35
Selanjutnya pemberi waralaba harus menyampaikan klausul perjanjian kepada penerima waralaba paling singkat dua minggu sebelum penandatangan perjanjian
waralaba.
28
C. Perjanjian Dalam Hukum Positif Dan Hukum Syariah
1. Pengertian Perjanjian Menurut Hukum Positif Dan Hukum Syariah
Kontrak dalam Hukum Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek BW disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian.
Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam suatu kesempatan perkuliahan Magister Hukum UGM, bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak.
Kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian dapat saja berarti social
agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.
29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis
atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
30
Perjanjian menurut Kamus Hukum adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun
28
Peraturan Menteri Perdagangan RI No.31M-DAGPER82008 tentang Penyelenggaraan Waralaba Pasal 5 Ayat 3
29
Hasanuddin Rahman, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis : Contract Drafting, T.tp, Citra Aditya Bakti, 2003 hal.2
30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 458
36
lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
31
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur di pasal 1313 KUH Perdata pasal 1313 KUH Perdata berbunyi “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Ada tiga sumber
norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu undang-undang, kebiasaan dan kepatutan sebagaimana termuat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
Dalam Islam, perjanjian umumnya disebut dengan akad. Setidaknya ada dua istilah dalam Al Qur,an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu istilah al-
„aqdu akad dan al-
„ahdu janji. Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Kata al-
„aqdu terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya.
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al- „aqdu ini dapat disamakan dengan
istilah verbintenis dalam KUH Perdata. Sedangkan istilah al- „ahdu dapat disamakan
dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini
terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 76.
32
Para ahli hukum Islam memberikan definisi akad sebagai “pertalian antara Ijab dan Qabul
yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
31
Sudarsono, Kamus Hukum Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 363
32
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, hal.45
37
objeknya”. Atau akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum objeknya.
33
Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan melalui tiga tahap yaitu sebagai berikut :
1. Al „Ahdu perjanjian, yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan
janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 76
2. Persetujuan,yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan „akdu‟ oleh Al Qur‟an yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian bukan lagi perjanjian atau „ahdu itu, tetapi „akdu
Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak
pertama terpisah dari janji pihak kedua merupakan dua tahap, baru kemudian lahir
33
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hal.68
38
perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan antara mereka. Dalam
hukum perikatan Islam titik tolak yang paling membedakannya adalah pentingnya unsur ikrar ijab dan qabul dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak
tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar, maka terjadilah perikatan.
34
2. Syarat Sah Perjanjian Menurut Hukum Positif Dan Hukum Syariah