Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam

Syaikh Islam Ibn Taimiyah Rahimahullah berkata tentang perserikatan atau kerjasama antara 2 pelelang. Sesungguhnya Imam Ahmad telah mengabil dalil atas kebolehhan kerjasama tersebut dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang mengambil pakaian untuk dijual kemudia ia menyerahkannya kepada orang lain untuk dijual, kemudian hasil dari penjualan itu dibagi dua. Dan pendapat yang mensahkan bahwasanya jual beli lelang seperti kedudukan dagangannya pendagang da seluruh sewaan orang yang bekerja sama dan dari siapa diantara mereka agar meminta wakil, namun tidak ada wakil atas wakil, dan tempat terjadinnya perbedaan pendapat yaitu pada kerjasama pelelangan yang didalamnya terdapat akad, maka adapun Dan apabila setiap orang menjual dari apa yang diambilnya dan tidak memberi pada yang lain dan keduanya bekerjasama di dalam suatu usaha, itu boleh menurut dua pendapat yang paling jelas, dan adapun dengan pemberianya merupakan hal yang lebih dalam sewa menyewa sesuai dengan pekerjaan. Maka apabila mereka sepakat atas perkara yang disyaratkan baginya maka boleh hukumnya. Syaikh Shalih al-Munajjid mengambil pendapat dari Ibnu Taimiyah dan mengkategorikan akad penjualan langsung berjenjang termasuk ke dalam akad jual beli Tijarah dan wakalah. Akad dalam penjualan langsung dapat dikategorikan ke dalam akad jual beli apabila orang pertama menjual barang kepada orang kedua kemudian orang kedua menjualnya lagi kepada yang lain, dalam posisi tersebut orang pertama dapat memperoleh keuntungan dari orang 6 Fatwa Syaikh Shalih al-Munajjid No 170594 terakhir yang menjualkannya, maka akad tersebut boleh. Namun ketika dikategorikan sebagai akad wakalah, dimana orang pertama mewakilkan penjualan kepada orang kedua , kemudian orang keduan mewakilkannya lagi kepada orang berikutnya, itu dilarang karena dalam akad wakalah tidak boleh ada perwakilan atas perwakilan. Selain pendapat diatas juga terdapat pendapat Abdurrahman bin Shalih al-Athrom: Dari Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom berkata: telah mentarjih Syaikh Ibn As- Sa’di menguatkan kebolehan kerjasama apabila orang itu mengetahui keadaan mereka orang yang diajak bekerjasama, apabila tidak mengetahuinya maka tidak diperbolehkan. Karena orang itu tidak bisa mewakili semua orang, hanya saja orang-orang itu dapat mewakili salah satu diantaranya. Dibolehkannya kerjasama tersebut secara mutlak. Karena Syaikh Islam pernah menyebutkan bahwa kerjasama mereka itu termasuk kedalam Syirkah Abdan, dan adapun syirkah „abdan itu disyari’atkan sebagaimana yang tertera dalam hadits Abdullah bin Mas’ud, berkata: aku berserikat dengan Sa’ad dan Amar pada hari perang Badar dengan apa yang kami dapatkan tapi aku dan Amar tidak menerima mendatangkan apapun tanpa modal, Kemudian Sa’ad datang lagi bersama dua lelaki dan Rasul menetapkan kepada mereka atas demikian itu. Imam Ahmad berkata “Rasulullah SAW berserikat diantara mereka.” Berdasarkan pendapat ini yang menyatakan bahwa boleh adanya perwakilan atas perwakilan, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya beliau melakukan kerjasama bersama Sa’ad dan Umar pada hari badar dalam hal wakalah kemudian Rasulullah SAW diam tanda menyetujui hal tersebut. Selain itu Abdurrahman bin Shalih al-Athrom juga menjelaskan syarat perwakilan atas perwakilan, bahwasanya perwakilan atas perwakilan tersebut dibolehkan apabila mereka saling mengetahui deretan perwakilannya dan apabila tidak saling mengetahui maka hukumnya tidak boleh. Pendapat ini dijelaskan dalam kitab Al-wasathah al-tijariyah al-muamalat al-maliyah: 313. Mengambil pendapat dari Prof. Hasanuddin AF, MA, bahwasanya ikhtilaf ulama dalam beberapa permasalahan, salah satunya dalam persoalan muamalat akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda tergantung dari sisi mana ulama tersebut memandang suatu persoalan, dengan catatan tidak melanggar syariat-syariat yang berlaku dalam hukum Islam. 7

B. Kedudukan Fatwa

7 Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB. Berbicara tentang urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat Islam, tidak terlepas dari seberapa jauh kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat manusia. Al- Qur’an dan Al-Hadits pada dasarnya masih bersifat global, sehingga memerlukan perincian secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Al-Q ur’an dan Hadits Rasulullah saw. masih perlu ada penjabaran secara mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, sepanjang masalah itu bersifat zhanni. Sedangkan masalah-masalah dalil yang bersifat qhat’i ada dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama bahwa dalil-da lil qhat’i tidak perlu penjelasan secara merinci dan mendetail. Adapun pendapat kedua menyatakan dalil-dalil yang qhat’i pun masih perlu ada penjabaran dan analisis mendalam sepanjang tidak keluar dari penafsiran dan takwil-takwil yang telah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan kaidah yang berlaku. Alasan-alasan tersebut dapat dipahami, sebab pada umumnya umat belum mengetahui secara mendalam tentang isi yang terkandungdalam pernyataan Al- Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu, dalam konteks ini betapa pentingnya kehadiran fatwa keagamaan terutama masalah fiqhiyyah yang konkret dan bertanggung jawab. 8 Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam hukum Islam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan an-nushush as- syar’iyyah menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin 8 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 27. berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash agama telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Fatwa sebagai instrumen untuk menetapkan suatu hukum sangat penting posisinya dalam memberikan legitimasi dalam legalitas suatu transaksi ekonomi. Hal ini terjadi karena fatwa yang menjadi salah satu alternatif dalam memecah kebekuarn perkembangan hukum Islam, dapat dijadikan instrumen untuk menjawab setiap kejadian baru yang belum tercover dalam nash-nash syar’i ataupun dalam pendapat para ulama terdahulu. Padahal legalitas atau kepastian hukum dari aktifitas perekonomian tersebut merupakan suatu yang sangat penting, terutama bagi orang muslim, karena apapun aktifitas yang dilakukan oleh seorang muslim senantiasa harus sesuai dengan kaidah- kaidah syara’. 9 Adapun pengertian fatwa keagamaan menurut bahasa adalah jawaban suatu kejadian memberikan jawaban tegas terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. 10 Pada hakikatnya fatwa keagamaan merupakan hasil keputusan para ahli agama Islam dan ilmu pengetahuan umum yang berkaitan dengan keagamaan dalam memberikan, mengeluarkan dan mengambil keputusan hukum secara bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkritan terhadap umat manusia khususnya umat Islam dalam hal pemahaman, penalaran ajaran-ajaran Islam, dan bagaimana aplikasinya. 11 Para ahli fikih fuqaha telah banyak mengarang dan menulis tentang fatwa-fatwa keagamaan dalam bentuk dan corak-corak dari pelbagai 9 Maruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas Jakarta, Depok: 2008,h. 281. 10 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h. 7 11 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h.27. pendapatmazhab. Perbedaan pada masa kurun waktu juga mempengaruhi adanya persepsi dalam mengangkat suatu fatwa yang aktual dan bertanggung jawab. 12 Jika fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syariat nan suci yang diketahuinya. 13 Seorang tidak boleh berbicara masalah agama tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah SWT berfirman dalam Al- Qur’an surat Al-A’raf ayat 33, sebagaimana berikut:                              Artinya: Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengharamkan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. QS. Al- A’raf: 33 Dari satu sisi bentuk fatwa kontemporer pada abad modern ini dapat dibedakan kepada dua bentuk berdasarkan asal-usul lahirnya fatwa itu. Dua bentuk itu yaitu fatwa kolektif al-fatwa al- jama’i dan fatwa individu al-fatwa al-fardi.

1. Fatwa kolektifAl-Fatwa Al-Jama’i

12 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, h.11. 13 Al-Fatwa Asy-Syar Fi Al-Masa il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Fatwa-Fatwa Terkini 2, edisi Indonesia, terjemahan Hanif Yahya dan Amir Khamzah Fahrudin. Darul Haq: Jakarta, 2007. h. 192