Kinetika Penetrasi Paraphenylenediamine (PPD) dalam sampel pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia.

(1)

INTISARI

Paraphenylenediamine (PPD) merupakan senyawa yang terdapat dalam

pewarna rambut oksidatif dan dapat menembus kulit secara difusi, menyebabkan dermatitis kontak alergi hingga kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika penetrasi PPD yang terdapat dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia untuk keperluan asesmen risiko. Hasil dibandingkan antara kulit orang Asia dan Kaukasia untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan penetrasi PPD pada kulit dengan ras yang berbeda.

Penelitian ini terdiri dari uji difusi dengan aparatus Franz Diffusion Cell

(FDC) untuk mengetahui massa PPD yang terdapat dalam kompartemen akseptor FDC. Massa PPD yang didapat dari respon sistem dibuat grafik konsentrasi terhadap waktu dan ditentukan profil kinetika penetrasi PPD. Hasil persen penetrasi PPD dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan kulit orang Kaukasia dalam uji difusinya.

Berdasarkan hasil penelitian, lag time penetrasi PPD adalah sebesar 0,66 ±

0,24 jam, koefisien permeabilitas sebesar 0,28 ± 0,19 cm/jam, dan DAeventsebesar

45 ± 15 µg/cm2-event. Hasil persen penetrasi PPD menunjukkan terdapat

perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.

Kata kunci: paraphenylenediamine (PPD), kinetika penetrasi, kulit orang Asia


(2)

ABSTRACT

Paraphenylenediamine (PPD) is a compound that can be found in oxidative hair dye and may cross the skin through diffusion, causing diseases such as allergic contact dermatitis or even cancer. The purpose of this research is to understand penetration kinetics of PPD in oxidative hair dye on human skin in order to assess risk behind utilization of the respective product. The result will be compared between Asian and Caucasian skin to know whether there is difference

between penetrations of PPD based on different skin’s race.

This research consists of diffusion test using Franz Diffusion Cell (FDC) apparatus to determine the mass of PPD in the donor compartment of FDC. The mass of PPD that calculated through system response was made into a graphic of concentration against time and penetration kinetics of PPD was determined.

Based on the results, the PPD penetration lag time was 0,66 ± 0,24 hour, the permeability coefficient was 0,28 ± 0,19 cm/hour, and the DAevent was 45 ± 15 µg/cm2-event. The penetration percentage results showed difference between Asian skin PPD penetrations with that of Caucasian.

Key words: paraphenylenediamine (PPD), penetration kinetics, Asian and


(3)

KINETIKA PENETRASI PARAPHENYLENEDIAMINE (PPD) DALAM PEWARNA RAMBUT OKSIDATIF PADA KULIT MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Canly Hansen Sudirman NIM : 118114069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

By three methods we may learn wisdom: first, by reflection, which is noblest; second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest – Confucius

When wehit our lowest point, weare open to thegreatest change – Avatar Aang

Being part of something special doesn't make you special. Something is special because you are a part of it – Rachel Berry

Someday, I will be in the middle of New York City, come hell or high water – Canly Hansen Sudirman

Tulisan ini kudedikasikan untuk almarhum papaku, mama dan

keluargaku, guru-guru dan dosen-dosenku, teman-temanku, almamaterku

dan diriku sendiri.


(7)

(8)

(9)

vii

PRAKATA

Segala syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan naskah skripsi yang berjudul ”Kinetika Penetrasi Paraphenylenediamine (PPD)

dalam Pewarna Rambut Oksidatif pada Kulit Manusia” dengan baik. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terselesaikannya penulisan naskah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis mulai dari berjalannya penelitian hingga penyusunan naskah skripsi.

3. F. Dika Octa Riswanto, M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan.

4. Jeffry Julianus, M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan.

5. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Sc., Apt.,selaku dosen pembimbing akademik atas pendampingan dan perhatiannya terhadap perkembangan saya selama perkuliahan ini.


(10)

viii

6. Sanjayadi, M.Si., atas pendampingan luar biasa beliau terutama ketika menghadapi masalah dalam penelitian.

7.

C. M. Ratna Rini Nastiti, M. Pharm., Apt., atas diskusi tentang beberapa topik yang berkaitan dengan penelitian.

8.

Kemendiknas RI atas program Beasiswa Unggulan yang diberikan selama masa perkuliahan penulis

9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas ilmu, pengalaman, semangat, dan persahabatan yang telah dibagikan 10. Staf Laboratorium Kimia Analisis Instrumental (Bimo), Kimia Analisis

(Kunto), Kimia Organik (Suparlan), dan Analisis Pusat (Bima) yang telah banyak membantu selama penelitian.

11. Keluarga tercinta Mama, Willy, Jilly, Khiongsuk, Aso, dan Hong-hong, terima kasih atas dukungan baik berupa moril maupun materiil sehingga penelitian ini dapat terselesaikan, and to my belated father in heaven that has always been in my heart. Thank you. I have nothing but the tip of my hat.

12. PPDers yang paling awesome, Verni Emelia, Cynthia Feliana, dan Rose

Verginie Erita atas kerja samanya, canda tawanya, pelajarannya sehingga penelitian ini akhirnya dapat terselesaikan. See you guys in the next project.

13. Teman-temanku, anak-anak Gang Makmur Indah Siantan, Rika (Buma), Bede, Ayen, Botan, Besi, Asan, terima kasih, akhirnya temanmu Jawba, yang berasal dari Siantan alias slum Pontianak, bisa mencapai salah satu tahapan


(11)

ix

14. Teman-teman penulis, Handika, anak-anak kos Cina Ponti, anak-anak kos Dewi, terima kasih atas pelajarannya dan canda tawanya. Yogyakarta tidak berasa hampa jadinya.

15. Ko Chris dan Wuri Kinanti, upperclassmen yang sangat saya respect.

16. Teman-teman angkatan 2011 yang selalu memberi bantuan, dukungan, dan canda tawa semasa kuliah.

17. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan skripsi ini baik dalam bentuk doa, semangat yang menyertai penulis dari awal penelitian sampai penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pikiran, tenaga, dan waktu penulis. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca semua.


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 6

2. Keaslian penelitian... 6

3. Manfaat penelitian ... 6

B.Tujuan penelitian ... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8


(13)

xi

B.Paraphenylenediamine (PPD) ... 9

C.Kulit ... 10

1. Stratum korneum ... 12

2. Epidermis ... 12

3. Dermis ... 12

D.Absorpsi Perkutan ... 16

1. Absorpsi transepidermal ... 16

2. Absorpsi transappendageal ... 17

E.Franz Diffusion Cell (FDC) ... 20

F. Kinetika Penetrasi ... 22

G.High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ... 24

H.Landasan Teori ... 24

I. Hipotesis ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26

B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 26

1. Variabel Penelitian ... 26

2. Definisi Operasional ... 27

C.Bahan Penelitian... 28

D.Alat Penelitian ... 28

E.Tata Cara Penelitian ... 29

1. Pembuatan fase gerak untuk sistem HPLC ... 29


(14)

xii

3. Pembuatan kurva baku PPD ... 29

4. Uji difusi dengan FDC ... 30

F. Analisis Hasil ... 32

1. Kurva baku PPD ... 32

2. Profil kinetika penetrasi PPD ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A.Pembuatan PBS pH 7,4 Konsentrasi 0,01 M ... 36

B.Pembuatan Kurva Baku PPD ... 37

C.Penetapan Profil Kinetika Penetrasi PPD ... 38

1. Penyiapan sampel ... 39

2. Preparasi kulit khatan (praeputium) ... 40

3. Penetapan lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD ... 41

D.Perbandingan penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 62

A.Kesimpulan ... 62

B.Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 67


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Koefisien permeabilitas kulit terhadap air dari beberapa

spesies ... 14 Tabel II. Lag time dari tiap percobaan ... 46

Tabel III. Massa PPD dalam kompartemen donor dan Cdonor dari tiap

percobaan ... 48 Tabel IV. Koefisien permeabilitas pada tiap percobaan ... 48 Tabel V. Dose absorbed per event (DAevent) pada tiap percobaan... 53

Tabel VI. Perbandingan hasil penetrasi penelitian penulis dan


(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Struktur PPD ... 10 Gambar 2. Komponen dan fungsi kulit ... 11 Gambar 3. Jalur masuknya senyawa ke kulit ... 17 Gambar 4. Hubungan dermal absorption orto-fenilfenol dengan waktu

pada beberapa jenis kulit ... 19 Gambar 5. Pengaruh ras pada absorpsi perkutan asam benzoat, kafein,

dan asam asetil salisilat pada kulit orang Asia (A), kulit

orang hitam (B), dan kulit orang Kaukasia (C) ... 20 Gambar 6. Franz Diffusion Cell (FDC) ... 22

Gambar 7. Lag time dapat ditentukan berdasarkan grafik hubungan

antara jumlah obat yang terpenetrasi dengan waktu ... 23 Gambar 8. Skema FDC ... 31 Gambar 9. Kurva hubungan massa PPD dengan AUC... 37 Gambar 10. Hubungan konsentrasi suatu senyawa pada kompartemen

donor terhadap waktu untuk infinite dose dan finite dose ... 43

Gambar 11. Grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam kompartemen akseptor FDC dengan waktu (hasil dari

Percobaan I) ... 45 Gambar 12. Grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam

kompartemen akseptor FDC dengan waktu dengan titik-titik yang memberikan steady state (hasil dari Percobaan I) ... 46


(17)

xv

Gambar 13. Grafik hubungan antara konsentrasi PPD pada kompartemen

akseptor FDC dengan waktu pada titik-titik yang

memberikan steady state... 47

Gambar 14. Stratum korneum dan dua jalur utama pergerakan senyawa

menembus stratum korneum ... 50 Gambar 15. Air akan berperan sebagai penetration enhancer dan akan

mempengaruhi berinteraksi dengan ujung polar dari lipid

bilayer pada daerah interseluler stratum korneum ... 51 Gambar 16. Kromatogram sampel pada jam ke- (a) 2 (b) 4,5 (c) 5,5 ... 55 Gambar 17. Bagian kulit pada penis yang kulit khatannya ditarik ke

pangkal penis (kanan) dan tidak ditarik (kiri) ... 58 Gambar 18. Kulit khatan (praeputium) ... 59

Gambar 19. Penampakan kulit pada membran mukosa (A), skrotum (B), dan abdomen (C) ... 60


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sertifikat analisis baku PPD ... 68

Lampiran 2. Ethical clearance penelitian ... 69

Lampiran 3. Penimbangan sampel pewarna rambut oksidatif tiap kemasan untuk perhitungan keseragaman bobot ... 70

Lampiran 4. Seri larutan baku ... 71

Lampiran 5. Penetapan massa PPD pada kompartemen akseptor FDC (Percobaan I) ... 72

Lampiran 6. Contoh perhitungan lag time (Percobaan I) ... 73

Lampiran 7. Contoh perhitungan Cdonor (Percobaan I) ... 73

Lampiran 8. Contoh perhitungan Kp (Percobaan I) ... 74


(19)

xvii

INTISARI

Paraphenylenediamine (PPD) merupakan senyawa yang terdapat dalam

pewarna rambut oksidatif dan dapat menembus kulit secara difusi, menyebabkan dermatitis kontak alergi hingga kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika penetrasi PPD yang terdapat dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia untuk keperluan asesmen risiko. Hasil dibandingkan antara kulit orang Asia dan Kaukasia untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan penetrasi PPD pada kulit dengan ras yang berbeda.

Penelitian ini terdiri dari uji difusi dengan aparatus Franz Diffusion Cell

(FDC) untuk mengetahui massa PPD yang terdapat dalam kompartemen akseptor FDC. Sampel pewarna rambut oksidatif diaplikasikan pada kulit khatan (praeputium) orang Asia yang terpasang pada FDC. Cairan pada kompartemen

akseptor FDC diambil pada tiap waktu yang telah ditentukan dan diinjekkan pada sistem High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Massa PPD yang

didapat dari respon sistem dibuat grafik konsentrasi terhadap waktu dan ditentukan profil kinetika penetrasi PPD. Hasil persen penetrasi PPD dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan kulit orang Kaukasia dalam uji difusinya.

Berdasarkan hasil penelitian, lag time penetrasi PPD adalah sebesar 0,66 ±

0,24 jam, koefisien permeabilitas sebesar 0,28 ± 0,19 cm/jam, dan DAeventsebesar

45 ± 15 µg/cm2-event. Hasil persen penetrasi PPD menunjukkan terdapat

perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.

Kata kunci: paraphenylenediamine (PPD), kinetika penetrasi, kulit orang Asia

dan Kaukasia, Franz Diffusion Cell (FDC)


(20)

xviii ABSTRACT

Paraphenylenediamine (PPD) is a compound that can be found in oxidative hair dye and may cross the skin through diffusion, causing diseases such as allergic contact dermatitis or even cancer. The purpose of this research is to understand penetration kinetics of PPD in oxidative hair dye on human skin in order to assess risk behind utilization of the respective product. The result will be compared between Asian and Caucasian skin to know whether there is difference between penetrations of PPD based on different skin’s race.

This research consists of diffusion test using Franz Diffusion Cell (FDC) apparatus to determine the mass of PPD in the donor compartment of FDC. Oxidative hair dye sample was applied to Asian’s prepuce that has been set on the

FDC. The fluid of FDC acceptor compartment was taken on determined time and injected in HPLC. The mass of PPD that calculated through system response was made into a graphic of concentration against time and penetration kinetics of PPD was determined. The penetration percentage was compared with similar research that used Caucasian’s skin in the diffusion test.

Based on the results, the PPD penetration lag time was 0,66 ± 0,24 hour, the permeability coefficient was 0,28 ± 0,19 cm/hour, and the DAevent was 45 ± 15 µg/cm2-event. The penetration percentage results showed difference between

Asian skin PPD penetrations with that of Caucasian.

Key words: paraphenylenediamine (PPD), penetration kinetics, Asian and Caucasian’s skin, Franz Diffusion Cell(FDC)


(21)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pada saat ini, penampilan menarik merupakan kebutuhan bagi sebagian masyarakat. Hal ini tidak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi dan munculnya berbagai kosmetik yang mampu meningkatkan daya tarik seseorang dari segi penampilan. Salah satu kosmetik yang banyak beredar di masyarakat adalah pewarna rambut. Sediaan pewarna rambut adalah sediaan kosmetik yang digunakan dalam tata rias rambut untuk mewarnai rambut atau untuk mengembalikan warna rambut asalnya (Dirjen POM RI, 1985).

Produk pewarna rambut mudah ditemui di pasaran karena permintaan akan produknya semakin meningkat pula. Semakin banyak orang yang menggunakan produk ini, faktor keamanan cenderung menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, terlebih lagi untuk produk seperti kosmetik yang tidak dibatasi dalam penggunannya. Faktor ini menjadi semakin penting karena berdasarkan beberapa penelusuran, pewarna rambut diketahui dapat menyebabkan rambut rontok, kulit kepala terasa terbakar sesak nafas, dan rasa gatal (FDA, 2013).

Pada tahun 2006, regulator di Eropa melarang sebanyak 22 produk pewarna rambut karena produk-produk tersebut memiliki risiko kanker kandung kemih (Boyles, 2006). Terkuaknya beberapa kasus yang terjadi akibat penggunaan pewarna rambut semakin memacu penelitian tentang pewarna rambut dan


(22)

komposisinya. Pewarna rambut yang tersedia di pasaran dapat berupa pewarna rambut alami dan sintetis. Henna adalah salah satu contoh pewarna alami yang sebenarnya lebih dikenal sebagai pewarna tato, namun tidak sedikit pula yang menggunakan henna sebagai pewarna rambut karena murah dan mudah didapat. Henna yang digunakan untuk pewarnaan biasanya sudah berupa serbuk yang diolah dari daun dan bunga tanamannya, yaitu Lawsonia inermis. Serbuk henna

dicampurkan dengan air atau minyak dan diaplikasikan ke rambut selama 2-6 jam agar warna dapat bertahan lama. Durasi aplikasi yang lama ini lantas membuat pengguna berusaha mempercepat durasinya dengan menambahkan zat lain (Brancaccio, Brown, Chang, Fogelman, Mafong, and Cohen, 2002).

Paraphenylenediamine (PPD) adalah pewarna rambut sintetis dengan

sifat oksidatif yang biasa ditambahkan pada henna untuk mempercepat durasi aplikasi dan membuat hasil warna bertahan lebih lama. Adanya prekursor warna ini dalam kandungan pewarna henna dapat mempercepat durasi aplikasi hingga beberapa kali lipat, sehingga banyak orang tertarik untuk menambahkan senyawa ini dalam campuran pewarna rambut. Sejak itulah mulai muncul berbagai penelitian mengenai efek PPD pada rambut dan kemungkinan adanya efek samping yang dapat dimunculkan dari penggunaan senyawa ini (Brancaccio et al.,

2002).

Pada tahun 2011, seorang wanita berusia 41 tahun dilaporkan mengalami edema pada wajah dan kerontokan rambut disertai gatal berlebih pada kulit kepala. Gejala tersebut dirasakan beberapa hari setelah pemakaian pewarna rambut oksidatif yang megandung PPD. Wanita tersebut didiagnosa mengalami


(23)

dermatitis kontak yang disebabkan oleh penggunaan pewarna rambut oksidatif yang mengandung PPD (Ishida, Makino, and Shimizu, 2011). Reaksi alergi terhadap pewarna rambut oksidatif yang mengandung PPD yang paling lazim terjadi adalah dermatitis kontak alergi. Pada tahun 1991, pernah dilakukan penelitian terhadap reaksi alergi terhadap PPD di Rumah Sakit Dr Pirngadi dan hasilnya PPD menjadi alergen penyebab terbanyak ketiga pada pasien di rumah sakit tersebut. Pada tahun 2004, penelitian dermatitis kontak alergi akibat PPD dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik di Medan dan menunjukkan hasil berupa 80% penderita dermatitis kontak alergi positif terhadap uji tempel PPD. Sebanyak 22 pasien dari penderita tersebut datang ke poliklinik setelah berkali-kali mengalami gejala alergi karena mewarnai rambutnya. Reaksi alergi terhadap PPD tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Italia, reaksi alergi ini mencapai 24,2%, sedangkan di Denmark mencapai 29% (cit., Pardede, Nababan,

dan Mahadi, 2008). Pada tahun 2006, PPD menerima award sebagai allergen of the year oleh American Contact Dermatitis Society, yang dilakukan untuk

meningkatkan kewaspadaan regulator dan konsumen dunia terhadap penggunaan produk yang mengandung PPD.

Dalam pemakaian pewarna rambut, secara tidak langsung sediaan dari pewarna rambut tersebut akan terlapisi di atas kulit kepala. Sampel pewarna rambut dibiarkan selama beberapa lama agar PPD dapat masuk ke bagian korteks rambut hingga membentuk produk oksidasi berupa zat warna. Durasi aplikasi ini bervariasi antara 5 hingga 45 menit antara sampel yang satu dengan yang lain. Pada selang waktu ini, PPD yang terdapat pada sampel dapat mengalami proses


(24)

difusi menembus jaringan kulit. Berdasarkan Scientific Committee on Cosmetic Products and Non-Food Products Intended for Consumers (SCCNFP) tentang

PPD (2002), uji absorpsi perkutan PPD pernah dilakukan untuk mengetahui kumulatif penetrasi PPD. Kumulatif penetrasi mencapai 4,47 µg/cm2 dan

menghasilkan margin of safety (MOS) sebesar 77. Percobaan SCCNFP yang lain

meliputi skin painting menggunakan pewarna rambut oksidatif menunjukkan

adanya peningkatan tumor pada tikus jantan dan betina.

Pada zaman sekarang, studi kinetika penetrasi terhadap senyawa kimia menjadi hal yang penting untuk memberikan keamanan pada konsumen, terutama senyawa kimia yang terdapat pada produk-produk yang pemakaiannya secara berkala. Senyawa toksik yang masuk menembus kulit hingga sirkulasi darah dapat menyebabkan berbagai macam penyakit ketika dosis senyawa tersebut melampaui batas toksik. Dosis senyawa tersebut perlu ditentukan agar dapat diketahui seberapa besar dosis yang tidak melebihi batas toksik, sehingga produk dapat digunakan dengan aman. Pengkajian dari segi keamanan inilah yang mendorong penulis untuk mengetahui profil kinetika penetrasi PPD yang meliputi lag time,

koefisien permeabilitas, dan dose absorbed per event (DAevent) PPD dalam suatu

sampel pewarna rambut oksidatif yang terdapat di pasaran. Profil kinetika penetrasi PPD ini berguna untuk asesmen risiko PPD.

Penelitian ini melalui serangkaian proses yang mencakup pengaplikasian sampel pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia dengan pemodelan aparatus difusi Franz Diffusion Cell (FDC). Paraphenylenediamine (PPD) yang terdapat


(25)

Bagian kompartemen akseptor FDC yang berisi cairan fisiologis diambil lalu diinjekkan ke sistem High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Melalui

respon sistem yang didapat, massa PPD dapat ditentukan. Massa tersebut dibuat grafik massa terhadap waktu dan digunakan untuk menentukan profil kinetika penetrasi PPD.

Pada uji difusi dengan FDC, kulit manusia yang digunakan adalah kulit orang Asia, secara spesifik yaitu kulit khatan (praeputium). Berdasarkan

penelitian Lee dan Hwang (2002), kulit orang Asia memiliki proporsi epidermis yang lebih besar daripada orang Kaukasia. Epidermis dapat terbagi atas beberapa lapisan dan lapisan utama yang berperan sebagai barrier utama bagi senyawa agar

dapat masuk menembus kulit menuju sirkulasi sistemik adalah stratum korneum. Hal ini menyebabkan kemampuan masuk suatu senyawa sangat tergantung pada susunan dan ketebalan stratum korneum. Pada tahun 2004, Hueber-Becker, Nohynek, Meuling, Benech-Kieffer, dan Toutain melakukan penelitian terhadap masuknya PPD pada kulit orang Kaukasia dan berhasil melakukan penetapan kumulatif penetrasi PPD pada kompartemen akseptor FDC. Hasil persen penetrasi yang didapat dalam penelitian ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian Hueber-Becker et al. (2004) sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbedaan

antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.

Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian asesmen risiko terhadap penggunaan produk kosmetik, khususnya pewarna rambut oksidatif yang mengandung PPD. Profil kinetika penetrasi yang didapatkan melalui uji difusi dengan FDC dapat menunjukkan informasi dosis PPD yang terabsorpsi untuk


(26)

setiap penggunaan produk, sekaligus informasi tentang perbandingan penetrasi PPD antara kulit dengan ras yang berbeda.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, maka timbul permasalahan sebagai berikut: a. Berapakah nilai lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD dalam

pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia?

b. Apakah terdapat perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif antara kulit orang Asia dan Kaukasia?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran literatur, penelitian tentang efek PPD pada kulit manusia sudah banyak dilakukan. Penetapan nilai kumulatif penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif pernah dilakukan oleh Hueber-Becker et al. (2004) pada

kulit orang Kaukasia, namun penelitian serupa dengan menggunakan kulit orang Asia belum pernah dilakukan. Selain itu, terdapat beberapa modifikasi pada metode uji difusi dengan FDC, sehingga berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil kinetika penetrasi PPD dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia dan ada atau tidaknya perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif antara kulit orang Asia dan Kaukasia.


(27)

b. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prosedur penetapan profil kinetika penetrasi PPD dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia dan ada atau tidaknya perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif antara kulit orang Asia dan Kaukasia. c. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang keamanan produk perwarna rambut yang beredar di pasaran.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD dalam pewarna rambut

oksidatif pada kulit manusia

b. Ada atau tidaknya perbedaan persen penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif antara kulit orang Asia dan Kaukasia


(28)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pewarna Rambut

Sediaan pewarna rambut adalah sediaan kosmetik yang digunakan dalam tata rias rambut untuk mewarnai rambut atau untuk mengembalikan warna rambut asalnya (Dirjen POM, 1985).

Pada umumnya, terdapat berbagai jenis pewarna rambut di pasaran, yaitu yang bersifat alami seperti henna, atau sintetis seperti PPD. Henna adalah pewarna alami yang berasal dari daun dan bunga tanaman Lawsonia inermis. Ekstrak

henna sering digunakan untuk memberi warna rambut ataupun sebagai tato. Sayangnya, untuk mendapatkan warna yang mampu melekat lama, serbuk henna yang telah dicampurkan dengan air atau minyak membutuhkan waktu aplikasi yang cukup lama, yaitu berkisar 2-6 jam. Untuk mempercepat waktu aplikasi, henna sering ditambahkan pewarna rambut sintetis seperti PPD. Meski begitu, tidak semua sampel pewarna rambut lantas mengandung PPD. Terdapat pula sampel yang murni hanya mengandung pewarna rambut alami (Brancaccio et al.,

2002).

Pewarna rambut sintetis seperti PPD tergolong pewarna rambut permanen, dan juga dikenal sebagai pewarna rambut oksidatif. Pada umumnya, pewarna ini terdiri dari dua komponen ekspien yang harus dicampurkan ketika akan digunakan. Dua komponen tersebut adalah alkaline agent (colorant) dan oxidation agent (developer). Alkaline agent memiliki efek membuka lapisan


(29)

rambut luar sehingga prekursor warna dapat lebih mudah terpenetrasi pada korteks rambut. Oxidation agent akan menghilangkan warna alami dan

menghasilkan oksigen sehingga prekursor warna akan mengalami oksidasi. Hasil oksidasi berupa produk oksidasi berwarna yang memiliki ukuran molekul lebih besar dari prekursor warna sehingga akan tertahan dalam korteks rambut. Produk oksidasi berwarna ini resisten terhadap pencucian sehingga dapat memberikan warna permanen. Oksigen yang dihasilkan akan meringankan pigmen melanin alami dalam rambut sehingga warna baru dapat terlihat, menggantikan warna alami rambut. Kebanyakan proses pewarnaan rambut meliputi dua proses yang berlangsung secara berkesinambungan, yaitu terjadinya penghilangan warna alami rambut diikuti proses pemberian warna baru (Helmenstine, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian, daya oksidatif pewarna rambut ternyata dapat merusak rambut dan menyebabkan dermatitis kontak alergi. Adapun penggunaan pewarna jenis lain, seperti pewarna non-oksidatif memberikan hasil yang kurang memuaskan karena warnanya yang tidak tahan lama pada rambut (Acton, 2013).

B. Paraphenylenediamine (PPD)

Paraphenylendiamine (PPD) atau disebut juga 1,4-diaminobenzen atau

1,4-fenilendiamin adalah suatu amin aromatik yang digunakan dalam hampir setiap pewarna rambut di pasaran. Senyawa yang mudah teroksidasi ini memiliki berat molekul 108,14 g/mol, koefisien partisi (Kow) sebesar -0,25, memiliki rumus


(30)

Occupational of Safety and Healthy, 2015). Paraphenylendiamine (PPD)

digunakan dalam pewarna rambut karena memberikan hasil yang tampak alami, menguatkan warna yang gelap dan warnanya tahan lama. Berdasarkan Daftar Bahan yang Diizinkan Digunakan dalam Kosmetik dengan Pembatasan dan Persyaratan Penggunaan pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik (2008), kadar maksimum PPD yang diperbolehkan dalam pewarna rambut adalah 6%.

Gambar 1. Struktur PPD (COLIPA, 2006).

Paraphenylendiamine (PPD) dikenal sebagai alergen yang kuat, menjadi

berwarna pada saat teroksidasi, dan keadaan teroksidasi sebagian menyebabkan alergi bagi individu yang sensitif. Paparan terhadap PPD selanjutnya, meski dalam konsentrasi rendah dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang bermanifestasi sebagai dermatitis kontak alergi (Pardede dkk., 2008).

C. Kulit

Kulit adalah organ terbesar tubuh, dengan luas permukaan mencapai 1,8 m2 dengan berat setara 4 kg dari orang dewasa dengan berat badan 70 kg. Kulit


(31)

mengandung berbagai lapisan dan appendage, seperti kelenjar keringat, folikel

rambut dan kelenjar minyak. Fungsi utama dari kulit adalah untuk menyediakan

barrier perlindungan antara tubuh dengan lingkungan luar. Meski begitu, senyawa

kimia baik secara sengaja atau tidak sengaja dapat terpenetrasi ke kulit. Dengan luas permukaan yang sebegitu besar, kulit menjadi salah satu rute utama masuknya senyawa kimia ke tubuh (Kielhorn, Melching, and Mangelsdorf, 2006). Seperti tampak pada Gambar 2, struktur serta fungsi dari kulit manusia terdiri dari tiga bagian utama, yakni epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Stratum

korneum adalah bagian epidermis non-viable.


(32)

Struktur kulit yang berperan dalam penetrasi obat ke kulit meliputi:

1. Stratum korneum

Stratum korneum (epidermis non-viable) merupakan lapisan kulit paling

luar yang merupakan penghalang utama masuknya senyawa asing. Rata-rata ketebalan stratum korneum adalah 31-637 μm dengan struktur terdiri dari brick

dan mortar yang merupakan barrier pengontrol kecepatan dalam absorpsi

transdermal (Lee and Kwang, 2002). Lapisan ini tersusun atas sel korneosit yang tersusun rapat. Sel-sel yang telah kehilangan inti dan tidak memilik aktivitas metabolisme lagi ini lebih bersifat polar, sedangkan bagian interseluler berisi lipid bilayer yang mengisi ruang diantara sel. Sel squamosa ini akan menghalangi materi lipofil untuk masuk, sedangkan materi hidrofil akan sulit menembus bagian interseluler stratum korneum (Walker and Smith, 1996).

2. Epidermis

Lapisan ini merupakan bagian dari kulit yang berlapis-lapis dengan ketebalan 100-150 µm. Kebanyakan penyusun lapisan ini adalah sel keratinosit yang terbentuk dari diferensiasi dari sel pada lapisan stratum basal. Sel-sel ini dibentuk oleh stem cell yang terus membelah dan secara perlahan akan bergerak

keluar dari stratum basal menuju lapisan di atasnya.

3. Dermis

Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 2 sampai 5 mm dan tersusun atas jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin dan kolagen, serta sejumlah besar pembuluh darah dan ujung-ujung saraf khusus. Pembuluh darah dermis tidak hanya memasok darah ke dermis dan epidermis, tetapi juga berperan penting


(33)

dalam mengatur suhu tubuh. Dermis bertanggung jawab terhadap ketebalan kulit. Ketebalan lapisan dermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh dan berbagai tingkat umur (Benson, 2012).

Kulit dapat terbagi atas kulit otentik dan sintetik. Kulit otentik berasal dari subyek penelitian yang spesiesnya dapat berupa manusia dan hewan, sedangkan kulit sintetik merupakan kulit buatan yang permeabilitasnya dibuat sedemikian rupa menyerupai kulit otentik. Kedua jenis kulit ini berbeda dan memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam penggunaannya sebagai membran untuk uji absorpsi perkutan. Kulit otentik dapat menggambarkan penetrasi suatu senyawa dengan profil permeabilitas sesuai dengan jenis kulit yang diteliti. Oleh karena itu, hasilnya lebih akurat dan proses difusi dapat dibandingkan dari tiap spesies kulit otentik yang digunakan. Meskipun demikian, jumlah kulit otentik terbatas pada subyek penelitian yang tersedia, khususnya kulit manusia. Kulit manusia tidak selalu tersedia dan diperlukan ethical clearance dalam melaksanakan penelitian (sesuai dengan ethical consideration nasional dan internasional tentang penggunaan kulit

manusia dalam penelitian), sedangkan penggunaan kulit sintetik tidak dibatasi. Berbeda dengan kulit otentik, kulit sintetik atau artificial skin dapat

dibuat sesuai dengan permeabilitas yang diinginkan. Kulit ini dibuat dengan mempertimbangkan baik material hidrofil maupun hidrofob yang terdapat pada kulit. Pembuatan kulit sintetik dimaksudkan agar dapat menjadi alternatif di samping pilihan menggunakan kulit otentik yang jumlahnya terbatas. Namun menurut Coquette, Berna, Poumay, dan Pittelkow (2000), penggunaan kulit


(34)

sintetik tidak direkomendasikan untuk uji in vitro karena adanya perbedaaan fungsi fisiologis dari kulit sintetik apabila dibandingkan dengan kulit otentik. Penelitian yang dilakukan oleh Heylings, van de Sandt, Gilde, dan Ward (2001) dan Ponec et al. (2001) menunjukkan bahwa pengukuran penetrasi senyawa pada

kulit sintetik tidak konsisten antara pengukuran yang satu dengan yang lainnya. Penelitian mengenai absorpsi perkutan dengan jenis kulit otentik dapat dilakukan dengan kulit manusia atau hewan seperti babi, tikus, mencit, marmut, dan monyet. Perbedaan jenis kulit yang digunakan terdapat pada permeabilitas kulit masing-masing yang disebabkan adanya perbedaan susunan stratum korneum dan ketebalan kulit pada tiap spesies seperti yang terlihat pada Tabel I. Senyawa akan lebih mudah menembus kulit dengan permeabilitas yang lebih tinggi (Scott, Walker, dan Dugart, 1986).

Tabel I. Koefisien permeabilitas kulit terhadap air dari beberapa spesies (Scott et al., 1986)

Spesies Galur Koefisien permeabilitas kulit terhadap air (cm/h x 10-5)

Manusia 93

Mencit Wistar Alpk/AP 103

Hairless 103

Tikus Alpk/AP 144

Hairless 350

Kelinci New Zealand White 253

Beberapa jenis kulit hewan memiliki permeabilitas yang lebih tinggi daripada kulit manusia, seperti tikus dan kelinci. Jenis kulit yang memiliki permeabilitas yang mirip dengan manusia adalah kulit babi dan monyet. Meski begitu, penggunaan kulit manusia lebih dipilih karena hasil kumulatif penetrasi akan lebih akurat, mengingat tujuan akhir penelitian adalah untuk mendapatkan kinetika penetrasi dari produk yang digunakan pada kulit manusia. Menurut Rigg


(35)

dan Barry (1990: 235) dalam penelitiannya menyatakan bahwa “An overall conclusion is that, whenever possible, human skin should be used in absorption

studies and not hairless mouse or snake skin; otherwise, misleading results may

be obtained”.

Permeabilitas kulit juga dapat dipengaruhi oleh usia subyek penelitian. Secara umum, kulit yang berusia lebih tua memiliki stratum korneum yang lebih kering, aktivitas kelenjar minyak yang lebih kecil sehingga jumlah lipid pada permukaan kulit ikut menurun, dan batas antara epidermis dan dermis menjadi lebih lebar. Stratum korneum yang lebih kering akan mempersulit masuknya senyawa yang bersifat hidrofil karena kandungan air yang lebih kecil. Meningkatnya jumlah lipid pada permukaan kulit dan melebarnya batas antara epidermis dan dermis akan menurunkan permeabilitas kulit. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kulit yang lebih tua akan memperkuat fungsi barrier kulit

(Roskos et al., 1989).

Kulit khatan (praeputium) adalah kulit manusia yang merupakan

perpanjangan kulit batang penis. Kulit ini merupakan satu-satunya kulit manusia yang terdiri atas lapisan kulit (epidermis dan dermis) pada bagian luar dan membran mukosa pada bagian dalamnya. Kulit khatan berfungsi melindungi kepala penis (glans) dan lubang kencing (meatus). Membran mukosa pada bagian

dalam kulit khatan bertugas menjaga agar kepala penis tetap lembab dan menghasilkan lubrikan alami pada penis. Kulit pada bagian ujung penis merupakan daerah kulit yang disebut mucocutaneous zone, yaitu perbatasan antara


(36)

kulit dan membran mukosa. Daerah ini memiliki tekstur bergelombang pada keadaan biasa (Cold, Taylor, 1999).

D. Absorpsi Perkutan

Senyawa dapat masuk ke kulit berdasarkan proses difusi. Difusi adalah proses berpindahnya suatu zat dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, yang dalam proses perpindahannya tidak dibutuhkan energi. Pada absorpsi perkutan, senyawa berdifusi dari permukaan kulit ke dalam stratum korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi dan juga berdifusi melalui epidermis, melalui dermis, dan ke dalam sirkulasi darah (Sinha andKaur, 2000). Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme:

1. Absorpsi transepidermal

Jalur absorpsi transepidemal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transseluler dan jalur interseluler. Jalur transseluler artinya melalui sel korneosit yang bersifat polar dan melewati daerah interseluler yang kaya akan lipid. Jalur transseluler awalnya dikira menjadi jalur utama untuk transpor zat melalui kulit, namun ternyata bukti eksperimental menunjukkan bahwa jalur tanspor utama melalui stratum korneum adalah melalui jalur interseluler. Pada jalur interseluler, senyawa akan masuk melalui ruang antar sel, yaitu bagian interseluler yang bersifat lipofil (Murthy, Narasimha, 2011). Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien


(37)

obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis (Anggraeni, 2008).

2. Absorpsi transappendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori diantaranya sehingga memungkinkan obat berpenetrasi (Anggraeni, 2008). Jalur ini kurang signifikan dalam transportasi zat karena mempunyai luas permukaan yang kecil yaitu hanya sebesar 0,1% dari luas permukaan kulit (Murthy, Narasimha, 2011).

Gambar 3. Jalur masuknya senyawa ke kulit (Lane, 2013)

Faktor faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan senyawa: 1. Konsentrasi senyawa dalam sediaan

Bila konsentrasi senyawa dalam sediaan semakin tinggi, maka jumlah senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar (Ansel, Howard, 2008).


(38)

2. Luas permukaan tempat absorpsi

Bila luas permukaan tempat absorpsi semakin besar, maka jumlah senyawa yang diabsorpsi per unit luas permukaan akan semakin besar (Ansel, Howard, 2008).

3. Karakteristik pembawa

Pembawa yang mudah menyebar pada permukaan kulit akan meningkatkan absorpsi. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan meningkatkan absorpsi (Ansel, Howard, 2008).

4. Hidrasi kulit

Hidrasi stratum korneum akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit (Ansel, Howard, 2008).

5. Afinitas senyawa terhadap kulit

Senyawa harus mempunyai afinitas terhadap kulit yang lebih besar terhadap kulit daripada pembawa (Ansel, Howard, 2008).

6. Koefisien partisi senyawa

Koefisien partisi senyawa mempengaruhi kelarutan senyawa dalam minyak dan air (Ansel, Howard, 2008).

7. Cara aplikasi senyawa pada kulit

Pengolesan dan penggosokan pada kulit akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit (Ansel, Howard, 2008).

8. Tempat aplikasi senyawa

Tempat aplikasi senyawa berpengaruh terhadap kemampuan penetrasi senyawa. Aplikasi pada bagian kulit yang lebih tipis akan meningkatkan penetrasi


(39)

senyawa daripada aplikasi pada bagian kulit yang lebih tebal (Ansel, Howard, 2008). Ketebalan kulit merupakan faktor lainnya yang harus diperhatikan. Secara umum, kulit yang lebih tebal akan memiliki permeabilitas yang lebih rendah daripada kulit yang lebih tipis. Dalam studi absoprsi perkutan orto-fenilfenol yang dilakukan oleh Cnubben et al. (2002), laju penetrasi senyawa pada kulit manusia

dan tikus (meliputi epidermis dan dermis) lebih lambat daripada bagian epidermis manusia dan tikus seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan dermal absorption orto-fenilfenol dengan waktu pada beberapa jenis kulit (Cnubben et al., 2002)

9. Waktu kontak senyawa dengan kulit

Waktu kontak senyawa yang semakin lama dengan kulit akan meningkatkan penetrasi senyawa ke dalam kulit (Ansel, Howard, 2008).


(40)

Pada tahun 1993, Lotte, Wester, Rougier, dan Mailbach melakukan penelitian terhadap absorpsi perkutan beberapa senyawa organik hidrofil, seperti kafein, asam benzoat, dan asam asetil salisilat pada kulit orang hitam, Asia, dan Kaukasia. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara profil penetrasi senyawa hidrofil pada ketiga ras kulit tersebut. Gambar 5 menunjukkan kumulatif penetrasi untuk tiga senyawa berbeda pada tiga ras kulit yang diteliti.

Gambar 5. Pengaruh ras pada absorpsi perkutan asam benzoat, kafein dan asam asetil salisilat pada kulit orang Asia (A), kulit orang hitam (B), dan kulit orang Kaukasia (C)

(Lotte et al., 1993)

E. Franz Diffusion Cell (FDC)

Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur

kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah senyawa yang terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan FDC. Franz Diffusion Cell (FDC)


(41)

yang digunakan berupa kulit manusia atau hewan. Membran diletakkan antara kedua kompartemen, dilengkapi o-ring untuk menjaga letak membran (Anggraeni,

2008).

Kompartemen akseptor diisi dengan larutan penerima. Larutan akseptor yang digunakan dalam FDC sebaiknya tidak hanya berperan sebagai penerima obat yang mengalami permeasi tetapi juga menyediakan air, bahan-bahan biokimia, dan ion-ion yang diperlukan untuk membran kulit dalam mempertahankan fungsinya dalam permeasi pada pH dan kekuatan osmotik yang diinginkan. Larutan yang digunakan sebagi kompartemen akseptor yaitu dapat berupa phosphate buffered saline (PBS), larutan ringer, atau larutan fisiologis

lainnya yang relevan (Friend, 1992).

Faktor penting lain dari larutan akseptor yang perlu diperhatikan yaitu suhu. Pengaturan suhu larutan akseptor penting untuk meminimalkan adanya variasi dalam kondisi percobaan. Suhu sebaiknya dijaga pada kondisi fisiologi normal karena kenaikan temperatur dapat meningkatkan hidrasi dari kulit. Suhu pada FDC dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket di sekeliling

kompartemen akseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Kemudian pada interval waktu tertentu, cairan dari kompartemen akseptor diambil untuk dianalisis, dan segera digantikan dengan cairan yang sama sejumlah cairan yang diambil. Selanjutnya, jumlah senyawa yang terpenetrasi melalui kulit dapat dianalisis dengan metode yang sesuai (Roberts and Walters, 1998). Aparatus FDC dapat dilihat pada Gambar 6.


(42)

Gambar 6. Franz Diffusion Cell (FDC) (Permegear, 2015) F. Kinetika penetrasi

Kulit merupakan organ penentu terbesar penetrasi suatu senyawa. Susunannya yang kompleks dan terdiri dari epidermis, dermis, dan berbagai

appendage membuat kulit memiliki pengaruh pada permeabilitas senyawa yang

hendak masuk ke kulit. Penelitian tentang kinetika penetrasi mulai banyak bermunculan untuk mengetahui gambaran proses penetrasi suatu senyawa melalui kulit. Koefisien permeabilitas (Kp) adalah parameter utama dalam penentuan

dermal absorption. Nilai Kp digunakan dalam asesmen paparan dermal dan dapat

diketahui dengan cara memahami proses yang dapat mempengaruhi penetrasi senyawa melalui kulit. Pengetahuan yang mumpuni tentang proses penetrasi tersebut memungkinkan peneliti dalam menetapkan Kp yang digunakan untuk

menenetukan dosis yang diabsorpsi pada kulit dan asesmen risiko (EPA, 1992). Sesuai dengan hukum pertama Fick, koefisien permeabilitas dihasilkan pada steady state dan nilainya dapat ditentukan apabila konsentrasi antar dua


(43)

yang masuk dan keluar dari suatu kompartemen memiliki nilai yang sama, sehingga dapat dikatakan kecepatan masuk dan keluarnya suatu senyawa dari kulit adalah sama. Pada uji difusi, steady state tidak dapat langsung tercapai sesaat

setelah senyawa melakukan kontak dengan kulit, namun terdapat waktu kontak untuk mencapai steady state. Waktu ini disebut lag time. Lag time adalah waktu

yang dibutuhkan bagi suatu senyawa untuk mencapai steady state yang

didapatkan dari ekstrapolasi hubungan antara massa senyawa yang terpenetrasi dengan waktu, seperti yang terlihat pada Gambar 7 (EPA, 1992).

Gambar 7. Lag time dapat ditentukan berdasarkan grafik hubungan antara jumlah obat yang terpenetrasi dengan waktu (EPA, 1992)

Dose absorbed per event (DAevent) adalah dosis senyawa yang terasborbsi

pada tiap kali pemakaian suatu produk. Nilai ini dapat dihitung menggunakan nilai koefisien permeabilitas. Nilai DAevent perlu dihitungan untuk keperluan


(44)

G. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri-industri makanan. Kegunaan umum HPLC adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa-senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities); analisis senyawa-senyawa non-volatil; penentuan

molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian

senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah

banyak, dan dalam skala proses industri (Gandjar dan Rohman, 2007).

H. Landasan Teori

Paraphenylendiamine (PPD) atau disebut juga 1,4-diaminobenzen atau

1,4-fenilendiamin adalah suatu pewarna rambut oksidatif yang digunakan dalam hampir setiap pewarna rambut di pasaran. Senyawa ini digunakan dalam pewarna rambut karena memberikan hasil yang tampak alami, menguatkan warna yang gelap dan warnanya tahan lama. Dengan FDC, massa PPD bisa didapat dari pengaplikasian sampel pewarna rambut dan diambil berdasarkan waktu yang telah ditentukan agar didapatkan hubungan massa PPD dengan waktu. Melalui hubungan kedua variabel tersebut, kinetika penetrasi yang terdiri dari lag time,


(45)

perbedaan pada proporsi epidermis. Stratum korneum merupakan bagian dari epidermis yang berperan penting dalam penetrasi masuknya suatu senyawa melalui kulit. Meski begitu pada penelitian yang dilakukan oleh Lotte et al.

(1993), adanya perbedaan ras kulit tidak memiliki pengaruh signifikan pada penetrasi senyawa hidrofil ke kulit. Paraphenylenediamine (PPD) memiliki sifat

hidrofil dengan Kow sebesar -0,25.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kinetika penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia yang meliputi lag time, koefisien

permeabilitas, dan DAevent, serta mengetahui ada atau tidaknya perbedaaan antara

penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia.

I. Hipotesis

Berdasarkan teori, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Profil kinetika penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia

yang meliputi lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent dapat ditentukan

berdasarkan metode penelitian yang dilakukan

2. Tidak terdapat perbedaan antara penetrasi PPD pada kulit orang Asia dan Kaukasia


(46)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang kinetika penetrasi PPD dalam pewarna rambut oksidatif pada kulit manusia termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah massa sampel yang diaplikasikan pada kulit dan waktu pengambilan PBS dalam kompartemen akseptor FDC.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD pewarna rambut oksidatif pada

kulit.

c. Variabel pengacau terkendali. Kemurnian pelarut yang digunakan, dapat diatasi dengan mengunakan pelarut pro analysis (p.a.).

d. Variabel pengacau tak terkendali. Susunan dan ketebalan kulit yang tidak bisa dikendalikan karena tergantung pada subyek penelitian yang tersedia.


(47)

2. Definisi operasional

a. Sampel pewarna rambut oksidatif adalah sampel pewarna rambut yang mengandung PPD dan kadarnya tidak diketahui.

b. Waktu pengambilan cairan PBS dalam kompartemen akseptor FDC adalah waktu yang dimulai sejak sampel pewarna rambut oksidatif diaplikasikan ke kulit (pada rangkaian FDC) hingga cairan PBS dalam kompartemen akseptor FDC diambil (sampling).

c. Lag time adalah waktu yang dibutuhkan bagi PPD untuk mencapai steady state yang didapatkan dari ekstrapolasi hubungan antara massa senyawa

yang terpenetrasi dengan waktu.

d. Koefisien permeabilitas adalah nilai yang melambangkan laju penetrasi PPD melalui kulit.

e. Dose absorbed per event (DAevent) adalah dosis PPD yang terasborbsi

untuk setiap kali pemakaian suatu produk.

f. Aparatus FDC yang digunakan adalah seperangkat alat FDC unjacketed

tipe lipatan dasar datar (ground o-ring), dengan diameter lubang 11 mm

dan volume reseptor 2,76 mL.

g. Sistem HPLC yang dipakai adalah sistem HPLC fase terbalik dengan kolom (fase diam) C-18 dan fase gerak campuran akuades, NH4OH 10%,

dan asetonitril dengan perbandingan dan flow rate optimum. Detektor


(48)

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah baku

paraphenylenediamine (PPD) (Sigma Aldrich), metanol, asetonitril, amonium

hidroksida, natrium metabisulfit, natrium klorida, kalium klorida, dinatrium hidrogen fosfat, kalium dihidrogen fosfat kualitas p.a. (E. Merck), akuades dan akuabides (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi USD), sampel pewarna rambut oksidatif, larutan ringer laktat (PT Widatra Bhakti), dan kulit khatan (praeputium) manusia berumur di bawah 18 tahun yang diperoleh

dari Juru Supit Bogem, Kalasan, Yogyakarta.

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik OHAUS

pioneer tm PA214, Franz Diffusion Cell (FDC), water purifier Thermo Scientific Easy pure II Barnstead, kertas Whatman dengan ukuran pori 0,45 µm, syringe,

mikropipet, milipore filter, hot plate IKA® RH Basic KT/C, alat ultrasonifikasi

Branson 3510, seperangkat peralatan preparasi kulit khatan (praeputium), dan

seperangkat alat-alat gelas (Pyrex). High Performance Liquid Chromatography

(HPLC) yang digunakan adalah HPLC sistem fase terbalik dengan detektor ultraviolet Waters Associate model 441, injektor Rheodyne 7125 loop 20 µL,

oven Waters Millipore® 1122, CBM-102 Shimadzu, pompa Waters model 510,

kolom C18 Shinwa Chemical Industries, LTD, dimensi 150 x 4.0 mm 5 µm STR

ODS-II, seperangkat komputer dengan aplikasi LabSolutions Shimadzu, GCSolution version 2.30.00SU4.


(49)

E. Tata Cara Penelitian

Studi absorpsi perkutan PPD ini mengadopsi Organization for Economic Co-operation Development (OECD) Guideline for the Testing of Chemicals (Skin Absorption: in vitro Method) tahun 2004 yang disertai beberapa perubahan dari

penulis.

1. Pembuatan fase gerak untuk sistem HPLC

Fase gerak yang digunakan adalah campuran akuades, NH4OH 10%, dan

asetonitril sesuai dengan hasil optimasi Emelia (2015), yaitu akuades + NH4OH

10% : asetonitril (90:10).

2. Pembuatan PBS pH 7,4 konsentrasi 0,01 M

Sebanyak 800 mL akuabides dimasukkan dalam gelas beker 1 L, ditambah 8 g NaCl, 0,2 g KCl, 1,44 g Na2HPO4, dan 0,24 g KH2PO4 diaduk

dengan pengaduk magnetik hingga larut sempurna. Derajat keasaman larutan diukur dengan pH meter dan pH larutan dibuat 7,4 dengan penambahan HCl. Larutan dipindahkan dalam labu takar 1 L, ditambah akuabides sampai tanda.

3. Pembuatan kurva baku PPD

a. Pembuatan larutan natrium metabisulfit 0,001 M. Sejumlah 190,107 mg natrium metabisulfit ditimbang seksama lalu dilarutkan dalam akuades yang telah disaring dengan kertas Whatman hingga 1 L.


(50)

b. Pembuatan larutan stok PPD 2 mg/mL. Sejumlah 100,0 mg baku PPD ditimbang seksama lalu dilarutkan dengan larutan natrium metabisulfit dan diencerkanhingga batas dalam labu takar 50 mL.

c. Pembuatan larutan intermediet PPD 40 g/mL. Sejumlah 20 L larutan stok PPD 2 mg/mL diambil dan ditambahkan dengan 980 L larutan natrium metabisulfit sehingga didapatkan larutan intermediet PPD 40 g/mL.

d. Pembuatan seri larutan baku PPD 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10 g/mL. Sejumlah 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50 L larutan intermediet baku PPD 40 g/mL diambil lalu masing-masing ditambahkan dengan sebanyak 195, 190, 185, 180, 170, 160, 150

L larutan natrium metabisulfit sehingga didapatkan seri larutan baku PPD 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10 g/mL. Seri larutan baku diinjekkan ke sistem HPLC.

4. Uji difusi dengan FDC

a. Penyiapan sampel. Sampel pewarna rambut oksidatif yang digunakan adalah campuran dari 20 bungkus sampel pewarna rambut oksidatif yang didapatkan dari enam tempat penjualan sampel berbeda. Sampel ditimbang satu per satu untuk pengujian keseragaman bobot, lalu dihomogenkan dengan mortir dan stamper.

b. Preparasi kulit khatan (praeputium). Segera setelah kulit khatan

diambil dari subyek penelitian, kulit khatan dipindahkan ke cairan ringer laktat. Sebelum penyimpanan pada suhu -4oC, kulit dibersihkan dari jaringan subkutan. Apabila sudah siap digunakan, kulit dipotong sesuai dengan ukuran FDC dan dipasang pada FDC dengan bagian stratum korneum menghadap ke bagian atas,


(51)

lalu kompartemen akseptor dimasukkan magnetic stirrer dan diisi PBS hingga

penuh. Suhu FDC dijaga 31 - 33oC. Perangkat FDC dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Skema FDC

c. Penetapan profil kinetika penetrasi PPD. Sampel diambil sebanyak 300 mg, lalu dicampurkan dengan 750 µL akuades. Sampel yang berbentuk pasta

diambil dan ditimbang sekitar 15 mg, lalu diaplikasikan pada kulit khatan. Cairan PBS dari kompartemen reseptor diambil pada jam ke-0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3,5; 4,5; 5,5; 6,5; 7,5; 8,5; 9,5; 10,5; 11,5, lalu diganti dengan volume cairan PBS yang sama. Cairan dalam kompartemen akseptor FDC diinjek ke dalam sistem HPLC. Langkah ini diulangi sebanyak lima kali sehingga terdapat lima variasi massa sampel pewarna rambut oksidatif yang diaplikasikan. Pasta yang tersisa dianalisis sesuai dengan langkah analisis sampel pada penelitian Feliana (2015) untuk mengetahui massa PPD dalam pasta, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung massa PPD dalam kompartemen donor.

Kompartemen donor FDC

Kulit

Kompartemen akseptor FDC Magnetic stirrer


(52)

F. Analisis Hasil

1. Kurva baku PPD. Analisis hasil dilakukan dengan memplotkan hubungan antara konsentrasi PPD dengan data AUC hasil injeksi yang didapat pada tiap konsentrasi. Persamaan regresi linier y = bx + a yang didapat merupakan standar eksternal yang dapat digunakan dalam penentuan konsentrasi PPD pada penetapan kadar PPD dalam uji difusi dengan FDC.

2. Profil kinetika penetrasi PPD. Konsentrasi PPD tiap waktu sampling

ditetapkan berdasarkan AUC yang didapat. Konsentrasi PPD dapat dikonversi ke massa PPD dengan mengalikan konsentrasi PPD dengan volume sampel yang diinjek. Grafik hubungan antara massa PPD dan waktu pada steady state

ditentukan sehingga persamaan regresi linear (y = bx + a) dapat diketahui. Lag time adalah nilai waktu yang memotong sumbu x, yaitu pada saat y = 0.

ab τ = lag time (jam)

a = intersep b = slope

Kadar PPD dalam sampel dapat diketahui berdasarkan standar eksternal. Massa PPD dalam kompartemen donor dapat diketahui dengan rumus:

Mdonor = Ms x C

Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg)

Ms = massa sampel yang dioleskan (mg) C = kadar PPD dalam sampel (µg/mg)

Massa PPD dalam kompartemen donor dapat digunakan untuk menentukan Cdonor dengan rumus:


(53)

Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/mL)

Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg)

V = volume FDC (mL)

Koefisien permeabilitas PPD pada kulit manusia dapat ditentukan melalui rumus:

Kp

o e A

Cdono Ca e to Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)

slope = nilai slope grafik hubungan antara Creceiverdengan waktu

V = volume FDC (mL)

A = luas area kulit (cm2)

Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm

3)

Cacceptor = konsentrasi PPD pada kompartemen akseptor (µg/cm

3)

Berdasarkan nilai teventdan t*, DAevent dapat dihitung dengan rumus yang

berbeda. Apabila nilai tevent lebih kecil daripada t*, maka DAevent dapat dihitung

dengan rumus:

DAe ent 2 Kp C te ent DAevent = dose absorbed per event (µg/cm

2)

Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)

Cv = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm3)

τ = lag time (jam)

tevent = durasi aplikasi sampel (jam)

Apabila nilai teventlebih besar daripada t*, maka DAevent dapat dihitung

dengan rumus:


(54)

DAevent = dose absorbed per event (µg/cm2)

Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)

Cv = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm3)

tevent = durasi aplikasi sampel (jam)

B = Kow / 104

τ = lag time (jam)

Nilai t* dapat ditentukan berdasarkan nilai B. Apabila B lebih kecil atau sama dengan 0,1, maka t* dapat dihitung dengan rumus:

t 2,

t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam) τ = lag time (jam)

Apabila B lebih besar dari 0,1 dan lebih kecil atau sama dengan 1,17, maka t* dapat dihitung dengan rumus:

t ( , log B)

t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam)

B = Kow / 104

τ = lag time (jam)

Apabila B lebih besar dari 1,17, maka t* dapat dihitung dengan rumus:

t b b2 c2

t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam) τ = lag time (jam)

b 2/ (1 B)2 c


(55)

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pewarna rambut meupakan salah satu kosmetik yang umum digunakan.

Paraphenylenediamine (PPD) adalah salah satu senyawa yang biasanya

ditambahkan dalam pewarna rambut untuk memberikan warna yang lebih tahan lama pada rambut. Produk pewarna rambut yang mengandung PPD dibiarkan pada kulit kepala untuk beberapa saat, memberikan waktu bagi PPD berkontak dengan rambut. Kontak ini mengenai bagian kulit kepala pula yang dapat memicu difusi PPD ke kulit dan menembus hingga sirkulasi darah yang terdapat di dermis. Telah diketahui sebelumnya pula bahwa masuknya PPD dalam sirkulasi darah melalui kulit dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang bermanifestasi sebagai dermatitis kontak alergi. Oleh karena itu, penting untuk menentukan profil kinetika penetrasi sehingga dapat diketahui seberapa besar dosis PPD yang dapat terabsorpsi oleh sirkulasi darah untuk setiap penggunaan produk pewarna rambut oksidatif yang digunakan dalam penelitian ini. Dosis tersebut dapat dibandingkan dengan hasil dosis absorpsi pada penelitian lalu yang menggunakan kulit orang Kaukasia untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penetrasi PPD antara kulit orang Asia dan Kaukasia.

Franz Diffusion Cell (FDC) adalah sistem yang dapat digunakan untuk

mendapatkan profil kinetika penetrasi PPD pewarna rambut oksidatif melalui kulit. Kulit yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit khatan. Alat yang dapat digunakan untuk menetapkan kadar PPD adalah HPLC yang dilengkapi


(56)

dengan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Penetapan kadar PPD pada kompartemen akseptor FDC dan pasta perlu dilakukan agar dapat dilakukan asesmen risiko terhadap penggunaan sampel yang mengandung PPD.

A. Pembuatan PBS pH 7,4 Konsentrasi 0,01 M

Phospatebuffered saline (PBS) adalah salah satu larutan fisiologis yang

dapat digunakan sebagai cairan reseptor FDC. Larutan ini mengandung NaCl, KCl, Na2HPO4, dan KH2PO4, yaitu ion-ion yang diperlukan untuk membran kulit

dalam mempertahankan fungsinya pada proses penetrasi senyawa.

Paraphenylenediamine (PPD) yang terpenetrasi pada kulit akan masuk ke PBS

yang pH-nya sengaja dibuat pada nilai 7,4 agar kondisinya menyerupai plasma darah (Sherwood, 2001). Hal ini perlu dibedakan dengan pH kulit yang berkisar 5-6, karena PPD yang ditetapkan kadarnya adalah PPD yang masuk hingga sirkulasi darah, oleh karena itu pH PBS dibuat 7,4. Larutan yang hendak digunakan sebagai larutan dalam kompartemen akseptor tidak boleh mengganggu sistem kulit karena dapat mempengaruhi sistem difusi zat.

Phospate buffered saline (PBS) dapat menjaga kondisi pH agar tetap

stabil dan memiliki osmolaritas yang sama dengan tubuh manusia (isotonis) dan bersifat non-toksik bagi sel. Paraphenylenediamine (PPD) memiliki log Pow

sebesar -0,25 dan memiliki sifat hidrofil. Menurut Kielhorn et al. (2006), PBS

dapat digunakan sebagai cairan akseptor pada FDC untuk senyawa hidrofil karena senyawa hidrofil dapat larut pada PBS. Untuk uji pada senyawa lipofil, cairan reseptor berupa campuran solven seperti etanol dan air untuk menambah kelarutan senyawa lipofil tersebut.


(57)

B. Pembuatan Kurva Baku PPD

Untuk mengetahui seberapa besar PPD yang terdapat dalam kompartemen yang ingin ditetapkan, diperlukan suatu metode yang dapat menggambarkan hubungan antara konsentrasi/massa suatu senyawa baku dengan respon. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah kurva baku. Kurva baku PPD adalah kurva yang dapat menggambarkan hubungan konsentrasi/massa PPD dengan respon. Larutan yang digunakan untuk mendapatkan seri larutan baku berasal dari pengenceran larutan intermediet dengan PBS. Phospate buffered saline (PBS) digunakan sebagai pelarut seri larutan baku karena PBS juga

merupakan pelarut dalam kompartemen akseptor FDC yang melarutkan PPD. Rentang konsentrasi kurva baku yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rentang konsentrasi kurva baku dari hasil validasi metode penelitian Feliana (2015). Hasil penetapan konsentrasi PPD pada kompartemen akseptor FDC juga masuk dalam rentang konsentrasi ini.

Gambar 9. Kurva hubungan massa PPD dengan AUC 0

100000 200000 300000 400000 500000 600000

0 50 100 150 200 250

AUC


(58)

Hubungan antara seri larutan baku dan AUC ditunjukkan oleh Gambar 9. Kurva memiliki slope (b) sebesar 2499,5, intersep (a) sebesar 3578,2, dan

koefisien korelasi (r) yaitu sebesar 0,997. Koefisien korelasi yang mendekati positif satu (+1) tersebut menandakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kenaikan konsentrasi dengan kenaikan respon (berbanding lurus), maka metode penetapan kadar tersebut dapat digunakan untuk menetapkan kadar PPD.

C. Penetapan Profil Kinetika Penetrasi PPD

Suatu senyawa dapat masuk ke sirkulasi darah melalui berbagai rute, misalkan oral, transdermal, dan intravena. Secara umum, kosmetik merupakan produk yang penggunaannya adalah secara eksternal dan senyawa yang terdapat dalam kosmetik tersebut tidak dimaksudkan untuk masuk ke sirkulasi darah. Meskipun demikian, terdapat beberapa senyawa seperti salah satunya PPD yang dapat menembus barrier tubuh (misal kulit) dan masuk ke jalur sistemik tubuh. Franz Diffusion Cell (FDC) adalah suatu aparatus yang digunakan untuk studi

absorpsi perkutan senyawa secara in vitro. Aparatus ini melibatkan penggunaan

media difusi yang diaplikasikan dengan suatu sampel yang mengandung senyawa yang ingin diketahui absorpsinya. Pada penelitian dengan PPD dengan FDC ini, digunakan metode penelitian yang diadopsi dari OECD 428 Guideline for the Testing of Chemicals (Skin Absorption: in vitro Method) tahun 2004 disertai

beberapa modifikasi. Penelitian ini menggunakan kulit khatan (praeputium)


(59)

Kulit khatan dalam penelitian ini berasal dari subyek manusia sehingga hasil penetrasi PPD dapat langsung digunakan untuk tujuan asesmen risiko pada penggunaannya sebagai pewarna rambut oksidatif untuk manusia. Rigg dan Barry (1990) menyatakan bahwa kulit manusia dapat disebut sebagai gold standard

dalam penelitian uji absorpsi perkutan karena hasil yang diberikan akan lebih akurat dibandingkan hasil yang diberikan pada penggunaan kulit hewan.

Kulit khatan yang digunakan berasal dari subyek penelitian manusia berusia di bawah 18 tahun. Kulit khatan dari subyek penelitian manusia berusia di bawah 18 tahun lebih dipilih sebab kulit khatan dari subyek berusia di bawah 18 tahun demikian lebih tersedia dibandingkan subyek berusia di atas 18 tahun. Selain itu, bertambahnya usia akan mempengaruhi variabilitas permeabilitas kulit karena kulit orang tua memiliki stratum korneum yang lebih kering, sehingga mempersulit masuknya senyawa hidrofil.

1. Penyiapan sampel

Sampel pewarna rambut oksidatif yang digunakan adalah campuran dari 20 bungkus sampel pewarna rambut oksidatif yang didapatkan dari enam tempat penjualan sampel berbeda. Sebelum kadar PPD ditetapkan, dilakukan pengujian keseragaman bobot sampel untuk mengetahui keseragaman bobot tiap sampel yang dibuat. Sampel dengan bobot yang seragam akan memiliki kandungan PPD yang seragam, sehingga efek yang ditimbulkan adalah seragam pula.


(60)

2. Preparasi kulit khatan (praeputium)

Preparasi kulit khatan (praeputium) merupakan tahap awal pada uji difusi

dengan FDC. Pada penelitian, kulit khatan yang didapatkan dari subyek penelitian langsung diletakkan dalam cairan ringer laktat. Cairan ringer laktat memiliki komposisi elektrolit dan konsentrasi serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler (Kamat, 2013). Penggunaan cairan ini berusaha untuk mempertahankan kondisi kulit seperti aslinya secara fisiologis. Kulit bisa langsung dipakai atau disimpan dalam pendingin dengan suhu di bawah 0oC untuk beberapa hari.

Preparasi dilakukan dengan membersihkan kulit dari jaringan subkutan karena jaringan ini dapat menggangu difusi senyawa. Kulit dipotong sesuai dengan ukuran FDC, yaitu ± 1 cm2. Selanjutnya, kulit dipasang dalam seperangkat

FDC, lalu kompartemen akseptor dimasukkan magnetic stirrer dan diisi PBS pH

7,4 hingga penuh. Dalam pemasangannya, kulit harus kontak dengan PBS agar senyawa yang diaplikasikan pada kulit dapat berpenetrasi menembus kulit menuju kompartemen akseptor. Magnetic stirrer berguna untuk menghomogenkan

senyawa yang terpenetrasi dalam PBS. Dalam pengisian PBS, dipastikan tidak terdapat gelembung udara karena dapat menghalangi kontak antara kulit dengan PBS.

Tergantung dari lokasi dalam tubuh dan suhu ruangan, suhu kulit dapat berbeda-beda, namun dalam penelitian ini suhu perangkat FDC dijaga pada 31-33oC, yaitu suhu kulit secara umum (Bolomey, eegenschmiedt, Fessenden,


(61)

peningkatan suhu kulit dapat mempengaruhi susunan stratum korneum yang secara umum menyebabkan peningkatan permeabilitas kulit (de Jager et al.,

2004).

3. Penetapan lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD

Penetapan profil kinetika penetrasi PPD meliputi penetapan nilai lag time, koefisien permeabilitas, dan DAevent PPD. Profil kinetika penetrasi dapat

diketahui dengan melakukan penetapan kadar PPD dalam kompartemen akseptor FDC dan pasta. Sampel yang telah dicampur seluruhnya kemudian digerus dengan mortir dan stamper agar homogen, sehingga PPD yang terdapat dalam sampel tersebar merata di setiap bagian sampel. Sebanyak 300 mg sampel dan 750 µL aquades dicampur hingga berbentuk pasta, lalu diambil 1-5 mg dan diaplikasikan pada kulit. Untuk konsistensi yang berbentuk cair, dibutuhkan sekitar 10 µL sampel, sedangkan massa yang berbentuk non-cair 1-5 mg per cm2 kulit. Dalam uji yang penulis lakukan, dipilih angka 1-5 mg karena konsistensi sampel yang dibuat oleh penulis cenderung seperti pasta sehingga sulit diambil dalam bentuk volume. Oleh karena itu, aplikasi menggunakan bobot untuk konsistensi non-cair. Aplikasi sampel yang dilakukan ini berjenis finite dose. Selain finite dose, dikenal pula istilah infinite dose. Pada aplikasi sampel infinite dose, sampel

diaplikasikan dengan jumlah berlebih (exccesive) pada kulit dengan tujuan

menjaga konsentrasi senyawa pada kompartemen donor agar sama setiap saat. Kondisi ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan penulis, karena kondisi pemberian sampel secara berlebih ini tidak menggambarkan paparan PPD pada


(62)

kulit dalam penggunaan produk pewarna rambut. Pada umumnya, orang menggunakan pewarna rambut dan membiarkan produk pada kulit kepala selama rentang waktu tertentu.

Konsentrasi PPD dalam kompartemen donor pada pengaplikasian sampel secara finite dose akan berubah setiap saat karena sampel yang diaplikasikan

sesuai dengan dosis penggunaannya (tidak secara berlebih). Konsentrasi PPD dalam kompartemen donor akan berkurang seiring waktu karena PPD diabsorpsi oleh kulit maupun yang telah teroksidasi. Oksidasi dapat terjadi karena kontak PPD dengan udara dan salah satu penyebab cepatnya proses oksidasi tersebut adalah karena perangkat FDC tidak ditutup. Dalam penelitian ini, perangkat FDC tidak ditutup agar perlakuan menyerupai penggunaan pewarna rambut pada umumnya. Pada pengaplikasian sampel secara infinite dose, perangkat FDC

biasanya ditutup untuk membantu menjaga konsentrasi senyawa dalam kompartemen donor agar sama setiap saat (Kielhorn et al., 2006). Dalam studi dermal absorption katekol yang dilakukan oleh Jung, Wickett, Desai, dan

Bronaugh (2003), aparatus difusi yang ditutup menunjukkan sebanyak 78% senyawa terabsoprsi oleh kulit, sedangkan aparatus difusi yang tidak ditutup hanya menunjukkan 55% senyawa yang terabsoprsi oleh kulit. Perbedaan hubungan konsentrasi suatu senyawa pada kompartemen donor terhadap waktu untuk infinite dose dan finite dose dapat dilihat pada Gambar 10.


(63)

Gambar 10. Hubungan konsentrasi suatu senyawa pada kompartemen donor terhadap waktu untuk infinite dose dan finite dose (Kielhorn et al., 2006)

Pada uji dengan FDC, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah durasi paparan sampel. Menurut OECD (2004), durasi paparan sampel dapat berkisar antara beberapa menit untuk produk-produk yang melibatkan rinse off

dalam penggunaannya (misal sampo, sabun, dan pewarna rambut) hingga maksimum 24 jam untuk produk yang tidak melibatkan rinse off, seperti body lotion. Pada penelitian ini, modifikasi terhadap metode OECD 428 yang

digunakan adalah pada durasi paparan sampel.

Pada umumnya, penggunaan pewarna rambut berkisar antara 5 hingga 45 menit sehingga durasi paparan sampel pada uji FDC dibatasi pada waktu tersebut, lalu dilakukan rinse off terhadap sampel dengan larutan sabun. Proses rinse off

merupakan tahap yang penting dalam penggunaan pewarna rambut oksidatif. Proses ini dilakukan untuk membersihkan sampel karena zat warna sudah terbentuk dan tertahan dalam korteks rambut. Proses ini menjadi penting karena semakin lama sampel berada pada kulit, maka semakin lama pula kontak antara


(64)

PPD dengan kulit sementara proses difusi akan berjalan terus. Hal ini menjadi berbahaya apabila rinse off yang dilakukan oleh pengguna maupun professional

tidak sempurna/bersih, menyebabkan sampel tertinggal pada kulit untuk jangka waktu yang lebih lama lagi dan menghasilkan dose absorbed yang lebih besar

lagi.

Modifikasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah tidak melibatkan proses rinse off tersebut sehingga durasi paparan sampel berlanjut

terus hingga massa PPD pada cairan reseptor tidak bertambah lagi. Modifikasi ini dilakukan dengan maksud menyamakan penggunaan sampel apabila rinse off yang

dilakukan oleh pengguna maupun professional tidak bersih/sempurna,

menyebabkan tertinggalnya sampel pada kulit. Berdasarkan European Comission

(2003), kumulatif persentase senyawa yang mampu menembus kulit merupakan parameter yang sangat berguna pada asesmen risiko dan oleh karenanya, dalam penelitian dapat dipilih durasi paparan senyawa selama atau lebih lama dari penggunaan sesungguhnya oleh konsumen.

Pada penelitian ini, cairan PBS dari kompartemen reseptor akan diambil pada tiap waktu yang ditentukan hingga tidak terjadi penambahan PPD pada kompartemen akseptor FDC, yang dilihat dari respon yang dihasilkan oleh sistem HPLC. Pada penelitian ini, dilakukan lima variasi massa (selanjutnya dinamakan Percobaan I, II, III, IV, dan V) untuk setiap uji difusi yang dilakukan, sehingga dalam data akan ditemui durasi aplikasi waktu (tevent) yang berbeda-beda, karena

waktu yang diperlukan hingga tidak terjadi penambahan PPD pada kompartemen akseptor FDC yang berbeda-beda pula. Untuk setiap pengambilan cairan PBS,


(65)

volume cairan PBS yang sama harus diisi kembali pada kompartemen akseptor sehingga volume untuk setiap perhitungan sama. Cairan PBS yang diambil selanjutnya diinjek ke dalam sistem HPLC. Melalui langkah analisis ini, maka akan diketahui AUC dari tiap penginjekan. Hasil AUC yang didapat kemudian dimasukkan dalam persamaan kurva baku, sehingga massa PPD pada tiap penginjekan dapat diketahui. Paraphenylenediamine (PPD) dapat masuk

menembus membran kulit dan hasil AUC yang didapat menunjukkan jumlahnya yang bertambah seiring bertambahnya waktu, yang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam kompartemen akseptor FDC dengan waktu (hasil dari Percobaan I)

Lag time adalah waktu yang diperlukan bagi PPD untuk mencapai steady state, yang nilainya berasal dari ekstrapolasi hubungan antara massa senyawa

yang terpenetrasi dengan waktu. Penentuan lag time dilakukan dengan

menetapkan titik-titik yang memiliki koefisien korelasi mendekati +1, yaitu kondisi ketika hubungan antara massa senyawa yang terpenetrasi dengan waktu memiliki nilai yang proporsional atau pada steady state. Gambar 12 menunjukkan

grafik hubungan antara massa PPD terukur dalam kompartemen akseptor FDC

-20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 2 4 6 8

M a ss a P P D ( n g) Waktu (jam)


(1)

Lampiran 4. Seri larutan baku

Massa PPD (ng) AUC

20 44037

40 102178

60 162825

80 210864

120 295752

160 424008

200 491852

y = 2499.5x + 3578.2 r = 0.997

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000

0 50 100 150 200 250

AUC


(2)

Lampiran 5. Penetapan massa PPD pada kompartemen akseptor FDC (Percobaan I)

Waktu (jam) Massa PPD (ng)

0,5 5

0,5 4

1 11

1 14

1,5 19

1,5 16

2 30

2 27

2,5 30

2,5 30

3,5 51

3,5 55

4,5 84

4,5 81

5,5 142

5,5 131

6,5 139

6,5 139

7,5 139

7,5 132

-20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 2 4 6 8

M a ss a P P D (n g) Waktu (jam)


(3)

Lampiran 6. Contoh perhitungan lag time (Percobaan I)

τ = lag time (jam)

a = intersep b = slope

Lampiran 7. Contoh perhitungan Cdonor (Percobaan I)

Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg) Ms = massa sampel yang dioleskan (mg)

C = kadar PPD dalam sampel (µg/mg)

Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/mL)

y = 15.745x - 4.5413 r = 0.9834

0 10 20 30 40 50 60

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

M

a

ss

a

P

P

D

(n

g

)

Waktu (jam)


(4)

Mdonor = massa PPD dalam kompartemen donor (µg) V = volume FDC (mL)

Lampiran 8. Contoh perhitungan Kp (Percobaan I)

Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)

slope = nilai slope grafik hubungan antara Creceiver dengan waktu V = volume FDC (mL)

A = luas area kulit (cm2)

Cdonor = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm3) Creceiver = konsentrasi PPD pada kompartemen akseptor (µg/cm3)

y = 725.73x - 155.47 r = 0.9862

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

C

rec

e

iv

e

r

(n

g/c

m

3)

Waktu (jam)


(5)

Lampiran 9. Contoh perhitungan DAevent (Percobaan I)

B = Kow / 104 = -0,25 / 104 = -0,000025

Nilai t* dapat ditentukan berdasarkan nilai B. Nilai B lebih kecil atau sama dengan 0,1, maka t* dihitung dengan rumus:

t* = waktu bagi PPD untuk mencapai steady state pada kondisi uji (jam)

τ = lag time (jam)

tevent = 7,5 jam

Nilai tevent lebih besar daripada t*, maka DAevent dihitung dengan rumus:

DAevent = dose absorbed per event (µg/cm2) Kp = koefisien permeabilitas (cm/jam)

Cv = konsentrasi PPD pada kompartemen donor (µg/cm3) tevent = durasi aplikasi sampel (jam)

B = Kow / 104 τ = lag time (jam)


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul Kinetika Penetrasi

Paraphenylenediamine (PPD) dalam Pewarna Rambut

Oksidatif pada Kulit Manusia memiliki nama lengkap Canly Hansen Sudirman. Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 26 Desember 1993, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Liu Hon Liong dan Khouw Moi Fong. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah menyelesaikan pendidikannya di TK dan SD Swasta Nasional Fajar Harapan (1998-2005), SMP Santo Fransiskus Asisi Pontianak (2005-2008), SMA Santu Petrus Pontianak (2008-2011). Penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2011. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma penulis aktif dalam berbagai kegiatan antara lain Journalistic Competition 2011 sebagai koordinator divisi

acara, Student Exchange Programme 2012 sebagai vice chairman committee,

Inte nationa Pha ma euti a Student ’ Fede ation (IPSF) 59th World Congress

sebagai official delegate. Penulis juga terlibat dalam organisasi Komunitas

Mahasiswa Buddhis dan Khong Hu Cu (KMBK) Dharma Virya sebagai staf divisi sosial tahun 2011-2012, dan wakil ketua eksternal pada tahun 2012-2013, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Farmasi sebagai Student Exchange Officer (SEO)tahun 2013-2014, dan IPSF Public Health Committee tahun

2014-2015. Penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Kimia Analisis, Analisis Farmasi dan Validasi Metode Analisis, dan Pharmaceutical Analysis.