54 dekat kerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, hak
hadhanahnya tidak hilang.
49
Para ulama sependapat bahwa, dalam hal mengasuh anak disyaratkan orang yang mengasuh harus berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat,
bukan penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut di atas adalah untuk memelihara dan
menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya.
50
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat maka, yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih
memiliki rasa kasihsayang yang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasihsayang bila anak berada dalam asuhan
ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada dibawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama.
51
D. Pihak-Pihak Yang Berhak Dalam Hadhanah
a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam pasal 41 UU perkawinan:
49
Ibid., h. 241-244.
50
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996, cet. K-I, h. 416.
51
Ibid.,
55 a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut ibu memikul biaya tersebut.
b. Menurut Hukum Islam 1. Dalam menentukan urutan para pihak pertama yang berhak mengasuh atau
memelihara anak ketika terjadi perceraian, menurut Imam Syafi,i adalah:
52
a. Ibu. Ibu adalah pihak yang paling pertama yang berhak memelihara seorang anak akibat terjadi percerian
b. Nenek dari pihak ibu c. Nenek dari pihak ayah
d. Saudara perempuan e. Bibi dari pihak ibu
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki g. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak
yang mendapat warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan.
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h.415.
56 2. Menurut pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.”
E. Masa Hadhanah
Tidak terdapat ketentuan yang khusus yang menerangkan tentang masa hadhanah atau kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian.
Dalam menentukan masa tersebut para ulama fikih hanya melihat dari suatu isyarat dengan menggunakan ijtihad untuk menentukannya. Karena itu para ulama berijtihad
dalam hal ini, sehingga dikalangan ulama terdapat perbedaan tentang masa hadhanah itu sendiri, seperti:
53
1. Imam Hanafi, berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan
sembilan tahun untuk wanita. 2.
Imam Syafi’i, berpendapat tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal
bersama ibunya atau ayahnya. Kalau si anak sudah pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.
3. Imam Maliki, berpendapat masa asuhan anak laki-laki adalah sejak dilahirkan
hingga baliqh, sedangkan anak perempuan hingga menikah.
53
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, h.417.
57 4.
Imam Hambali, berpendapat masa asuhan anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama
ibunya atau dengan ayahnya. Lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan tentang kapan berakhirnya masa hadhanah:
1. Pasal 105 menyatakan pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau berumur
12 tahun adalah hak ibunya. 2.
Pasal 98 ayat 1 menyatakan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun belum
pernah melangsungkan pernikahan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47
menyatakan anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaanaya.
58
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 349 KAG2006
TENTANG HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR
A. Posisi Perkara
Sebelum penulis memasuki kronologis perkara penulis ingin menjelaskan, jika dalam perkara ini Nomor 349 KAG2006 sudah berada di tingkat kasasi Mahkamah
Agung yang sebelumnya sudah dilakukan putusan oleh hakim dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dari putusan hakim tersebut pihak Tergugat tidak puas atas putusan
hakim, selanjutnya pihak Tergugat mengajukan banding dan kasasi kepada Pengadilan Agama atas putusan majelis hakim. Berikut ini adalah kronologis
perkaranya. Terjadi perkara cerai gugat dan sengketa hak asuh anak antara Tamara
Bleszinski binti Zbignew, Agama Islam, Alamat Tempat Tinggal Jl. Salihara No. 6 A Rt. 003 Rw. 01, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Elsa Syarif SH.,MH yang berkantor di Jl. Kramat Sentiong 38 A Jakarta Pusat sebagai Termohon Kasasi dahulu
PenggugatTerbanding melawan Teuku Rafly Pasya bin Teuku Syahrul, Agama Islam, Alamat Tempat Tinggal Jl. Kemang Selatan No. 8 Komplek Kemang Jaya
Blok E 6, Kelurahan Bangka Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dalam hal ini diwakili oleh Muh, Muslih SHI.,MH Advokat, berkantor di Jl. Ir. Juanda No.
95 Ciputat, Jakarta sebagai Pemohon Kasasi dahulu TergugatPembanding.