Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi
“tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.
Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta
proses signifikasi yang menyertainya Sobur, 2004:17.
II. 3. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh
pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk
menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu
bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah 1 konsep konotasi yang
merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan 2 konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari
perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
ke-dua , yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya Sobur, 2004:68.
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of significations. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
signifier dan signified makna denotasi. Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda objek dan petanda makna di dalam tanda, dan antara tanda dan
dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya riil dari penanda objek. Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu makna konotasi. Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda
konotasi, mitos, dan simbol dalam tatanan pertanda kedua signifikasi tahap kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama 4 dalam peta Ronald
Barthes.
Universitas Sumatera Utara
Peta Ronald Barthes :
Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes
Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes
menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda ataupun makna yang dapat tampak oleh khalayak. Signifikasi tahap kedua adalah
makna konotasi, yakni makna ekstra secara mitologis yang tampak oleh khalayak Smith, 2009:105. Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang
melihat pesan yang disampaikan. Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas
penanda 1 dan petanda 2. Penanda merupakan tanda yang kita persepsi objek fisik yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada
dalam sampul album yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda
Universitas Sumatera Utara
konotatif 4 yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda 1 dan petanda 2. Sementara itu petanda konotatif 5 menurut Barthes adalah
mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda 1. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti
bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif Sobur, 2004:69.
Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression E yang berkaitan relation –R- dengan content C. Ia berpendapat bahwa E-R-C
adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat
dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama E1 R1 C1 dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 = E1 R1 C1 R2 C2. Tanda pertama disebutnya
sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
Tabel 2. 2. Dua Sistem Artikulasi Barthes
Universitas Sumatera Utara
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna
tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata ‘GIGI’ bermakna ‘salah satu
anggota tubuh’. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi, sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang
subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotais dimunculkan melaluim ajas metafora, hiperbola, eufemisme, ironi, dan
sebagainya. Secara umum bukan bahasa, konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penututrnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi
emotif misalnya halus, kasartidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak
terbatas. Pada contoh di atas: GIGI bermakna konotatif ‘grup band terkenal’. Konotasi ini bertujuan untuk membongkar makna yang tersembunyi.
Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep sintagmatik dan paradigmatik adalah sistem berbusana.
Ia menganalogikan dikotomi dari Saussure: langue-parole dengan tata busana unsur-unsur mode dan aturannya–aktualisasi individual. Tata busana
menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim, ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya sebagai denotasi,
misalnya, warna gelap hitam, abu-abu, biru, hijau tua dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim semi; model terbuka untuk musim
Universitas Sumatera Utara
panas. Semua konsep analisis ini nantinya akan mengarahkan kita untuk mengenal konsep mitos yang dicetuskan oleh Roland Barthes.
Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes
memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh
Barthes dapat berbentuk verbal lisan dan tulis atau non verbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification „materi apa pun dapat
dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah rea-lisasi dari langue Barthes, 2007:16. Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di
dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan
tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang
membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran démontage sémiologique.
Ciri-ciri mitos Barthes, 1991:121: 1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form
signifier, concept signified. Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos
yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is
essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan concept harus
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear
pada bahasa atau multidimensi pada gambar. Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.
2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus
menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai
produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan
ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap
asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. 3. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas,
misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca- dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada
motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk.
Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari
minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya
bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh
Universitas Sumatera Utara
adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan,
anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian,
konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari- hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.
II. 4. Makna