengan cara menyedot udara di dalam corong dengan pompa vakum sehingga tekanan di dalamnya lebih kecil daripada yang di dalamnya dan cairan yang ada didalam corong dapat menetes serta


(66)

menghasilkan filtrat yang lebih banyak dan residu atau ampasnya dapat tetap ditinggalkan didalam corong tersebut.

B. Standarisasi isoflavon genistein dari tempe

Sebelum dilakukan pengukuran kadar genistein dengan menggunakan HPLC, perlu dicari terlebih dahulu panjang gelombang maksimum yang akan digunakan dalam penelitian. Pengukuran pada panjang gelombang maksimum akan memberikan serapan yang maksimum sehingga hasil lebih reprodusibel pada pengulangan pengukuran, meningkatkan sensitivitas dan meminimalkan kesalahan dalam pengukuran. Pengukuran gelombang maksimum dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV, karena detektor yang digunakan pada instrumen HPLC juga merupakan detektor UV. Genistein dapat diukur dengan spektrofotometer UV karena mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi yang dari cincin benzennya sehingga dapat menyerap spektrum UV. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lin (2012), Isoflavon mempunyai panjang gelombang maksimum teoritis pada 260 nm. Dari hasil penetapan gelombang maksimum ditemukan panjang gelombang 261 nm sebagai panjang gelombang yang akan digunakan dalam analisis kuantitatif genistein dengan menggunakan HPLC.

Penetapan kadar aglikon isoflavon genistein dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi atau HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Dipilih instrumen HPLC untuk menetapkan kadar karena genistein merupakan komponen minor dalam kedelai sehingga dibutuhkan instrumen yang sensitif untuk mendeteksi kadar yang kecil.


(67)

Metode kromatografi yang digunakan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh de Vargas et al. (2010). Fase diam yang digunakan adalah silanol dengan modifikasi penempelan gugus oktadesil silika (ODS atau C18) karena mampu memisahkan senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi. Metode pemisahannya menggunakan reversed phase, di mana fase gerak bersifat lebih polar daripada fase diam. Genistein memiliki nilai log Kow 2,94 sebesar sehingga sifatnya cenderung non polar (Rostagno et al., 2002). Digunakan metode reversed phase agar senyawa diharapkan dapat tertahan lebih lama pada fase diam sehingga pemisahan dapat berjalan dengan optimal. Interaksi yang terjadi antara fase diam dan analit isoflavon merupakan interaksi hidrofobik atau van der waals sedangkan gugus OH pada isoflavon berinteraksi dengan fase gerak yang bersifat polar. Fase gerak yang dipakai adalah campuran 70% methanol dan 30% air karena campuran ini mempunyai nilai kepolaran yang mirip dengan kepolaran genistein. Salah satu syarat dari fase gerak adalah harus dapat melarutkan analit dalam sampel sehingga dibutuhkan kepolaran yang mirip supaya analit dapat larut dalam fase gerak (like-dissolve-like).

Fase gerak yang dipilih juga harus memiliki nilai UV cut off jauh di bawah panjang gelombang maksimum analit. Menurut Rohman (2009), methanol mempunyai nilai UV cut off sebesar 205 nm dan aquadest mempunyai nilai UV cut off sebesar 170 nm kedua pelarut ini mempunyai nilai UV cut off yang cukup jauh di bawah panjang gelombang maksimum isoflavon genistein yakni 261 nm sehingga tidak akan mengganggu serapan. Selain itu kedua pelarut ini mudah untuk didapatkan dan affordable.


(68)

Pada pembuatan kurva baku standar genistein dilarutkan dalam ethanol p.a karena genistein mempunyai kelarutan yang tinggi pada pelarut organik polar seperti methanol. Penentuan persamaan kurva baku ditentukan dari regresi linier yang dihasilkan oleh tiga kali repetisi dengan metode loading mass. Regresi linier ini dilihat dari respon AUC yang dimiliki oleh peak analit sebagai nilai fungsi (x) dan konsentrasi seri larutan baku sebagi nilai (x). Persamaan dengan regresi linier yang nilainya paling mendekati 1 merupakan persamaan kurva baku yang memenuhi syarat linearitas yang baik. Linearitas menentukan kemampuan metode analisis memberikan respon proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel.

Tabel 4. Linearitas kurva baku standar genistein Konsentrasi AUC

0,002 µg 50344 0,004 µg 102206 0,005 µg 160040 0,007 µg 291895 0,009 µg 299067

b 34598642,83

a -19430,1

r2 0,998

Dalam analisis menggunakan HPLC terdapat dua macam analisis yang dapat dilakukan, yaitu: analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif genistein dilihat dari profil kromatografi yang dihasilkan dengan membandingkan puncak dengan waktu retensi yang sama dengan standar. Waktu retensi merupakan waktu yang diperlukan solut untuk keluar dari kolom dan


(69)

mencapai detektor. Rentang waktu retensi yang ditentukan berkisar dari menit ke-3,913 – 4,297.

Gambar 11. Kurva Baku Loading Mass Standar Genistein AUC vs massa (µg)

Analisis kuantitatif genistein dihitung dengan memasukkan respon AUC pada sampel ekstrak tempe ke dalam persamaan kurva baku yang sudah ditentukan. Pada penetapan kadar genistein pada ekstrak tempe digunakan kurva baku loading mass di mana nilai (x) merupakan jumlah massa genistein pada sampel dalam satuan µg. Persamaan regresi linier yang digunakan adalah y= 34598642,83x + 19430,1. Crude extract yang diukur ditimbang sebanyak 0,5 mg kemudian dilarutkan dalam ethanol p.a sebanyak 25 mL. Dalam larutan stok crude extract diambil sebanyak 50 µL kemudian diencerkan sampai 1 mL, dilakukan tiga kali replikasi. Volume crude extract yang diinkjeksikan ke dalam sistem adalah sebanyak 20 µ L, sehingga diketahui 0,02 mg crude extract tempe diinjeksikan ke dalam sistem.


(70)

Tabel 5. Perhitungan Jumlah Genistein dalam Ekstrak Tempe dengan Kurva

Loading Mass

AUC Jumlah genistein dalam vol. injeksi 20 µL

92885 2,12 ng

77662 1,68 ng

77472 1,68 ng

Rata-rata= 82673 ± 8844, 36 1,83 ng ≈ 2 ng = 0,002 µg

Pada tiga kali replikasi dalam crude extract tempe ditemukan rata-rata kandungan genistein sebanyak 0,002 µg sehingga dapat disimpulkan dalam kandungan genistein dalam crude extract tempe yang digunakan sebanyak 10%.

Gambar 12. Kromatogram Crude Extract Tempe

Pada kromatogram crude extract tempe dapat dilihat bahwa pada peak menit ke-4,370 diduga merupakan senyawa genistein, namun senyawa ini tercampur dengan senyawa-senyawa hidrofobik lainnya karena tidak ada proses pemisahan lebih lanjut sampel ekstrak. Hal ini juga bisa disebabkan oleh sistem yang digunakan kurang optimal karena pada penelitian tidak dilakukan validasi terhadap metode yang digunakan. Ketidakoptimalan ini dapat dilihat dari resolusi


(71)

peak yang nilainya kurang dari 2, sehingga tidak sesuai dengan criteria SST (System Suitability Testing) dan membutuhkan optimasi dan validasi metode lebih lanjut.

C. Pembuatan Gel Anti-Aging

Genistein dalam ekstrak tempe dibuat dalam sediaan dispersi gel, bukan larutan, karena sisa obat yang tertinggal pada dispersi akan menggantikan obat yang sudah terabsorpsi untuk menjaga gradien konsentrasi pada uji difusi in vitro. Langkah pertama yang dilakukan dalam membuat sediaan gel yaitu mengembangkan gelling agent, Carbopol®. Carbopol® 940 digunakan sebagai

gelling agent dengan konsentrasi 0,5 - 2% (Rowe, et al., 2009).

Carbopol®merupakan polimer asam akrilat yang mempunyai rantai cross-link dengan polialkenil eter, alil sukrosa, atau divinil alkohol. Polimer Carbopol® mempunyai kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah banyak. Polimer ini mengembang sampai 1000 kali dari volume asal dan diameternya ikut mengembang sampai 10 kali dalam bentuk gel ketika dilarutkan dalam air dengan pH di atas pKa 6. Dalam proses pengembangan ini terjadi ionisasi gugus karboksilat pada backbone polimer sehingga partikel negatif akan saling tolak menolak menyebabkan gel mengembang (Carnali dan Naser 1992; Rowe et al 2006). Carbopol® 940 cocok dipilih sebagai gelling agent jika digunakan untuk menghasilkan viskositas yang tinggi pada konsentrasi rendah (Curteis, 1991).

Carbopol® dalam bentuk tidak terdispersi berbentuk serbuk putih yang mengandung molekul rantai panjang dalam bentuk coil. Saat didispersikan ke


(72)

dalam air, molekul Carbopol® terbasahi dan mengalami uncoil sebagian, melepas asam bebas. Untuk mencapai kekentalan yang maksimum, molekul Carbopol® harus sepenuhnya uncoil, yang dapat dicapai dengan dua mekanisme seperti pada gambar 13 dan 14. Metode yang umum digunakan yaitu mengkonversi molekul asam menjadi garam, yaitu dengan menambahkan neutralizing agent secukupnya. Neutralizing agent yang digunakan dalam formulasi ini adalah trietanolamin. Trietanolamin mengionisasi molekul Carbopol®, menyebabkan polimer backbone bermuatan negatif dan menghasilkan gerakan tolak-menolak secara elektrostatik sehingga terbentuk struktur tiga dimensi. Penambahan neutralizing agent dilakukan secukupnya saja jangan sampai berlebihan agar tidak merubah profil viskositas dan tiksotropinya. Netralisasi yang berlebihan akan mengurangi viskositas, karena basa kation akan melapisi gugus karboksi dan mengurangi gaya antar tolak-menolak tanpa backbone. Molekul Carbopol® dapat kembali menjadi uncoil meskipun telah didispersi di dalam air karena penambahan 10 – 20% donor hidroksil seperti surfaktan non-ionik atau poli-ol, yang mampu berikatan hidrogen dengan polimer (Walters, 2002).

Gambar 13. Carbomer dalam bentuk coil akan mengalami pembasahan dan mengembang ketika didispersikan dalam air (Williams, 2003).


(1)

(2)

(3)

(4)

NaCl 9% (sesudah) Basis + NaCl 9% (sesudah)

Basis gel (sesudah) Gel F0 (sesudah)


(5)

Gel F1 (sesudah) Gel F2 (sesudah)


(6)

Penulis telah menempuh pendidikan di TK Kapas (TK Negeri 2) pada tahun 1997 dan TK Stella Maris pada tahun 1998, SD Kanisius Baciro pada tahun 1999-2005, SMP Pangudi Luhur 2 pada tahun 2005 dan SMP Pangudi Luhur 1 pada tahun 2006, Akselerasi SMA Negeri 3 Yogyakarta pada tahun 2008-2010. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010-2014.

Selama menempuh perkuliahan di Universitas Sanata Dharma, penulis pernah menjadi asisten Praktikum Farmasi Fisika pada tahun 2014. Penulis juga pernah menjadi seksi Usaha Dana Seminar Nasional yang diadakan oleh JMKI pada tahun 2010, juga anggota kepanitian inisiasi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2012.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PENAMBAHAN MENTOL TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, ASEPTABILITAS DAN PELEPASAN KLORFENIRAMIN MALEAT DALAM GEL HPMC (Konsentrasi Mentol sebagai Enhancer dalam Gel 0,5%, 0,75%, dan 1%)

0 6 24

Pengaruh Penambahan Minyak Wijen (Sesame Oil) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Sensoris Pasta Tempe Koro Pedang.

0 0 11

Pengaruh penambahan polysorbate 40 dan sorbitan monolaurate sebagai emulsifying agent dalam lotion repelan minyak peppermint (Mentha piperita) terhadap sifat fisis dan stabilitas sediaan - USD Repository

0 0 146

Pengaruh penambahan konsentrasi CMC-Na pada sediaan sunscreen gel ekstrak temu giring (Curcuma heyneana Val.) terhadap sifat fisik dan stabilitas sediaan dengan sorbitol sebagai humectant - USD Repository

0 0 110

Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan propilenglikol sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository

0 0 147

FORMULASI SEDIAAN EMULGEL EKSTRAK ETANOLIK DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN MINYAK PEPPERMINT SEBAGAI PENETRATION

0 0 97

Pengaruh penambahan konsentrasi CMC-Na sebagai gelling agent pada sediaan sunscreen gel ekstrak temugiring (Curcuma heyneana Val.) terhadap sifat fisik dan stabilitas sediaan dengan propilen glikol sebagai humectant - USD Repository

0 0 110

Pengaruh konsentrasi tween 80 sebagai penetration enhancer pada formulasi mikroemulsi ekstrak tempe dengan metode Franz Diffusion Cell - USD Repository

0 1 107

Pembuatan dan evaluasi gel anti-ageing ekstrak tempe dengan gliserin sebagai chemical penetration enhancer - USD Repository

0 0 94

Pengaruh penambahan konsentrasi carbopol® 940 pada sediaan sunscreen gel ekstrak temu giring (Curcuma heyneana Val.) terhadap sifat fisik dan stabilitas sediaan dengan sorbitol sebagai humectant - USD Repository

0 0 109