Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus Hampei) Pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea Arabica)Di Kabupaten Pakpak Bharat
EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei)
PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica)
DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT
TESIS
OLEH
NORMAULI MANURUNG
087030017
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei)
PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica)
DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
OLEH
NORMAULI MANURUNG
087030017
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
Judul Penelitian : EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei) PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DI
KABUPATEN PAKPAK BHARAT
Nama : NORMAULI MANURUNG
NIM : 087030017
Program Studi : BIOLOGI
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS Ketua Anggota
Disetujui oleh :
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc
Tanggal lulus : 16 Agustus 2010
(4)
Telah diuji pada
Tanggal 16 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
Anggota : Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS : Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc
(5)
PERNYATAAN
EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei) PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DI KABUPATEN
PAKPAK BHARAT
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2010 Penulis
Normauli Manurung NIM: 087030017
(6)
ABSTRACT
Ecology Research Coffee Pod Borer (Hypotenemus hampei) at Arabica Coffee Plants (Coffea arabica) in District Pakpak Bharat had been conducted in March 2010 - April 2010. Research in the form of this survey sampled at 5 height is: A ≤ 700, 700 < B ≤ 800, 800 < C ≤ 900, 900 < D ≤ 1000, and E > 1000 meters above sea level. This study aims to (a) know H.hampei distribution pattern, (b) measuring the intensity of attacks H.hampei, (c) the composition of stadia development in H.hampei connect with ripeness (green, yellow, red), and (d) know the correlation of physical environmental factors with itensity attacks. The results showed that the distribution pattern of H. hampei clustered in the bottom sector, the intensity of light attacks. Composition of the development of stadia H. hampei more progress on the red colored fruit. Physical environmental factors are not correlated to the intensity of attacks H.hampei.
(7)
ABSTRAK
Penelitian Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat telah dilaksanakan pada bulan Maret 2010 – April 2010. Penelitian yang berupa survei ini mengambil sampel di 5 ketinggian yaitu : A ≤ 700, 700< B≤800, 800<C≤900, 900<D≤1000, dan E>1000 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini bertujuan (a) mengetahui pola distribusi H. hampei, (b) mengukur intensitas serangan H. hampei, (c) mengetahui komposisi stadia perkembangan H. hampei di hubungkan dengan kematangan buah (hijau, kuning, merah), dan (d) mengetahui korelasi faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola distribusi H. hampei berkelompok disektor bawah, intensitas serangan ringan. Komposisi perkembangan stadia H. hampei lebih banyak berlangsung pada buah berwarna merah. Faktor fisik lingkungan tidak berkorelasi terhadap intensitas serangan H. hampei.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis tentang “Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS sebagai Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS sebagai Dosen Pembimbing II atas arahan dan bimbingan.
2. Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc, dan Dr. Budi Utomo, SP, MP sebagai penguji atas masukan dalam penyempurnaan penyusunan hasil penelitian ini.
3. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BIOMED yang banyak memberikan bantuan dan pemikiran dalam penyelesaiaan hasil penelitian ini, juga Ibu Hesti Wahyuningsih, M.Si yang telah membantu penulis untuk mengidentifikasi serangga ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
4. Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bappeda Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa S-2 kepada penulis.
Akhir kata semoga Tuhan memberkati Bapak Ibu sekalian dan selalu memberikan Berkat-Nya kepada kita dalam mengejar ilmu dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, Agustus 2010
(9)
RIWAYAT HIDUP
NORMAULI MANURUNG dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1962 di Medan,
Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, Sumatera Utara. Anak dari pasangan ayahanda
Alm. I.K Manurung dan ibunda O.Doloksaribu, sebagai anak ketiga dari tujuh
bersaudara.
Tahun 1974 penulis lulus SD St. Antonius V Medan, tahun 1977 lulus dari
SMP Negeri 3 Medan dan tahun 1981 lulus dari SMA Negeri 5 Medan. Pada tahun
1981 memasuki Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan Fakultas MIPA
dengan Program Studi Pendidikan Biologi lulus pada tahun 1986. Tahun 1986-1988
honor di Yayasan Parulian Medan. Pada tahun 1988 lulus PNS dan ditempatkan di
SMA Negeri Sianjur Mulamula Tobasa. Tahun 1991 mutasi ke Medan sebagai Guru
DPK pada SMA Swasta Timbul Jaya Medan. Pada tahun 2002 mutasi ke SMA
Negeri 14 Medan sampai sekarang.
Tahun 2008 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister
(S2) di Program studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT………. i
ABSTRAK………. ii
KATAPENGANTAR………. iii
RIWAYAT HIDUP……… iv
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL………. vii
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN... x
I. PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 4
1.4 Manfaat Penelitian... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA... 6
2.1 Tanaman Kopi... 6
2.1.1 Klasifikasi... 6
2.1.2 Morfologi... 7
2.1.3 Syarat Tumbuh... 9
2.2 Hama Tanaman Kopi... 11
2.2.1 Hypothenemus hampei ... 11
2.2.1.1 Klasifikasi... 2.2.1.2 Biologi H. hampei... 12
2.2.1.3 Gejala Serangan... 14
2.2.1.4 Pola Penyebaran... 16
2.2.1.5 Pengaruh Lingkungan... 18
2.2.1.6 Pengendalian... 18
2.2.2 Xylosandrus spp (Penggerek cabang)... 20
2.2.3 Coccus viridis (kutu hijau)... 21
2.2.4 Ferrisia virgata (kutu putih)... 21
2.3 Penyakit Tanaman Kopi... 22
(11)
2.3.2 Cortichium salmonicolor (Jamur upas)………….... 22
2.3.3 Penyakit akar... 23
III. BAHAN DAN METODE... 25
3.1 Deskripsi Area... 25
3.1.1 Letak dan Luas Area... 25
3.1.2 Topografi... 25
3.1.3 Tipe Iklim... 26
3.1.4 Mata Pencaharian Penduduk... 26
3.1.5 Penentuan Lokasi Penelitian... 27
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 29
3.3 Bahan dan Alat... 29
3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 29
3.4.1 Pola Sebaran Spatial... 30
3.4.2 Intensitas Serangan... 31
3.4.3 Stadia Perkembangan H. hampei ... 32
3.4.4 Pengamatan Parasitoid... 32
3.5 Pengukuran Faktor Lingkungan... 32
3.6 Analisis Data... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36
4.1 Indeks Distribusi (Morista) H. hampei... 36
4.2 Komposisi Stadia Perkembangan H.hampei... 39
4.3 Intensitas Serangan... 43
4.4 Analisis Faktor Fisik Lingkungan... 46
4.5 Pengamatan Parasitoid... 54
V. KESMPULAN DAN SARAN... 60
1.1 Kesimpulan... 60
1.2 Saran……….. 61
(12)
DAFTAR PUSTAKA... 62 LAMPIRAN... 67
(13)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Luas dan Produksi Tanaman Kopi Arabika Rakyat
KabupatenPakpak Bharat... 27 2. Lokasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian m dpl... 28
3. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi Seluruh Pengamatan
dalam Satu Pohon dari 5 Ketinggian... 36
4. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi pada Setiap Ketinggian... 38
5. Komposisi Stadia Perkembangan H.hampei pada 5 Ketinggian... 39 6. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan
Kematangan Buah pada 5 Ketinggian... 40 7. Komposisi Telur, Larva, Pupa, dan Imago berdasarkan
Ketinggian Tempat... 43
8. Intensitas
Serangan H. hampei Berdasarkan Ketinggian Tempat... 44 9. Nilai Rata-rata dan Standart Deviasi Intensitas Serangan H.hampei
Berdasarkan Cabang Pohon di Sektor Bawah, Tengah,dan Atas... 45
10. Rata-Rata Intensitas Serangan H. hampei pada Masing-Masing
Ketinggian... 46
11. F
aktor Fisik Areal Tanaman Kopi Arabika di 5 Ketinggian……... 47
12. Nilai Analisis Korelasi Spearman antara berbagai Faktor Fisik
(14)
DAFTAR
GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Tanaman Kopi Arabika...6
2. Buah Kopi Hijau, Kuning dan Merah...8
3. a. H. hampei betina...12
b. H.hampei betina menggerek buah kopi...12
4. Telur H.hampei......13
5. Larva H hampei...13
6. Pupa H.hampei...13
7. Imago H. hampei....14
8. Buah Kopi yang terserang H. hampei...16
9. Cara menentukan tanaman pengamatan...30
10. Cara menentukan Sektor pengamatan...31
11. Penentuan Ranting dari Tiap Arah Mata Angin...31
Tajuk dilihat dari atas 12. Laba-laba Serigala...54
13. Laba-laba Kepiting...54
(15)
15. Laba-laba Lompat...54
16. Laba-laba Pembuat Jaring...54
17. Semut Angkrang...56
18. Semut Hitam...56
19. Semut Iridomyrmex...56
20. Famili Corduliidae...57
21. Famili Aeshnidae...57
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Peta Administrasi Kabupaten Pakpak Bharat...66
2. Gambar Stadia Perkembangan H.Hampei...67
3. a. Gambar Gejala Serangan H. hampei...68
b. Gambar Ukuran Buah Kopi...68
c. Gambar Buah yang Terserang H. Hampei...68
d. Gambar Buah yang Sehat...68
4. Pengamatan 1. Total Buah Kopi dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Percabang...69
5. Pengamatan 2. Total Buah Kopi dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Percabang...77
6. Pengamatan 1. Total Buah Kopi yang Sehat dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Perpohon... .85
7. Pengamatan 2. Total Buah Kopi yang Sehat dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Perpohon...87
8. Pengamatan 1. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada Buah Berwarna Hijau, Kuning dan Merah... 89
9. Pengamatan 2. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada Buah Berwarna Hijau, Kuning dan Merah... .92
10. Pengamatan 1. Faktor Abiotik... ….95
11. Pengamatan 2. Faktor Abiotik... .97
12. Data Curah Hujan/mm... .99
13. Contoh Pengolahan Data Indeks Distribusi (Morista)... 100
(17)
15. Tabel Rata- Rata Intensitas Serangan
pada masing-masing Ketinggian...102
16. Tabel Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan Kematangan Buah (Warna Hijau, Kuning dan Merah)
pada 5 Ketinggian...106
17. Tabel Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan
Ketinggian Tempat...109
18. Analisis Faktor Fisik Lingkungan dengan Intensitas Serangan...111
19. Surat Hasil Identifikasi Serangga LIPI...114
20. Surat Jalan / Permohonan Bantuan Kelancaran
kepada Bupati Pakpak Bharat...116
(18)
ABSTRACT
Ecology Research Coffee Pod Borer (Hypotenemus hampei) at Arabica Coffee Plants (Coffea arabica) in District Pakpak Bharat had been conducted in March 2010 - April 2010. Research in the form of this survey sampled at 5 height is: A ≤ 700, 700 < B ≤ 800, 800 < C ≤ 900, 900 < D ≤ 1000, and E > 1000 meters above sea level. This study aims to (a) know H.hampei distribution pattern, (b) measuring the intensity of attacks H.hampei, (c) the composition of stadia development in H.hampei connect with ripeness (green, yellow, red), and (d) know the correlation of physical environmental factors with itensity attacks. The results showed that the distribution pattern of H. hampei clustered in the bottom sector, the intensity of light attacks. Composition of the development of stadia H. hampei more progress on the red colored fruit. Physical environmental factors are not correlated to the intensity of attacks H.hampei.
(19)
ABSTRAK
Penelitian Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat telah dilaksanakan pada bulan Maret 2010 – April 2010. Penelitian yang berupa survei ini mengambil sampel di 5 ketinggian yaitu : A ≤ 700, 700< B≤800, 800<C≤900, 900<D≤1000, dan E>1000 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini bertujuan (a) mengetahui pola distribusi H. hampei, (b) mengukur intensitas serangan H. hampei, (c) mengetahui komposisi stadia perkembangan H. hampei di hubungkan dengan kematangan buah (hijau, kuning, merah), dan (d) mengetahui korelasi faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola distribusi H. hampei berkelompok disektor bawah, intensitas serangan ringan. Komposisi perkembangan stadia H. hampei lebih banyak berlangsung pada buah berwarna merah. Faktor fisik lingkungan tidak berkorelasi terhadap intensitas serangan H. hampei.
(20)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
sumber pendapatan dan devisa negara. Perkebunan kopi mampu menyediakan
lapangan kerja dan pendapatan kepada lebih dari 2 juta kepala keluarga petani dan
menghasilkan devisa lebih dari US$ 500 juta/tahun pada periode 1994-1998 (Herman,
2003).
Kabupaten Pakpak Bharat merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi
pada tahun 2003. Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat penghasil kopi
Sidikalang. Predikat kopi Sidikalang yang diolah dari kopi robusta pernah mencapai
masa kejayaan, bahkan secara ekonomis mengangkat harkat masyarakat Dairi.
Belakangan ini popularitas kopi Sidikalang semakin surut seiring fluktuasi harga dan
rendahnya produksi, akibatnya petani beralih ke tanaman kopi jenis arabika.
Hasil pendataan BPS Kabupaten Pakpak Bharat tahun 2008, bahwa pada
tahun 2007 di Kabupaten Pakpak Bharat tercatat jumlah produksi kopi robusta
sebesar 414,06 ton dengan luas area 741,76 Ha sedangkan produksi arabika 580,21
ton dan luas area 973,50 Ha. Data tersebut menunjukkan bahwa petani sudah beralih
dari jenis kopi robusta ke jenis kopi arabika. Jenis kopi arabika yang ditanam di
Pakpak Bharat adalah varietas Sigarar utang yang sering disebut kopi ateng. Kopi
(21)
Tanamaan kopi dikenal sebagai salah satu tanaman yang disukai oleh banyak
jenis serangga hama. Sampai saat ini tercatat lebih dari 900 jenis serangga hama pada
tanaman kopi yang tersebar diseluruh dunia. Di Indonesia terdapat beberapa jenis
hama utama kopi, yaitu: hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei,
penggerek cabang hitam Xylosandrus compactus, penggerek cabang coklat
Xylosandrus morigerus, kutu hijau Coccus viridis, dan penggerek batang merah
Zeuzera coffea (Kadir et al., 2003).
Di 70 negara yang termasuk daerah tropis lembab, kopi (Coffea spp,
Rubiaceae) merupakan komoditas pertanian yang penting. Produksinya telah
meningkat selama dekade terakhir melalui penggunaan varietas unggul, pupuk dan
jumlah tanaman (Baker et al., 2002 dalam Jaramillo et al., 2006). Dibanyak negara produksi kopi ini sangat terancam oleh serangan hama dan penyakit. Hypothenemus hampei sebagai hama kopi yang paling penting di dunia (Mathieu et al., 1997). Saat ini banyak petani kopi mengandalkan aplikasi insektisida sintetik untuk
mengendalikan H.hampei. Endosulfan dan klorpirifos yang paling umum digunakan sebagai insektisida yang sangat beracun dan merupakan ancaman terhadap
lingkungan, petani yang menggunakannya, dan masyarakat yang tinggal berdekatan
dengan perkebunan kopi (Baker et al., 2002 dalam Jaramillo et al., 2006).
Cara-cara yang disarankan untuk mengendalikan H.hampei adalah dengan memutuskan siklus hama tersebut. Praktek ini telah diadopsi di Amerika Selatan
(Kolombia, dan Brasil). Metode ini dapat mengurangi 60-90% dari kerusakan hama,
(22)
parasitoid utama H.hampei yaitu Cephalonomia stephanoderes & Prorops nasuta
(bethylids), Phymastichus coffea (Eulophid), dan Braconid coffeicola, Heterospilus. Selain itu, Beauveria bassiana telah dilaporkan sebagai musuh alami yang penting. Jamur ini menginfeksi H. hampei betina dan membunuh sebelum masuk ke dalam biji kopi, patogen tampaknya sangat efektif, menyebabkan 80% H. hampei mati (Brun & Suckling, 2001).
1.2 Perumusan Masalah
Kopi arabika merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat Pakpak
Bharat. Kopi arabika juga merupakan habitat bagi hama H. hampei yaitu hama penggerek buah kopi, hama tersebut dapat merusak buah kopi sehingga menyebabkan
hasil produksi kopi akan menurun. Soekadar Wiryadiputra mengatakan serangan
hama penggerak buah kopi ternyata mampu menurunkan produktivitas dalam jumlah
besar hingga di atas 20 persen. Serangga ini merusak sejak fase pembungaan hingga
pematangan yang membuat buah jadi hampa. Dari kalkulasi nasional, serangan itu
telah menimbulkan kerugian ekonomi hingga 2,4 milliar per tahun atau kehilangan
buah sebanyak 160 ribu ton.
H. hampei menyebabkan kerugian ekonomi dan mempengaruhi ekonomi lebih dari 20 juta keluarga pedesaan di dunia (Vega et al., 2003a dalam Jaramillo et al., 2006). Serangan H. hampei adalah salah satu masalah terbesar produksi kopi global, yang dapat mengakibatkan kerugian besar dalam hasil panen yang berkisar
(23)
dari 5% sampai 24% . Dalam kasus-kasus ekstrim dilaporkan kehilangan hasil sampai
50%. (Ramirez dan Mora, 2001 dalam Todo Monografías.com, 2006).
Salah satu kendala budi daya kopi di Kabupaten Pakpak Bharat adalah
serangan Hypothenemus hampei, namun belum ada data yang menunjukkan berapa besar intensitas serangan dan pola distribusi dari H.hampei. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti berapa besar intensitas serangan dan bagaima pola distribusi
H.hampei pada tanaman kopi arabika masyarakat di Kabupaten Pakpak Bharat.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pola distribusi hama H. hampei pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.
2. Untuk mengetahui intensitas serangan hama H. hampei pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.
3. Untuk mengidentifikasi komposisi stadia perkembangan H. Hampei dihubungkan dengan kematangan buah kopi arabika yang berwarna hijau, kuning dan merah di
lokasi penelitian.
4. Untuk mengetahui korelasi faktor fisik terhadap intensitas serangan H.hampei
pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.
5. Untuk mengidentifikasi parasitoid dan predator yang ditemukan di lokasi
(24)
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai informasi kepada pihak yang membutuhkan mengenai pola distribusi
dan intensitas serangan hama penggerek buah kopi H. hampei pada tanaman kopi arabika di Pakpak Bharat.
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kopi
2.1.1 Klasifikasi
Tanaman kopi (Gambar 1) termasuk dalam Kingdom Plantae, Sub kingdom Tracheobionta, Super divisi Spermatophyta, Divisi Magnoliophyta, Class Magnoliopsida/Dicotyledons, Sub class Asteridae, Ordo Rubiales, Famili Rubiaceae, Genus Coffea, Spesies Coffea arabica L (USDA, 2002). Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi
arabika, robusta, dan liberika. Pada umumnya, penggolongan kopi berdasarkan
spesies, kecuali kopi robusta. Kopi robusta bukan nama spesies karena kopi ini
merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi, terutama Coffea canephora (AAK, 1988).
(26)
2.1.2 Morfologi
Secara alami, tanaman kopi memiliki akar tunggang sehingga tidak mudah
rebah. Namun, akar tunggang tersebut hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang berasal
dari bibit semai atau bibit sambung (okulasi) yang batang bawahnya berasal dari bibit
semai. Sementara tanaman kopi yang berasal dari bibit setek, cangkok, atau okulasi
yang batang bawahnya berasal dari bibit setek tidak memiliki akar tunggang sehingga
relatife mudah rebah (AAK, 1988).
Batang dan cabang kopi berkayu, tegak lurus dan beruas-ruas. Tiap ruas
hampir selalu ditumbuhi kuncup. Tanaman ini mempunyai dua macam pertumbuhan
cabang, yaitu cabang Orthrotrop dan Plagiotrop. Cabang Orthrotrop merupakan cabang yang tumbuh tegak seperti batang, disebut juga tunas air atau wiwilan atau
cabang air. Cabang ini tidak menghasilkan bunga atau buah. Cabang Plagiotrop
merupakan cabang yang tumbuh ke samping. Cabang ini menghasilkan bunga dan
buah (AAK, 1988).
Daun kopi berbentuk bulat, ujungnya agak meruncing sampai bulat dengan
bagian pinggir yang bergelombang. Daun tumbuh pada batang, cabang dan ranting.
Pada cabang Orthrotrop letak daun berselang seling, sedangkan pada cabang
Plagiotrop terletak pada satu bidang. Daun kopi robusta ukurannya lebih besar dari
arabika (Wachjar, 1984).
Pada umumnya, tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun.
Bunga kopi berukuran kecil. Mahkota berwarna putih dan berbau harum. Kelopak
(27)
4-6 kuntum bunga. Tanaman kopi yang sudah cukup dewasa dan dipelihara dengan
baik dapat menghasilkan ribuan bunga. Bila bunga sudah dewasa, kelopak dan
mahkota akan membuka, kemudian segera terjadi penyerbukan. Setelah itu bunga
akan berkembang menjadi buah (AAK, 1988).
Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga
bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis, tetapi keras. Buah kopi yang muda berwarna hijau, tetapi setelah tua menjadi kuning dan kalau masak warnanya menjadi
merah (Gambar 2). Besar buah kira-kira 1,5 x 1 cm dan bertangkai pendek. Pada
umumnya buah kopi mengandung dua butir biji, biji tersebut mempunyai dua bidang,
bidang yang datar (perut) dan bidang yang cembung (punggung). Tetapi ada kalanya
hanya ada satu butir biji yang bentuknya bulat panjang yang disebut kopi "lanang".
Kadang- kadang ada yang hampa, sebaliknya ada pula yang berbiji 3-4 butir yang
disebut polysperma (AAK, 1988).
(28)
Biji kopi kering mempunyai komposisi sebagai berikut: air 12%, protein 13%,
lemak 12%, gula 9%, caffeine 1-1,5% (arabika), 2-2,5% (robusta), caffetanic acid
9%, cellulose dan sejenisnya 35%, abu 4%, zat-zat lainnya yang larut dalam air 5%
(Wachjar, 1984). Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa calon
pembentuk citarasa dan aroma khas kopi antara lain asam amino dan gula (PPKKI,
2006).
2.1.3 Syarat Tumbuh
Pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat dipengaruhi oleh keadaan
iklim dan tanah, bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan
penyakit. Hal yang juga penting harus dipenuhi adalah pemeliharaan antara lain:
pemupukan, pemangkasan, pohon peneduh dan pemberantasan hama dan penyakit
(AAK, 1988).
Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan kopi yang terpenting
adalah distribusi curah hujan. Kopi memerlukan tiga bulan kering berturut-turut yang
kemudian diikuti curah hujan yang cukup. Masa kering ini diperlukan untuk
pembentukan primordia bunga, florasi dan penyerbukan, terutama lebih penting bagi
kopi robusta. Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan kopi adalah
2000-3000 mm per tahun. Daerah kopi terbaik di Brasil mempunyai curah hujan 1778-2032
mm per tahun, dengan curah hujan 127-152,4 mm selama tiga bulan yang terkering.
(29)
tahan terhadap masa kering yang berat. Hal ini disebabkan karena kopi arabika
ditanam pada elevasi tinggi yang dingin dan relatif lebih lembab serta akarnya yang
lebih dalam dari pada robusta (Wachjar, 1984).
Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda.
Misalnya, kopi robusta dapat tumbuh optimum pada ketinggian 400-700 m dpl
dengan temperatur rata-rata tahunan 20°-24° C, tetapi beberapa diantaranya juga
masih tumbuh baik dan ekonomis pada ketinggian 0-1000 m dpl. Kopi arabika
menghendaki ketinggian tempat antara 500 - 1700 m dpl dengan temperatur rata-rata
tahunan 17°-21°C. Bila kopi arabika ditanam di dataran rendah (kurang dari 500 m
dpl), biasanya produksi dan mutunya rendah serta mudah terserang penyakit karat
daun yang disebabkan oleh cendawan Hemmileia vastatrix (HV) (AAK, 1988). Tanaman kopi menghendaki penyinaran matahari yang cukup panjang, akan
tetapi cahaya matahari yang terlalu tinggi kurang baik. Oleh karena itu dalam praktek
kebun kopi diberi naungan dengan tujuan agar intensitas cahaya matahari tidak terlalu
kuat. Sebaliknya naungan yang terlalu berat (lebat) akan mengurangi pembuahan
pada kopi. Produksi kopi dengan naungan sedang, akan lebih tinggi dari pada kopi
tanpa naungan. Kopi termasuk tanaman hari pendek (short day plant), yaitu pembungaan terjadi bila siang hari kurang dari 12 jam (Wachjar, 1984).
Menurut AAK (1988), naungan yang sering dipergunakan di dalam
perkebunan ialah jenis dadap (Eurythrina lithosperma), sengon laut (Albizzia falcata)
dan lamtoro (Leucaena glauca), karena tumbuhnya cepat, bentuk dari naungannya merata, daunnya banyak, kalau dipangkas cepat tumbuh dan mudah ditanam dengan
(30)
stek. Selain pohon pelindung biasanya disertai tanaman penutup tanah seperti
Centrosema, kecipir gunung (Psophocarpus), semacam koro (krotok), wedusan dan sebagainya. Semua ini sangat baik sebagai mulsa. Menurut percobaan-percobaan di
luar negeri, dengan mulsa itu dapat menaikkan produksi 66% - 213% selama tiga
tahun. Dengan demikian mulsa dan penutup tanah itu sangat penting untuk semua
perkebunan.
2.2 Hama Tanaman Kopi
2.2.1 Hypothenemus hampei ( Penggerek buah) 2.2.1.1 Klasifikasi
Hypothenemus hampei (Gambar 3a) merupakan salah satu penyebab utama penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara penghasil
kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak berkembang,
berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur mengakibatkan
penurunan jumlah dan mutu hasil (Kadir et al., 2003).
Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
(31)
Genus : Hypothenemus
Spesies : Hypothenemus hampei
2.2.1.2 Biologi H. hampei
H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa (Lampiran 2). Kumbang betina
lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina lebihkurang 1,7 mm dan
lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar 0,6-0,7 mm.
Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang gerekan dengan diameter
lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada bagian ujung (Gambar 3b).
Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya. Telur menetas 5-9
hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari. Pada ketinggian 500 m
dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk perkembangannya. Pada
ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga diperlukan waktu 33 hari .
Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari, sedangkan serangga jantan maksimal
103 hari (PCW, 2002 & Susniahti et al., 2005).
Gambar 3b. H. hampei betina menggerek buah kopi Gambar 3a
(32)
Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50 butir. Telur
(Gambar 4) menetas menjadi larva (Gambar 5) yang menggerek biji kopi. Larva
menjadi kepompong (Gambar 6) di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar
dari kepompong. Jantan dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian
sebagian betina terbang ke buah lain untuk masuk, lalu bertelur lagi (PCW, 2002).
Gbr. TelurH.hampei
Mikroskop Olympus BX51TF 100‐120/220‐240V . Perbesaran 100 X
Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6
Telur H. hampei Larva H. hampei Pupa H. hampei
Serangga dewasa atau imago (Gambar 7), perbandingan antara serangga
betina dengan serangga jantan rata-rata 10:1. Namun, pada saat akhir panen kopi
populasi serangga mulai turun karena terbatasnya makanan, populasi serangga hampir
semuanya betina, karena serangga betina memiliki umur yang lebih panjang
dibanding serangga jantan. Pada kondisi demikian perbandingan serangga betina dan
jantan dapat mencapai 500:1. Serangga jantan H.hampei tidak bisa terbang, oleh karena itu mereka tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji. Umur serangga
jantan hanya 103 hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari dengan
rata-rata 156 hari. Serangga betina mengadakan penerbangan pada sore hari, yaitu sekitar
(33)
Gambar 7. Imago H. hampei
2.2.1.3 Gejala Serangan
Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang
bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan dan
selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang, warnanya berubah
menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya
telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi karena biji berlubang (Gambar
8). Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap susunan senyawa
kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah
satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi
oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji
(Tobing et al., 2006).
Serangga H. hampei masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah, serangan pada
buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-lubang dan bermutu
(34)
Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji
keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur pada
biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi setelah
pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk penggerek ini,
dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga perbiji. Kumbang ini
diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu tahun pada biji kopi
dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).
H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak dikendalikan, serangan
dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan kering yang tertinggal setelah
panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei (DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang sampai merah , biasanya membuat
lubang dari ujung dan meletakkan telur pada buah. Kumbang betina terbang dari satu
pohon ke pohon yang lain untuk meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan
memakan isi buah sehingga menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002).
Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah. Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-lubang dan
bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke dalam buah kopi dengan
membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak dalam buah (Irulandi et al.,
(35)
Gambar 8. Buah kopi yang terserang H. hampei
Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah
memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika buah
sudah cukup matang (Baker et al., 1992).
2.2.1.4 Pola Penyebaran
Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian menyebar
luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan beberapa
pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi (Vega, 2002).
Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai penyebaran di
Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau hitam coklat (Susniahti
(36)
Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini diperkirakan lebih
dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk buah kopi ini telah ada
di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara, termasuk Puerto Rico juga telah
terdapat hama ini (Vega, 2002).
Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan daerah asal dari
hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang tanaman kopi liar yang
berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi serupa juga dijumpai di Brazil,
di mana serangan berat hama PBKo biasanya terjadi pada pertanaman kopi dengan
naungan berat dan berkabut sehingga kelembaban udara cukup tinggi (Wiryadiputra,
2007).
Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo
dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena fenologi pembuahan
tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat, curah hujan,
suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis. Kondisi pertanaman
kopi di daerah Sumatera yang tergolong daerah basah dan sebagian besar memiliki
tipe iklim B dan A (menurut tipe iklim Schmidt dan Ferguson) akan sulit menerapkan
sistem sanitasi untuk memutuskan siklus hidup hama karena pertanaman kopi
berbuah sepanjang tahun. Pada daerah dataran tinggi (lebih dari 1200 m dpl.)
serangga H. hampei perkembangannya terhambat, sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya intensitas serangan H. hampei juga rendah (Wiryadiputra, 2007).
(37)
2.2.1.5 Pengaruh Lingkungan
Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah kopi.
H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara 27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C, pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).
2.2.1.6 Pengendalian
Pengendalian dengan sanitasi sangat efektif untuk menurunkan intensitas
serangan hama H. hampei. Tindakan rampasan (memetik seluruh buah yang ada di pohon setelah panen) yang dipraktekkan pada suatu perkebunan pada tahun 1922
mampu menurunkan intensitas serangan H. hampei dari 40-90% menjadi 0,5-3%. Di Brazil, tindakan sanitasi dilaporkan juga sangat efektif untuk mengendalikan hama
PBKo (Wiryadiputra, 2007).
Memutus daur hidup H. hampei, meliputi tindakan petik buah, yaitu mengawali panen dengan memetik semua buah masak yang terserang H. hampei
maupun tidak 15 - 30 hari menjelang panen besar. Lelesan, yaitu pemungutan semua
buah kopi yang jatuh di tanah baik terhadap buah terserang maupun buah tidak
(38)
akhir panen. Semua bahan hasil petik bubuk, lelesan, dan racutan direndam dalam air
panas kurang lebih 5 menit (PPKKI, 2006).
Pemangkasan merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur teknis
yang dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama utama pada pertanaman kopi.
Pemangkasan dilakukan baik pada tanaman kopi maupun terhadap tanaman penaung.
Tindakan pemangkasan pada tanaman kopi ditujukan untuk menghindari kelembaban
yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan dapat
berlangsung secara intensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat penyinaran
merata guna merangsang pembungaan, dan membuang cabang tua yang kurang
produktif atau terserang hama atau penyakit sehingga hara dapat didistribusikan
kecabang muda yang lebih produktif (Kadir et al., 2003).
Pengendalian hayati dengan menggunakan musuh alami memiliki prospek
untuk dikembangkan. Musuh alami terdiri dari predator, parasitoid dan patogen.
Predator (pemangsa) menangkap dan memakan serangga hama (dan binatang lain).
Serangga yang berperan sebagai predator di perkebunan kopi antara lain laba-laba,
tawon kertas, cecopet, belalang sembah, kumbang kubah, kumbang harimau,
kumbang tanah, capung dan beberapa macam kepik (DPP, 2004).
Parasitoid adalah serangga yang hidup di dalam atau pada tubuh serangga
lain, dan membunuhnya secara pelan-pelan dari dalam. Ada empat parasitoid dari
H.hampei yaitu Stephanoderis cephalonomia & Prorops nasuta (Bethylids),
Phymastichus Coffea (Eulophid), dan Coffeicola heterospilus braconid semua berasal dari Afrika (PCW, 2002). Kelompok bethylids secara luas tersebar di seluruh
(39)
kopi yang tumbuh di wilayah Amerika Latin dan telah memberikan hasil yang
menjanjikan sebagai agen biokontrol dari hama (Alvarado & Rojas, 2008).
Seperti manusia dan binatang, serangga juga bisa kena penyakit. Penyakit
serangga bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk mengendalikan banyak jenis hama.
Penyakit disebabkan oleh organisme patogen (jamur, virus, bakteri, protozoa dan
nematoda). Jamur Beauveria bassiana adalah patogen yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan. Menurut PCW (2002) bahwa penggunaan jamur
entomopatogen Beauvaria bassiana berhasil menyebabkan kematian H. hampei
sebesar 80% di Kolombia.
Berbagai upaya untuk mengendalikan hama, di daerah-daerah penghasil kopi
di dunia masih diarahkan pada pengendalian secara kimia terutama dengan
menggunakan endosulfan. Hasil penelitian di Kaledonia Baru menunjukan bahwa
hama bubuk buah kopi ini telah mengembangkan ketahanannya pada endosulfan dan
lindane. Hasil penelitian dengan menggunakan insektisida monokrotofos 150 g/l,
metamidofos 200 g/l dan fosfamidon 500 g/l pada tanaman kopi di kecamatan
Modoinding, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa jenis-jenis insektisida ini dapat
menekan populasi hama bubuk buah kopi (Sembel et al., 1993).
2.2.2 Xylosandrus spp (Penggerek cabang)
Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera. Larva hama penggerek cabang
Xylosandrus menggerek cabang kopi. Tampaknya bahwa kumbang kecil ini lebih senang menyerang cabang atau ranting yang tua atau sakit. Ia juga menyerang ranting
(40)
muda yang masih lunak. Kumbang kecil ini termasuk ke dalam golongan serangga
yang mengembangbiakkan makanan untuk anak-anaknya, yaitu jamur Ambrosia. Kumbang ini membuat lubang masuk ke dalam ranting pohon kopi sehingga ranting
atau cabang itu tidak berbuah (DPP, 2004).
Cara pengendalian dengan menutup lubang gerekan, dan ulat yang ditemukan
dimusnahkan. Cara lain adalah memotong batang/cabang terserang 10 cm di bawah
lubang gerekan, kemudian ulatnya dimusnahkan/ dibakar. Cara hayati bisa dipakai,
misalnya dengan Beauveria bassiana, atau agens hayati lain (DPP, 2004).
2.2.3 Coccus viridis ( Kutu hijau)
Famili Coccidae, Ordo Homoptera. Kutu hijau adalah serangga yang tidak berpindah tempat dalam kebanyakan fase hidupnya sehingga tetap tinggal di satu
tempat untuk menghisap cairan dari tanaman. Kutu hijau menyerang cabang, ranting
dan daun pohon kopi arabica dan Robusta. Pengendaliannya dilakukan dengan
melestarikan kumbang helm dan larvanya yang merupakan musuh alami kutu hijau
yang ampuh. Juga ada jamur putih Cephalosporium lecanii yang menyerang dan membunuh kutu hijau ini di kebun. Verticillium adalah penyakit yang menyerang kutu hijau dan dapat mengendalikannya (Pracaya, 1986).
2.2.4 Ferrisia virgata (Kutu putih)
Famili Coccidae, Ordo Homoptera. Kutu putih mengisap cairan dari tanaman
(41)
selain kopi, termasuk lamtoro, jambu mete, kakao, jeruk, kapas, tomat, singkong, dll.
Kotoran kutu putih mengandung gula dari tanaman, jika kotoran dibuang pada daun
kopi, jamur dapat tumbuh pada kotoran tersebut dan merusak daun kopi. Kutu putih
mempunyai banyak jenis musuh alami, termasuk tawon parasitoid, kumbang kubah,
lalat jala dan jamur. (Pracaya, 1986).
2.3 Penyakit Tanaman Kopi
2.3.1 Hemileia vastatrix (Karat daun)
Hemileia vastatrix termasuk dalam Famili Urediaceae, Ordo Uredinales. H. vastatrix dapat menyerang mulai dari pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala tanaman yang terserang, daun yang sakit timbul bercak kuning kemudian berubah
menjadi coklat. Permukaan bercak pada sisi bawah daun terdapat uredospora seperti
tepung berwarna oranye atau jingga. Pada serangan berat pohon tampak kekuningan,
daunnya gugur akhirnya pohon menjadi gundul. Pengendalian penyakit dengan
memperkuat kebugaran tanaman melalui pemupukan berimbang, pemangkasan dan
pengaturan naungan untuk mengurangi kelembaban kebun dan memberikan sinar
matahari yang cukup pada tanaman (DPP, 2004).
2.3.2 Corticium salmonicolor (Jamur upas)
. Jamur C. salmonicolor Famili Corticiaceae, Ordo Sterealesdapat menyerang batang, cabang, ranting dan buah kopi. Infeksi jamur ini pertama kali terjadi pada sisi
(42)
benang-benang jamur tipis seperti sutera, berbentuk sarang labalaba. Selanjutnya pada bagian
tersebut terjadi nekrosis kemudian membusuk sehingga warnanya menjadi coklat tua
atau hitam. Nekrosis pada buah bermula dari pangkal buah di sekitar tangkai,
kemudian meluas ke seluruh permukaan dan mencapai endosperma (AAK, 1988).
Pengendalian jamur upas dengan menghilangkan sumber nutrisi yakni batang
dan cabang sakit dipotong sampai 10 cm di bawah pangkal dari bagian yang sakit.
Potongan-potongan ini dikumpulkan kemudian di bakar. Memetik buah-buah yang
sakit, dikumpulkan dan dibakar atau dipendam. Pemangkasan pohon pelindung untuk
mengurangi kelembaban kebun sehingga sinar matahari dapat masuk ke areal
pertanaman kopi (AAK, 1988).
2.3.3 Penyakit akar
Ada tiga jenis penyakit jamur akar pada tanaman kopi yang
disebabkan oleh Phellinus noxius, Rosellinia bunodes, dan Rigidoporus microporus
yaitu (1) jamur akar coklat; (2) jamur akar hitam; (3) jamur akar putih. Gejala
tanaman yang terserang warna daun hijau kekuningan, kusam, layu dan
menggantung. Seluruh daun menguning kemudian layu secara serempak, akhirnya
mengering di cabang. Pengendalian yang disarankan adalah dengan membongkar
pohon terserang sampai ke akarnya, lalu membakar. Lubang bekas bongkaran
dibiarkan terbuka selama ± 1 tahun. Pohon sehat di sekitar pohon sakit dan
(43)
Pengendalian ini diulang setiap 6 bulan sampai areal tersebut bebas dari jamur akar
(44)
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Deskripsi Area
3.1.1 Letak dan Luas Area
Kabupaten Pakpak Bharat (Lampiran 1) secara geografis terletak pada
02015’00” – 03032’00” LU dan 90000’ – 98031’ BT, sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Dairi, sebelah Timur dengan Kabupaten Toba Samosir, sebelah Selatan
dengan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Humbang Hasundutan, dan sebelah
Barat dengan Kabupaten Aceh Singkil. Luas keseluruhan wilayah 121.830 Ha, yang
terdiri dari 8 kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan
Sitellu Tali Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan
Sitellu Tali Urang Julu, Kecamatan Pergetteng Getteng Sengkut, dan Kecamatan
Pagindar. Luas wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya seluas
77.893,39 Ha, dan kawasan hutan lindung seluas 43.936,61 Ha. Luas area produksi
kopi arabika yang terbesar adalah Kecamatan Kerajaan dengan luas area 357,20 Ha
dan produksi 214,32 ton, diikuti dengan Kecamatan Siempat Rube dengan luas area
289,13 Ha dan produksi 173,50 ton dan Kecamatan Tinada dengan luas area 189,13
Ha dan produksi 128,89 ton (BPS Kabupaten Pakpak Bharat, 2008).
3.1.2 Topografi
Kabupaten Pakpak Bharat pada umumnya adalah berbukit-bukit dengan
(45)
laut. Luas Kabupaten Pakpak Bharat menurut kondisi tanah yaitu datar 3%, berombak
5%, curam 5%, bergelombang 18%, dan terjal 69%.
3.1.3 Tipe Iklim
Kabupaten Pakpak Bharat beriklim sedang dengan rata-rata suhu 28oC
dengan curah hujan per tahun sebesar 3110 mm. Iklim di Kabupaten Pakpak Bharat
tidak menentu, adakalanya musim penghujan dan adakalanya musim kemarau.
Musim penghujan biasanya pada bulan Januari, Maret, Juli, Agustus, September,
Oktober, November dan Desember setiap tahunnya (BPS Kabupaten Pakpak Bharat,
2008).
3.1.4 Mata Pencaharian Penduduk
Kabupaten Pakpak Bharat lahannya cukup luas dan subur sehingga sebagian
besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan rakyat. Hasil
pertanian berupa tanaman sayur-sayuran seperti cabe merah (Capsicum annum), kacang panjang (Vigna sinensis), terung (Solanum melongena), petai (Parkia speciosa), jengkol (Pithecellobium jiringa), bayam (Althernanthera philoxeroides) dan lainnya. Tanaman perdagangan bahan eksport seperti kopi arabika (Coffea arabica), kopi robusta (Coffea robusta) karet (Ficus elastica), kemenyan (Styrax benzoin), kulit manis (Cynamomum aromaticum), gambir (Uncaria gambir), jahe (Zingiber officinale), jeruk (Citrus sinensis) dan coklat (Theobroma cacao). Luas dan produksi tanaman kopi rakyat Kabupaten Pakpak Bharat dapat dilihat pada Tabel 1.
(46)
Tabel 1. Luas dan Produksi Tanaman Kopi Rakyat Kabupaten Pakpak Bharat
Jenis Tanaman
Kopi Robusta Kopi Arabika No Kecamatan
Luas Area (Ha)
Produksi (Ton)
Luas Area (Ha)
Produksi (Ton) 1. Salak 15, 70 23,55 61,30 30,15 2. Sitelu Tali Urang Jehe 83,60 49,40 - -
3. Pagindar - - - - 4. Sitelu Tali Urang Julu 10,65 13,84 49,40 19,70 5. Pergetteng-getteng
Sengkut 12,15 17,50 27,30 13,65 6. Kerajaan 274,15 137,57 357,20 214,32 7. Tinada 157,40 78,70 189,10 128,89 8. Siempat Rube 188,11 94,00 289,10 173,50 Jumlah Total 741,76 414,06 973,50 580,21 Sumber : (BPS Kabupaten Pakpak Bharat 2008)
3.1.5 Penentuan Lokasi Penelitian
Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Pakpak Bharat 2008 (Tabel 1),
bahwa dari 8 kecamatan tersebut yang memiliki produksi kopi arabika terbesar adalah
kecamatan Kerajaan dengan luas area 357,20 Ha dan produksi 214,32 ton, diikuti
dengan kecamatan Siempat Rube dengan luas area 289,13 Ha dan produksi 173,50
ton dan kecamatan Tinada dengan luas area 189,13 Ha dengan produksi 128,89 ton,
sehingga 3 kecamatan tersebut dipilih menjadi kecamatan penelitian.
Pengambilan desa penelitian ditentukan berdasarkan ketinggian di atas
permukaan laut (dpl) dengan 5 ketinggian di tiga kecamatan dan masing–masing
kecamatan ditentukan 5 desa sebagai desa pengamatan. Secara keseluruhan lokasi
(47)
Tabel 2. Lokasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian
Kecamatan
Kerajaan Siempat Rube Tinada Ketinggian
(m dpl)
Desa
A700 Pardomuan Sirpang Jambu Santar Jehe 700B800 Sileuh Jambu Buah Rea Prongil Jehe 800C900 Sarmeme Kuta Jungak Prongil Julu
900D1000 Pengiringan Mungkur Kuta Babo E1000 Cipako 1 Res Des Cipako 2
Selanjutnya pada masing-masing desa pengamatan ditentukan kebun pengamatan.
Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan memilih kebun petani yang
memiliki tanaman kopi arabika lebih kurang 250 sampai 800 pohon dengan umur
tanaman 2-6 tahun.
Untuk menentukan pohon pengamatan digunakan metode diagonal sehingga
diperoleh lima titik pengamatan. Dari tiap titik pengamatan diambil satu tanaman,
sehingga diperoleh lima tanaman pengamatan, empat disudut dan yang kelima di
bagian tengah kebun pengamatan.
Pengamatan H. hampei dilakukan dengan melihat gejala serangan di lapangan. Menurut Hendiarto (2007) kepadatan populasi serangga juga dapat
diperkirakan dari tingkat kerusakan yang dapat diamati seperti banyaknya biji yang
terserang. Gejala serangan H. hampei : serangga hama masuk ke dalam buah kopi melalui ujung buah bagian tengah di dekat diskus, buah yang terserang apabila dilihat
dari dekat tampak berlubang, apabila dipecah akan terlihat biji kopi hitam dan
(48)
Untuk metode diagonal besarnya persentase serangan berbanding lurus dengan
jumlah serangga hama baik pada stadia telur, nimfa dan imago (BBP2TP, 2010).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2010 di
kebun kopi masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat di 3 kecamatan dan 15 desa dengan
5 ketinggian berkisar antara 600-1400 m dpl. Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali
berturut-turut dengan interval waktu 1 kali dua minggu.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kopi arabika
berumur 2-6 tahun, buah kopi yang terserang H. hampei dan alkohol. Alat yang digunakan adalah termometer, higrometer, altimeter, lux meter, lup, kantongan
plastik, kamera digital, kain kasa, tali rafia, stoples, skapel, kuas, pinset, buku
identifikasi Borror (1990), Chynery (1993) dan alat tulis.
3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan H. hampei dilakukan dengan melihat gejala serangan (Lampiran 3a) pada buah kopi dengan ukuran kira-kira 1,5 x 1 cm (Lampiran 3b) di
lapangan. Untuk menentukan pohon pengamatan guna menentukan pola sebaran
spatial dan persentase tingkat serangan H. hampei dalam kebun pengamatan digunakan metode diagonal sehingga diperoleh lima titik pengamatan (Gambar 9).
(49)
Pada masing–masing titik pengamatan ditentukan satu pohon pengamatan sehingga
diperoleh lima tanaman pengamatan, empat di sudut dan satu di bagian tengah kebun
pengamatan.
Gambar 9. Cara Menentukan Tanaman Pengamatan
3.4.1 Pola Sebaran Spatial
Untuk menentukan pola sebaran spatial, tiap pohon kopi pengamatan dibagi
menjadi tiga sektor, yaitu sektor bawah, sektor tengah dan sektor atas (Gambar 10).
Pembagian sektor pengamatan dimulai dari cabang terbawah sampai cabang teratas.
Masing-masing sektor pengamatan pada tanaman kopi diambil 4 cabang kopi yang
mana ke empat cabang tersebut searah dengan 4 arah mata angin yaitu utara, selatan,
barat dan timur (Gambar 11). Pada masing-masing cabang diamati dan dihitung
jumlah buah kopi terserang, data yang diperoleh digunakan untuk mengetahui pola
(50)
Sektor Bawah Sektor Tengah Sektor Atas
Gambar 10. Cara Menentukan Sektor Pengamatan
Utara
Barat
Selatan Timur
Gambar 11. Penentuan Ranting dari Tiap Arah Mata Angin, Tajuk dilihat dari Atas
3.4.2 Intensitas Serangan
Untuk mengetahui intensitas serangan H. hampei, pada setiap pohon kopi pengamatan dihitung jumlah buah kopi yang terserang pada masing–masing cabang
dan total keseluruhan buah kopi yang terdapat pada masing – masing cabang (baik
buah kopi hijau, kuning, dan merah).
(51)
3.4.3 Stadia Perkembangan H. Hampei
Untuk pengamatan stadia perkembangan H. hampei, diambil 10 buah kopi yang terserang baik buah kopi hijau, kuning dan merah pada masing-masing kebun
pengamatan. Buah kopi yang terserang dibuka dan dilihat stadia perkembangan hama
H. hampei.
3.4.4 Pengamatan Parasitoid
Untuk melihat parasitoid dari H. hampei, buah kopi yang terinfeksi diambil sebanyak 50 buah pada masing-masing ketinggian. Buah kopi tersebut dimasukkan ke
dalam toples dan ditutup dengan kain kassa, setelah 15 hari buah kopi tersebut
dibuka dan serangga yang hidup di dalamnya dan yang ada di dalam toples
diidentifikasi. Perlakuan yang sama dilakukan sebanyak 2 kali untuk masing-masing
ketinggian. Serangga yang diperoleh dibawa ke LIPI untuk diidentifikasi.
3.5 Pengukuran Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang diukur mencakup faktor fisik antara lain:
a. Temperatur Udara
Temperatur udara diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang
digantung selama lebih kurang 10 menit. Kemudian dibaca skala pada termometer
tersebut. Temperatur udara diukur pada pagi hari sekitar jam 06.00 WIB
(sebelum matahari terbit), siang hari sekitar jam 12.00 WIB dan sore hari sekitar jam
(52)
b. Kelembaban Udara
Nilai kelembaban udara diukur dengan menggunakan higrometer dengan
memasukkan air mineral pada kantong yang terdapat pada bagian belakang alat dan
dibiarkan beberapa saat kemudian dihitung nilai kelembaban udaranya. Caranya
dengan menghitung selisih suhu kering dengan suhu basah, kemudian disesuaikan
dengan tabel yang ada pada alat tersebut.
c. Ketinggian
Ketinggian diukur dengan menggunakan altimeter, dengan cara membaca nilai
yang tertera pada alat tersebut.
d. Curah Hujan
Data curah hujan diambil secara manual dengan menggunakan bambu yang
berdiameter 10 cm. Setiap pagi diukur banyaknya air hujan yang tertampung dalam
bambu dengan menggunakan rol dengan satuan milli meter selama satu bulan.
e. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter, dengan cara
membaca nilai yang tertera pada alat tersebut.
3.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan pada (a) intensitas serangan H. hampei berdasarkan cabang pohon di sektor bawah, tengah dan atas; (b) intensitas serangan H. hampei
pada masing-masing ketinggian (c) komposisi telur, larva, pupa dan imago
(53)
berdasarkan ketinggian tempat. Data diuji distribusi normal dan homogenitas
variannya. Data yang berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji
Anova taraf 5%. Jika berbeda nyata maka dilakukan uji Post Hoc Bonferroni taraf
5%. Jika data tidak berdistribusi normal dan / atau homogen maka dilanjutkan dengan
uji Kruskal-Wallis. Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney taraf
5%.
a. Indeks Distribusi (Morista)
Untuk mengetahui pola distribusi atau sebaran H. hampei, apakah berkelompok, acak dan teratur (lengkap) pada tanaman kopi arabika maka dicari
melalui Indeks Morista dengan rumus sebagai berikut :
∑ x2 - ∑ x 1= N
( ∑ x )2 - ∑x
Keterangan: N = Jumlah Seluruh Plot
X = Jumlah Individu Pada Setiap Plot
1 = 0 = Distribusi Spesies Tersebut Random/Acak
1 > 0 = menunjukkan pola distribusi berkelompok
1 < 0 = menunjukkan pola distribusi seragam / beraturan
(54)
b. Intensitas Serangan
Intensitas serangan H. hampei dihitung dengan menggunakan rumus:
100%
x
b
a
I
Keterangan:
I = Tingkat serangan
a = Jumlah buah kopi terserang H. hampei per cabang b = Jumlah total buah kopi per cabang
Dengan kriteria sebagai berikut :
I < 25%, Intensitas Serangan Ringan
I = 25% - 50% Intensitas Serangan Sedang
I = 50% - 90% Inrensitas Serangan Berat
I > 90% Intensitas Serangan Fuso ( Rahayu et al., 2006).
c. Analisis Korelasi
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara faktor fisik
lingkungan dengan intensitas serangan H. hampei. Analisis korelasi dilakukan dengan uji korelasi Spearman.
(55)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Indeks Distribusi (Morista) H. Hampei
Pola distribusi Hypothenemus hampei dapat dilihat dari dua hal, yaitu pola distribusi dalam satu pohon (pola distribusi horizontal) dan pola distribusi pada tiap
ketinggian lokasi tumbuhan kopi (pola distribusi vertikal). Untuk pola distribusi
dalam satu pohon dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi H. hampei dalam Satu Pohon dari 5 Ketinggian
Letakcabang padatanaman kopi
IndeksDistribusi
(Id) Keterangan
Bawah 8,31 Berkelompok
Tengah 2,28 Berkelompok
H.hampei
Atas 1,36 Berkelompok
Menurut (Nurdin, 1992), indeks distribusi suatu genus dapat menjadi acak
atau random (bila Id = 0), berdistribusi berkelompok (bila Id > 0) dan berdistribusi
beraturan (bila Id < 0). Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa pola distribusi horizontal
H. hampei berkelompok di sektor bawah, tengah dan atas terutama di sektor bawah. Indeks distribusi pada masing-masing sektor berbeda, indeks distribusi tertinggi
terletak di sektor bawah dengan nilai indeks distribusi sebesar 8,31. Hal ini
disebabkan karena sektor bawah tidak terkena cahaya matahari secara langsung
sehingga kelembaban udara di sektor bawah menjadi lebih tinggi dan juga
(56)
2004) H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada bagian kebun kopi yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Hal yang sama juga
dikemukakan Nurdin (1992) bahwa penyebaran hewan darat dipengaruhi oleh
cahaya, suhu dan kelembaban udara. Selanjutnya Jaramillo et al., (2009) mengemukakan bahwa distribusi H. hampei dipengaruhi oleh temperatur dan ketersediaan tanaman inang. Hasil penelitian Rawai dan Titus (2002) sifat sebaran
serangga H. hampei secara horizontal adalah menggerombol karena tanaman yang terserang cenderung mengelompok pada kondisi lingkungan tertentu dimana
makanan serangga tersedia.
Pola distribusi pada tiap ketinggian lokasi tumbuhan kopi (pola distribusi
vertikal) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa pola distribusi
H.hampei pada ketinggian A,B,C dan D berkelompok di sektor bawah, tengah dan atas terutama di sektor bawah dengan nilai indeks distribusi A=10,07, B=9,53,
C=6,43 dan D=11,85. Hal ini disebabkan karena buah kopi yang matang tidak merata.
Menurut Wachjar (1984) cabang plagiotrop tanaman kopi berumur 1 tahun primordia
bunga terbentuk mula-mula pada ruas yang paling tua (pangkal) selanjutnya pada
cabang umur 2 tahun primordia bunga terbentuk dari pertengahan cabang menuju ke
ujung dan pangkal. Berarti kematangan buah tidak merata, H.hampei menyukai buah yang matang berwarna merah.
H.hampei betina terbangnya tidak begitu jauh karena sayap depan waktu terbang tidak berfungsi. Tersebarnya hama ini karena terbawa dalam buah kopi ke
(57)
distribusi mengelompok ditandai dengan jarak individu yang kecil, membutuhkan
sumber daya tertentu, sumber daya tidak merata dan kemampuan bergerak terbatas.
Menurut Lasmito et al., (1982) populasi hama di alam jarang sekali dijumpai menyebar secara acak, umumnya mereka akan menyebar secara berkelompok.
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi H. hampei pada Setiap Ketinggian
No Ketinggian Cabang di pohon Indeks Distribusi Keterangan 2. A700 Bawah 10.07 Berkelompok
Tengah 3.19 Berkelompok
Atas 1.84 Berkelompok Rata-Rata 5.19±4.68 Berkelompok
3. 700B800 Bawah 9.53 Berkelompok
Tengah 2.72 Berkelompok
Atas 1.97 Berkelompok Rata-Rata 4.74±4.17 Berkelompok
4. 800C900 Bawah 6.43 Berkelompok
Tengah 0.74 Berkelompok Atas 1.05 Berkelompok Rata-Rata 2.74±3.20 Berkelompok
5. 900D1000
Bawah 11.85 Berkelompok Tengah 5.61 Berkelompok Atas 1.22 Berkelompok Rata-Rata 6.23±5.34 Berkelompok
6. E1000 Bawah 3.68 Berkelompok Tengah -0.87 Beraturan Atas 0.71 Berkelompok
Rata-Rata 1.17±2.31 Berkelompok
Ketinggian E > 1000 m dpl pada sektor tengah pola distribusi H.hampei beraturan dengan nilai indeks distribusi -0,87. Hal ini disebabkan oleh karena buah
(58)
timur, selatan dan barat, didukung dengan faktor suhu 24,35˚C dan intensitas cahaya
396,67 lux yang rendah dibanding ketinggian A,B,C dan D sehingga faktor
kelembaban tidak begitu berbeda antara sektor bawah, tengah dan atas. Seperti yang
disampaikan oleh Suin (2002) bahwa faktor fisik yang hampir merata pada suatu
habitat serta tersedianya makanan organisma yang hidup di dalamnya sangat
menentukan organisme tersebut hidup beraturan.
4.2 Komposisi Stadia Perkembangan H.hampei (telur, larva, pupa, imago)
Hasil pengamatan terhadap komposisi stadia perkembangan H. hampei (telur, larva, pupa dan imago) yang dihubungkan dengan kematangan buah (buah berwarna
hijau.kuning dan merah) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada 5 Ketinggian
Ketinggian di atas permukaan laut (m dpl)
A700 700B800 800B900 900B1000 E1000 Rataan %
________________________________________________________________________ Hijau
Telur (butir) 1.50 2.17 0.83 1.00 1.33 1.37 4
Larva (ekor) 1.17 0.67 1.00 1.67 1.33 1.17 3 Pupa (ekor) 0.00 0.67 0.67 1.00 0.67 0.60 2 Imago (ekor) 5.50 5.33 4.33 6.00 6.50 5.53 14 Subtotal 23 Kuning
Telur (butir) 5.33 3.83 3.50 4.33 4.17 4.23 11
Larva (ekor) 2.00 1.83 2.00 1.50 0.83 1.63 4 Pupa (ekor) 1.50 2.00 2.00 2.83 2.50 2.17 6
Imago (ekor) 5.17 4.00 4.50 5.33 5.33 4.87 13 Subtotal 34 Merah
Telur (butir) 4.83 6.17 6.50 5.00 3.67 5.23 13 Larva (ekor) 4.50 3.50 4.50 2.67 2.50 3.53 9 Pupa (ekor) 1.50 3.17 3.67 1.83 4.33 2.90 7 Imago (ekor) 5.50 5.17 5.00 5.67 6.00 5.47 14
(59)
Subtotal 43 _______________________________________________________________________
Tabel 5 menunjukkan komposisi stadia perkembangan H. hampei (telur, larva, pupa, imago) 23% berlangsung pada buah berwarna hijau, 34% berlangsung pada buah
berwarna kuning dan 43% berlangsung pada buah berwarna merah. Jadi
perkembangan stadia H. hampei lebih besar berlangsung pada buah berwarna merah, karena kekerasan endosperm pada buah merah lebih sesuai bagi H. hampei untuk meletakkan telurnya. Seperti yang dikemukakan DPP (2004) bahwa buah yang sudah
tua paling disukai oleh hama ini. Selanjutnya Kalshoven (1981) mengemukakan
bahwa perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji keras
yang sudah matang berwarna kuning dan merah.
Hasil uji Bonferroni terhadap komposisi stadia perkembangan H. hampei
(telur, larva, pupa dan imago) yang dihubungkan dengan kematangan buah (buah
berwarna hijau.kuning dan merah) dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan Kematangan Buah pada 5 Ketinggian
Warna Buah
Telur (X ± SD) (butir)
Larva (X ± SD) (ekor)
Pupa (X ± SD) (ekor)
Imago (X ± SD) (ekor)
Rata2total±Sd (X total ± SD)
Hijau 1,37±0,52b 1,17±0,37b 0,60±0,37b 5,53±0,81a 2,17±2,08
Kuning
4,23±0,69a 1,63±0,49b 2,17±0,51a 4,87±0,59a 3,23±1,49
Merah 5,23±1,13a 3,53±0,96a 2,90±1,21a 5,47±0,40a 4,28±1,44
Rata2total±Sd 3,61±1,86 2,11±1,22 1,89±1,23 5,29±0,66
Keterangan: SD = Standar Deviasi, Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda di dalam kolom yang sama adalah berbeda secara nyata (p<0,05)
(60)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa jumlah telur pada buah berwarna hijau berbeda nyata dengan buah berwarna kuning dan merah. Jumlah telur lebih sedikit ditemukan pada
buah berwarna hijau dan terbanyak pada buah berwarna merah. Hal ini disebabkan
karena buah yang berwarna hijau pada umumnya digunakan imago sebagai bahan
makanannya saja. Seperti yang dikemukakan oleh Tobing et al., (2006) buah kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan,
penggerek buah kopi tidak meletakkan telurnya tetapi keluar dari buah. Selanjutnya
Jaramillo et al., (2006) mengatakan buah kopi yang kekerasan endospermanya kurang 20% akan ditinggalkan imago setelah mendapatkan makanan, tetapi ada juga yang
menunggu di terowongan eksokarp sampai endosperma keras dan berkembang biak.
1 12 10
11 9 4
2
Jumlah larva pada buah berwarna merah berbeda nyata dengan jumlah larva
pada buah berwarna hijau dan kuning. Jumlah larva lebih banyak pada buah berwarna
merah karena serangga betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah memiliki
endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Kekerasan endosperma seiring dengan kematangan buah yang ditandai dengan perubahan warna buah. Menurut Jaramillo et al., (2006) buah kopi yang kekerasan endospermanya lebih 20% akan digunakan H. hampei untuk meletakkan telurnya. Selanjutnya DPP (2004) mengatakan buah yang paling disukai H. hampei buah kopi berwarna merah.
Jumlah pupa pada buah berwarna hijau berbeda nyata dengan jumlah pupa
pada buah berwarna kuning dan merah. Jumlah pupa lebih sedikit dijumpai pada
(61)
yang dibutuhkan telur menjadi pupa ± 15-35 hari (PCW, 2002) sedangkan perubahan
buah kopi dari warna hijau kekuning dan kuning kemerah berlangsung selama 1
bulan (Manurung, 2008). Apabila telur diletakkan pada buah yang berwarna hijau,
maka perubahan telur tersebut menjadi pupa bersamaan dengan pematangan buah
hijau menjadi kuning atau kuning menjadi merah.
Jumlah imago tidak berbeda nyata pada buah berwarna hijau, kuning dan
merah, karena tersedianya buah kopi di lapangan dengan berbagai umur, di mana
serangga H.hampei sudah menyerang buah kopi sejak buah kopi yang masih muda sampai yang sudah tua sesuai dengan pernyataan Wiryadiputra (1996) bahwa di
pertanaman, hama H. hampei menyerang sejak buah masih berwarna hijau, yang bijinya dalam keadaan lunak, sampai dengan buah masak berwarna merah dan lewat
masak yang berwarna hitam, baik yang masih di pohon maupun yang telah gugur di
atas tanah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rubio et al., (2008) yang menyatakan bahwa imago H. hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk endosperma. Pada buah yang terserang dapat ditemukan lebih dari 1
imago dalam 1 buah kopi. Hal ini disebabkan mulai stadium telur sampai imago
serangga H.hampei tetap berada dalam biji dan menggerek dalam biji kopi. Seperti yang dikemukakan oleh Kalshoven (1981) bahwa perkembangan dari telur menjadi
imago berlangsung hanya di dalam biji keras yang sudah matang berwarna kuning
dan merah, selanjutnya Irulandi et al., (2007) menyatakan bahwa PBKo makan dan berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja.
(62)
Nilai rata – rata dan standart deviasi jumlah imago (5,53±0,81) pada buah
berwarna hijau berbeda nyata dengan jumlah telur (1,37±0,52), larva (1,17±0,37) dan
pupa (0,60±0,37) pada buah berwarna hijau hal ini disebabkan karena pada saat buah
dipetik imago sudah ada di dalam buah sedang menggerek untuk makan atau sedang
menunggu di terowongan eksokarp sampai biji memilki kekerasan lebih 20% untuk
meletakkan telurnya (Jaramillo et al., 2006). Stadia telur, larva dan pupa juga ditemukan pada buah berwarna hijau, karena serangga betina juga dapat bereproduksi
pada buah berwarna hijau apabila kekerasan endosperma sudah lebih 20%.
Komposisi telur, larva, pupa dan imago berdasarkan ketinggian tempat
dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil uji Anova (p>0,05), menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata antara ketinggian tempat A, B, C, D dan E terhadap jumlah
telur, larva, pupa dan imago. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan
ketersediaan buah kopi yang tidak jauh berbeda pada masing-masing ketinggian.
Tabel 7. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan Ketinggian Tempat
Ketinggian m dpl
Telur (X ± SD) (butir)
Larva (X ± SD) (ekor)
Pupa (X ± SD) (ekor)
Imago (X ± SD) (ekor)
XTotal±SD A≤700
3,89±2,08 2,56±1,73 1,00±0,87 5,39±0,19 ,21±2,09
700<B<800
4,06±2,01 ,00±1,42 1,94±1,25 4,83±0,73 3,21±1,80
800<C<900
3,61±2,83 2,50±1,80 2,11±1,50 4,61±0,35 3,21±1,88
900<D<100 3,44±2,14 1,94±0,63 1,89±0,92 5,67±0,33 3,24±1,91
E>1000
3,06±1,51 1,56±0,86 2,50±1,83 5,94±0,59 3,26±2,04
(63)
4.3 Intensitas Serangan
Intensitas seranganH. hampei pada ketinggian A, B, C, D dan E, termasuk kategori ringan. Nilai intensitas serangan pada masing – masing ketinggian dapat
dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Intensitas Serangan H. hampei Berdasarkan Ketinggian Tempat
No. Ketinggian (m dpl) I (%) Keterangan
1. A ≤ 700 7.74 Ringan
2. 700 < B ≤ 800 11.00 Ringan
3. 800 < C ≤ 900 3.19 Ringan
4. 900 < D ≤ 1000 3.51 Ringan
5. E > 1000 5.47 Ringan
Kriteria intensitas serangan organisme dapat dikelompokkan menjadi
intensitas serangan ringan (bila I<25%), intensitas serangan sedang (bila I 25-50%),
intensitas serangan berat (bila I = 50-90%) serta intensitas serangan fuso (bila I>90%)
(Rahayu et al., 2006). Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai intensitas serangan hama H. hampei pada masing-masing ketinggian termasuk kategori ringan. Hal ini disebabkan oleh karena serangga betina tidak mendapat kondisi habitat yang sesuai, yaitu kurang
tersedianya buah kopi yang berwarna merah. Menurut Wachjar (1984) panen besar
kopi arabika di Dairi (Sumatera Utara) jatuh pada bulan Oktober sampai Desember.
Oleh karena itu keadaan faktor makanan yang berlimpah bagi H. hampei berada pada bulan–bulan Oktober sampai dengan Desember. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret sampai April sehingga keberadaan buah kopi di lapangan dalam jumlah
(64)
matang dipanen dan dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga buah
kopi yang matang tersedia sedikit di lapangan sebagai habitatnya dan tempat
melangsungkan reproduksinya. Intensitas serangan tertinggi pada ketinggian 700 < B
≤ 800 m dpl dengan nilai intensitas serangan 11,00%. Hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan terjadi keterlambatan pemanenan sehingga terdapat banyak
buah merah pada tanaman kopi tersebut. Intensitas serangan H. hampei akan semakin tinggi karena tersedianya substrat yang dibutuhkan oleh serangga untuk berkembang
biak. Menurut DPP (2004) buah merah merupakan buah yang paling disukai oleh
serangga betina untuk berkembang biak.
Hasil uji Anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05)
rata-rata intensitas serangan H. hampei antara cabang Utara, Timur, Selatan, dan Barat pada sektor bawah, tengah dan atas (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa buah kopi
yang matang tersedia pada cabang Utara,Timur, Selatan dan Barat baik di sektor
bawah, tengah dan atas. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa faktor fisik tidak
begitu berpengaruh terhadap intensitas serangan H. hampei.
Tabel 9. Nilai Rata – rata dan Standart Deviasi Intensitas Serangan H. hampei Berdasarkan Cabang Pohon di Sektor Bawah, Tengah dan Atas
Sektor
Utara (X±SD)
Cabang Timur (X±SD)
Selatan (X±SD)
Barat (X±SD)
Bawah 9.38 ±6.91 11.33 ±10.12 9.92±6.16 11.25 ± 9.74
Tengah 0.24 ±8.58 10.64 ± 9.95 7.42±5.65 8.69 ± 6.56
Atas 9.79 ±7.22 9.17 ± 6.37 7.58±5.86 6.82 ± 5.15
(65)
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan intensitas serangan
yang signifikan antara ketinggian A, B dengan C, D dan E (Tabel 10). Hal ini
disebabkan karena A, B memiliki suhu udara yang berbeda dengan C, D dan E.
Perbedaan suhu mempengaruhi kemampuan H. hampei untuk bereproduksi dan beraktifitas. Hasil penelitian Jaramillo et al., (2009) menunjukkan stadia perkembangan H. hampei dari telur sampai imago berlangsung pada suhu antara 20-30⁰C. Suhu udara pada ketinggian A, B (26,12⁰C dan 26,21⁰C) lebih sesuai bagi H. hampei untuk bereproduksi dibandingkan dengan ketinggian C, D dan E dengan suhu udara (25,56⁰C, 25,55⁰C, 24,35⁰C) dibuktikan dengan intensitas serangan di A, B lebih tinggi dari di C, D dan E. Sesuai dengan yang dikemukakan Budiharsanto
(2006), untuk melakukan aktivitas, masing – masing serangga hama mempunyai suhu
optimal yang berbeda – beda. Suhu optimal bagi serangga hama kebanyakan adalah
26ºC, pada suhu optimum kemampuan berkembang sangat besar.
Tabel 10. Rata-Rata Intensitas Serangan H. hampei pada masing-masing Ketinggian
700 700B800 800C900 900D1000 E1000 m dpl m dpl m dpl m dpl m dpl I (%) I (%) I (%) I (%) I(%) 12.36±7.18a 13.64±6.58a 6.51±5.90b 5.02±3.74b 9.24±9.20b
Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda di dalam baris yang sama adalah berbeda secara nyata (p<0,05)
4.4. Analisis Faktor Fisik Lingkungan
(66)
kopi arabika dilima ketinggian dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel. 11. Faktor Fisik Areal Tanaman Kopi Arabika di Lokasi Penelitian
________________________________________________________________________
Faktor Fisik Ketinggian Tempat
A700 700B800 800C900 900D1000 E1000 Intensitas Cahaya (Lux) 637.83 366.17 909.33 484.67 396.67 Suhu Tanah (0˚C) 24.50 25.00 24.00 25.00 24.33 Suhu Pagi (0˚C) 19.82 20.87 20.78 21.28 19.08 Suhu Siang (0˚C) 31.08 30.25 29.28 29.92 29.50 Suhu Sore (0˚C) 27.47 27.53 26.63 25.47 24.47 Suhu Rata-Rata (0˚C) 26.12 26.21 25.56 25.55 24.35 Kelembaban (%) 92.00 83.00 89.00 87.83 89.33 Curah Hujan (mm) 7.00 3.79 5.57 8.07 7.31 Intensitas Serangan (%) 7.74 11.00 3.19 3.51 5.47
a. Intensitas Cahaya
Dari data yang diperoleh di lapangan intensitas cahaya di kebun kopi.
Kabupaten Pakpak Bharat berkisar antara 366.17- 909.33 lux. Ada perbedaan
intensitas cahaya pada masing-masing ketinggian. Intensitas cahaya tertinggi terletak
pada ketinggian 800 < C ≤ 900 m dpl dengan intensitas cahaya 909.33 lux dan yang terendah terletak pada ketinggian 700< B≤ 800 m dpl dengan intensitas cahaya 366.17 lux. Hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan adanya perbedaan jenis
dan jumlah pohon pelindung pada masing- masing ketinggian. Jenis pohon pelindung
yang ada di lokasi penelitian antara lain lamtoro, dadap, jengkol, petai dan durian.
Seperti yang dikemukakan oleh Wachjar (1984) fungsi pohon pelindung bagi
tanaman kopi antara lain untuk mengurangi penyinaran matahari langsung terhadap
(67)
b.Suhu
Menurut Jumar (2000) faktor yang berpengaruh terhadap serangga antara lain
suhu, kisaran suhu, kelembaban/hujan dan cahaya. H. hampei seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam buah kopi, oleh sebab itu suhu yang berperan terhadap ekologi
H. hampei adalah suhu udara. Suhu udara diukur pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Tabel 11 menunjukkan bahwa suhu udara terendah 19,08⁰C pada ketinggian E > 1000 m dpl dan suhu tertinggi 31.08⁰C pada ketinggian A ≤ 700 m dpl. Secara umum suhu udara di lokasi penelitian berkisar antara 24,35⁰C–26,21⁰C. Perbedaan suhu udara pada masing–masing ketinggian sesuai dengan hasil penelitian Braak
(1925) diacu dalam Van Steenis (1972) mengemukakan bahwa suhu udara menurun
0,61⁰C setiap bertambahnya ketinggian tempat 100 m sampai pada ketinggian 2000 m dpl, pada peningkatan ketinggian selanjutnya suhu udara menurun 0,52⁰C tiap kenaikan 100 m.
c. Kelembaban
Kelembaban udara di lokasi penelitian berkisar antara 83%-92%. Kelembaban
adalah jumlah uap air pada volume tertentu, yang jumlah maksimumnya tergantung
(68)
kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai serangga
biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrim.
H. hampei dapat berkembang biak secara normal pada genus Coffea spp, dan biasanya hidup dalam populasi yang tinggi di daerah hutan yang basah (hutan hujan
tropis) ( Priatno, 1980). Kondisi serupa juga di jumpai di Brazil, dimana serangan
berat hama PBKo biasanya terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan
berkabut sehingga kelembaban udara cukup tinggi (Wiryadiputra, 2007).
d. Curah Hujan
Kabupaten Pakpak Bharat memiliki rata-rata curah hujan bulanan pada setiap
tahunnya sebesar 311 mm, berarti termasuk curah hujan tinggi (bulan basah). Bulan
basah apabila curah hujan lebih dari 200 mm. Bulan lembab apabila curah hujannya
100 - 200 mm. Bulan kering apabila curah hujannya kurang dari 100 mm. Curah
hujan yang terjadi selama pengamatan bulan Maret 2010 di lokasi penelitian pada
masing-masing ketinggian yaitu: ketinggian A = 217 mm (bulan basah), ketinggian B
=124,5 mm (bulan lembab), ketinggian C =176,5 mm (bulan lembab), ketinggian D
=243,5 mm (bulan basah), ketinggian E = 225 mm (bulan basah). Curah hujan yang
optimum untuk tanaman kopi arabika 2000-3000 mm per tahun (AAK, 1988).
(69)
Hubungan antara beberapa faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan
diuji dengan Uji Korelasi Spearman. Hasil Uji Korelasi Spearman dapat dilihat pada
Tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12. Nilai Analisis Korelasi Spearman antara berbagai Faktor Fisik dengan Intensitas Serangan H. hampei
Parameter r Signifikansi
Intensitas Cahaya -0.700 0.188
Suhu Tanah 0.564 0.322
Suhu Pagi -0.100 0.873
Suhu Siang 0.800 0.104
Suhu Sore Kelembaban Curah Hujan
0.600 -0.100 -0.400
0.285 0.873 0.505 Keterangan (+) = arah korelasi searah
(-) = arah korelasi berlawanan Sig < 0.05 = signifikan
Dari hasil uji korelasi Spearman antara beberapa faktor fisik lingkungan
dengan intensitas serangan dapat dilihat dua arah korelasi. Arah korelasi negatif (-)
menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik
dengan nilai intensitas serangan H. hampei. Arah korelasi searah (+) memperlihatkan adanya hubungan yang searah antara nilai faktor fisik dengan nilai intensitas serangan
H. hampei, maknanya semakin tinggi nilai faktor fisik maka semakin tinggi intensitas serangan H. hampei.
Korelasi negatif yang meliputi intensitas cahaya, suhu pagi, kelembaban dan
curah hujan tinggi mengakibatkan intensitas serangan H. hampei menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena faktor fisik tersebut sangat mempengaruhi produksi buah kopi,
(1)
Lampiran 24. Foto Penelitian
Correlations
1.000 -.616 -.100 -.300 -.100 .500 .100 -.700
. .269 .873 .624 .873 .391 .873 .188
5 5 5 5 5 5 5 5
-.616 1.000 .667 .667 .359 -.564 .103 .564
.269 . .219 .219 .553 .322 .870 .322
5 5 5 5 5 5 5 5
-.100 .667 1.000 .100 .300 -.800 .000 -.100
.873 .219 . .873 .624 .104 1.000 .873
5 5 5 5 5 5 5 5
-.300 .667 .100 1.000 .600 .100 -.100 .800
.624 .219 .873 . .285 .873 .873 .104
5 5 5 5 5 5 5 5
-.100 .359 .300 .600 1.000 -.300 -.800 .600
.873 .553 .624 .285 . .624 .104 .285
5 5 5 5 5 5 5 5
.500 -.564 -.800 .100 -.300 1.000 .300 -.100
.391 .322 .104 .873 .624 . .624 .873
5 5 5 5 5 5 5 5
.100 .103 .000 -.100 -.800 .300 1.000 -.400
.873 .870 1.000 .873 .104 .624 . .505
5 5 5 5 5 5 5 5
-.700 .564 -.100 .800 .600 -.100 -.400 1.000
.188 .322 .873 .104 .285 .873 .505 .
5 5 5 5 5 5 5 5
Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N Correlation Coeffic Sig. (2-tailed) N I_cahaya suhu_tanah suhu_pg suhu_siang suhu_sore kelembaban curah_hujan intensitas_serang Spearman's rh
I_cahaya suhu_tanah suhu_pg suhu_siangsuhu_sorekelembabancurah_hujan
intensitas_ serangan
(2)
(3)
Lampiran 20. Surat Jalan / Permohonan Bantuan Kelancaran
Kepada Bupati Pakpak Bharat
(4)
Lampiran 21. Foto Penelitian
Gambar Kabupaten Pakpak Bharat
Gambar Kebun Kopi
Gambar Pengamatan Buah Kopi
Gambar Tanaman Kopi Arabika
(5)
Gambar Lux Meter Gambar Soil Termometer
Gambar Termometer
Gambar Higrometer
(6)