Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. 1 Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan yang sah. Perceraian mempunyai akibat terhadap anak yang masih di bawah umur, yakni kekuasaan orang tua dapat berubah menjadi perwalian. Karena itu jika perkawinan diputuskan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian terhadap anak yang masih di bawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya dengan anak tersebut. Generasi muda atau anak-anak merupakan generasi penerus dan pengganti orang tua sekaligus generasi harapan bangsa. Jika orang tua dapat mendidik anak- anak tersebut dengan baik, maka anak tersebut dapat diharapkan menjadi penerus bangsa. Orang tua baik secara jasmani maupun rohani bertanggung jawab mendidik dan memelihara anak sampai tumbuh menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita berdasarkan Pancasila. 1 Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internusa, 1994, Cet. XXVI, h. 42. 2 Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga tidak harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan dilakukan perceraian antara suami dan istri. 2 Putusnya suatu perkawinan akibat perceraian sebisa mungkin hanya sebagai pintu darurat yang dilakukan, jika saja perceraian menjadi jalan terakhir maka sepatutnya proses-proses perdamaian telah dilakukan baik oleh inisiatif pasangan tersebut maupun oleh usaha keluarga yang disebut “hakamain” atau juru damai maupun yang selalu diupayakan oleh hakim di Pengadilan sebelum bersidang, hendaklah upaya damai tersebut menjadi pertimbangan yang memang harus diresapi oleh pihak yang ingin bercerai. Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya akan disebut UU Perkawinan yang menyatakan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa. 3 Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk 2 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, Cet.2, h. 30. 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1. 3 kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami- istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak. Selain itu tujuan Perkawinan adalah untuk menghasilkan keturunan yang baik guna meneruskan perjuangan keluarga dan mengharumkan. 4 Dalam pandangan Islam, tujuan dari perkawinan antara lain adalah agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir dan batin dan saling cinta mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia. Disamping itu, diharapkan pula kehidupan rumah tangga dapat berlangsung kekal, oleh karena itu, Islam telah memberi petunjuk atau jalan yang harus ditempuh bila sewaktu-waktu terjadi perselisihan dalam rumah tangga. 5 Akan tetapi pada kenyataannya berdasarkan pengamatan, tujuan dari perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai mengenai pembentukan rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai karena banyak perceraian. Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila pertama adalah keTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama, bukan hanya unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan 4 Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rinek Cipta,1992, Cet. Ke-1 h. 4. 5 Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Hecca Utama, 2005, h. 135 4 penting. 6 Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan diputus oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selanjutnya akan disebut UU Perlindungan Anak hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak. Dalam UU Perkawinan pasal 41, disebutkan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pihak istri maupun pihak suami setelah perceraian sebagai berikut: 1. Baik ibu maupun bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusan. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyatannya bapak tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. 7 6 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Akasara, 1996, Cet. Ke-2, h. 2-3. 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41. 5 Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa jika suami-istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak- anak tetap menjadi kewajiban mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan kewajiban dari suami saja atau istri saja. Majelis hakim bebas untuk menetapan ayah atau ibu yang berhak memelihara anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik mengingat kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi sering kali pertikaian masih sering berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, akan tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan belum sesuai dengan aturan tersebut karena masih ada sebagian ibu yang merasa berhak untuk mengasuh anak-anaknya namun hak tersebut jatuh kepada sang ayah sesuai dengan putusan majelis hakim. Berkaitan dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini terhadap perkara di Mahkamah Agung MA dengan Nomor Perkara 349 KAG2006 pada kasus Tamara Bleszinski dan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan pengasuhan Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya Teuku Rafly Pasya. Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih belum mumayyiz atau di bawah umur. Jika dilihat dari UU Perlindungan Anak, antara suami dan istri mempunyai 6 kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang memutuskan perkara tersebut. Sedangkan istilah fikih pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian disebut Hadhanah. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya perceraian. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan ibunya. 8 Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat pengasuhan. Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam merupakan kewajiban ayah, sedangkan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat pengasuhan adalah tanggung jawab ibu. Dalam berbagai literatur fikih yang paling berhak atas pengasuhan anak diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum mumayyiz. Dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak tersebut disuruh memilih kepada siapa di antara ayah dan ibunya. Yang ingin penulis analisis adalah mengapa seorang hakim memberikan hak asuh kepada ayah, karena sangat bertolak belakang pada Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang isinya jelas mengatur tentang hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu. Dan apa alasan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah hakim dalam memutuskan perkara sudah memperhatikan 8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan Undang-U ndang Perkawinan”, Jakarta, Kencana: 2006, Cet. Ke-1, h. 327-328. 7 ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ” Studi Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 KAG2006.

B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan

Dokumen yang terkait

Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

18 243 107

HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 5 16

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 13

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN DALAM Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 23

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN ORANGTUA

0 0 9

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA PIHAK KETIGA SELAIN KELUARGA AKIBAT PERCERAIAN BERDASAR- KAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN - Pelimpahan hak asuh anak di bawah umur kepada pihak ketiga selain keluarga akibat perceraian berdasar-kan undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak - Repository

0 0 21

KAJIAN TERHADAP PUTUSAN HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang) - Unika Repository

0 0 13