Pembahasan HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Mengasuh seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan autis tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Keluarga responden 2 bukanlah keluarga yang termasuk dalam golongan ekonomi kelas atas. Responden 2 mengungkapkan saudara autis tidak mendapatkan terapi untuk beberapa saat karena terkendala materi. Dalam mengatasi hal ini, keluarga responden 2 mengupayakan bantuan dari pihak pemerintah. Beruntung mereka mendapatkan bantuan tersebut sehingga saudara bisa mendapatkan terapi hingga saat ini. 2.e Faktor agama, adat istiadat, dan budaya Agama, adat istiadat dan budaya mempengaruhi pola berpikir seorang individu dalam kehidupannya sehari-hari. Sama halnya dengan responden 2, dalam mengatasi kegelisahan yang ada dalam kehidupan ia melakukan sholat dan berdoa kepada tuhan agar saudara autis bisa kembali normal dan ia juga berdoa untuk keluarganya secara keseluruhan. Responden juga berasal dari suku jawa. Ia mengungkapkan bahwa gangguan yang dialami saudara autis pernah ia dengar sebagai gangguan yang dikirim oleh manusia tidak bertanggung jawab yang tidak menyukai keluarganya.

C. Pembahasan

Setiap individu pasti membutuhkan penyesuaian diri dalam menjalani proses kehidupan. Hal ini khuhusnya terjadi pada remaja yang berada dalam tahapan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dalam menjalankan tugas perkembangan Hurlock, 2009. Masa transisi merupakan masa yang memberikan individu tekanan. Fakta Universitas Sumatera Utara bahwa seorang remaja yang berada dalam masa transisi dan memiliki saudara autis menempatkan remaja cenderung dalam kondisi yang lebih sulit dibandingkan dengan remaja yang memiliki saudara normal. Penyesuaian diri sangat dibutuhkan dalam mengakomodasi stres Huber Runyon, 1984. Sama halnya dengan yang dialami remaja dalam kondisi tersebut Burke, 2004 Remaja yang memiliki saudara autis memiliki kemungkinan untuk mengalami kerugian ketika mereka dibebankan tuntutan pengasuhan saudara yang mengalami autis Burke, 2004. Hal ini juga dialami oleh responden 1 dan responden 2. Responden 2 mengungkapkan tidak ada seorang pun yang tahu kapan saudara autis bisa berubah menjadi seorang individu normal. Hal ini memaksanya untuk belajar hidup dengan saudara autis. Begitu juga dengan responden 1. Responden 1 menjalani kehidupan dalam keadaan yang normal. Responden 1 tumbuh dan berkembang terbiasa dengan saudara autis dan ia juga belajar untuk hidup bersama saudara autis yang didukung dengan pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan dalam perjalanan kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa responden 1 dan responden 2 melakukan penyesuaian diri atas kondisi yang terjadi dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Haber dan Runyon 1984 yang mengungkapkan penyesuaian diri adalah suatu proses dimaan individu harus menerima suatu hal yang tidak dapat diubah atau dikontrol dengan belajar membiasakan diri hidup dengan kondisi yang tidak dapat diubah tersebut. Responden 2 juga menyadari bahwa kondisi yang dialami oleh saudara tersebut merupakan suatu kondisi yang sudah terjadi dan mau tidak mau Universitas Sumatera Utara harus ia terima karena hal tersebut adalah kehendak tuhan yang tidak seorang pun bisa menentang. Responden 1 memiliki seorang saudara autis yang lebih tua dan berjenis kelamin laki-laki. Kehadiran saudara autis bagi responden 1 memberikan kondisi- kondisi yang sangat berbeda dengan remaja lain seusianya. Pada masa kanak-kanak ia memperhatikan saudara sering bersikap aneh. Penjelasan orang tua yang mengungkapkan bahwa saudara mengalami kelainan membuat ia hanya menyaksikan kelainan perilaku saudara tersebut. Seiring bertambahnya usia, responden 1 mengungkapkan bahwa orang tua menjelaskan saudara mengalami gangguan yang autis dan dampak dari gangguan autis tersebut. Berbeda dengan responden 1, responden 2 memiliki seorang adik dengan rentang usia 5 tahun lebih muda yang mengalami autis. Responden 2 tidak mendapatkan penjelasan yang memadai tentang gangguan yang dialami saudara karena orang tua sendiri tidak mengerti tentang gangguan tersebut. Responden 2 hanya diminta untuk menjaga saudara karena memiliki kondisi yang berbeda dengan orang normal. Responden 1 dan responden 2 mengikuti permintaan orang tua untuk menjaga saudara mereka yang memiliki kondisi yang berbeda dengan orang normal. Responden 1 menerima untuk di sekolahkan di sekolah yang sama dan sebangku dengan saudara. Di sekolah ia bertanggungjawab membela dan menjaga ketika diganggu dan diejek oleh teman-teman, menjelaskan secara berulang-ulang apa yang dialami saudara, mengawasi agar fokus dalam pelajaran, dan membantu saudara Universitas Sumatera Utara memenuhi kebutuhan seperti makanan dan peralatan sekolah. Dalam melaksanakan tugas tersebut, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk saudara autis. Ia mengaku tidak keberatan melakukan hal tersebut. Sedangkan responden 2 mengawasi dan menjaga pandangan agar tetap berada pada saudara autis. Hal ini ia lakukan karena saudara autis tidak bisa berbicara dan akan menghindar serta berlari ketika diawasi dari dekat. Ia juga bertugas untuk membawa saudara pulang ke rumah jika waktu sudah tiba. Hal ini membuat ia tidak bisa bermain dengan bebas dan merasa terikat. Meskipun kondisi kedua responden berbeda, hal ini memberi dampak yang sama bagi mereka. Responden 1 merasa frustasi dengan teman sebaya yang tidak mengerti kondisi saudara meskipun ia menjelaskan secara berulang-ulang. Mereka terus menggnaggu dan membuat ia merasa marah dan membalas perilaku teman sebaya sedangkan repsonden 2 merasa frustasi karena ia hanya melihat saudara dari jauh. Ia tidak bisa melakukan aktivitas yang ia inginkan. Ia harus berlari mengejar saudara jika sudah diluar wilayah ia biasa bermain. Kedua responden juga merasa sakit hati dengan ejekan yang diberikan terhadap saudara mereka. Memasuki usia peralihan ke remaja, responden 1 dan responden 2 menghadapi tantangan yang berbeda pula. Repsonden 1 tetap mendapatkan pertanyaan tentang kondisi saudara meskipun mereka tidak satu sekolah. Responden 1 menceritakan dan menjelaskan apa yang dialami saudara bahkan tidak segan untuk membawa teman-teman berkunjung ke rumah dan memperkenalkan saudara autis. Ia menjawab pertanyaan teman sebaya dengan baik karena merasa pertanyaan tersebut adalah suatu hal yang baik agar semakin banyak orang terutama teman-teman yang Universitas Sumatera Utara mengerti tentang autis dan tidak mengejek dan menjauhi orang-orang yang mengalami autis. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa apa yang ia harapkan sesuai dengan kenyataan. Meskipun ia menjelaskan gangguan autis berulang kali, beberapa teman sebaya masih menggunakan autis sebagai bahan ejekan. Ia merasa sakit hati karena ia menganggap hal tersebut sama saja dengan mengejek saudaranya. Berbeda dengan responden 1, repsonden 2 hanya sekali saja membawa teman sekolah berkunjung ke rumah. Ketika teman sebaya bertanya tentang perilaku saudara autis ia hanya menjawab seadanya dengan berharap tidak akan ada pertanyaan lagi mengenai hal tersebut. Responden 2 menganggap tidak akan berguna membawa teman sekolah berkunjung ke rumah. Ia mengungkapkan bahwa teman sekolah tidak banyak yang tahu tentang hal tersebut. Ia juga menganggap pertanyaan orang-orang tentang saudara autis merupakan hal yang tidak bermanfaat karena mereka tidak akan mengerti meskipun ia menjawab pertanyaan tersebut karena mereka tidak akan bisa merasakan bagaimana memiliki saudara autis. Hal ini membuat responden 2 berusaha untuk menghindari pertanyaan mengenai saudara. Kehadiran salah satu anggota keluarga yang mengalami autis membuat orang tua memberikan fokus perhatian yang lebih besar kepada anak yang mengalami autis Haugaard, 2008. Kedua responden sama-sama merasakan hal ini. Responden 1 merasa cemburu terhadap perlakuan orang tua terutama ibu. Ia merasa ibu lebih menyayangi dan mengutamakan kebutuhan saudara. Perasaan ini ia rasakan pada saat ia masih kanak-kanak bahkan terkadang muncul diusianya yang sudah remaja ini. Ia sering mengungkapkan perasaan itu kepada orang tua, dengan cara marah, merajuk, Universitas Sumatera Utara berdiam dan mengunci diri di kamar. Dengan penjelasan orang tua, sedikit demi sedikit ia mengaku sudah mulai menerima perlakuan tersebut. Ia mulai mengerti bahwa apa yang dilakukan ibunya disebabkan kelainan yang dialami saudara dan itu untuk kebaikan bersama. Responden 2 juga merasakan hal tersebut. Ia merasa setiap permintaan yang ia berikan selalu dinomor duakan. Ia sering menuntut untuk diperlakukan sama. Jika saudara mendapatkan sesuatu maka ia juga harus mendapat hal tersebut. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat orang tua tidak bisa memenuhi apa yang ia inginkan. Ia merasa sedih, kecewa dan marah dengan hal tersebut. Responden 2 mengatasi hal tersebut dengan minum air putih dan tidur untuk menenangkan perasaannya dan jika situasi memungkinkan ia melakukan aktivitas bersama teman-teman yang membuat ia bisa melupakan perasaan negatif. Jika ditinjau dari faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terdapat perbedaan diantara kedua responden. Kedua responden memiliki kondisi fisik yang sama-sama sempurna, tidak ada yang cacat diantara keduanya. Responden 1 mendapat pengetahuan yang cukup memadai mengenai gangguan autis. Latar belakang orang tua yang memiliki yayasan pondok peduli autis membuat responden 1 mendapatkan apa yang harus ia ketahui tentang autis. Selain ibu yang sangat proaktif dalam memberikan pengetahuan, penjelasan dan saran untuk responden, kondisi lingkungan juga membuatnya mendapat banyak pengalaman dan pembelajaran. Keberadaan beberapa anak yang menjalani terapi di bawah pengawasan ibu membuat responden 1 menyadari bahwa apa yang terjadi dalam keluarga tidak hanya Universitas Sumatera Utara keluarganya yang mengalami, masih banyak orang yang mengalami gangguan yang lebih parah dibandingkan saudara sehingga pandangannya terhadap penderita autis lebih positif. Responden 1 juga mendapat tambahan pengetahuan tentang gangguan autis dari beberapa seminar yang ia ikuti bersama ibu. Hal ini membuat responden 1 bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan saudara jika ada orang yang bertanya seperti yang ia lakukan terhadap teman-teman. Kondisi lain yang mendukung penyesuaian diri pada responden 1 adalah hubungan yang sangat dekat dengan orang tua terutama ibu. Ibu selalu meminta responden untuk terbuka mengenai masalah apapun yang ia alami dan memecahkannya bersama ibu. Responden mengungkapkan bahwa ibu selalu memberikan masukan dan pilihan-pilihan yang dapat mengarahkannya dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Berbeda dengan responden 1, responden 2 tidak mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai gangguan yang dialami saudara. Ia juga tidak pernah mendapatkan pelatihan atau seminar menegnai gangguan autis. Hal ini membuat responden 2 kurang menguasai apa yang terjadi dengan saudara. Pandangan responden 2 terhadap penderita autis juga masih negatif seperti yang ia ungkapkan bahwa ia tidak menemukan keistimewaan dari penderita autis seperti yang ia dengar dari orang lain. Hal ini mungkin menyebabkan responden 2 enggan untuk berbagi mengenai kondisi saudara kepada orang-orang yang bertanya tentang saudara. Pengalaman bersama saudara autis membuat ia semakin mengenal perilaku- perilaku yang dimunculkan saudara. Hubungan responden 2 juga dekat dengan orang Universitas Sumatera Utara tua. Akan tetapi, berkaitan dengan kondisi saudara yang mengalami autis, ia jarang mengungkapkan apa yang ia rasakan karena tidak mendapat tanggapan seperti yang ia harapkan. Ibu hanya bersikap biasa saja dan diam dalam menganggapi apa yang ia ungkapkan. Universitas Sumatera Utara 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini. Dalam bab ini juga akan dikemukakan saran- saran praktis dan metodologis yang mungkin berguna untuk penelitian yang selanjutnya dengan tema yang sama.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik penyesuaian diri a. Penyesuaian diri pada responden 1 mengalami dinamika. Responden 1 menunjukkan persepsi yang akurat terhadap realitas yang ditandai dengan kemampuan menetapkan tujuan dan menyadari peluang dan hambatan dalam mencapai tujuan. Terdapat dinamika pada kemampuan responden 1 dalam mengungkapkan perasaan dan mengatasi stress dan kecemasan. Pada suatu waktu, responden berusaha bertoleransi dengan keadaan lingkungan yang tidak mengerti tentang kondisi saudara autis dan berusaha toleransi terhadap sikap saudara autis yang mengganggu, mengatasi perasaan negatif dengan melakukan kegiatan lain. akan tetapi terkadang responden 1 melampiaskan kemarahan dan kekesalan dalam cara yang negative seperti membalas perilaku saudara autis, marah kepada orang tua dan membalas perilaku teman sebaya yang mengejek Universitas Sumatera Utara