rambut luar sehingga prekursor warna dapat lebih mudah terpenetrasi pada korteks rambut. Oxidation agent akan menghilangkan warna alami dan
menghasilkan oksigen sehingga prekursor warna akan mengalami oksidasi. Hasil oksidasi berupa produk oksidasi berwarna yang memiliki ukuran molekul lebih
besar dari prekursor warna sehingga akan tertahan dalam korteks rambut. Produk oksidasi berwarna ini resisten terhadap pencucian sehingga dapat memberikan
warna permanen. Oksigen yang dihasilkan akan meringankan pigmen melanin alami dalam rambut sehingga warna baru dapat terlihat, menggantikan warna
alami rambut. Kebanyakan proses pewarnaan rambut meliputi dua proses yang berlangsung secara berkesinambungan, yaitu terjadinya penghilangan warna alami
rambut diikuti proses pemberian warna baru Helmenstine, 2003. Berdasarkan hasil penelitian, daya oksidatif pewarna rambut ternyata
dapat merusak rambut dan menyebabkan dermatitis kontak alergi. Adapun penggunaan pewarna jenis lain, seperti pewarna non-oksidatif memberikan hasil
yang kurang memuaskan karena warnanya yang tidak tahan lama pada rambut Acton, 2013.
B. Paraphenylenediamine PPD
Paraphenylendiamine PPD atau disebut juga 1,4-diaminobenzen atau
1,4-fenilendiamin adalah suatu amin aromatik yang digunakan dalam hampir setiap pewarna rambut di pasaran. Senyawa yang mudah teroksidasi ini memiliki
berat molekul 108,14 gmol, koefisien partisi K
ow
sebesar -0,25, memiliki rumus kimia C
6
H
8
N
2
, berbentuk kristal merah muda keputihan National Institute of
Occupational of Safety and Healthy, 2015. Paraphenylendiamine PPD digunakan dalam pewarna rambut karena memberikan hasil yang tampak alami,
menguatkan warna yang gelap dan warnanya tahan lama. Berdasarkan Daftar Bahan yang Diizinkan Digunakan dalam Kosmetik dengan Pembatasan dan
Persyaratan Penggunaan pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik
2008, kadar maksimum PPD yang diperbolehkan dalam pewarna rambut adalah 6.
Gambar 1. Struktur PPD COLIPA, 2006.
Paraphenylendiamine PPD dikenal sebagai alergen yang kuat, menjadi
berwarna pada saat teroksidasi, dan keadaan teroksidasi sebagian menyebabkan alergi bagi individu yang sensitif. Paparan terhadap PPD selanjutnya, meski dalam
konsentrasi rendah dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang bermanifestasi sebagai dermatitis kontak alergi Pardede dkk., 2008.
C. Kulit
Kulit adalah organ terbesar tubuh, dengan luas permukaan mencapai 1,8 m
2
dengan berat setara 4 kg dari orang dewasa dengan berat badan 70 kg. Kulit
mengandung berbagai lapisan dan appendage, seperti kelenjar keringat, folikel rambut dan kelenjar minyak. Fungsi utama dari kulit adalah untuk menyediakan
barrier perlindungan antara tubuh dengan lingkungan luar. Meski begitu, senyawa
kimia baik secara sengaja atau tidak sengaja dapat terpenetrasi ke kulit. Dengan luas permukaan yang sebegitu besar, kulit menjadi salah satu rute utama
masuknya senyawa kimia ke tubuh Kielhorn, Melching, and Mangelsdorf, 2006. Seperti tampak pada Gambar 2, struktur serta fungsi dari kulit manusia terdiri dari
tiga bagian utama, yakni epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Stratum korneum adalah bagian epidermis non-viable.
Gambar 2. Komponen Dan Fungsi Kulit Walker and Smith, 1996.
Struktur kulit yang berperan dalam penetrasi obat ke kulit meliputi:
1. Stratum korneum
Stratum korneum epidermis non-viable merupakan lapisan kulit paling luar yang merupakan penghalang utama masuknya senyawa asing. Rata-rata
ketebalan stratum korneum adalah 31-637 μm dengan struktur terdiri dari brick
dan mortar yang merupakan barrier pengontrol kecepatan dalam absorpsi transdermal Lee and Kwang, 2002. Lapisan ini tersusun atas sel korneosit yang
tersusun rapat. Sel-sel yang telah kehilangan inti dan tidak memilik aktivitas metabolisme lagi ini lebih bersifat polar, sedangkan bagian interseluler berisi lipid
bilayer yang mengisi ruang diantara sel. Sel squamosa ini akan menghalangi materi lipofil untuk masuk, sedangkan materi hidrofil akan sulit menembus bagian
interseluler stratum korneum Walker and Smith, 1996.
2. Epidermis
Lapisan ini merupakan bagian dari kulit yang berlapis-lapis dengan ketebalan 100-150 µm. Kebanyakan penyusun lapisan ini adalah sel keratinosit
yang terbentuk dari diferensiasi dari sel pada lapisan stratum basal. Sel-sel ini dibentuk oleh stem cell yang terus membelah dan secara perlahan akan bergerak
keluar dari stratum basal menuju lapisan di atasnya.
3. Dermis
Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 2 sampai 5 mm dan tersusun atas jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin dan kolagen, serta sejumlah
besar pembuluh darah dan ujung-ujung saraf khusus. Pembuluh darah dermis tidak hanya memasok darah ke dermis dan epidermis, tetapi juga berperan penting
dalam mengatur suhu tubuh. Dermis bertanggung jawab terhadap ketebalan kulit. Ketebalan lapisan dermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh dan berbagai
tingkat umur Benson, 2012. Kulit dapat terbagi atas kulit otentik dan sintetik. Kulit otentik berasal
dari subyek penelitian yang spesiesnya dapat berupa manusia dan hewan, sedangkan kulit sintetik merupakan kulit buatan yang permeabilitasnya dibuat
sedemikian rupa menyerupai kulit otentik. Kedua jenis kulit ini berbeda dan memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam penggunaannya
sebagai membran untuk uji absorpsi perkutan. Kulit otentik dapat menggambarkan penetrasi suatu senyawa dengan profil permeabilitas sesuai
dengan jenis kulit yang diteliti. Oleh karena itu, hasilnya lebih akurat dan proses difusi dapat dibandingkan dari tiap spesies kulit otentik yang digunakan.
Meskipun demikian, jumlah kulit otentik terbatas pada subyek penelitian yang tersedia, khususnya kulit manusia. Kulit manusia tidak selalu tersedia dan
diperlukan ethical clearance dalam melaksanakan penelitian sesuai dengan ethical consideration
nasional dan internasional tentang penggunaan kulit manusia dalam penelitian, sedangkan penggunaan kulit sintetik tidak dibatasi.
Berbeda dengan kulit otentik, kulit sintetik atau artificial skin dapat dibuat sesuai dengan permeabilitas yang diinginkan. Kulit ini dibuat dengan
mempertimbangkan baik material hidrofil maupun hidrofob yang terdapat pada kulit. Pembuatan kulit sintetik dimaksudkan agar dapat menjadi alternatif di
samping pilihan menggunakan kulit otentik yang jumlahnya terbatas. Namun menurut Coquette, Berna, Poumay, dan Pittelkow 2000, penggunaan kulit
sintetik tidak direkomendasikan untuk uji in vitro karena adanya perbedaaan fungsi fisiologis dari kulit sintetik apabila dibandingkan dengan kulit otentik.
Penelitian yang dilakukan oleh Heylings, van de Sandt, Gilde, dan Ward 2001 dan Ponec et al. 2001 menunjukkan bahwa pengukuran penetrasi senyawa pada
kulit sintetik tidak konsisten antara pengukuran yang satu dengan yang lainnya. Penelitian mengenai absorpsi perkutan dengan jenis kulit otentik dapat
dilakukan dengan kulit manusia atau hewan seperti babi, tikus, mencit, marmut, dan monyet. Perbedaan jenis kulit yang digunakan terdapat pada permeabilitas
kulit masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan susunan stratum korneum dan ketebalan kulit pada tiap spesies seperti yang terlihat pada Tabel I.
Senyawa akan lebih mudah menembus kulit dengan permeabilitas yang lebih tinggi Scott, Walker, dan Dugart, 1986.
Tabel I. Koefisien permeabilitas kulit terhadap air dari beberapa spesies Scott et al., 1986
Spesies Galur
Koefisien permeabilitas kulit terhadap air cmh x 10
-5
Manusia 93
Mencit Wistar AlpkAP
103 Hairless
103 Tikus
AlpkAP 144
Hairless 350
Kelinci New Zealand White
253 Beberapa jenis kulit hewan memiliki permeabilitas yang lebih tinggi
daripada kulit manusia, seperti tikus dan kelinci. Jenis kulit yang memiliki permeabilitas yang mirip dengan manusia adalah kulit babi dan monyet. Meski
begitu, penggunaan kulit manusia lebih dipilih karena hasil kumulatif penetrasi akan lebih akurat, mengingat tujuan akhir penelitian adalah untuk mendapatkan
kinetika penetrasi dari produk yang digunakan pada kulit manusia. Menurut Rigg
dan Barry 1990: 235 dalam penelitiannya menyatakan bahwa “An overall
conclusion is that, whenever possible, human skin should be used in absorption studies and not hairless mouse or snake skin; otherwise, misleading results may
be obtained”. Permeabilitas kulit juga dapat dipengaruhi oleh usia subyek penelitian.
Secara umum, kulit yang berusia lebih tua memiliki stratum korneum yang lebih kering, aktivitas kelenjar minyak yang lebih kecil sehingga jumlah lipid pada
permukaan kulit ikut menurun, dan batas antara epidermis dan dermis menjadi lebih lebar. Stratum korneum yang lebih kering akan mempersulit masuknya
senyawa yang bersifat hidrofil karena kandungan air yang lebih kecil. Meningkatnya jumlah lipid pada permukaan kulit dan melebarnya batas antara
epidermis dan dermis akan menurunkan permeabilitas kulit. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kulit yang lebih tua akan memperkuat fungsi barrier kulit
Roskos et al., 1989. Kulit khatan praeputium adalah kulit manusia yang merupakan
perpanjangan kulit batang penis. Kulit ini merupakan satu-satunya kulit manusia yang terdiri atas lapisan kulit epidermis dan dermis pada bagian luar dan
membran mukosa pada bagian dalamnya. Kulit khatan berfungsi melindungi kepala penis glans dan lubang kencing meatus. Membran mukosa pada bagian
dalam kulit khatan bertugas menjaga agar kepala penis tetap lembab dan menghasilkan lubrikan alami pada penis. Kulit pada bagian ujung penis
merupakan daerah kulit yang disebut mucocutaneous zone, yaitu perbatasan antara
kulit dan membran mukosa. Daerah ini memiliki tekstur bergelombang pada keadaan biasa Cold, Taylor, 1999.
D. Absorpsi Perkutan
Senyawa dapat masuk ke kulit berdasarkan proses difusi. Difusi adalah proses berpindahnya suatu zat dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah
yang berkonsentrasi rendah, yang dalam proses perpindahannya tidak dibutuhkan energi. Pada absorpsi perkutan, senyawa berdifusi dari permukaan kulit ke dalam
stratum korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi dan juga berdifusi melalui epidermis, melalui dermis, dan ke dalam sirkulasi darah Sinha and Kaur,
2000. Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme:
1. Absorpsi transepidermal
Jalur absorpsi transepidemal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transseluler dan jalur
interseluler. Jalur transseluler artinya melalui sel korneosit yang bersifat polar dan melewati daerah interseluler yang kaya akan lipid. Jalur transseluler awalnya
dikira menjadi jalur utama untuk transpor zat melalui kulit, namun ternyata bukti eksperimental menunjukkan bahwa jalur tanspor utama melalui stratum korneum
adalah melalui jalur interseluler. Pada jalur interseluler, senyawa akan masuk melalui ruang antar sel, yaitu bagian interseluler yang bersifat lipofil Murthy,
Narasimha, 2011. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien
obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis Anggraeni,
2008. 2.
Absorpsi transappendageal
Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori
diantaranya sehingga memungkinkan obat berpenetrasi Anggraeni, 2008. Jalur ini kurang signifikan dalam transportasi zat karena mempunyai luas permukaan
yang kecil yaitu hanya sebesar 0,1 dari luas permukaan kulit Murthy, Narasimha, 2011.
Gambar 3. Jalur masuknya senyawa ke kulit Lane, 2013
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan senyawa:
1. Konsentrasi senyawa dalam sediaan
Bila konsentrasi senyawa dalam sediaan semakin tinggi, maka jumlah senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar Ansel,
Howard, 2008.
2. Luas permukaan tempat absorpsi
Bila luas permukaan tempat absorpsi semakin besar, maka jumlah senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar Ansel,
Howard, 2008. 3.
Karakteristik pembawa Pembawa yang mudah menyebar pada permukaan kulit akan
meningkatkan absorpsi. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan meningkatkan absorpsi Ansel, Howard, 2008.
4. Hidrasi kulit
Hidrasi stratum korneum akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit Ansel, Howard, 2008.
5. Afinitas senyawa terhadap kulit
Senyawa harus mempunyai afinitas terhadap kulit yang lebih besar terhadap kulit daripada pembawa Ansel, Howard, 2008.
6. Koefisien partisi senyawa
Koefisien partisi senyawa mempengaruhi kelarutan senyawa dalam minyak dan air Ansel, Howard, 2008.
7. Cara aplikasi senyawa pada kulit
Pengolesan dan penggosokan pada kulit akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit Ansel, Howard, 2008.
8. Tempat aplikasi senyawa
Tempat aplikasi senyawa berpengaruh terhadap kemampuan penetrasi senyawa. Aplikasi pada bagian kulit yang lebih tipis akan meningkatkan penetrasi
senyawa daripada aplikasi pada bagian kulit yang lebih tebal Ansel, Howard, 2008. Ketebalan kulit merupakan faktor lainnya yang harus diperhatikan. Secara
umum, kulit yang lebih tebal akan memiliki permeabilitas yang lebih rendah daripada kulit yang lebih tipis. Dalam studi absoprsi perkutan orto-fenilfenol yang
dilakukan oleh Cnubben et al. 2002, laju penetrasi senyawa pada kulit manusia dan tikus meliputi epidermis dan dermis lebih lambat daripada bagian epidermis
manusia dan tikus seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan dermal absorption orto-fenilfenol dengan waktu pada beberapa jenis kulit Cnubben et al., 2002
9. Waktu kontak senyawa dengan kulit
Waktu kontak senyawa yang semakin lama dengan kulit akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit Ansel, Howard, 2008.
Pada tahun 1993, Lotte, Wester, Rougier, dan Mailbach melakukan penelitian terhadap absorpsi perkutan beberapa senyawa organik hidrofil, seperti
kafein, asam benzoat, dan asam asetil salisilat pada kulit orang hitam, Asia, dan Kaukasia. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara
profil penetrasi senyawa hidrofil pada ketiga ras kulit tersebut. Gambar 5 menunjukkan kumulatif penetrasi untuk tiga senyawa berbeda pada tiga ras kulit
yang diteliti.
Gambar 5. Pengaruh ras pada absorpsi perkutan asam benzoat, kafein dan asam asetil salisilat pada kulit orang Asia A, kulit orang hitam B, dan kulit orang Kaukasia C
Lotte et al., 1993
E. Franz Diffusion Cell FDC
Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen
yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah senyawa yang
terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan FDC. Franz Diffusion Cell FDC
terbagi atas dua komponen yaitu kompartemen donor dan akseptor. Membran
yang digunakan berupa kulit manusia atau hewan. Membran diletakkan antara kedua kompartemen, dilengkapi o-ring untuk menjaga letak membran Anggraeni,
2008. Kompartemen akseptor diisi dengan larutan penerima. Larutan akseptor
yang digunakan dalam FDC sebaiknya tidak hanya berperan sebagai penerima obat yang mengalami permeasi tetapi juga menyediakan air, bahan-bahan
biokimia, dan ion-ion yang diperlukan untuk membran kulit dalam mempertahankan fungsinya dalam permeasi pada pH dan kekuatan osmotik yang
diinginkan. Larutan yang digunakan sebagi kompartemen akseptor yaitu dapat berupa phosphate buffered saline PBS, larutan ringer, atau larutan fisiologis
lainnya yang relevan Friend, 1992. Faktor penting lain dari larutan akseptor yang perlu diperhatikan yaitu
suhu. Pengaturan suhu larutan akseptor penting untuk meminimalkan adanya variasi dalam kondisi percobaan. Suhu sebaiknya dijaga pada kondisi fisiologi
normal karena kenaikan temperatur dapat meningkatkan hidrasi dari kulit. Suhu pada FDC dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket di sekeliling
kompartemen akseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Kemudian pada interval waktu tertentu, cairan dari kompartemen akseptor
diambil untuk dianalisis, dan segera digantikan dengan cairan yang sama sejumlah cairan yang diambil. Selanjutnya, jumlah senyawa yang terpenetrasi melalui kulit
dapat dianalisis dengan metode yang sesuai Roberts and Walters, 1998. Aparatus FDC dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Franz Diffusion Cell FDC Permegear, 2015
F. Kinetika penetrasi