Gambaran Kehidupan Beata Maria Helena Stollenwerk

secara manusiawi lebih dekat padanya dari pada saudari-saudarinya yang lebih tua dari perkawinan pertama ayahnya Gün, 1995: 10-12. Hidup iman yang dalam, suasana damai, persatuan yang mempererat hubungan mereka dan saling memperhatikan, itulah dasar kokoh yang telah diterimanya dalam keluarga. Daerah kelahiran Helena dianggap sebagai bagian Prusia yang paling miskin. Pemerintah telah membantu mengembangkan pertanian namun tidak menciptakan sarana untuk komunikasi yang baik karena letaknya dekat perbatasan yang dapat membahayakan keamanan Negara; ini menghalangi kemajuan ekonominya. Dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain di sekitarnya keluarga Helena termasuk berada. Namun bila dibandingkan dengan keluarga-keluarga di daerah lain mereka miskin. Helena menempuh pelajaran dasarnya di Sekolah Negeri Rollesbroich. Ia belajar membaca, menulis, matematika dan beberapa pelajaran praktis lainnya seperti berkebun, olahraga, dan lain-lain. Pelajaran lain seperti Sejarah dan Ilmu Bumi tidak diajarkan dengan maksud menghindarkan menyebar dan berkembangnya ide tentang demokrasi dari Rhineland. Para siswa wajib mendapat satu jam pelajaran agama dengan harapan bahwa ini akan mempengaruhi kesadaran mereka Brand, 1995: 2. Pembinaan Kristiani yang kokoh yang diterima Helena dalam keluarga, di Paroki dan sekolah menghasilkan buah. Setelah merasa mampu, ia mengabdikan dirinya pada kegiatan karitatif dan kerasulan. Pada bulan Oktober 1864 ia menjadi anggota Serikat Tritunggal Mahakudus. Pada bulan Oktober 1866 ia menjadi promotor Kerasulan Doa. Ia juga membantu orang miskin, merawat orang sakit dan berdoa bersama orang yang sedang menghadapi ajal. Bila pekerjaan di ladang orang tuanya memungkinkan, ia berdoa lama di depan Sakramen Mahakudus, di Gereja kecil di desanya Brand, 1995: 3.

2. Panggilan menjadi misionaris

Pada waktu umur sepuluh tahun Maria Helena mulai aktif sebagai pengumpul derma untuk Perkumpulan Kanak-Kanak Yesus. Dia tetap menjalankan tugas ini selama dua puluh tahun, sampai keberangkatannya ke rumah misi pada tanggal 30 Desember 1882. Maria Helena sendiri melukiskan perasaannya setiap kali membaca laporan tahunan Perkumpulannya. Bagi dia tanah airnya adalah dunia. Yang sangat menyentuh perasaannya adalah nasib anak-anak seperti dilukiskan dalam majalah-majalah Perkumpulan, khususnya nasib anak-anak di Cina yang cukup sering diberitakan Gün, 1995: 15. “Sering dia merasa kasihan terutama kepada anak-anak kafir yang sering ditinggalkan sendirian. Maria Helena merasakan kerinduan yang besar untuk berada di sana dan mencari anak-anak itu ditengah lumpur, di ladang, di dalam hutan, dan seterusnya lalu membawa anak-anak kepada seorang imam atau seorang suster, agar anak-anak itu dibaptis dan dididik menjadi seorang Kristen. Beberapa kali saya bermimpi, bahwa saya menarik anak-anak yang dibuang itu dari lumpur dan membawanya pergi” Grün, 1995: 15. Yang menarik dari kisah ini adalah bagaimana Maria Helena yang masih kecil sudah turut merasakan nasib anak-anak lain dan bagaimana dia mau berbuat sesuatu untuk mereka. Dia mau keluar dan membuktikan bahwa hidupnya untuk melayani orang lain. Sangat menarik bahwa sudah sejak masa kanak-kanak pemikiran dan idamannya dikuatkan oleh mimpi-mimpinya. Banyak orang kudus menempuh jalan hidupnya berdasarkan sebuah mimpi. Sangat pasti, pada awal perjalanan Maria Helena pun ada sebuah mimpi, dimana Allah sendiri membuka horizon dan memotivasinya untuk merawat anak-anak di negeri asing yakni Cina. Dengan keberanian yang dimilikinya, dia berani menerima tantangan demi tantangan yang dihadapinya. Dia menulis, “Apa yang bisa dibuat oleh seorang misionaris, dapat juga saya alami dengan bantuan Allah”. Di sini dia menunjukkan bahwa Maria Helena sangat percaya pada suara Allah yang didengar dalam hatinya Gün, 1995: 16. Pada awal dia hanya memiliki minat pada karya misi. Dia mau pergi kepada anak-anak kafir yang miskin dan dia belum berpikir tentang biara. Dia tetap dengan setia membaca majalah Kumpulan Anak Yesus. Suatu ketika dia membaca, bahwa Pater Horner baru saja mengajarkan bahasa Cina kepada tiga orang Suster dari Itali dan Perancis. “Saat itu mata saya terbuka dan saya berpikir, kalau mereka bisa melakukannya, saya pun pasti bisa”. Sejak saat itu Maria Helena mulai berharap. Ketika dia membaca lagi sebuah berita tentang perjalanan ke Cina, dia merasa sangat terkesan. Kerinduannya pada Cina semakin bernyala. Maria Helena tidak menceritakan kepada siapapun tentang kerinduannya pada Cina. Apa yang dipikirkannya di simpannya dalam hati. Di satu pihak Maria Helena melaksanakan tugasnya. Tetapi di dalam hatinya dia berjuang untuk menemukan sebuah jalan untuk menjawabi dan menghidupi panggilannya. Helena harus berusaha sendiri dan harus yakin, bahwa Allah berbicara kepadanya dalam pikiran dan gagasannya. Baru pada tahun 1871 Maria Helena berani membicarakan panggilannya dengan Romo Leonhard Jülich, seorang Pastor pembantu di parokinya. Saat itu dia sadar, bahwa dia hanya dapat menghidupi panggilannya, apabila dia masuk sebuah serikat misi. Tetapi Pastor pembantu tidak setuju. Waktu itu, sesudah Konsili Vatikan I yang merumuskan Ketaksesatan Paus, Kansler Karajaan Prusia, Bismarck, mulai menggalakkan Kulturkampf Kulturkampf adalah sebuah aksi pembatasan kebebasan agama dalam wilayah kerajaan Prusia. Bismarck tidak membiarkan sebuah Gereja yang mengganggap diri satu- satunya pemilik kebenaran, berkembang di dalam wilayah kekuasaannya. Sebab itu para Jesuit diusir, dan dalam tahun-tahun berikutnya hampir semua biarawan- biarawati lainnya harus meninggalkan kekaisaran Prusia. Mendengar keberatan yang disampaikan oleh Pastor pembantu, Maria Helena menjadi sadar, bahwa memang saat sekarang bukanlah waktunya untuk masuk sebuah biara. Walau demikian dia hampir tak bisa menahan lagi desakan panggilan dalam dirinya. Tak lama lagi dia berbicara beberapa kali dengan Pastor pembantu. Akhirnya Pastor pembantu mengirimkannya ke Romo Deken Goller yang adalah salah seorang yang sangat aktif berjuang melawan Kulturkampf. Romo Deken menganjurkan Maria Helena untuk menunggu dua tahun dan dia akan membantunya. Maria Helena selalu saja merasa sedih bahwa dia tidak dapat menghidupi panggilannya. Dia cemas , “kalau dia harus lebih lama menanti, dia akan menjadi terlalu tua dan tidak bisa lagi berangkat ke Cina” Gün, 1995: 17. Pada tahun 1872 orang tua Maria Helena mengijinkannya untuk ikut berziarah ke Aachen, bersama saudarinnya Anna Helena dan temannya Anna Margaretha. Pada kesempatan itu Maria Helena mengujungi para Suster dari Kanak-kanak Yesus dan berbicara dengan Sr. Fanziska. Maria Helena mau mengetahui, apakah para Suster mempunyai rumah misi di Cina? Suster Franziska menjawab tidak. Maria Helena pun terus mencari lagi dan mendekati Sr. Aloysia Vossen yang selalu mengumpulkan dana untuk Perkumpulan Kanak-Kanak Yesus. Suster Vossen menyebutkan para Suster Hati Kudus yang didirikan di Perancis. Di mana para Suster ini bekerja juga waktu di Vaals di sebuah kampung dekat Aachen. Maria Helena merasa tidak cocok. Di mata Maria Helena keseluruhan kompleks terlalu luas, rumah para Suster bagaikan sebuah istana. Hal ini tidak sesuai dengan pandangannya tentang kemiskinan dalam sebuah biara. Maria Helena pun menceritakan kepada ibunya tentang panggilannya untuk ke tanah misi. Ibunya sangat berat dan tidak mengizinkannya. Tetapi Maria Helena tidak dapat dirintangi oleh keberatan ibunya, dia tetap menekuni jalannya sendiri. Dia terus menerus mendatangi bapa pengakuannya dan selalu mengulangi permohonannya untuk masuk ke dalam sebuah biara dan pergi ke tanah misi. Bapa pengakuannya pun melarangnya membaca majalah terbitan Perkumpulan Kanak-kanak Yesus selama dua tahun dan bahkan melarangnya untuk memikirkan kerinduannya. Selama satu setengah tahun Maria Helena dapat memenuhi larangan tersebut. Sesudah itu dia tak tahan lagi. Seringkali dia merasa sedih, seperti yang ditulisnya sendiri. Jelaslah bahwa kerinduan ke tanah misi merupakan sebuah pergumulan untuk menunjukkan kebenaran hidup. Dia yakin bahwa dia tidak bisa hidup sambil tidak menghiraukan panggilannya. Tapi dipihak lain dia tidak mempunyai jalan untuk menghidupi panggilan itu. Pada waktu itu tidak ada biara missioner untuk para Suster. Karena itu dia sungguh tidak mengerti, apa sebenarnya yang dikehendaki Allah darinya. Perjuangan Maria Helena belum berakhir, dia merasa sendirian, tak tahu, untuk apa sebenarnya Allah memberikan dan menanamkan benih panggilan yang kini demikian jelas didengarnya. Sering dia merasa ditinggalkan sendiri oleh Allah dan para Kudus, bahkan dia mendapat kesan bahwa doa semua orang lain dikabulkan, Cuma pada dirinya Allah membuat pengecualian. Walau demikian, niatnya sama sekali tidak pupus, baik oleh larangan Pastor pembantu, ibunya dan oleh perasaan sedih dalam hatinya. Dengan tekun dia meneruskan jalannya dalam harapan penuh bahwa Allah pada akhirnya akan menuntunnya keluar dari kesulitan Gün, 1995: 18-19. Tahun 1873 Rollesbroich mendapat seorang imam sebagai Rektor, namanya Romo Johann Wilden von Heimbach. Maria Helena pun pergi kepadanya untuk mengaku dan membuka hatinya kepada Romo Rektor. Romo Rektor hanya menganjurkannya untuk terus menunggu. Enam tahun lamanya Maria Helena menunggu, hingga Romo Rektor meninggal. Mulai saat itu Maria Helena pergi ke pastor pembantu Jülich di Simmerath untuk mengaku dan Romo Jülich pun tidak mau lagi membantunya. Maria Helena berusaha untuk mengirimkan surat kepada Romo Deken Goller dan kali ini Romo Deken menganjurkan Maria Helena untuk menggabungkan diri dengan para Suster Fransiskan. Maria Helena tidak membiarkan diri dibawa ke jalan tertentu yang tidak disetujui suara batinnya. Sikap para imam menunjukkan, betapa kaum awam waktu itu bergantung pada klerusnya. Maria Helena tetap konsekuen pada panggilannya. Dia hanya memenuhi kehendak Allah, dan Allah tidak hendak membawanya kepada para Suster Fransiskan, melainkan mendampinginya untuk mendirikan sebuah biara baru. Pada tahun 1881, Maria Helena mendapat alamat rumah misi di Steyl. Rumah misi ini adalah sebuah rumah misi Jerman yang didirikan Arnoldus Janssen pada tahun 1875 di Belanda karena Kulturkampf. Arnoldus Janssen pun tak lupa menulis, bahwa dia berharap bisa membantu Maria Helena suatu saat. Tanggal 24 Oktober 1881 Maria Helena menulis surat lamaran pertamanya ke Steyl. Di Steyl hatinya puas, bahagia bahwa inilah tempat di mana dia dapat menghidupi panggilannya. Bagi dia ini merupakan sebuah tanda, bahwa Allah memangilnya ke tempat itu. Perlahan hatinya menjadi semakin terang dan cerah. Dia mulai berharap, bahwa dirinya dibutuhkan untuk memenuhi tujuan rumah misi di Steyl. Apalagi Arnold Janssen menyampaikan kepadanya bahwa seorang vikaris apostolik Cina menganjurkannya untuk mendirikan sebuah kongregasi misi untuk para Suster. Sungguh mengagumkan, bagaimana Maria Helena menaruh kepercayaan pada perasaannya sendiri. Kepercayaan pada perasaan subyektif seperti ini tidak dihargai dalam konteks religiusitas pada masa itu. Maria Helena percaya bahwa Allah pun berbicara melalui perasaanya sendiri. Memang dia tidak dapat menjelaskan perasaannya secara rasional. Baginya perasaan pribadi adalah tanda yang menunjukkan apa yang sebenarnya dikehendaki Allah darinya Gün, 1995: 20-21. Pada pesta Maria diangkat ke Surga, Maria Helena pergi untuk kedua kalinya ke Steyl. Dalam perjalanan ke Steyl kali ini, bukan kegembiraan dan harapan, melainkan kecemasan. Ia merasa takut, apakah sungguh merupakan kehendak suci Allah. Kegelapan yang memenuhi hatinya selama perjalanan ke Steyl merupakan sebuah pergulatan batinnya. Tetapi saat memasuki pintu rumah Steyl, perasaan cemas, takut, kawatir itu hilang. Tahun 1882 Maria Helena diterima sebagai pembantu dapur rumah misi. Ia tetap berjuang untuk melawan bapa pengakuan dan meminta bapa pengakuannya, agar dia cukup menulis, apa yang dianggapnya baik. Akhirnya bapa pengakuannya berjanji untuk menulisnya dan Maria Helena sendiri berdoa, agar kehendak suci Allah terjadi. Maria Helena memang tidak dapat berbuat lain selain berdoa agar jalan baginya terbuka kendati harus menghadapi penolakan bapa pengakuannya. Maria Helena masih tetap berjuang juga untuk mengambil keputusan untuk memenuhi keingan hatinya yang begitu mendalam yaitu ke tanah misi. Ketika usia 19 tahun, dia menyampaikan keinginannya pertama kalinya kepada ibunya. Dan waktu itu ia menerima penolakan dan ketidakmengertian. Kini, ketika semuanya menjadi jelas dan pasti, pergolakan batin menjadi kian berat. Maria Helena merasa takut membuat orang tuanya menderita. Walau demikian dorongan dalam hatinya lebih kuat untuk meneruskan jalannya, juga kalau orang tua dan saudara-saudarinya tidak bisa mengertinya. Namun yang paling membuatnya cemas adalah apakah ini memang sungguh kehendak Allah, agar dia menjadi Suster misi? Kali ini pun Maria Helena tidak bisa berbuat apa- apa selain berdoa. Dia memohon dengan sangat, agar kehendak sucinya terjadi atas dirinya. Dan doanya pun di kabulkan. Orang tuanya menghantar dia ke Steyl dan Pater pemimpin rumah menerima mereka dan mencoba menghibur mereka, bahwa mereka akan mendapat berkat berlimpah kalau mereka merelakan puterinya masuk biara. Mendengar itu orang tua Maria Helena kelihatannya menjadi terhibur dan bersedia merelakan Maria Helena tinggal. Ia sendiri merasa sangat bahagia, akhirnya dapat mengatakan selamat tinggal kepada dunia dan boleh tinggal dalam ruang-ruang suci sebuah biara, dimana dia menetap di bawah satu atap dengan Sang Penebus. Inilah yang menjadi sebuah benteng yang kuat yang dibangunnya untuk tidak lagi terlalu dipengaruhi oleh penderitaan orang tuanya, untuk sekali lagi mengalah, dengan demikian tidak setia pada panggilan kepada panggilannya sendiri Gün, 1995: 22-25. 3. Penantian di Steyl Steyl merupakan tujuan impian bagi Maria Helena Stollenwerk. Namun ini tidak berarti, dia sudah diterima masuk ke dalam sebuah biara misionaris. Dia cuma diterima sebagai pembantu di dapur rumah misi. Usianya sudah 30 tahun. Sebelumnya dia harus menunggu 10 tahun lamanya di rumah, sampai bisa mengambil langkah ke luar dari sana. Dan kini dia harus menunggu 10 tahun lagi, hingga kerinduannya akhirnya terpenuhi: melayani Tuhan sebagai seorang biarawati misionaris. Dia harus bekerja keras sebagai wanita pembantu di dapur. Sebelum kedatangan Maria Helena, ada seorang wanita yang terlebih dahulu bekerja di sana, Theresia Sicke. Dia akhirnya dapat dipengaruhi oleh Maria Helena dan bersemangat mendengarkan gagasan mengenai sebuah biara untuk para Suster misionaris. Tak lama sesudah Maria Helena, datang pula Theresia Volpert dan setahun kemudian menyusul Hendrina Stemanns, yang kemudian merupakan rekan pendiri kedua. Keempat gadis itupun membentuk sebuah kelompok sendiri. Mereka harus bekerja keras. Sebab rumah misi terus berkembang dan selalu saja ada kelompok yang membuat retret di sana. Mereka sendiri hanya mempunyai sebuah ruangan yang berfungsi sebagai kamar rekreasi dan kamar tidur. Mulanya Maria Helena merasa sangat senang di sana. Namun tidak lama sesudah itu dia merasa tidak tenang. Dia memang mengharapkan untuk sebuah biara di Steyl. Tetapi kini sama sekali tidak dibicarakan lagi tentang hal ini. Rumah misi sebagai tempat pendidikan para calon misionaris semakin berkembang. Dengan demikian semakin kecillah harapan akan didirikannya sebuah biara misi untuk para Suster. Kelompok gadis pembantu merupakan sebuah peringatan bisu bagi Arnoldus Janssen untuk tidak melupakan niat mendirikan sebuah kongregasi untuk para Suster. Tetapi dia selalu menunda dan tidak memberi kepastian. Arnoldus Janssen sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hal ini yang membuat keempat gadis ini sangat menderita. Arnoldus Janssen merupakan lelaki dari zamannya dan sebagai seorang imam dia tidak merasa sangat solider dengan para wanita. Para wanita itu harus menunggu lama, sampai Arnoldus Janssen mengambil sebuah keputusan. Pater Superior agaknya mencoba mereka dalam hal kerendahan hati dalam ketabahan dan kesetiaan. Dan Maria Helena sendiri tidak menjadi putus asa dan menyerah kalah. Dia tetap berjuang, dia tetap setia kepada panggilannya, juga ketika orang yang harus membuka jalan missioner baginya, kini mengecewakannya Gün, 1995: 26. Maria Helena sangat menaruh harapan pada kapitel jendral pertama biara misi. Dalam kapitel itu para kapitularis memang mengambil sebuah keputusan untuk mendirikan sebuah biara misi untuk para Suster. Tetapi mereka sendiri pun tidak terlalu yakin, bahwa keputusan ini dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Theresia Volpert tidak dapat menanti lebih lama. Akhirnya dia meninggalkan Steyl dan masuk ke dalam sebuah biara lain. Tak lama sesudah itu datang lagi seorang wanita yaitu Gertrud Hegemann, menggantikan Theresia Volpert. Namun bagi Getrud tuntutan kerja dan kelompok terlalu berat. Dari sana muncullah kesulitan dan konflik-konflik awal di dalam kelompok kecil keempat wanita itu. Hal ini menghantar Maria Helena selalu dapat mengatasi semua hambatan yang menantangnya untuk mengikuti panggilannya menjadi Suster misionaris. Kini dia sepenuhnya bergantung pada kehendak baik pendiri, Arnoldus Janssen dan para sama saudaranya. Ada banyak pertanyaan memenuhi benaknya, Apakah dia telah mengambil sebuah keputusan yang salah? Apakah langkahnya ke Steyl kini akan menemukan jalan buntu? Apakah dia dan para rekannya hanya akan menghabiskan seluruh tenaganya di dapur, tanpa pernah tiba di tujuan yang diharapkan? Maria Helena meresa tak pasti lagi, apakah di Steyl dia sungguh dapat menghidupi panggilannya. Dia sudah harus menuggu 10 tahun untuk memenuhi panggilannya. Apakah semuanya harus berakhir di sini, dengan bekerja sebagai wanita pembantu di dapur? Gün, 1995: 27-28. Di tengah krisis ini Maria Helena harus memikirkan dan merenungkan seluruh hidupnya secara baru dan harus membentuk sebuah sikap baru terhadap panggilannya. Bertahun - tahun lamanya dia hanya memusatkan seluruh perhatian dan kerinduannya untuk diutus pergi ke Cina dan berusaha mencapai cita-cita itu dengan segala daya. Semua tantangan yang dihadapinya dapat diatasinya berkat doa dan bantuan Tuhan. Maria Helena semakin menyadari, bahwa dia tidak akan dapat ke Cina. Bagi Maria Helena sebenarnya tidak menjadi terlalu penting, apakah dia ke Cina atau tidak. Yang terpenting adalah memberi diri seutuhnya kepeda Allah, agar Tuhan dapat mengutusnya kemana saja seturut kehendak-Nya. Dari kutipan-kutipan yang di buatnya selama masa kerjanya dapat dilihat bahwa Maria Helena sungguh berjuang untuk mencari dan mengenal kehendak Allah. “Yang terbaik adalah menyerahkan semuanya kepada Allah dan tidak memilih sendiri sesuatupun. Apakah yang masih mau kau miliki selain dari Allah? Apakah Dia tidak cukup untukmu? Engkau tak boleh terlalu tergantung pada sarana-sarana bantu yang menolongmu terarah pada Allah” Gün, 1995: 32. Di tengah ketidakpastiannya mengenai bentuk konkret jalan panggilannya Maria Helena harus mengenal makna terdalam hidupnya. Dan baginya makna terdalam itu adalah mencari dan mencintai Tuhan dengan seluruh hati dan menyerahkan diri seutuhnya kepadanya. Semuanya tergantung pada Allah dan bukan pada rencana dan pandangannya sendiri tentang bagaimana harus melayani Allah. Pada tanggal 15 Juni 1884, pada hari Minggu sesudah perayaan Pesta Tubuh dan Darah Kristus, Arnoldus Janssen menyampaikan kepada keempat wanita itu, bahwa dia berharap dapat berbuat sesuatu untuk mereka di Austria. Dari keempat wanita itu memilih Maria Helena untuk menjadi ketua kelompok kecil mereka. Pada Tahun 1887 para Suster Penyelenggaraan Ilahi meninggalkan Steyl. Karena sudah ada cukup banyak yang dapat menangani dapur, maka keempat wanita itu pun mendapat tugas baru, yaitu mengurus pakaian sekian banyak penghuni rumah misi. Hal ini merupakan sebuah pekerjaan yang lebih ringan di bandingkan dengan tugas dulu di dapur. Aturan harian lebih pasti dan memungkinkan mereka untuk berdoa dan bertukar pengalaman. Pada tanggal 14 Juli 1888 Pater Superior membeli rumah bekas untuk keempat wanita itu dan mereka mulai menempati rumah biara kecil “Drei Linden”. Bagi mereka ini awal dari kehidupan sebagai biarawati. Mereka menyebut masa hidup mereka di rumah itu sebagai Nasareth. Itulah sebuah masa, di mana mereka sungguh secara intensif mengalami kebersamaan komunitas, di mana mereka bersama-sama berdoa dan melatih diri untuk menjalankan tugas nanti di dalam kongregasi mereka sendiri. Setahun kemudian rumah biara Kapusin kosong. Arnoldus Janssen memutuskan, agar rumah itu disiapkan untuk keempat wanita calon Suster. Hingga kini mereka selalu secara bergantian selama sebulan mengemban tugas sebagai pemimpin kelompok. Pada tanggal 2 Februari 1889 Arnoldus Janssen mengangkat Yosefa Hendrina Stenmanns menjadi pemimpin dan Maria Helena sebagai wakilnya. Pada tanggal 7 Desember 1889, ketika kelompok kecil ini mulai menempati bekas biara kapusin, mereka merasa sudah maju satu langkah lebih jauh dalam mewujudkan kerinduan mereka untuk menjadi biarawati. Hari pertama mereka di biara, tanggal 8 Desember 1889, ditetapkan menjadi hari berdirinya Kongregasi. Sejak saat itu kelompok ini berhak menerima para calon, para postulan. Setahun kemudian mereka harus pindah lagi, kini di rumah biara Notre-Dame. Ini sungguh merupakan sebuah rumah biara yang memang baik. Arnoldus Janssen pun mulai menulis Konstitusi untuk kongregasi Suster yang baru ini. Dari para Suster ini pun Arnoldus Janssen meminta seorang pendamping sebagai magistra atau pendamping novis untuk Kongregasi baru. Tetapi sebelum pindah ke Steyl, calon magistra atau pendamping novis meninggal dunia. Maka Arnoldus Janssen sendirilah yang harus membimbing para novis itu untuk menyiapkan diri sebagai biarawati dan membekali mereka dengan spiritualitas missioner. Untuk tugas ini Maria Helena selalu mendampingi dengan setia. Pada tanggal 17 Januari 1892 keenam belas postulant pertama menerima pakaian biara. Setengah tahun sebelum itu Arnoldus Janssen telah mengangkat Helena Maria menjadi pemimpin biara, sesudahnya menjadi magistra novis. Arnoldus Janssen percaya, bahwa Maria Helena dapat memimpin kelompok Suster yang baru itu. Pada saat penerimaan pakaian biara Maria Helena mendapat nama baru yaitu: Sr. Maria. Pada tahun 1891 konstitusi untuk para Suster selesai ditulis. Pada tanggal 15 Januari 1893 para Suster menerima cetakan pertama Konstitusi mereka, maka secara kanonis masa novisiat dapat di mulai. Setahun kemudian, pada tanggal 12 Maret 1894, Maria Helena bersama 11 Suster lainnya mengikrarkan kaul pertama. Kini Maria Helena, atau Sr Maria, tiba pada pemenuhan kerinduan hatinya. Kini dia merasa, bahwa masa penantian yang lama itu memiliki makna, bahwa Tuhan tetap menuntunnya melalui sekian banyak pencobaan. Penantian kini berbuah. Dalam waktu yang relative singkat banyak gadis lain menggabungkan diri dengan kelompok para Suster ini. Dan dalam tahun 1895 kelompok pertama para Suster sudah dapat diutus ke tanah misi Argetina Gün, 1995: 33-36. 4. Warisan Pendiri dan Kekhasan Spiritualitas Maria Helena Stollenwerk Warisan dari Arnoldus Janssen dihidupi oleh puteri-puteri rohaninya dari waktu-ke waktu. Hal ini diuraikan dengan jelas dalam Konstitusi kongregasi SSpS art 401-421 tentang Hidup kita oleh Sabda Allah dan Sakramen, yaitu: a. Ekaristi Arnoldus Janssen adalah seorang pribadi yang mencintai Ekaristi. Tidak ada hari yang dilaluinya tanpa berlutut di depan Sakramen Mahakudus. Para Suster SSpS meneladani apa yang dicontohkan Arnoldus Janssen. Bagi mereka Ekaristi memperdalam persatuan hidup dengan Kristus dan menjadi sumber kekudusan apostolik serta tanda persatuan yang ampuh, karena itu mereka mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi setiap hari dan bila tidak memungkinkan untuk diadakan perayaan Ekaristi maka diadakan ibadat sabda disertai komuni kudus. Penyembahan Sakramen Mahakudus mendapat tempat dalam doa pribadi dan komunitas sehingga pentahtaan Sakramen Mahakudus dalam komunitas-komunitas SSpS minimal dua kali dalam satu bulan Konst 402- 402.1. b. Membaca Kitab Suci Setiap hari Kitab Suci menjadi sumber hidup rohani yang tak kunjung kering. Oleh karena itu setiap anggota kongregasi dianjurkan untuk membaca Kitab Suci setiap hari sebagai cara dan sarana yang dapat memperkaya dalam memperdalam hidup rohani mereka. Sharing Kitab Suci dilakukan para Suster setiap minggu sekali pada hari yang telah disepakati bersama dalam komunitas Konst 409. c. Penghormatan kepada Allah Tritunggal Arnoldus Janssen menginginkan para Suster hendaknya hidup sadar dihadirat Allah Tritunggal Mahakudus, dalam arti hidup aktif dan dinamis menuju kepada kesempurnaan hidup. Karena itu sebagai pelayan cinta-Nya para Suster SSpS harus belajar untuk melihat dimana Allah berkarya dalam diri dan sekitarnya, peka terhadap karya-Nya kemudian melaksanakan kehendak-Nya Konst 404. d. Penghormatan kepada Roh Kudus Sebagai seorang Abdi Roh Kudus para Suster SSpS memuliakan dan mencintai Roh Kudus secara istimewa. Setiap hari para Suster SSpS memuji Allah Roh Kudus dengan menyerukan doa “veni Creator Spiritus” pada pagi hari dan setiap siang hari menyerukan “Veni Sancte Spiritus” dan setiap sore hari memohon bantuan-Nya untuk Gereja dan karya missioner-Nya dengan memohon ketujuh karunia Roh Kudus Konst 405.3. Dan salah satu tradisi yang tetap dipertahankan oleh Kongregasi SSpS sampai saat ini adalah pembaharuan penyerahan diri kepada Roh Kudus pada Senin ke tiga dalam bulan Konst 405.2. Menjelang hari Pentakosta para Suster juga mengadakan penghormatan kepada Roh Kudus dengan melaksanakan Novena kepada Roh Kudus selama 9 hari berturut-turut. e. Penghormatan kepada Hati Kudus Penghormatan kepada Hati Kudus merupakan ungkapan cinta, kekudusan dan semangat apostolik. Para Suster SSpS mengungkapkan penghormatan kepada Hati Kudus dengan melakukan adorasi atau biasa disebut acara “jam silih” pada setiap hari Jumat pertama dalam bulan, pada pesta Hati Kudus Yesus, pada hari Kamis malam menjelang Jumat pertama dan malam menjelang pesta Hati Kudus Yesus dan selama bulan Juni Konst 406-406.1. 5. Spiritualitas Maria Helena Stollenwerk Panggilan untuk pelayanan dan kesalehan Ekaristi menjadi kesatuan yang mendalam pada Maria Helena sebagai Rekan-Pendiri atau Co-Pendiri Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus SSpS. Semakin ia bertumbuh ke dalam panggilan misionernya, semakin mendalam cintanya terhadap Ekaristi. Demikian juga, devosi Ekaristi merupakan sumber kekuatan dalam menghadapi kesulitan- kesulitan yang menghadang di jalan panggilan misionernya dan kemudian, devosi itu membuatnya mampu memenuhi tugas pribadi dalam pelayanan misi universal Stegmaier, 1852-1900: 6. Ciri khas yang sama dalam spiritualitas Maria Helena Co-pendiri Kongregasi SSpS sebelum masuk di Steyl dan membantu mendirikan Kongregasi SSpS. Cinta dan semangat tinggi Maria Helena tampak jelas sejak masa kecilnya sebagai kharismanya yang esensial. Dalam pencarian perjuangannya untuk memenuhi panggilan misionernya, dia membiarkan diri sepenuhnya dibimbing oleh Roh Kudus. Dia memperhatikan dengan sungguh-sungguh hatinya yang dibentuk oleh Roh yang memimpinnya kepada penyerahan secara sempurna pada kehendak Allah. Dia tidak ingin mencapai panggilan misionernya atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan hanya jika itu adalah kehendak Allah baginya. Hal ini dipertegas dalam surat Maria Helena kepada Pendiri yaitu: Betapapun besarnya kerinduanku untuk hidup misi dan meskipun saya yakin bahwa saya tidak akan bahagia dan tanpa kedamaian kalau saya menghabiskan hidupku di dunia, keinginanku yang lebih besar adalah supaya kehendak Allah yang kudus dapat telaksana dalam diriku. Semoga kehendak Allah yang mahakudus dan adil, tak tertembuskan ketinggian dan kedalamannya, yang berdaulat dan paling pantas dicintai dengan cara apapun, terlaksana dalam segala sesuatu. Ya Allah, terjadilah kehendak-Mu di atas bumi maupun di dalam surga Rehbein, 2000: 15. Dalam diri Maria Helena kita juga menemukan empat ciri penting dari kharisma dan spiritualitasnya sebelum tiba di Steyl, yang akan menjadi sakaguru atau dasar spiritualitas Kongregasi SSpS yaitu: Ide tentang misi yang universal, devosi khusus kepada Roh Kudus, rahmat kehidupan batin atau kontemplasi, kesatuan yang mendalam dengan Allah dengan terus menerus berjalan di hadirat- Nya. Aspek ini dilengkapi dengan cintanya yang besar pada Ekaristi, dan penyerahan tanpa syarat pada kehendak Allah. Hal ini dituliskan dalam surat yang kedua kepada Arnoldus Janssen. Saya bersedia untuk mempersembahkan diriku demi pelayanan, dengan segenap cinta dan seluruh hidupku. Saya yakin bahwa dengan bantuanmu, kehendak kudus Allah akan terjadi dalam diri saya Rehbein, 2000: 15. Kalimat terakhir dari surat penerimaan Maria Helena menjadi pembantu di rumah Misi di Steyl, merupakan materai dari penyerahan yang sempurna kepada kehendak Allah, sebagai batu penjuru bagi Kongregasi SSpS Rehbein, 2000: 16. Secara pribadi Maria Helena adalah seorang yang sangat sederhana. Namun para Suster merasa, bahwa dari wanita sederhana mengalirlah sebuah daya yang mampu mengikat semua Suster lainnya untuk bergabung dan menghidupi sebuah komunitas yang penuh kasih. Karena itu komunitaspun sangat cepat berkembang. Dan secara ke dalam dan rohani, komunitas inipun dibentuk oleh semangat mencari Allah dan cinta persaudarian. Persaudaraan secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu kelompok atau komunitas yang dibentuk berdasarkan suatu Visi dan Misi tertentu. Dengan demikian atas dasar ini, persuadaraan tidak terbentuk berdasarkan hubungan darah, suku, budaya, dan bahasa tertentu. Persaudaraan dimengerti dan dihayati sebagai ciri khas kehidupan religius. Meskipun demikian bahwa para religius menghayati persaudaraan sebagai salah satu ciri khasnya, namun tidak semua ordo ataupun tarekat mengambil dan menghayati unsur persaudaraan sebagai spiritualitasnya yang khusus Grün, 1900: 36-40. Maria Helena senantiasa menjalin kontak dengan para Suster misionaris. Dia menulis banyak surat dan memberi mereka nasehat dan menjanjikan doanya dan doa seluruh komunitas untuk mereka. Pada mulanya Maria Helena , sebagai Rekan-Pendiri sungguh sangat bergantung pada Arnoldus Janssen. Arnoldus Janssenlah yang menetapkan semua peraturan untuk para Suster. Dalam semua hal penting Maria Helena harus menanyakan pendapat Arnoldus Janssen. Hal ini tidak selalu mudah bagi Maria Helena, sebab Arnoldus Janssen adalah orang yang terlalu berpikir panjang, suka menggurui dan agak penakut. Namun kesetiaannya kepada Arnoldus Janssen dan sikapnya yang ramah mampu menciptakan sebuah kerja sama yang baik. Keberanian Maria Helena mengungkapkan perasaannya dan menyampaikan keberatannya, apabila dia melihat hidup komunitas terlalu dikekang dan sejumlah aturan terlalu mengganggu kebersamaan. Walaupun demikian dia mempunyai hubungan yang erat dengan Arnoldus Janssen. Dia merasakan keeratan itu dalam spiritualitas. Arnoldus Janssen menggabungkan dua gerakan rohani yaitu: Penghormatan terhadap Hati Terkudus Yesus dan Penghormatan terhadap Roh Kudus. Penggabungan Penghormatan Hati Terkudus dengan Penyembahan Roh Kudus kembali dialami Maria Helena di Steyl. Dan dia sangat terkesan karena itu. Dia menjadikannya isi kehidupan rohaninya sendiri. Tetapi di dalam hatinya kedua penyembahan itu, berubah mengambil wujud baru, bukan lagi dalam corak kelaki-lakian, melainkan penuh nuansa kewanitaan. Maria Helena memberi warna khusus kepada spiritualitas yang diterimanya. Maria Helena tidak menyebarkan sebuah spiritualitas baru. Dari sekian banyak tradisi kerohanian yang hidup di zamannya dia mengambil hal-hal yang dapat dipahami dan dilaksanakannya sendiri secara pribadi. Keutamaan Maria Helena dengan penuh kepastian dia menampik pola beriman moralistis dan semua pandangan negative tentang seksualitas dan hanya memilih aliran-aliran spiritualitas yang bercorak mistis di jaman itu. Di dalam aliran-aliran itu yang diutamakan adalah hubungan dengan Allah dan pengalaman akan Allah di dalam batin sendiri. Sementara itu Maria Helena memberi warna yang khas kepada gerakan-gerakan rohani itu. Dia merasa dengan hatinya sendiri dan membiarkan perasaannya berbicara Gün, 1995: 41. Sebab itu spiritualitas Maria Helena ditandai oleh hati yang lapang oleh kehangatan dan cinta serta oleh pengalaman akan Allah dalam lubuk hati yang terdalam. Demikian pula dalam penghormatan Hati Terkudus Yesus bagi Maria Helena yang terpenting adalah bahwa cinta kepada Allah mengambil tempat utama dan bukanlah hukuman atau penghakiman-Nya. Cinta Allah yang menyentuhnya dalam penghormatan Hati Terkudus Yesus adalah Allah yang mencinta dan yang manusiawi, Allah yang menunjukkan kepada kita hati-Nya dalam diri Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang sangat dekat dengan kita dalam diri Putera-Nya yang dapat dipahami dan dapat dilihat. Dia adalah Allah yang dapat kita lukai. Cinta itu menunjukkan corak kemanusiaannya dalam hati Yesus yang tertembus tombak. Hati-Nya ditembusi tombak pada salib, supaya cinta-Nya mengalir meluap untuk semua orang. Penghormatan kepada Hati Terkudus Yesus memungkinkan pengungkapan perasaan, bahkan manusia menempatkan pengungkapan perasaan pada titik utama. Walaupun kita sekarang akan cukup cepat menolak luapan perasaan yang terungkap dalam doa-doa dan lagu-lagu emosional pada abad yang lalu, namun kita tidak boleh lupa bahwa pada waktu itu yang dimaksud utama gerakan itu adalah untuk menyebarkan sebuah pola kerohanian yang menyeluruh, sebuah pola hidup beriman, dimana bukan hanya rasio tetapi juga perasaan mempunyai tempat dan peranan. Artinya sebuah bentuk hidup beriman yang menghargai tubuh. Hati manusia menjadi simbol cinta Ilahi dan manusiawi. Dalam memandang Hati Yesus yang tertombak Maria Helena dapat membiarkan perasaannya berbicara, perasaan cinta keibuannya yang cukup sering dikecewakan dan dilukai, cinta keibuannya yang tanpa pamrih dan yang penuh pengorbanan. Dan di dalamnya dia pun dapat mengalami Allah yang ramah dan penuh kasih yang dekat dan penuh kebaikan. Bagi Maria Helena Penghormatan Hati Terkudus Yesus mengalihkan pandangan dari moral dan mengarahkannya kepada inti iman kepada Yesus Kristus yang demikian mencintai kita, sehingga Dia rela ditembusi tombak di atas salib. Dan Maria Helena hidup dalam semangat kesalehan seperti itu dengan membuka hatinya sejak awal untuk anak-anak di Cina. Penghormatan terhadap Hati Terkudus Yesus mampu menyiapkan orang untuk menerima tanggung jawab di dunia untuk memiliki sebuah hati bagi para miskin dan untuk membantu dimana ada kebutuhan. Spiritualitas Maria Helena juga sangat dipengaruhi oleh Ekaristi. Hal ini tampak pertama-tama dalam penghormatannya terhadap ekaristi dan penerimaan komuni setiap hari. Di Steyl pada waktu itu orang pada umumnya lebih konservatif daripada di tempat lain. Ketika dia mengalami krisis, Maria Helena Stollenwerk menulis surat kepada mantan bapa pengakuannya dan mengungkapkan kekecewaannya bahwa dia hanya boleh menerima komuni sesekali saja. Dia merasa yakin bahwa menerima komuni merupakan bagian utuh dari perayaan ekaristi. Karena itu Maria Helena disebut “Pengemis ekaristi”, sebab dia selalu saja meminta untuk lebih sering menerima komuni dan karena dia selalu mengemis agar para Suster pun diberi kesempatan untuk terlibat pada adorasi di depan Sakramen Maha kudus. Kebiasaan yang dilakukan setiap pagi dia menyampaikan ujud-ujudnya di depan Sakramen Mahakudus dan pada malam hari dia meletakkan kembali di atas altar semua yang terjadi pada hari itu agar Tuhan sendiri yang mengubahnya seperti Dia mengubah roti menjadi tubuh Kristus. Seluruh hidupnya hendaknya dipenuhi oleh kasih Kristus seperti roti ekaristi. Semua yang dilakukannya merupakan bagian dari tubuh Kristus. Kerinduan Maria Helena yang terdalam adalah bersatu dengan Kristus, berada di dalam Kristus, hanya di dalam Dia dapat menjadi sumber kasih bagi dunia. Penghormatan kepada Roh Kudus juga menjadi sendi dasar spiritualitas Maria Helena. Roh Kudus baginya bukan cuma Bapa yang baik atau Bapa penuh kasih, tapi juga merupakan daya batin yang menguatkan dia untuk mencinta dan dorongan yang mengundangnya untuk berkembang dan menyerahkan diri seutuhnya pada pelayanan tarekat atau serikat. Sebuah bentuk religiusitas lain pun masih penting bagi Maria Helena yaitu penghormatan terhadap Kanak-kanak Ilahi. Di sini Kanak-Kanak Yesus dalam kemiskinan dan kepapaan-Nya menjadi titik pusat spiritualitas. Memang untuk orang modern adalah tidak terlalu mudah menempatkan Bayi Yesus sebagai pusat spiritualitas. Namun yang terpenting adalah penghormatannya. Yang menjadi ujud cintanya kepada Bayi di palungan adalah pengungkapan cinta dan kepercayaannya kepada Allah yang dekat dan penuh kasih. Baginya Bayi Ilahi adalah ungkapan bahwa Allah mencintai kita tanpa syarat, bahwa Dia bersedia menjadi kecil dan tak berdaya, bahwa Dia datang kepada kita dalam diri seorang bayi. Allah yang dekat dan penuh kasih yang dijumpainya di dalam Bayi Ilahi dapat dipercayainya. Di dalam-Nya Allah dikenal. Allah menjadi manusia, agar kita pun berani menjadi manusia sebagaimana Allah telah menciptakan kita. Dalam penghormatan kepada Bayi di kandang Maria Helena merasa, bahwa di tengah kesehariannya yang sering amat keras dan tak bersahabat, terdapat suasana kasih dan kenyamanan. Dengan itu dia merasa lega, hatinya bersinar dan merupakan janji sebuah permulaan baru. Dari pernyataan di atas dapat dilihat, bahwa yang menjadi tekanan kuat spiritualitas Beata Maria Helena adalah terletak pada kenyataan bahwa Allah adalah kasih. Keutamaan Maria Helena tidak terletak pada kemampuannya mengembangkan sebuah spiritualitas yang khas, melainkan pada kemampuan untuk memilih dari semua bentuk spiritualitas yang di kenal dalam zamannya bentuk spiritualitas yang memungkinkan dia secara pribadi menghidupi panggilannya secara otentis. Dia mengembangkan sebuah kepekaan untuk menemukan jalan yang akhirnya dapat menuntunnya menemukan gambaran yang telah dibuat Allah untuknya dan jalan yang paling memungkinkannya untuk menjadi transparan bagi karya Roh Kudus. Maria Helena dapat menggabungkan secara sangat baik ketiga jalan itu yaitu: penghormatan terhadap Hati Kudus Yesus yang dikaitkan dengan penyembahan Sakramen Maha Kudus, penghormat- an terhadap Roh Kudus dan akhirnya penghormatan kepada Bayi Ilahi. Di atas dasar ketiga jalan ini dia dapat membangun kharismanya yang khas. Dia tidak begitu saja mengambil alih bentuk-bentuk spiritualitas ini, tapi selalu berusaha mengasimilasinya secara khas untuk dirinya sendiri sehingga akhirnya menjadi spiritualitasnya sendiri Grün, 1852-1900: 42-46. Anugerah khusus Maria Helena adalah ketaatan penuh rahmat yang sejati. Bersamaan dengan panggilannya, Tuhan memberikannya telinga yang dapat menemukan suara-Nya diantara suara-suara lain, dan kesediaannya penuh cinta untuk mengikuti kehendak-Nya tanpa syarat. Maria Helena adalah contoh pribadi yang diperbarui dari dalam, yang tak lagi membutuhkan hukum karena cinta Allah telah membangkitkan tanggapan cinta yang selalu ingin berbuat lebih banyak daripada yang dapat diperintahkan hukum lih. Hos 2: 21-22. Sejarah panggilannya dan terutama korespondensinya dengan St Arnoldus Janssen menunjukkan bahwa justru melalui ketaatanlah ia mepraktikkan untuk berpaling dari diri sendiri dan memberikan diri tanpa syarat kepada Tuhan. Sementara beberapa orang kudus berkembang melalui energi yang memanggil mereka untuk karya-karya besar, ia dan karyanya berkembang melalui kenyataan bahwa ia semakin tertinggal di belakang. Tersembunyi, seperti Ekaristi, namun dengan kuat memberi hidup, ia melaju ke tujuannya. Dengan memberikan diri secara total, dan mampu dibuang seperti Ekaristi, Maria Helena menjadi manusia paskah yang dengan keberadaannya, memanggil orang lain untuk tidak kehilangan pandangan akan tujuan abadi tetapi untuk hidup, bekerja, dan menderita demi kedatangan Kerajaan Allah Stegmaier, 1853-1900: 73-74.

C. Gambaran Umum Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus SSpS Provinsi

Maria Bunda Allah 1. Sejarah berdirinya Kongregasi Situasi historis: Bismarck mempersatukan Jerman menjadi Negara modern. Keunggulannya dalam bidang politik-militer terbukti dalam perang dengan Perancis. Jerman yang satu ikut berlomba-lomba dengan kuasa kolonial memperluas pengaruhnya antara lain Cina dan Jepang. Meskipun Bismarck menentang Gereja Roma Katolik Kulturkampf, ekspansi politik-militer membangkitkan pula umat Katolik. Semangat misi dengan arti tradisional, memberitakan Injil dan menobatkan kaum kafir sekaligus membudayakannya Rehbein, 2000 . Situasi tersebut membangkitkan semangat missioner Arnoldus Janssen yang dengan bakat organisatorisnya dan cinta dan penghormatannya kepada Allah Tritunggal Mahakudus adalah unsur yang paling menonjol dalam spiritualitasnya. Langkah-langkah awal pendirian Kongregasi sebagai berikut: Arnoldus Janssen menerima gadis-gadis muda untuk bekerja di dapur Rumah Misi Santo Mikael. Mereka adalah Theresia Sicke yang kemudian disebut Suster Anna. Maria Helena yang dikenal dengan sebutan Ibu Maria, Hendrina Stenmanns dikenal dengan sebutan Ibu Yosepha dan Gertrud Hegemann yang kemudian menjadi salah satu SSpS pertama yang diutus ke Argentina. Para gadis muda tersebut bekerja di dapur Rumah Misi, namun Arnoldus Janssen menyebut mereka Postulan dan dari permulaan Arnoldus Janssen sudah sangat keras dalam seleksi dan memberikan mereka acara harian seperti sebuah komunitas religius. Dalam perjalanan waktu karena semakin bertambahnya jumlah Bruder di Rumah Misi Santo Mikael, maka Arnoldus Janssen menugaskan para Bruder untuk bekerja di dapur menggantikan para Suster Penyelenggara Ilahi, sementara para Postulan diserahi tugas mengurus kamar cuci seminari, mereka menambal dan melipat pakaian. Bulan Juni 1887, Arnoldus Janssen merasa bahwa sudah waktunya mengambil keputusan mengenai para Postulan. Tetapi ia takut mengambil langkah untuk mendirikan sebuah Kongregasi. Ia tahu bahwa ini berarti banyak masalah dan kekuatiran dan ia hampir tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Tanggal 12 Juli 1888, ketiga Suster Penyelenggara Ilahi terakhir meninggalkan Rumah Misi dan dua hari kemudian keempat Postulan dipindahkan ke sebuah biara kecil dengan nama “Drei Linden”. Pemindahan tersebut membawa kegembiraan tersendiri bagi para Postulan dan bertumbuh harapan bahwa keinginan hati mereka yang terdalam akhirnya akan segera terwujud. Mereka tetap berharap dengan semangat dan dedikasi baru, menanti dan menanti. Pertengahan tahun 1889, anggota pertama SVD Societas Verbi Divini diutus ke Argentina, maka tersedialah lapangan misi untuk para suster di negeri itu. Tanggal 19 November 1889, Arnoldus Janssen mengumumkan kepada para imam di Rumah Misi bahwa dia telah menandatangani persewaan Biara dengan propinsial para Kapusin dan Kongregasi untuk para Suster akan segera dimulai. Tanggal 7 Desember 1889 malam para Postulan dipindahkan ke Biara Kapusin. Arnoldus Janssen sebagai pendiri Kongregasi SSpS tersentuh hatinya oleh seruan dunia yang belum mengenal Kristus, maka ia dengan berani mendirikan Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus disingkat SSpS pada tanggal 8 Desember 1889 di Steyl-Belanda. Kongregasi ini memiliki sebutan nama lengkap dalam bahasa Latin Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti disingkat Cm. S.Sp.S. Dalam bahasa Indonesia artinya Kongregasi Suster-Suster Misi Abdi Roh Kudus Konstitusi SSpS 1984. Sebutan Cm.S.Sp.S. merupakan sebutan resmi dan menunjuk pada nama Kongregasi sedangkan untuk menyebut para Suster menggunakan sebutan Suster SSpS. Nama SSpS mempunyai dasar biblis yang mencerminkan identitas dan sikap hidup para anggotanya. Pemberian nama ini, tidak sekali jadi tetapi mengalami proses perkembangan. Pada tahun 1882, Arnoldus Janssen memikirkan sebuah kongregasi dengan tiga cabang: Imam, Bruder, dan Suster dibawah satu pimpinan. Kongregasi itu dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma menjadi manusia sehingga para anggotanya mempunyai tugas yang sama: “Verbistae”, menurut Sabda yang telah di utus menjadi manusia Bornemann, 1968. Pada tahun yang sama pula Arnoldus Janssen mulai menulis regula bagi Suster yang akan di beri nama “ Suster Sabda Allah “ Mchugh, 1975: 142. Tahun 1883, dalam kunjungannya ke Wina Australia, Arnoldus Janssen mendapat usulan dari Pater Meditz, CM. agar Kongregasi Suster yang akan didirikan itu diberi nama “ Puteri-puteri Roh Kudus “ yang secara istimewa menyembah Roh Kudus. Berkat penghormatan mereka kepada Roh Kudus, para Suster akan membuat silih atas dosa-dosa melawan Roh Kudus. Dan melalui sembah sujud mereka di depan Sakramen Mahakudus para Suster hendak berdoa memohon berkat bagi seluruh Gereja terutama bagi para imam.