Membongkar Makna Dan Mitos Dalam Album Pop Religi (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos Islam pada Sampul Album Pop Religi GIGI)

(1)

MEMBONGKAR MAKNA DAN MITOS DALAM ALBUM POP RELIGI (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos

Pada Sampul Album Pop Religi GIGI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh: MULYA ADHITHIA

070904057

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Mulya Adhithia

NIM : 070904057

Judul Skripsi : MEMBONGKAR MAKNA DAN MITOS DALAM

ALBUM POP RELIGI (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos Islam pada Sampul Album Pop Religi GIGI)

Medan, Juni 2011

Pembimbing Ketua Departemen

Syafruddin Pohan, M.Si., Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP: 195812051989031002 NIP: 196208281987012001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP: 196805251992031002


(3)

ABSTRAK

Ada satu hal unik yang hadir dalam kehidupan umat Islam di Indonesia terutama menjelang bulan Ramadhan yakni munculnya berbagai produk berlabel “Islam” atau “religi”. Mulai dari busana hingga film dan sinetron semuanya berlabel “religi” termasuk di dalamnya juga musik pop religi. Sangat menarik untuk dikaji bagaimana label “religi” tersebut dibangun desain kemasan produk. Skripsi ini mengkaji hal tersebut dengan mengambil permasalahan dua sampul album pop religi dari band GIGI yang popularitasnya diakui di kancah musik Indonesia.

Penelitian akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti musik pop religi GIGI ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap mitos tentang musik pop religi sebagai satu bentuk budaya massa “Islam” dan bagaimana upaya membongkar mitos tersebut.

Hasil kajian menunjukkan bahwa musik pop religi melabeli dirinya dengan mitos budaya Islam dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol yang nampak diantaranya adalah penggunaan analogi surga sebagai tempat yang tinggi dan terang, jalan kebenaran sebagai siratal mustaqim, dan penggunaan baju koko yang telah dikonotasikan oleh umat sebagai baju “muslim”.

Pembongkaran mitos tersebut dapat dilakukan dengan pembongkaran semiologis menggunakan gagasan Barthes. Barthes bermaksud menelanjangi mitos-mitos tersebut dengan memperlihatkan konotasi dan unsur-unsur yang menjadi mitos sehingga tampak ketidakalamiahannya serta analisis tersebut bertujuan menunda relasi pasti antara penanda dengan petanda sehingga tidak menjadi berhala makna yang dipuja umat.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT karena atas berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah (Skripsi) ini tepat pada waktunya.

Skripsi yang berjudul “Membongkar Makna dan Mitos Dalam Album Pop Religi (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos Islam pada Sampul Album Pop Religi GIGI) ini disusun untuk melengkapi seluruh kegiatan akademik yang sudah penulis laksanakan sekaligus sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, yang tentunya merupakan sebuah proses dan hasil dari rangkaian proses akademik selama menjalani pendidikan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan juga dari data yang berkaitan baik yang ditemukan melalui perpustakaan, internet, buku-buku literatur, dan penelitian.

Selanjutnya, dalam menyelesaikan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Badaruddin, M. Si selaku dekan FISIP USU

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU


(5)

3. Bapak Syafruddin Pohan, M. Si., Ph. D. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama pengerjaan skripsi. 4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Hasbi Yusuf dan Ibunda Salbiah

Sulaiman yang selalu memberi dukungan dan selalu mendoakan sehingga penulis mampu menghadapi semua proses akademik.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

6. Kedua adik penulis yang selalu kurindukan tawa dan candanya. Terima kasih untuk Ryan Hasri dan Irhas Rizqy.

7. Sahabat-sahabat penulis: Reza, KumKum, Suci, Icha, Ade, Rika, Arief, Iqbal, Daniel, Ali, Kakek, Dery, terutama Reza yang telah banyak membantu penulis dalam berdiskusi, PKL, dan dalam pengerjaan skripsi. 8. Kakak dan Abang di Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

USU, Kak Yovita, Kak Emil, Kak Anim, Kak Puan, Bg Mono, beserta rekan-rekan sejawat penulis: Nata, Firman, Kyky, dan Ara. Tiada hari tanpa canda tawa.

9. Elza Ayu Alviany, yang selalu memberikan dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih juga karena sudah sabar menghadapi abang.

10.Teman-teman di Asrama Mahasiswa Aceh dan Pesantren (AMA-Tren) Medan. Maaf jika selama ini mungkin ada gurauan yang tidak berkenan di hati. Ayo kita bangun nanggroe!


(6)

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam laporan PKL ini, penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Dan penulis sangat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong penulis untuk dapat semakin maju. Penulis juga berterima kasih atas saran dan kritik yang diberikan serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian akademik penulis.

Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amiin.

Medan, Juni 2011 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah I.2. Perumusan Masalah I.3. Pembatasan Masalah

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.5. Kerangka Teori

I.5.1. Tanda I.5.2. Semiotika

I.5.3. Semiotika Roland Barthes I.5.4. Makna

I.5.5. Semiotika Komunikasi Visual I.5.6. Budaya Populer

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Tanda

II.2. Semiotika

II.3. Semiotika Roland Barthes II.4. Makna

II.5. Semiotika Komunikasi Visual II.6. Budaya Populer

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Tipe Penelitian


(8)

III.2.1. Perkembangan Musik Pop Religi III.2.2. Perjalanan Musik GIGI

III.3. Unit dan Level Analisis III.4. Teknik Pengumpulan Data III.5. Teknik Analisis Data III.6. Kerangka Konsep III.7. Operasionalisasi Konsep

BAB IV PEMBAHASAN

IV.1. Analisis Sampul Depan Album Jalan Kebenaran IV.2. Analisis Sampul Depan Album PINTU SORGA IV.3. Analisis Foto Personel dan Sampul Belakang

IV.4. Membongkar Mitos Islam dalam Album Pop Religi GIGI

BAB V PENUTUP V. 1. Kesimpulan V. 2. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1. Theoritical Framework

Gambar 4. 1. Sampul Depan Album Jalan Kebenaran Gambar 4. 2. Sampul Depan Album PINTU SORGA Gambar 4. 3. Foto Individu pada Album Jalan Kebenaran Gambar 4. 4. Foto Bersama pada Album Jalan Kebenaran Gambar 4. 5. Foto Personel pada Album PINTU SORGA Gambar 4. 6. Foto Sampul Belakang Album Pintu Sorga


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes


(11)

ABSTRAK

Ada satu hal unik yang hadir dalam kehidupan umat Islam di Indonesia terutama menjelang bulan Ramadhan yakni munculnya berbagai produk berlabel “Islam” atau “religi”. Mulai dari busana hingga film dan sinetron semuanya berlabel “religi” termasuk di dalamnya juga musik pop religi. Sangat menarik untuk dikaji bagaimana label “religi” tersebut dibangun desain kemasan produk. Skripsi ini mengkaji hal tersebut dengan mengambil permasalahan dua sampul album pop religi dari band GIGI yang popularitasnya diakui di kancah musik Indonesia.

Penelitian akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti musik pop religi GIGI ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap mitos tentang musik pop religi sebagai satu bentuk budaya massa “Islam” dan bagaimana upaya membongkar mitos tersebut.

Hasil kajian menunjukkan bahwa musik pop religi melabeli dirinya dengan mitos budaya Islam dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol yang nampak diantaranya adalah penggunaan analogi surga sebagai tempat yang tinggi dan terang, jalan kebenaran sebagai siratal mustaqim, dan penggunaan baju koko yang telah dikonotasikan oleh umat sebagai baju “muslim”.

Pembongkaran mitos tersebut dapat dilakukan dengan pembongkaran semiologis menggunakan gagasan Barthes. Barthes bermaksud menelanjangi mitos-mitos tersebut dengan memperlihatkan konotasi dan unsur-unsur yang menjadi mitos sehingga tampak ketidakalamiahannya serta analisis tersebut bertujuan menunda relasi pasti antara penanda dengan petanda sehingga tidak menjadi berhala makna yang dipuja umat.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

Bulan Ramadhan yang identik dengan bulan suci umat Islam telah membawa banyak hal terjadi khususnya pada bulan tersebut. Pada bulan suci tersebut, seluruh umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan sebuah ritual tahunan, yakni berpuasa. Di Indonesia sendiri, aktivitas ibadah di bulan Ramadhan tidak jarang diisi dengan berbagai aktivitas kebudayaan, sesuai adat dan budaya di suatu daerah tertentu. Baik berupa festival atau karnaval unik di berbagai daerah, maupun ritual penyucian diri menjelang datangnya bulan suci tersebut. Tak ketinggalan, ritual makan sahur, berbuka puasa, hingga shalat tarawih berjamaah juga ikut mewarnai bulan suci Ramadhan. Seluruh rangkaian ritual ini akhirnya akan ditutup dengan tradisi pulang kampung atau mudik ke kampung halaman.

Kedatangan bulan Ramadhan juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi, khususnya di Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat pada saat akan berbuka puasa. Berbagai kios jajanan, sebagian besar merupakan pedagang musiman tampak bermunculan di pinggir jalan bak jamur di musim hujan. Jika ibadah puasa dilihat dari segi pengurangan kuantitas mengonsumsi makanan, dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari, namun ternyata makanan yang disantap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikatakan lebih spesial daripada biasanya. Selain itu, jika memiliki kelebihan rezeki, para keluarga Indonesia akan


(13)

beramai-ramai mendatangi pusat-pusat perbelanjaan pada saat menjelang lebaran untuk mem beli pakaian baru dan berbagai keperluan lebaran lainnya. Hal ini tentu mengindikasikan ada sebuah lonjakan konsumsi masyarakat Indonesia pada saat Bulan Ramadhan.

Adapun terjadinya lonjakan konsumsi pada masyarakat Indonesia ini, telah dilihat oleh para produsen sebagai sebuah peluang untuk menawarkan berbagai produk bagi keperluan konsumsi masyarakat. Berbagai strategi digunakan untuk menarik minat para calon konsumen agar tertarik dan mau membeli produk yang khusus ditawarkan di saat bulan suci Ramadhan. Semua produsen ingin berlomba untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan Ramadhan. Pusat-pusat perbelanjaan (mall) menawarkan potongan harga (diskon) yang gila-gilaan dan berbagai program on the spot yang ditujukan untuk menarik minat pengunjung. Berbagai produsen beriklan di berbagai media massa dengan cara dan strategi yang disesuaikan dengan bulan suci tersebut. Hal ini tidak lain adalah agar masyarakat sadar, tertarik, dan mau membeli produk yang mereka tawarkan.

Media massa, khususnya media televisi juga seperti tak ingin kehilangan momentum dalam memeriahkan bulan suci Ramadhan. Berbagai program acara, baik hiburan maupun non-hiburan, dikemas dengan apik, menarik, dan tetap bertemakan Ramadhan. Khususnya program hiburan, berbagai acara pendamping sahur dan di saat menjelang berbuka merupakan andalan utama bagi berbagai stasiun televisi untuk mengejar rating dan meraup keuntungan. Program-program menarik tersebut akan mengundang para pengiklan agar bersedia untuk tetap beriklan selama sebulan penuh dalam rangka menarik minat pemirsa.


(14)

Satu hal yang sangat menarik yang dapat diamati saat datangnya bula suci Ramadhan selain yang telah disebutkan di atas tadi yakni bermunculannya simbol-simbol “Islam” dalam setiap produk yang dipasarkan pada saat bulan Ramadhan. Mulai dari “busana muslim”, hingga materi-materi hiburan di media massa yang berlabel “religi”, seperti sinetron religi ataupun film yang bertema serupa. Dunia musik juga tidak ingin tinggal diam. Hasilnya adalah sebuah produk yang berlabel “album religi” atau “pop religi”. Cukup banyak perbincangan mengenai keabsahan status “Islam” dalam pop religi ini, mengingat adanya perbedaan pendapat antara ulama islam. Namun, hal itu tidaklah menjadi sebuah masalah yang besar mengingat sedikit banyaknya manfaat yang ditimbulkan dari pop religi tersebut. Selanjutnya, dibutuhkan sekelompok orang yang dapat mengajak kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran. Bukanlah hal yang mudah untuk dapat mempertahankan dan menyebarkan nilai–nilai Islam di tengah–tengah gaya hidup hedonis dan sekuler yang menjangkiti sebagian besar umat muslim. Oleh karena itu dibutuhkan metode–metode dakwah baru untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat agar lebih bisa diterima. Dahulu, dakwah Islam lebih banyak disampaikan lewat tabligh akbar, pengajian maupun melalui pondok–pondok pesantren. Syair–syair musik pun hanya terbatas pada nasyid. Namun seiring perkembangan zaman, dakwah Islam dapat disampaikan dengan film, internet dan syair–syair musik pop religi maupun R&B. Hal ini sangat membantu dalam perkembangan dakwah Islam sehingga dapat mengimbangi laju arus globalisasi dan musik tersebut dapat diterima luas di kalangan masyarakat.


(15)

Kemunculan musik pop religi bagi sebagian masyarakat mungkin terkesan biasa saja, namun tidak demikian halnya jika dilihat dari konteks sistem ekonomi kapitalisme yang cukup dominan sekarang ini. Bagi masyarakat dalam sstem kapitalisme, sebuah karya seni dapat dilihat sebagai satu bentuk kebudayaan yang disebut sebagai budaya massa atau budaya pop. Dalam istilah kapitalisme, budaya pop dapat diartikan sebagai:

“popular has been considered to be that culture which is prevalent amongst the ‘people’. Generally, these ideas about popular culture construct cultural producers as invariably motivated by commercial greed and a common ideological mission, an assumption which elides the varied motives and ideals of those involved in the culture industries, and their artistic independence. Moreover, rather than a conspirational science where producers plot how to conquer markets by persuading the masses to consume their products, making and marketing culture is an inexact science. For instance, record companies are unable to second guess the tastes of consumers, as is indicated by the numerous failed investments which are made in unsuccessful artists and musical products.

The hit record remains an elusive prize.”

(Edensor, 2002: 14)

Jika diinterpretasikan, maka budaya pop dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang diproduksi secara massal untuk dinikmati atau dikonsumsi masyarakat luas dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan.

Keberadaan budaya pop (massa) terkait erat dengan perubahan atau modifikasi dalam segala bidang kehidupan sehingga mempunyai nilai tukar. Hal ini juga berlaku terhadap industry musik. Produsen akan menyebarkan sebuah produk untuk dikonsumsi konsumen (consumer) bukan pengguna (user). Hal ini terjadi karena konsumen akan lebih mengutamakan produk untuk konsumsi pribadi terhadap objek menurut pertandaan (signification) yaitu sebuah cara di


(16)

mana satu citraan mental yang disebut penanda, dalam hal ini objek konsumsi, dikaitkan dengan satu makna tertentu yang disebut dengan petanda

Musik pop religi sebagai sebuah produk budaya popular, diduga juga mengandung sebuah mitos yang dikomunikasikan kepada konsumen. Mitos tersebut melekat pada labelnya sebagai “musik Islami”. Mitos yang kemudian disampaikan melalui berbagai strategi pemasaran di antaranya lewat kemasan produk, dalam konteks ini adalah sampul album. Menarik untuk dikaji bagaimana proses komunikasi yang ditampilkan dalam sampul album musik pop religi tersebut agar label “Islami” dapat diterima oleh umat Islam di Indonesia sebagai target pasarnya. Oleh karena itu peneliti mencoba menganalisis sampul album pop religi band GIGI mengingat beberapa faktor di bawah ini berikut.

Peneliti memilih sampul album pop religi GIGI dikarenakan band ini merupakan salah satu band papan atas yang diterima di pasar Indonesia. Band GIGI juga dapat kita katakan mampu mewakili selera musik dari segmen anak muda jika dibandingkan dengan penyanyi atau musisi lain seperti Bimbo atau Opick. Warna musik yang diusung GIGI, dengan gaya rock yang ringan dan

catchy tak dapat dilepaskan dari semangat dan budaya anak-anak muda.

Lagu-lagu pop religi lama yang diaransemen ulang oleh mereka dengan warna dan gaya yang baru, telah membuat mereka diterima di blantika musik Indonesia, khususnya dalam kategori musik pop religi. Hal ini sangat berbeda dengan band lainnya, seperti Ungu, yang tetap mempertahankan warna pop dalam lagu-lagu pop religi mereka. GIGI ternyata juga tidak hanya mampu mengaransemen ulang lagu-lagu lama menjadi lebih menarik, namun juga mampu menciptakan lagu


(17)

religi mereka sendiri, contohnya pada album “Jalan Kebenaran” (hitsmusik.wordpress.com), yakni yang menjadi salah satu subyek penelitian dalam skripsi ini. Selain itu, alasan peneliti memilih album pop religi GIGI sebagai objek kajian dalam penelitian ini adalah karena peneliti melihat bahwa ternyata GIGI tidak hanya sukses dalam memasarkan album pop religi, namun juga sukses dalam album pop non-religi.

Sangat menarik nantinya jika kita perhatikan bagaimana makna dalam tanda-tanda serta mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI.

I. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah makna dan mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI?”

I. 3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat menjadi lebih jelas, terarah, dan spesifik, sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Penelitian ini bersifat kualitatif,

2. Fokus penelitian adalah untuk mencari makna atas tanda-tanda dan membongkar mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI.

3. Penelitian akan dilakukan terhadap dua buah sampul album religi GIGI, yakni album Jalan Kebenaran dan album Pintu Sorga.


(18)

I. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna di balik tanda-tanda pada sampul album pop religi GIGI,

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mitos Islam yang terkandung dalam sampul album pop religi GIGI,

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna dan mitos Islam yang terdapat dalam sampul album pop religi GIGI.

1.4.2 Manfaat Penelitian:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang ilmu komunikasi, khususnya kajian yang diteliti dengan analisis semiotika.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih memahami perihal makna dalam tanda dan mitos dalam sebuah media informasi, khususnya pada karya-karya budaya popular, 3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan rujukan penelitian dan sumber bacaan.


(19)

I. 5. Kerangka Teori

Setiap penelitian soial membutuhkan teori karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelititan yang akan disoroti (Nawawi, 1995:40).

Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2004:6).

Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini adalah: 1. 5. 1 Tanda

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27).

Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks


(20)

semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).

Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat

arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32).

Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.

Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.


(21)

Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.

Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).

1. 5. 2 Semiotika

Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dpat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Meski terkesan bermain-main dan


(22)

tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan (Danesi, 2010:33).

Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13).

Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia (dan lingkungan sosiohistoriokulturalnya) tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk cultural apa pun. Semiotka adalah


(23)

sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stokes, 2010:76).

Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika

signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang

produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.

Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).


(24)

Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan , cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.

Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17).

1. 5. 3 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa


(25)

konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.

1. 5. 4 Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22).

1. 5. 5. Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari


(26)

sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi).

Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi. Logo. Tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna,, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

1. 5. 6. Budaya Populer

Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams, budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika (Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang yang secara


(27)

fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin.

Komunikasi sebagai sebuah media bagi pelestarian budaya telah menjadi semacam alat untuk memastikan hal tersebut terjadi melalui sebuah pewarisan sosial. Namun, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan

(counter culture) yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari

budaya tinggi yang telah lebih dulu ada dalam masyarakat dan perlahan menggeser budaya tinggi. Budaya tinggi yang perlahan tergeser akan digantikan oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer.

Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Budaya populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki penggemar yang tersebar di berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang bersifat ‘maya’ seperti yang tersebut di atas.


(28)

I. 6. Kerangka Konsep

Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 34).

Adapun variabel yang diangkat dalam penelitian ini berupa tiga tingkatan hubungan semiotika (Sobur, 2004: 19 dan Morissan, 2009:27):

1.6. 1 Sintaktik (Syntactic Level)

Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda, baik berdiri sendiri maupun kombinasi dengan tanda lainnya dalam struktur tertentu. Level sintaktik juga berfokus pada analisis mengenai koherensi, bentuk-bentuk kalimat, preposisi dalam sebuah kombinasi kalimat, dan kata ganti, baik untuk orang maupun benda tertentu.

Ranah sintaktik menjelaskan bahwa tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan.

1.6. 2 Semantik (Semantic Level)

Analisis semantik berfokus pada studi mengenai hubungan antara tanda dan maknanya (makna dari tanda-tanda atau teks). Semantik merupakan salah satu level yang penting dalam analisis semiotika, mengingat semiotika merupakan


(29)

suatu metode analisis yang bertujuan untuk mengetahui makna yang ditunjukkan oleh struktur teks. Semantik ingin melihat unit-unit kebahasaan dalam melihat makna, baik makna leksikal (makna sesuai kamus) ataupun makna gramatikal (sesuai tata bahasa). Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda’

(world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan

keduanya. Buku kamus, misalnya, merupakan referensi semantik; kamus mengatakan kepada kita apa arti suatu kata atau apa yang diwakili atau direpresentasi oleh suatu kata. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya.

1.6. 3 Pragmatik (Pragmatic Level)

Pragmatik berkaitan dengan studi mengenai hubungan antara tanda (sign) dan pengguna dan pemberi makna terhadap tanda (the interpreter), khususnya pada penggunaan tanda dalam wacana berbeda dan pengaruhnya terhadap pengguna. Singkat kata, pragmatik melihat mengenai penerimaan dan pengaruh tanda dalam sebuah kumpulan sosial (masyarakat) tertentu.


(30)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II. 1. Tanda

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27).

Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).

Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai

petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep

sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur,


(31)

2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.

Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.

Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.


(32)

Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).

Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda, namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu.

II. 2. Semiotika

Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dpat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Meski terkesan bermain-main dan


(33)

tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan (Danesi, 2010:33).

Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13).

Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia (dan lingkungan sosiohistoriokulturalnya) tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotka adalah


(34)

sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi, 2010:76).

Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika

signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang

produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.

Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).


(35)

Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.

Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17).

II. 3. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.


(36)

konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua , yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:68).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.


(37)

Peta Ronald Barthes :

Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes

Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara

signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes

menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda ataupun makna yang dapat tampak oleh khalayak. Signifikasi tahap kedua adalah makna konotasi, yakni makna ekstra (secara mitologis) yang tampak oleh khalayak (Smith, 2009:105). Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang melihat pesan yang disampaikan.

Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik) yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada dalam sampul album yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda


(38)

konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1).

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69).

Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation –R-) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 = (E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:


(39)

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata ‘GIGI’ bermakna ‘salah satu anggota tubuh’. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi, sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotais dimunculkan melaluim ajas (metafora, hiperbola, eufemisme, ironi), dan sebagainya. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penututrnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: GIGI bermakna konotatif ‘grup band terkenal’. Konotasi ini bertujuan untuk membongkar makna yang tersembunyi.

Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep sintagmatik dan paradigmatik adalah sistem berbusana. Ia menganalogikan dikotomi dari Saussure: langue-parole dengan tata busana (unsur-unsur mode dan aturannya)–aktualisasi individual. Tata busana menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim, ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya sebagai denotasi, misalnya, warna gelap (hitam, abu-abu, biru, hijau tua) dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim semi; model terbuka untuk musim


(40)

panas. Semua konsep analisis ini nantinya akan mengarahkan kita untuk mengenal konsep mitos yang dicetuskan oleh Roland Barthes.

Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle

matière peut être dotée arbitrairement de signification „materi apa pun dapat

dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah rea-lisasi dari langue (Barthes, 2007:16). Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran

(démontage sémiologique).

Ciri-ciri mitos (Barthes, 1991:121):

1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form

(signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan

hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is


(41)

dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.

2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

3. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-

dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada

motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.

Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh


(42)

adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.

II. 4. Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22)

Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):

1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita


(43)

komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita

gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan

perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada

saat ini dan di masa-masa yang lalu).

3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia

mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan

gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah


(44)

membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam

suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.

6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu

kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,

disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.

II. 5. Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur,


(45)

termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi).

Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain komunikasi pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.


(46)

Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tama dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, ketika karya desain komunikasi visual mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks karya desain komunikasi visual mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, makapendektaan semiotika komunikasdi visual sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas makna kerya desain komunikasi visual layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya.

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target sasaran. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan konsekuensi sebagai produk massa dan komsumsi massa. Terklait dengan fakta tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan


(47)

rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.

Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan. Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesanverbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut ini :

1. Huruf (Romein)

Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2. Huruf Egyptian

Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.


(48)

3. Huruf Sans Serif

Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. 4. Huruf Miscellaneous

Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.

5. Huruf Script

Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.

Desain komunikasi visual digunakan untuk memperbarui atau memperluas jangkauan cakupan ilmu dan wilayah kerja kreatif desain grafis. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Area kerja kreatif desain grafis diantaranya ialah desain perwajahan buku, koran, tabloid, majalah dan jurnal.

Menurut Rustan Layout dapat dijabarkan sebagai tata letak elemen-elemen desian terhadap suatu bidan dalam media tertentu utnuk mendukung konsep/pesan yang dibawanya. Membuat layout adalah salah satu proses tahapan kerja dalam desain (Rustan, 2008:0). Dimulai dari 25.000 S.M dimana para pemburu yang hidupnya berpindah-pindah di jaman Paleolitikum sampai Neolitikum melukisi dinding gua dengan objek-objek binatang, peristiwa perburuan dan bentuk-bentuk lain.

Terdapat beberapa prinsip layout menurut Kusrianto (2007:227) yang baik menurut Tom Linchty dalam Design Principle for Desktop Publishing ialah sebagai berikut :


(49)

• Proporsi (proportion)

Proporsi yang dimaksud adalah kesesuaian antara ukuran halaman dengan isinya. Dalam dunia layout, dikenal dengan ukuran kertas atau bidang kerja yang palaing populer, yaitu dikenal dengan ukuran Letter, 8.5x11”.

• Keseimbangan (balance)

Prinsip keseimbangan merupakan suatu pengaturan agar penempatan elemen dalam suatu halaman memilki efek seimbang. Terdapat dua macam keseimbangan, yaitu keseimbangan informal atau tidak simetris. Keseimabangan formal digunakan untuk menata letak-letak elemen grafis agar terkesan rapi dan informal. Keseimbangan informal memilki tampilan yang tidak simetri.

Pada dasarnya, setiap elemen yang disusun memilki kesan yang seimbang, hanya saja cara pengaturannya tidak sama. Prinsip itu sering digunakan untuk menggambarkan adanya dinamika, energi dan pesan yang bersifat tidak formal. Prinsip tersebut juga sering digunakan kalangan muda. Penerapan prinsip itu berhubungan dengan prinsip-prinsip lainnya menurut Kusrianto (2007:229), yakni kesatuan dan harmoni diantaranya :

• Kontras (rhytm)

Irama atau rhytm sebenarnya bermakna sama dengan repetition yaitu pola perulangan yang menimbulkan irama yang enak diikuti. Penggunaan pola warna maupun motif yang diulang dengan irama teretentu merupakan salah satu prinsip penyusunan layout.


(50)

• Kesatuan (Unity)

Prinsip kesatuan atau unity (pakar lain menyebutkan proximity = kedekatan adalah hubungan antara elemen-elemen desain yang semula berdiri sendiri yang disatukan menjadi sesuatu yang baru dan memilki fungsi baru yang utuh.

Menurut Rustan (2008:31) elemen-elemen teks pada layout umumnya terdiri dari :

1. Judul/Head/Heading/Headline

Suatu artikel biasanya diawali oleh sebuah atau beberapa kata singkat yang diberi judul. Judul diberi ukuran besar untuk menarik perhatian pembaca dan membedakannya dari elemen layout lainnya.

2. Deck/Blurb/Stanfirst

Deck adalah gambaran singkat tentang topik yang dibicarakan di bodytext. Letaknya bervariasi, tetapi biasanya antara judul dan bodytext. Biasa juga disebut dengan subline.

Fungsi deck berbeda dengan judul, yaitu sebagai pengantar sebelum orang membaca bodytext. Ada atau tidaknya deck dan penataan letaknya dipengaruhi oleh luas area halaman yang tersedia dan panjang pendeknya artikel.

3. Byline/Credit line/Writer’s Credit

Berisi nama penulis, kadang disertai dengan jabatan atau keterangan singkat lainnya. Byline letaknya sebelum bodytext, ada juga yang meletakkan di akhir naskah.


(51)

4. Bodytext/Bodycopy/Copy/Copytext

Isi/naskah/artikel merupakan elemen layout yang palaing banyak memberikan informasi terhadap topik bacaan tersebut. Keberhasilan suatu

bodytext ditentukan oleh beberapa hal, antara lain: dukungan judul dan deck yang

menarik sehingga memancing pembaca meneruskan keingintahuannya akan informasi yang lengkap dan gaya penulisannya yang menarik dari naskah itu sendiri.

5. Caption

Keterangan singkat yang menyertai elemen visual dan inzet. Caption biasanya dicetak dalam ukuran kecil dan dibedakan gaya atau jenis hurufnya dengan bodytext dan lemen text lainnya.

6. Callouts

Pada dasarnya sama seperti caption, kebanyakan callouts menyertai elemen visual yang memiliki lebih dari satu keterangan, misalnya pada diagram. Balloon adalah salah satu bentuk callouts.

7. Kickers/Eyebrows

Kickers adalah salah satu atau beberapa kata pendek yang terletak di atasa

judul, fungsinya untuk memudahkan pembaca menemukan topik yang diinginkan dan mengingatkan lokasinya saat membaca artikel tersebut.

8. Initial Caps

Huruf awal yang berukuran besar dari kata pertama pada paragraf. Karena lebih bersifat estetis, tidak jarang hanya terdapat satu initial caps dalam suatu


(52)

naskah. Initial caps dapat juga berfungsi sebagai penyeimbang komposisi suatu layout.

Selain elemen teks, sebuah karya desain visual juga memiliki elemen-elemen visual yang berfungsi untuk menambah daya tarik dalam sebuah karya desain visual. Yang termasuk dalam elemen visual adalah semua elemen bukan teks yang kelihatan dalam suatu layout (Rustan, 2008:53). Adapun elemen-elemen visual tersebut adalah sebagai berikut:

1. Foto

Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai ‘dapat dipercaya’.

2. Artworks

Untuk menyajikan informasi yang lebih akurat, kadang pada situasi tertentu ilustrasi menjadi pilihan yang lebih dapat diandalkan dibandingkan bila memakai teknik fotografi. Artworks adalah segala jenis karya seni bukan fotografi baik itu berupa ilustrasi, kartun, sketsa, dan lain-lain yang dibuat secara manual maupun dengan komputer.

3. Infographics

Fakta-fakta dan data-data statistik hasil dari survei dan penelitian yang disajikan dalam bentuk grafik (chart), tabel, diagram, bagan, peta, dan lain-lain.


(53)

4. Garis (Rules)

Garis merupakan elemen visual yang dapat menciptakan kesan estetis pada suatu karya desain. Di dalam suatu layout, garis mempunyai sifat yang fungsional antara lain mebagi suatu area, penyeimbang berat dan sebagai elemen pengikat sistem desain supaya terjaga kesatuannya.

5. Kotak/Bingkai (Box/Border/Frame)

Umumnya berisi artikel yang bersifat tambahan/suplemen dari artikel utama dalam sebuah karya desain visual. Sering terletak di pinggir halaman dan disebut dengan sidebar. Elemen-elemen visual juga terkadang diberi kotak agar terkesan rapi.

6. Inzet (Inline Graphics)

Elemen visual berukuran kecil yang diletakkan di dalam elemen visual yang lebih besar. Fungsinya member informasi pendukung. Benyak terdapat pada

informational graphic. Inzet kadang juga diserta dengan caption maupun callouts.

7. Point/Bullets

Suatu daftar/list yang mempunyai beberapa baris berurutan ke bawah, biasanya di depan tiap barisnya diberi penanda angka atau poin. Dingbats juga sering digunakan sebagai poin. Dingbats adlah simbol, tanda baca, dan ornament-ornamen.

II. 6. Budaya Populer

Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia


(54)

dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams, budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika (Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang yang secara fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin.

Komunikasi sebagai sebuah media bagi pelestarian budaya telah menjadi semacam alat untuk memastikan hal tersebut terjadi melalui sebuah pewarisan sosial. Namun, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan

(counter culture) yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari

budaya tinggi yang telah lebih dulu ada dalam masyarakat dan perlahan menggeser budaya tinggi. Budaya tinggi yang perlahan tergeser akan digantikan oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer.

Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Atau juga dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang dilakukan atau telah dilakukan oleh orang banyak (Hall, 2011:76). Budaya populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki penggemar yang tersebar di


(55)

berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang bersifat ‘maya’ seperti yang tersebut di atas.

Selanjutnya, kita dapat melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam pemanfaatan waktu senggang. ketika industrialisasi mulai menyeruak dalam kehidupan modern dan mesin serta robot menggantikan aktivitas fisik manusia, saat itulah tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi dalam proses produksi. Selain berakibat pada jumlah pengangguran yang bertambah, waktu di luar jam kerja juga semakin bertambah panjang. Nah, pada titik inilah perpanjangan waktu luang tersebut banyak diisi dengan aktivitas baru yang entah itu bersifat produktif, konsumtif, atau bahkan kontraproduktif.

Namun perpanjangan waktu luang tersebut telah dimanfaatkan oleh industri hiburan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat kini telah diserbu oleh berbagai pernak-pernik kebudayaan pop–tidak hanya di kota, tetapi juga di kampung-kampung, dan dusun-dusun terpencil. Invasi industri hiburan semakin dikukuhkan lewat media massa yang menembus batas, bahkan ruang keluarga dan dapat dikatakan bahwa televisi adalah agennya. Boleh dikatakan bahwa globalisasi yang merambah dunia media telah menghancurkan batas-batas geografis masyarakat kontemporer.


(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III. 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kualitatif yang diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandangan teoritis maupun praktis (Nawawi, 1995:209). Dalam penelitian kualitatif ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut, dan (2) menganalisis makna yang ada di balik informasi, data dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan kedua, peneliti menggunakan analisis semiotik yang sifatnya memaparkan situasi/peristiwa dengan melukiskan variabel satu demi satu (Rahmat, 2005:25).

Penelitian dengan menggunakan analisis semiotika merupakan teknik penelitian bagi kajian komunikasi yang cenderung lebih banyak mengarah pada sumber maupun penerimaan pesan. Dikategorikan kedalam penelitian interpretatif dan subjektif karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral dan spiritual. Maka peneliti ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Pendekatan penelitian ini


(57)

mengedepankan penyajian data secara terstruktur serta memberikan gambaran terperinci objek penelitian beberapa pesan komunikasi dalam bentuk tanda-tanda.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk membongkar makna dari tampilan visual yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI dan sekaligus ingin membongkar mitos Islam yang terdapat pada sampul album tersebut.

III. 2. Dekripsi Subjek Penelitian

III. 2. 1. Perkembangan Musik Pop Religi

Pada awalnya, musik religi digunakan untuk mengiringi acara-acara keagamaan, seperti perayaan Idul Fitri, Idul Adha, Maulid, maupun kegiatan hiburan pada saat acara pernikahan, sunatan, akikah, dan kegiatan yang bernuansa Islami lainnya. Seiring perkembangan dalam dunia musik, banyak musisi yang memasukkan lirik-lirik religi ke dalam dunia musik modern. Perkembangan ini yang membuat lagu-lagu religi tidak lagi hanya bisa dinikmati dalam acara tertentu. Selain itu, bisa juga menjadi sarana dakwah yang mudah dicerna oleh masyarakat karena dibawakan dengan sentuhan terkini.

Lirik ataupun syair musik religi merupakan kekuatannya sendiri karena mengandung makna yang lebih mendalam dan sarat pesan, yang tentu saja harus dimaknai oleh orang-orang yang mendengarkannya sesuai kebutuhan, kegemaran, dan latar belakang orang yang bersangkutan (Dani, 2010:2).

Perbedaan musik religi dengan musik umum terletak pada lirik dan syair-syairnya. Syair-syair musik religi mengandung perenungan agar pendengar atau


(58)

penikmat tergugah dan kemudian tersentuh untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Syairnya diilhami dari kejadian alam sekitar –khususnya kebudayaan dan cara hidup masyarakat, pengalaman individu, yakni pribadi pencipta atau komposer musik religi itu sendiri, dan pengalaman dari perjalanan religi atau perjalanan biasa namun sarat warna religi yang dipetik dan diimprovisasi dari kehidupan sehari-hari.

III. 2. 2. Perjalanan Musik GIGI

Dengan modal keinginan yang sama khususnya di bidang musik, Aria Baron, Thomas Ramdhan, Ronald Fristianto, Dewa Budjana dan Armand Maulana pada tanggal 22 Maret 1994 mendirikan kelompok musik yang diberi nama cukup unik : G I G I .

Kehadiran mereka di blantika musik Indonesia awalnya tidak langsung bersinar begitu saja, padahal kalau dilihat dari penampilan, kemampuan dan pengalamannya, mereka dapat dikategorikan sebuah group musik yang harus diperhitungkan kehadirannya.

Album perdana “ ANGAN “ terjual 100.000 copy, sebuah angka penjualan yang sebenarnya cukup lumayan untuk sebuah group baru pada masa itu, apalagi kalau didengar dengan teliti bahwa pada album tersebut warna musik GIGI belum terlihat jelas, mereka masih dalam proses pencarian, mereka masih memainkan musiknya menurut kata hatinya sendiri-sendiri, kebutuhan group pada saat itu dipikirkan dan hasilnya belum seperti yang diharapkan.


(59)

Ada angin, publik mulai memperhatikan musik GIGI, menyadari hal tersebut merupakan peluang yang baik, mereka mulai membenahi segala bidang yang dianggap penting dalam berolah musik. Dalam mempersiapkan album kedua konsep musik benar-benar dimatangkan dan disempurnakan dengan mempertimbangkan analisis dan masukan-masukan yang diperoleh pada album pertama. Selain itu untuk lebih memaksimalkan konsentrasi personel GIGI dalam berolah musik, tanpa terganggu hal-hal lain di luar musik, dibentuklah GIGI MANAGEMENT.

Kerja keras dan kesabaran membuahkan hasil yang baik, album kedua “ DUNIA “ yang dirilis tahun 1995 adalah sebuah pembuktian bahwa perjuangan mereka selama setahun tidaklah percuma. Album dengan lagu hit “ Janji “ laku terjual 400.000 copy. Tidak itu saja prestasi yang diperoleh , selain album ini ikut menaikkan kembali permintaan akan album pertama, pada acara Indonesia Musik Emas yang diikuti oleh grup-grup band papan atas di Indonesia, GIGI dinobatkan sebagai kelompok musik terbaik. Kondisi ini pula yang memudahkan GIGI MANAGEMENT untuk menggapai target tahunannya.

September 1995 adalah tahun cobaan, pada saat dimana GIGI sedang tegak berkibar di atas, Aria Baron meninggalkan GIGI, pasalnya ingin melanjutkan sekolahnya di Amerika. Akhirnya dilepaslah Baron dan GIGI tetap berjalan dengan komitmen tidak juga menambah personil pengganti. Kondisi seperti ini ternyata tidak membuat masalah berarti. Terbukti pada April 1996 saat GIGI me-rilis album ketiganya yang berjudul “ 3/4 “ masih banyak yang menyukainya. Album dengan lagu hit “ O O Oo Oo O “ ini laku terjual sama


(1)

BAB V PENUTUP

V. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap dua buah sampul album Pop Religi GIGI, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Musik pop religi sebagai satu bentuk produk dalam budaya massa melabeli dirinya dengan membangun mitos tentang seni Islam. Mitos tersebut dibangun dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, suatu kode kultural, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol itu digunakan dalam komunikasi pemasaran seperti melalui pengemasan produk sebagaimana tampil dalam sampul album pop religi GIGI yang menjadi bahan kajian.

2. Musik pop religi tidak sendirian dalam pemanfaatan namun terkait erat dengan sistem budaya massa Islam yang lebih besar. Sistem tersebut memuat berbagai produk yang berbagi bersama dalam penggunaan simbol-simbol Islam. Simbol-simbol tersebut dapat menjadi satu bentuk komunikasi yang mengundang bagi umat untuk mengonsumsinya. Masyarakat konsumen di masa modern adalah masyarakat yang haus religiusitas karena pelepasan penanda-penanda religius dari petanda-petandanya. Penanda-penanda tersebut kemudian dimanaatkan sebagai komoditas dalam sistem kapitalisme. Kebutuhan yang tak terpenuhi dan


(2)

dahaga tersebut adalah pasar yang menggiurkan bagi produk-produk berlabel religius.

3. Untuk keluar dari permasalah tersebut diperlukan satu strategi budaya dengan mengadopsi konsep pembongkaran semiologis seperti gagasan Barthes. Barthes bermaksud menelanjangi mitos-mitos tersebut dengan memperlihatkan berbagai aspek sehingga tampak ketidakalamiahan makna yang muncul dari tanda tersebut. Dan upaya untuk membongkar mitos ini bertujuan agar penanda-penanda tersebut tidak dijadikan berhala makna yang dipuja oleh umat manusia, dan mencegah kebekuan cara berpikir masyarakat yang berujung pada pemanfaatan yang dilakukan oleh para pemilik modal dalam menyebarkan produk-produk budaya massa mereka.

V. 2. Saran

1. Ada baiknya jika seluruh pertandaan yang ada dalam sampul album pop religi GIGI tidak hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencari keuntungan semata, namun juga dijadikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan religius dari pihak konsumen. Jadi tidak semata hanya mengutamakan materi atau posisi GIGI di blantika musik Indonesia, namun juga sebagai penyampai pesan ke-Islam-an kepada masyarakat Indonesia secara umum, dan umat islam Indonesia khususnya.

2. Akan lebih baik jika GIGI dalam menciptakan album religinya mengambil materi lagu dari kisah-kisah keislaman, seperti kisah Nabi, sahabat, dan kisah keislaman lainnya. Selain itu, hadist ataupun makna ayat Al-Quran


(3)

juga sangat tepat dijadikan sebagai sebuah penyampai pesan keislaman yang dibentuk melalui sebuah album pop religi. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan makna yang asli dan bukan artificial seperti produk-produk budaya massa lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, dan Gender. Bandung: Jalasutra.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 1991. Mythologies. New York: The Noonday Press.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Dani, Indriya R. 2010. Kekuatan Musik Religi: Mengurai Cinta Merefleksi Iman Menuju Kebaikan Universal. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi-Tanda. Bantul: Kreasi Wacana.

. 1985. Semiotics and The Philosophy of Language. Hongkong: THE MACMILLAN PRESS LTD.

Edensor, Tim. 2002. National Identity, Popular Culture, and Everyday Life. New york: Berg.

Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Hall, Stuart. 2011. Notes on Deconstructing ‘the Popular’”. Di dalam Reforming Culture. Ed. Imre Szeman dan Timothy Kaposy. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Hoed, B.H. 2004. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. Di dalam Semiotika Budaya. Ed. T. Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat Pe-nelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.

Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi Offset.

Morissan. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press.


(5)

Pattinasarany, Sally. 1996. Dasar-dasar Semiotik (Elemente der Semiotik. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Riley, Alexander. 2009. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: BLACKWELL PUBLISHING.

Rusta, Surianto. 2008. Layout: Dasar dan Penerapannya. Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.

Smith, Philip. 2009. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: BLACKWELL PUBLISHING

Singarimbun dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_________ . 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Stokes, Jane. 2006. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan unutk

Melaksanakan Penelitian dalam Kajian media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang.

Storey, John. 2001. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Essex: Pearson Education Limited.

Tinarbuko, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Internet

El-karim. 2010. The basic elements of semiotics.

Fahri firdusi. 2006. Semiotika tanda dan makna. Januari 2011 pukul 16:41 pm).

FASILKOM .2011. Prinsip Prinsip Sistem Informasi (Principles of Information

System)

2011 pukul 15.45pm).

Graeme Shanks. 1999. Semiotic Approach to Understanding Representation In Information Systems. http://www.comp.mq.edu.au/isf99/Shanks.htm (diakses 20 Januari 2011 pukul 15. 20 pm).


(6)

Wiwid kurniandi as. 2010. Filsafat bahasa semiotika dan Hermeneutika. (diakses 20 Januari 2011 pukul 15.15 pm).

Guty, Fredy Umbu Bewa. 2010. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. 12 april 2011, pukul 10:50 am).

Sumber Lain: