Dukungan Suami Pasien Kanker Payudara Paska Mastektomi
paska mastektomi mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Golden- Kreutz Andersen 2004 menyatakan bahwa pasien mastektomi juga lebih
depresi dari pada pasien lumpektomi. Ada dua rekasi yang ditimbulkan paska mastektomi yaitu reaksi psikis
positif dan reaksi psikis negatif. Reaksi psikis positif yang dapat muncul adalah, meningkatnya penyesuaian diri penderita karena kehilangan payudara. Sedangkan,
reaksi psikis negatif yang dapat muncul adalah menurunnya self esteem harga diri sebagai perempuan karena kehilangan payudara, stress, atau depresi
Wagman dalam Dewi et al, 2004. Kehilangan payudara secara utuh baik bagian kanan atau kiri akan
mengubah gambaran diri perempuan. Mastektomi tidak hanya meninggalkan bekas luka secara fisik, tetapi juga luka secara psikologis, yaitu menurunnya
perasaan bangga dan harga diri perempuan. Berbagai reaksi pada perempuan paska mastektomi dapat muncul dalam bentuk depresi menarik diri dari
lingkungan, menurunnya harga diri, anoreksia dan insomnia. Salah satu dari masalah klinis yang paling sering terjadi adalah gangguan depresi Zamralita
dalam Dewi et al, 2004. Ketakutan yang dialami penderita kanker payudara berhubungan dengan
kematian, kekambuhan penyakit, gambaran diri yang rendah, perubahan feminitas, seksualitas dan ketertarikan merupakan faktor yang menyebakan
terjadinya tekanan psikologis baik setelah didiagnosa maupun setelah menjalani pengobatan Reich et al, 2007.
Hasil Penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi mayoritas berada pada usia 46-60 tahun yaitu sebanyak 23 orang 71,87.
Resiko kanker payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kejadian puncak kanker payudara terjadi pada usia 40 tahun Brunner Suddarth, 2002.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati 2010 yang menyatakan bahwa usia 40-54 Tahun memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya depresi. Depresi bisa terjadi pada usia berapapun tetapi biasanya sering terjadi pada usia 20-50 tahun Stuart Laira, 2005.
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi mayoritas berpendidikan SMA yaitu 16 orang 25,81. Hal ini sejalan dengan
pendapat Kind dalam Anindita et al 2010 yang menyatakan bahwa seseorang yang pendidikannya lebih tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dan
sebaliknya seseorang yang pendidikannya lebih rendah memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi mayoritas memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu 25 orang 78,12.
Seseorang yang bekerja penuh waktu memiliki resiko rendah untuk mengalami depresi dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja Wade Travis, 2007.
Hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang mengalami depresi mayoritas memiliki penghasilan kurang dari Rp1.000.000 yaitu 15 orang
46,87. Tingkat penghasilan seseorang yang rendah dan kemiskinan inilah yang menjadi tambahan penyebab depresi seseorang Belle Doucet dalam Wade
Travis, 2007.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 responden yang mengalami depresi mayoritas responden saat dilakukan mastektomi berada pada stadium III
yaitu 17 orang 53,12. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharmillah Wijayana 2011 yang menyatakan bahwa 42,4
pasien kanker payudara stadium III mengalami depresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 responden yang mengalami
depresi mayoritas respoden yang diberikan terapi mastektomi dan kemoterapi yaitu 28 orang 87,5. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suharmillah Wijayana 2011 yang menyatakan bahwa 59 pasien yang mendapatkan terapi berupa mastektomi dan kemoterapi mengalami
depresi. 5.3. Hubungan Dukungan Suami dengan Tingkat Depresi Pasien Kanker
Payudara Paska Mastektomi
Hasil penelitian didapatkan p 0,05 hal ini berarti ada hubungan dukungan suami dengan tingkat depresi pasien kanker payudara paska mastektomi
Ha diterima. Nilai r nya adalah -0,516 yang bermakna tingkat kekuatan hubungan sedang dan berpola negatif yang berarti semakin baik dukungan yang
diberikan suami kepada pasien kanker payudara paska mastektomi maka tingkat depresi semakin turun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat 2012 dimana dukungan suami yang tinggi membuat pasien kanker payudara
merasa suaminya dapat diandalkan bila pasien membutuhkan bantuan, pasien mendapat dukungan untuk sembuh dan kekuatan untuk menghadapi penyakit
yang sedang diderita. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani 2009 juga mendukung
penelitian ini dimana pasien kanker payudara paska mastektomi bisa terhindar dari citra tubuh yang negatif yang dapat membuat pasien menjadi depresi dengan
dukungan yang besar dari suami, anak-anak dan teman-teman terdekat pasien. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Dalami
2010 peran serta keluarga dalam hal ini suami sangat penting untuk penyembuhan pasien, karena suami merupakan sistem pendukung yang terdekat
bagi pasien. Oleh karena itu suami selalu dilibatkan dalam perencanaan, perawatan dan pengobatan, persiapan pemulangan pasien, dan rencana perawatan
tindak lanjut di rumah. Hal ini akan memotivasi suami agar berpartisipasi aktif dalam upaya membantu memecahkan masalah pasien.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Anggraeni Ekowati, 2010 ketiadaan pasangan suami sangat mempengaruhi kondisi psikologis pasien paska
mastektomi, menjadi lebih drop dan kurang kooperatif, berbeda dengan pasien yang selama pengobatan didampingi oleh suami mereka maka pasien menjadi
lebih bersemangat dan memiliki harapan untuk mencapai kesembuhan.