ANALISI KOMPARASI FATWA NO 83DSNMUIVI2012 DENGAN

perwakilan dengan syarat masing-masing anggota saling mengetahui satu sama lain. Dapat disimpulkan bahwa Syaikh Shalih Al-Munajjid lebih cenderung menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah berdasarkan pendapat yang kedua yang dijelaskan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom. Isi fatwa yang dikeuarkan oleh Syaik Shalih al-Munajjid dinilai kaku dan terkesan mempersempit ruang gerak berpikir logis. Karena pemberdayaan akal dibatasi dan difungsikan hanya sekedar mengikuti, maka produk pemikiran yang dihasilkan cenderung mengikat. Sementara lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, dinilai terlalu berani dan bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut lembaga tersebut kegiatan penjualan langsung berjenjang termasuk kedalam kategori jual beli dengan menggunakan akad ijarah maushufah fi dzimmah 4 dalam hal anggota memperoleh objek akad, dan akad ju’alah dalam rangka penjualan langsung berjenjang. Akad ini tepat digunakan untuk penjualan berupa jasa perjalanan haji dan umrah termasuk aset tidak berwujud namun manfaatnya bisa digunakan atau dirasakan. Hal ini sesuai dengan esensi dari Akad Ijarah itu sendiri, yaitu Bai Al-ManaafiJual Beli Manfaat. Kemudian manfaat barang yang akan digunakan atau dirasakan pun tidak ada pada saat akad ijarah dilaksanakan, 4 ljarah Maushufah fi al-Dzimmah adalah ijarah atas jasa mu jar yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas dan kualitasnya; lihat Fatwa No 83DSNMUIVI2012 manfaat baru bisa digunakan atau dirasakan pada saat menerima objek akad hari keberangkatan perjalanan umroh atau Maushufah fi al-Dzimmah. Terkait dalil yang digunakan dalam kedua fatwa tersebut, lembaga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memang cukup luas, mulai dari Al- Qur’an, Sunnah dan juga Qaul Ulama. Dalam hal isi fatwa DSN MUI mewajibkan musta’jir untuk membayar ujrah akad karena DSN MUI menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad jual beli, oleh karena itu tidak ada salahnya anggota diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaannya, sedangkan Syaikh Shalih al-Munajjid melarang adanya pembayaran atau penyerahan sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaan, karena Syaik Shalih al-Munajjid lebih cenderung menyetarakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah. Sebagaimana dalam fatwanya Syaik Shalih al-Munajjid memberikan dua pendapat terkait akad wakalah yang aplikasikan dalam sistem penjualan langsung berjenjang, pendapat pertama yaitu pendapat dari ibnu taimiyah yang melarang adanya perwakilan atas perwakilan, sedangkan menurut pendapat kedua yang dikemukakan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom yang membolehkan perwakilan atas perwakilan dengan syarat mereka saling menegetahui satu sama lain antara orang- orang yang berakad dan mengetahui bentuk pekerjaan serta perusahaannya, apabila salah satu anggota tidak mengetahui anggota yang lain maka hukumnya dilarang perwakilan atas perwakilan tersebut. Merujuk pada apa yang ditulis oleh DR. Ahmad Sudirman Abbas MA, Mengenai salah satu kaedah dalam penyelesaian Masail Fiqhiyah tentang bersikap moderat terhadap kelompok tekstualis literalis dan kelompok kontekstualis. Dalam hal ini isi fatwa dari Syaikh Sholih al-Munajjid cenderung berada dalam kelompok tekstualis yakni lebih bersandar pada ketentuan nash seusai dengan bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut di luar teks ayat tersebut, sehingga faktor-faktor lain tidak dijadikan perhatian oleh mufti ini. Sedangkan lembaga fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI termasuk dalam kelompok kontekstualis yakni lebih berani dalam menginterpretasikan produk hukum nash, dalam hal ayat-ayat yang bersifat umum, dan cenderung mempertimbangkan kondisi kemanusiaan yang dijadikan sebagai subjek perhatian utama dalam rangka mencari jawaban dalam persoalan yang timbul. Perbedaan sudut pandang kedua isi fatwa tersebut melahirkan penilaian yang kontroversi. Dalam hal cara penetapan fatwa yang dilakukan oeh individu dan kelompok menurut penulis, jika melihat produk ekonomi dan keuangan yang terus berkembang secara cepat ini, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam berfatwa. Pertama, dari sisi persyaratan bagi orang yang akan berfatwa dibidang ekonomi, tentunya pengetahuan tentang ilmu ekonomi menjadi salah satu persyaratannya. Kedua, secara teknis, demi mencapai idealisme dalam berfatwa, maka fatwa kolektif merupakan cara atau formulasi yang cukup efektif dalam perkembangan masalah-masalah kontemporer. Dengan alasan, permasalahan kotemporer yang cukup variatif dan komplikatif disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia, sehingga hal tersebut termasuk kategori permasalahan kontemporer yang tidak cukup untuk dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Namun tidak menutup kemungkinan bagi seorang alim ulama untuk menetapkan sebuah fatwa selama ia juga memiliki komptensi dalam hal yang dijadikan permasalahan. Mengambil pendapat dari Ma’ruf Amin bahwa tidak semua aktifitas perekonomian yang didasarkan pada prinsip saling rela secara otomatis dianggap sah oleh ajaran islam. Prinsip saling rela ini harus sesuai dengan kaidah ajaran islam. Sehingga tetap dianggap tidak sah aktifitas pererkonomian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menyatakan saling rela terhadap yang dilarang oleh ajaran islam. Sebab saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang al-ridha maknun li al- „aqdi wa laisa sababan li al-billi. Dalam hal ini, acuan dalam menentukan halal dan haram dalam aktifitas perekonomian adalah dalil-dalil keagamaan nushush syar’iyyah, bukan adanya saling rela. Bagaimanapun sikap saling rela tidak bisa menjadi alasan dibolehkannya katifitas perekonomian yang asalnya dilar ang oleh syari’at. Kontroversi dua pendapat yang memiliki argumen dan saling mengklaim kebenaran masing-masing, hendaknya dihadapi dengan sikap bijaksana tanpa menampakkan kecenderungan salah satu pihak. Kebijaksanaan itu akan tampak wujudnya apabila dalil ‘maslahat’ dari sisi ukhrawi dan atau duniawi diseimbangkan. 5 5 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Bayu Kencana, 2003, h. 129. 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis, dapat penulis simpulkan bahwa: 1. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah PLBSMulti Level Marketing MLM berbasiskan syariah yaitu sistem penjualan barang atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota mitra usaha yang bekerja atas dasar imbalan komisi danatau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap, yang mendasarkan sistem operasionalnya pada prinsip-prinsip syariah dengan menghilangkan aspek syubhat yang berlandaskan kepada tauhid, akhlak dan hukum muamalat. 2. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah PLBS dapat dikategorikan kedalam dua bentuk akad. Pertama, menurut isi fatwa Dewan Syariah Nasional, yaitu akad jual beli termasuk kedalam salah satu akad tijarah. Dalam hal jual beli ini, sisitem penjualan langsung berjenjang syariah dengan syarat adanya registrasi pembayaran tanda keanggotaan dianggap sah karena ini adalaha akad jual beli sehingga anggota harus melakukan pembelian terhadap objek akad. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid, yaitu akad wakalah, sehingga semua jenis pembayaran maupun pembelian produk sebagai syarat keanggotaan itu dilarang, karena dalam prakteknya dapat dikatakan sebagai praktek perwakilan atas perwakilan. 3. Terkait perbadingan kedua fatwa tersebut ditandai dengan adanya perbedaan syarat dan ketentuan aggota pelaksana akad antara wajib membayar objek akad dan tidak disyaratkan sama sekali untuk membeli objek akad maupun membayar sejumlah uang untuk mendaftar, selain itu juga terdapat bentuk ijtihad yang berbeda dari kedua fatwa diantaranya yaitu bentuk ijtihad secara kolektif dan ijtihad secara individu.

B. Saran-Saran

1. Untuk masyarakat pada umumnya diharapkan agar lebih selektif dalam menjalankan aktifitas perekonomian, tidak hanya melihat pada sisi keuntungan secara finansial saja namun hendaknya juga berhati-hati agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya maupun sistemnya. 2. Untuk para praktisi diharapkan fawa ini menjadi salah satu rujukan agar dalam mengeluarkan fatwa hendaknya disesuaikan dengan kaidah-kaidah ushul dan prinsip-prinsip syariah dan juga hendaknya memperhatikan rambu-rambu atau metodologi dalam menetapkan fatwa yang juga melihat dari berbagai aspek khususnya bagi kemaslahatan umat. 59 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ahmad Sudirman, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Bayu Kencana, 2003. Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969. Alma, Buchari, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami, Bandung: CV. Alfabeta, 2003. Amin, Maruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas Jakarta, Depok: 2008. Ar-Razaq, Ahmad ibn Syaikh Muhammad, Syarah Al- Qawa’id Al-fiqhiyyah, Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H 1989 M, Juz 1. Ash-Shiddeqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 As-S ajastani, Abu Daud Sulaiman ibn As’ats, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar Al- Kitab Al- ‘Arabi, tt, Juz 3. Badri, Muhammad Arifin bin, Sifat Perniagaan Nabi, Bogor: Darul Ilmi Publishing: 2012. Castrawijaya, Cecep, Etika Bisnis MLM Syariah, Tangerang Selatan;LPSI, 2013. Cholthier, Peter J, Multi Level Marketing A Practical Guide To Succesfulnetwork Selling, Meraih Uang Dengan Multi Level Marketing, Pedoman Praktis Menuju Network Selling Yang Sukses, terjemahan T. Hermaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Echols, John M dan Sadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Fatah, Rohadi Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Gitosudarmo, Indriyo, Manajemen Pemasaran, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Hart, Norman A, Dkk. Terj. Anthony Than dan Agustinus Subekti, Kamus Marketing, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007. http:id.wikipedia.orgwikibisnis . diunduh pada 23 Desember 2014 pada 22.15 WIB. http:mysharing.cocermat-memilih-mlm-syariah . diakses pada 02 Juni 2015 pada 10.44 WIB http:ustadzaris.comsekilas-tentang-syaikh-muhammad-shalih-al-munajjid . diakses pada Sabtu, 06062015 pada 19.44 WIB http:www.apli.or.idskema-piramida , diakses pada: Minggu, 19 April 2015, 18:46 WIB. http:www.islamqa.info , diakses pada 28 Februari 2015, pukul 10.32 WIB http:www.voa-islam.comislamiatsaqofah2010120612129MLM-dalam pandangan-Islam, diakses pada Minggu, 22 Maret 2015, pukul17.38 WIB. Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993. Kartajaya, Hermawan dan Sula, Muhammad Syakir, Syariah Marketing, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006. Kolter, Philip, Manajemen Pemasaran, Edisi millenium I, Jakarta: Pehallindo, 2002. Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah, Tangerang: Amal Actual, 2005. Lathif, Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media Group, 2008. Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011. Roller, David, How To Make Big Money InMulti Level Marketing, Menjadi Kaya DenganMulti Level Marketing, terjemahan waskito, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.