sebagai usaha untuk meningkatkan kesetiaan hidup membiara para Suster Medior SSpS Provinsi Maria Bunda Allah terhadap penghayatan spiritualitas Beata Maria
Helena Stollenwerk yang mencakup: alasan katekese digunakan sebagai usaha meningkatkan penghayatan kesetiaan para Suster Medior dalam hidup membiara,
alasan katekese Model Shared Christian Praxis SCP dipilih sebagai usaha meningkatkan penghayatan kesetiaan para Suster Medior SSpS dalam hidup
membiara, program katekese. BAB V: Sebagai bab terakhir dari penulisan ini, adalah bab penutup.
Bagian ini berisikan kesimpulan mengenai isi penulisan dan usul-saran.
BAB II SPIRITUALITAS BEATA MARIA HELENA STOLLENWERK DAN
KESETIAAN HIDUP MEMBIARA PARA SUSTER MEDIOR SSpS
Dalam spiritualitas Beata Maria Helena Stollenwerk dan kesetiaan hidup membiara para Suster Medior SSpS ini akan diuraikan dalam empat bagian.
Bagian pertama menguraikan tentang spiritualitas Beata Maria Helena Stollenwerk dan dan kesetiaan hidup membiara para Suster Medior SSpS yang
meliputi hakikat spiritualitas, spiritualitas menurut Kitab Suci, spiritualitas Kristiani, spiritualitas dalam dokumen Gereja. Bagian kedua diuraikan tentang
gambaran kehidupan Beata Maria Helena Stollenwerk yang meliputi: latar belakang keluarga, panggilan menjadi misionaris, penantian di Steyl, warisan
pendiri dan kekhasan spiritualitas Maria Helena Stollenwerk, spiritualitas Maria Helena Stollenwerk. Bagian ketiga menjelaskan tentang gambaran umum
Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus SSpS Provinsi Maria Bunda Allah yang meliputi: sejarah berdirinya Kongregasi, spiritualitas Kongregasi, kharisma
Kongregasi, misi Kongregasi, keanggotaan Suster-suster Medior SSpS Provinsi Maria Bunda Allah. Bagian keempat menguraikan tentang kesetiaan.
A. Spiritualitas dan Kesetiaan Hidup Membiara para Suster SSpS
1. Hakikat Spiritualitas
Dewasa ini “spiritualitas” merupakan sebuah istilah yang sangat popular
khususnya di kalangan orang Kristen bahkan kita sudah biasa mendengar kata
Spiritualitas. Kata Spiritualitas mempunyai pengertian yang cukup banyak dan sekaligus mengandung arti yang sangat kaya meskipun berbeda. Berikut ini akan
dibahas pengertian dari masing-masing istilah tersebut. Spiritualitas berasal dari kata Latin
“spiritus” yang berarti roh, jiwa, semangat. Dalam arti sebenarnya, spiritualitas berarti hidup yang berdasarkan
pada pengaruh atau bimbingan Roh Allah. Dengan menghayati spiritualitas, orang beragama menjadi orang spiritual, yaitu orang yang menghayati Roh Allah dalam
hidup nyata sehari-hari sesuai dengan panggilan dan peran hidupnya Hardjana, 2005: 64-65.
Kata spiritualitas ada hubungannya dengan kekuatan atau Roh yang memberi daya tahan kepada seseorang atau kelompok untuk mempertahankan,
mengembangkan dan mewujudkan kehidupan Banawiratma, 1990: 57. Spiritualitas ini dapat dimiliki oleh semua orang yang sedang berjuang
untuk mencapai tujuan dan juga cita-cita dalam perjalanan hidup sehari-hari. Bisa juga menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi berbagai kesulitan, penderitaan,
dan kegagalan untuk mewujudkan cita-cita, tujuan dan perjuangan hidupnya. Spiritualitas juga merupakan kesadaran dan sikap hidup manusia untuk tahan uji
dan tetap bertahan dalam mewujudkan tujuan dan dalam pengharapan. Maka spiritualitas bisa menjadi suatu kekuatan untuk menghadapi kesulitan dan
sekaligus menerima kenyataan hidup dengan demikian tetap berusaha untuk menjalani dan memaknai peristiwa hidup.
Spiritualitas adalah istilah agak baru yang menandakan “kerohanian”
atau “hidup rohani”. Hal ini lebih menekankan kebersamaan, bila dibandingkan
dengan kata yang lebih tua yaitu “kesalehan”, yang menandakan hubungan seseorang dengan Tuhan. Spiritualitas mencakup dua segi, yaitu: askese atau
usaha melatih diri secara teratur supaya terbuka dan teratur terhadap sapaan Allah. Segi lain adalah mistik sebagai aneka bentuk dan tahap pertemuan pribadi dengan
Allah. Askese menandakan jalan dan mistik tujuan hidup keagamaan manusia. Dasar hidup rohani dan semua bentuk spiritualitas sejati adalah Roh = Spiritus,
yaitu Roh Kristus seperti tampak dalam Injil Heuken, 2002: 11. Kalimat di atas menegaskan bahwa orang yang sangat peka akan
kehadiran Roh Tuhan dalam dirinya selalu juga menyadari kehadiran Tuhan dalam peristiwa hidupnya. Orang yang memiliki spiritualitas dan sungguh
menyadari Roh Tuhan hadir dalam dirinya, maka ia akan selalu berusaha untuk menjalani hidup ini seperti Tuhan menghendakinya.
Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik, meskipun Gereja Katolik tidak
menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan oleh agama-agama lain. Dikatakan otentik karena spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini
berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran
ditemukan di luar struktur Gereja Katolik. Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia
adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih Im 19:2, 1Yoh 4:16. Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan
melakukan perintah Tuhan, yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan
sesama Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31. Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi „serupa‟ dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah.
Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi semua orang Kristiani, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu
dan sama. Jadi kekudusan bukan monopoli kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan bagi kita semua. Spiritualitas religius
adalah cara hidup manusia yang menghayati hubungan pribadi dengan Allah atau dengan Yang Mutlak Darminta, 1972: 51.
Henri Nouwen, mengatakan bahwa spiritualitas adalah proses “pergi dan pulang”. Pergi untuk berjumpa dengan Allah dan pulang ke dunia untuk berjumpa
dengan manusia diri sendiri atau orang lain dengan segala pergumulannya. Sumbernya memang dalam perjumpaan manusia dihadapan Allah namun
perwujudannya justru di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Spiritualitas seperti ini dapat dilihat dalam pribadi Yesus dan seharusnya nampak dalam
pribadi setiap pengikut-Nya. Karena Spiritualitas bersumber dalam perjumpaan dengan atau dihadapan Allah, maka spiritualitas itu tampak dalam bentuk atau
tindakan yang nyata, yaitu: doa, persekutuan, dan keheningan. Namun dengan tindakan: doa, persekutuan, keheningan, spiritualitas tidak mendorong manusia
untuk meninggalkan atau melarikan diri dari kenyataan dunia ini melainkan justru berani hidup dengan penuh makna di tengah-tengah dunia ini. Oleh karena itu,
spiritualitas digambarkan sebagai suatu gerakan pergi-pulang. Yang dimaksudkan dengan pergi adalah pergi dari tengah-tengah kehidupan yang ramai, menarik diri,
mencari keheningan dan hadirat Tuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan pulang
adalah kembali ke tengah-tengah kehidupan yang ramai untuk melaksanakan tugas panggilan kita: ikut menderita bersama-Nya di dunia ini. Yesus sendiri
telah memberikan contoh kepada kita. Sebagai Anak Allah, Ia hidup di dunia untuk melaksanakan kehendak Allah. Ia menjelajahi seluruh Palestina mencari
dan menderita bersama mereka yang hilang, yang sakit, yang tersisihkan, yang berada dalam kegelapan. Berbagai permasalahan yang rumit Ia hadapi. Ia
menghadapi orang-orang Farisi dan para pemimpin Israel yang memusuhi-Nya. Ia melayani, mengajar, dan berbuat baik untuk memberitakan Kabar Gembira
tentang kasih Allah kepada dunia ini. Beberapa kali di dalam Injil kita membaca bagaimana Ia pada waktu-waktu tertentu mencari keheningan untuk berdoa
kepada Bapa-Nya. Kemudian Ia kembali lagi melayani manusia ditengah-tengah keramaian dunia. Demikian seterusnya sampai Ia mengalami puncak spiritualitas-
Nya ketika Ia menderita bersama manusia dan memberikan dirinya menjadi tebusan bagi banyak orang. Dalam pengalaman spiritualitas “pergi-pulang” itu
Yesus melakukan pelayanan-Nya dengan kata lain, hanya dengan spiritualitas “pergi-pulang” Yesus tetap mencitai dunia, menderita bersama dunia yang
menderita dan dengan begitu melayani dunia Soetopo, 2012: 9. C.S. Song, seorang teolog Asia dari Taiwan, memahami, “Spiritualitas
sebagai totalitas keberadaan manusia yang menyatakan diri di dalam cara-cara hidup, model-model berpikir, pola tindakan dan tingkah laku serta sikap-sikap
manusia di hadapan Sang Misteri yaitu Allah sendiri yang hadir di dunia kita dan mengarahkan kita kepada Yang Tertinggi melebihi segala yang tinggi. Yang
Terdalam di bawah segala yang terdalam dan kepada Sang Terang yang melebihi
segala terang. “Carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” Mat 6:33. Mencari Kerajaan Allah berarti hidup
sec ara total dalam perjumpaan dengan Allah yang menjadi “Raja”, Yang
Tertinggi, Yang Terdalam, Sang Terang itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak dimangsa oleh sikap untuk menjadikan hal-
hal yang sebenarnya hanya “tambah- an” menjadi yang utama dalam kehidupan kita Soetopo, 2012: 9.
Pengertian Spiritualitas sangatlah banyak, dan tidak dapat diartikan dengan satu paham atau satu pendapat. Setiap tokoh atau setiap orang pasti
mengartikannya dengan kalimat yang berbeda juga. Hal ini tidaklah menjadi masalah. Andar Ismail menjelaskan bahwa spiritualitas adalah getaran hati atau
cita rasa yang halus tentang yang Ilahi yang ada dalam hati sanubari setiap orang. Dari pengertian spiritualitas yang beraneka ragam maka penulis dapat
menyimpulkan spiritualitas adalah dorongan dan kekuatan dari dalam hati yang dimiliki dan menggerakkan seseorang untuk bertindak sekaligus sebagai kekuatan
dan semangat yang selalu mewarnai hidup manusia untuk mengalami kegembiraan rohani. Spiritualitas yang dimiliki setiap orang hendaknya terwujud
dengan tindakan nyata dalam sikap hidup dan pelayanan. Kalau mau dikenakan pada agama Katolik saja, maka spiritualitas berarti bentuk atau cara dan gaya
hidup Katolik secara istimewa dan khusus. Hidup Kristiani adalah praktek kesucian dan kesempurnaan Kristen, yaitu hidup menurut ajaran injili. Secara
khusus yaitu pelaksanaan usaha mencapai kesempurnaan, atau jalan yang ditempuh untuk menyempurnakan kehidupan Kristiani. Di bawah ini akan
dijelaskan tentang pemahaman spiritualitas menurut Kitab Suci, spiritualitas Kristiani, spiritualitas missioner dalam dokumen Gereja.
2. Spiritualitas menurut Kitab Suci
Spirit dan roh tetap berhubungan dengan “semangat jiwa yang
dipengaruhi oleh Roh Allah”. Bagi orang Kristiani, kata SpiritusRoh dapat ditemukan dala
m Kitab Suci, misalnya dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, “Roh sering muncul sebagai “RUAKH”, yang berarti semua yang mendorong; daya
aktif, daya hidup, kekuatan yang memberdayakan manusia Kej 2:7. Jadi, kata spiritualitas adalah Roh Allah yang mampu memotivasi, menyemangati,
memberikan kekuatan, membimbing dan menjiwai serta meneguhkan seseorang dalam menghadapi tantangan dalam hidup sehingga tetap teguh dalam iman dalam
melaksanakan setiap karya dan perutusan dengan bertanggungjawab. Yohanes melihat kematian Yesus sebagai momen pemberian Roh Kudus. Dari Hati yang
tertombak mengalirlah air dan darah. Dalam konteks Yohanes keduanya melambangkan Roh Kudus.
Di dalam Injil Yohanes segalanya diarahkan kepada saat itu, di mana Hati Yesus ditombak dan di mana Roh-Nya diberikan kepada seluruh dunia. Dari
Hati Yesus mengalirlah cinta-Nya yang mampu mengubah hidup yang telah tawar menjadi anggur yang lezat. Tempayan ketujuhpun dibuka, dan kita dihidangkan
anggur ilahi Yoh 2:1-11. Di salib Yesus memberikan kita air kehidupan yang memuaskan kerinduan terdalam Yoh 4:1-42. Dalam Hati yang terbuka
terpenuhilah janji, “Dari Hati-Nya akan mengalir air kehidupan. Yang
dimaksudkan-Nya adalah Roh Kudus yang akan diterima semua yang percaya kepada-Nya; sebab Roh Kudus belum dicurahkan, selama Yesus belum
dimuliakan. ”Yoh 7:38-39. Selama masa hidup-Nya Yesus hanya memberikan Roh Allah kepada manusia yang dijumpai-Nya. Dalam kematian-Nya Roh Allah
dicurahkan atas semua ciptaan. Kita semua mendapat bagian dalam Roh Kudus. Di dalam Roh Kudus inilah cinta Allah dicurahkan ke dalam hati kita Grün,
1995: 43. Setiap perutusan pasti membutuhkan spiritualitas. Spiritualitas yang
dimiliki seseorang akan mencerminkan pelayanan yang melahirkan perdamaian, kerukunan, dan sukacita sehingga mereka yang dilayani akan merasakan
kehadiran Tuhan. Maka orang yang sungguh-sungguh memiliki dan menghidupi spiritualitas, akan selalu menjalin komunikasi yang intim bersama dengan Tuhan
sebagai sumber kekuatan. Hal ini jugalah yang akan dibagikan kepada sesama, terutama mereka yang hidup dalam penderitaan, kebimbangan, dan kesusahan
dalam menyelusuri hidup yang diwarnai bermacam-macam tantangan.
3. Spiritualitas Kristiani
Hidup merupakan anugerah terindah dari Tuhan kepada kita sebagai sarana untuk percaya dan mengasihi-Nya. Namun hidup seseorang diwarnai oleh
bermacam-macam pengalaman. Ada pengalaman yang mendalam, ada pengalaman yang sementara sifatnya. Pengalaman yang mendalam biasanya
menyentuh hati seseorang bagaikan misteri yang semakin dipahami semakin membawa orang masuk lebih ke dalam lubuk yang tidak ada dasarnya.
Pengalaman misteri itulah yang disini dimaksudkan sebagai pengalaman mistik. Mengasyikkan bila orang dalam penghayatan imannya dapat mengalami Allah
sebagai misteri. Bila pengalaman ini benar-benar digali, orang tidak bisa mundur lagi. Misteri itu sekaligus menantang, menarik dan mengikat orang dalam
pemahaman terus menerus. Bila misteri itu berhenti berperan, lalu orang juga akan tercampak keluar dari perjuangan itu Darmawijaya, 1989: 115-116.
Spiritualitas bersendi pada pengalaman seperti diatas. Hubungan mistik dengan Allah yang memanggil seseorang dalam tugas atau pekerjaan pewartaan,
mewujudkan pengalaman iman itu dalam aneka wujud, menentukan kadar dan makna apa yang dikerjakan. Yang khas dalam hubungan ini adalah iman dan
kasih. Iman menyatakan bahwa ada kepercayaan yang mendalam, penyerahan utuh atas dasar anugerah yang ditawarkan Allah kepada pribadi itu. Kasih
menyatakan hubungan yang tidak mengandalkan pola untung rugi, memberi dan menerima, melainkan mengandalkan kebaikan bersama.
Tiap tradisi spiritualitas kristiani mempunyai tujuan untuk secara sempurna mengikuti apa yang diajarkan dalam kitab-kitab Injil dan dengan
demikian disebut sebagai „jalan‟ atau „lorong‟injili. Spiritualitas adalah suatu program untuk menyelaraskan dari implikasi-implikasi mengikuti Yesus adalam
tiap aspek kehidupan. Dalam hal ini hanya ada satu spiritualitas kristiani, yakni, menanggapi sepenuhnya apa yang Allah ajarkan dalam Alkitab.
Spiritualitas kristiani adalah suatu kesadaran bahwa menanggapi Allah harus mencakup dua dimensi yakni vertikal dan horisontal, dari keduanya tidak
boleh ada yang kurang dalam penghayatan hidup kristiani yang diintegrasikan
secara penuh. Dimensi vertikal adalah pemujaan dan doa, tugas dan kewajiban umat kristiani kepada Allah. Dimensi horisontal mencakup tanggungjawab atas
diri pribadi, atas diri sesama, dan masyarakat. Di dalamnya kasih dan pengabdian menjadi faktor yang mendorong dan menyatukan Thomas Michel, 2001: 125.
4. Spiritualitas dalam Dokumen Gereja
Spiritualitas merupakan suatu kenyataan yang ada dan menjadi penghayatan dalam Gereja. Bentuk penghayatan hidup rohani itu telah ada sejak
Gereja Perdana terutama seperti ditampakkan dalam hidup para rasul. Konsili Vatikan II menyerukan pada semua orang panggilan untuk hidup kudus. Siapapun
kita, dalam kondisi yang berbeda satu dengan lainnya, dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah sendiri adalah Kudus. Jadi panggilan ini berasal dari
Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam
diri-Nya, yang berlandaskan kasih. Tuhan Yesuslah Guru dan Teladan Ilahi segala kesempurnaan. Dengan kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya
sendiri. Ia mewartakan kepada semua dan setiap murid-Nya, bagaimanapun corak hidup mereka, “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang disurga sempurna
adanya” Mat 5:48. Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus untuk menggerakkan mereka dari dalam supaya mengasihi Allah dengan segenap
hati,dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap tenaga mereka lih. Mrk 12:30, dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai
mereka lih. Yoh 13:34; 15:12. Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya.
Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam baptis iman sungguh- sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat Ilahi, maka
sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah
mereka terima. Oleh Rasul mereka dinasehati supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-
orang Kudus” Ef 5:3; supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan,
kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” Kol 3:12; dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian LG 40.
Jadi, bagi semua jelaslah bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup
Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara hidup menjadi lebih manusiawi. Untuk memperoleh
kesempurnaan itu, hendaklah kaum beriman mengarahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikaruniakan oleh Kristus supaya dengan mengikuti
jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan
Allah dan pengabdian terhadap sesama. Begitulah kesucian Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah
terbukti dengan cemerlang melalui hidup sekian banyak orang kudus LG 40 .
B. Gambaran Kehidupan Beata Maria Helena Stollenwerk
1. Latar belakang keluarga
Gereja memaklumkan kepada dunia, bahwa wanita dari abad ke-19 ini punya arti dan pesan untuk kita semua. Helena Stollenwork lahir pada tanggal 28
Nopember 1852 di desa Rollesbroich, paroki Simmerath, di daerah Eifel, Diosesan Agung K
ӧ ln sekarang masuk Diosesan Aachen. Dengan iman dan religiusitasnya yang terikat pada abad ke-19, masih dapat mengungkapkan kepada
kita pandangan baru tentang Allah dan tentang kehidupan kita sebagai manusia. Ayah Helena bernama Johann Peter Stollenwerk, ia seorang petani yang giat,
yang terlibat tidak hanya dalam kehidupan masyarakat tetapi juga dalam pelbagai bidang tanggungjawab kehidupan Gerejawi selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dia sangat berjasa dalam pembangunan sebuah gereja di Rollesbroich. Pembangunan itu merupakan langkah penting yang perlahan mengantar
Rollesbroich menjadi paroki sendiri. Sesudah kematian istri pertamanya yang meninggal agak dini yang memberikannya sembilan anak, di antaranya tiga orang
bisu tuli. Pada tanggal 18 Agustus 1836 Johann Peter Stollenwerk menikah lagi
dengan seorang janda yang bernama Anna Barbara Stollenwerk yang masih mempunyai hubungan keluarga dengannya. Tahun 1851 istri keduanya
meninggal. Maka diapun menikah lagi dengan istri yang ketiga yakni Anna Maria Bongard pada tanggal 22 Januari 1852. Pada tanggal 28 Nopember 1852 Anna
Maria melahirkan seorang bayi yang diberi nama Anna Helena, yang dipanggil Helena. Pada saat kelahirannya, sang ayah sudah berusia 67 tahun, sementara
ibunya baru berusia 27 tahun. Helena merupakan anak yang pendiam. Hal ini dapat dimengerti kalau kita memperhatikan situasi keluaranya. Saudara-saudari
tirinya jauh lebih tua dari dia, malah mereka sudah bisa menjadi orangtuanya sendiri. Ayahnya sendiri lebih tampak sebagai kakeknya. Jarak usia antara mereka
terlalu jauh, sehingga Helena tidak mempunyai hubungan batin dengannya. Selain itu ayahnya sering bekerja di luar rumah. Sebab itu Helena tidak banyak
mengalaminya. Pada tahun 1855 Helena mempunyai adik yang bernama Carolina. Tetapi dia hanya berusia empat tahun, dia meninggal pada tahun 1859.
Dari hubungannya dalam keluarga, sejak awal Helena telah belajar memperhatikan yang lemah, menaruh simpati dan mengerti orang lain tanpa
banyak kata. Keluarga Helena ditandai dengan kematian dan penyakit. Pada umur tujuh tahun ayahnya meninggal. Dari ayahnya, Helena belajar untuk turut
bertanggungjawab atas orang lain. Demikian pula kesediaan untuk mengorbankan diri bagi orang lain dan tekad untuk tetap menekuni jalan yang sudah dimulai.
Sejak saat itu dia senantiasa memikirkan tentang nasib anak-anak kusta di Cina. Saat itu munculah minatnya akan bermisi di Cina. Setelah ayahnya meninggal,
kini ibunya sendirilah yang harus memecahkan pesoalan tentang masa depannya sendiri dan masa depan anak-anaknya. Setelah berpikir dan merenung beberapa
waktu akhirnya dia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda bernama Johann Peter Breuer seorang pandai besi kuku kuda, yang mempunyai
tiga anak perempuan dari perkawinannya yang pertama. Dengan mudah Helena dapat berkenalan dengan saudari-saudarinya yang baru, yang dalam waktu singkat
secara manusiawi lebih dekat padanya dari pada saudari-saudarinya yang lebih tua dari perkawinan pertama ayahnya Gün, 1995: 10-12.
Hidup iman yang dalam, suasana damai, persatuan yang mempererat hubungan mereka dan saling memperhatikan, itulah dasar kokoh yang telah
diterimanya dalam keluarga. Daerah kelahiran Helena dianggap sebagai bagian Prusia yang paling
miskin. Pemerintah telah membantu mengembangkan pertanian namun tidak menciptakan sarana untuk komunikasi yang baik karena letaknya dekat perbatasan
yang dapat membahayakan keamanan Negara; ini menghalangi kemajuan ekonominya. Dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain di sekitarnya keluarga
Helena termasuk berada. Namun bila dibandingkan dengan keluarga-keluarga di daerah lain mereka miskin.
Helena menempuh pelajaran dasarnya di Sekolah Negeri Rollesbroich. Ia belajar membaca, menulis, matematika dan beberapa pelajaran praktis lainnya
seperti berkebun, olahraga, dan lain-lain. Pelajaran lain seperti Sejarah dan Ilmu Bumi tidak diajarkan dengan maksud menghindarkan menyebar dan
berkembangnya ide tentang demokrasi dari Rhineland. Para siswa wajib mendapat satu jam pelajaran agama dengan harapan bahwa ini akan mempengaruhi
kesadaran mereka Brand, 1995: 2. Pembinaan Kristiani yang kokoh yang diterima Helena dalam keluarga,
di Paroki dan sekolah menghasilkan buah. Setelah merasa mampu, ia mengabdikan dirinya pada kegiatan karitatif dan kerasulan. Pada bulan Oktober
1864 ia menjadi anggota Serikat Tritunggal Mahakudus. Pada bulan Oktober 1866