Pengaruh Variabel Makroekonomi terhadap Imbal Hasil Saham

2.6. Pengaruh Variabel Makroekonomi terhadap Imbal Hasil Saham

a. Pengaruh Suku Bunga pada Imbal Hasil Saham

Secara teoritis terdapat hubungan yang negative antara suku bunga dengan imbal hasil saham. Hal ini dapat dimaklumi karena investor selalu dihadapkan pada berbagai macam alternative investasi, apakah akan berinvestasi pada saham untuk memperoleh imbal hasil berupa dividend dan atau capital gain atau menginvestasikan dananya pada pasar uang, yang mengandalkan imbal hasilnya pada tingkat suku bunga. Apabila suku bunga meningkat, maka para investor lebih tertarik menginvestasikan dananya di pasar uang, dengan harapan hasil yang diperoleh investor dari bunga akan lebih besar dari pada imbal hasil saham. Sebaliknya, pada saat suku bunga turun, maka tidaklah menarik untuk melakukan investasi di pasar uang, sehingga lebih menguntungkan bagi investor untuk menginvestasikan dananya di pasar modal (saham), karena imbal hasilnya lebih besar.

Pentingnya suku bunga dalam investasi menjadi perhatian bagi beberapa ahli. Bodie et al (hal. 213, 1993) menganggap bahwa variable makroekonomi tyang paling penting dalam pengambilan keputusan investasi adalah suku bunga Pentingnya suku bunga dalam investasi menjadi perhatian bagi beberapa ahli. Bodie et al (hal. 213, 1993) menganggap bahwa variable makroekonomi tyang paling penting dalam pengambilan keputusan investasi adalah suku bunga

Dalam kondisi suku bungan yang tinggi, disarankan untuk melakukan investasi pada real assets, seperti tanah, bangunan, atau emas. Sementara pada saat bunga rendah, lebih menguntungkan untuk mel;akukan investasi pada longterm bonds atau saham, mengingat harga surat berharga tersebut meningkat, terutama saham, sehingga kesempatan untuk memperoleh imbal hasil lebih besar.

b. Pengaruh Inflasi pada Imbal Hasil Saham

Seperti halnya suku bunga, inflasi juga menjadi perhatian bagi para ahli dan para manajer portofolio. Amling (hal. 70, 1989) berpendapat bahwa jika laju inflasi diperkirakan meningkat pada waktu yang akan datang, maka hal ini akan berpengaruh pada imbal hasil saham. Sebaliknya, jika laju inflasi yang menurun akan memberikan pertanda yang baik pada imbal hasil saham.

Selain itu, menurut Cotte et al (hal 121, 1989), inflasi dianggap sebagai kekuatan ekonomi yang paling mengganggu investor pada akhir 1960-an hingga awal 1980-an. Mengingat dampaknya yang sangat besar pada aktivitas perekonomian, seperti menurunnya laba perusahaan, meningkatnya suku bunga dan turunnya harga saham serta mendistorsi imbal hasil saham di pasar modal.

Fama (hal. 14, 1981) menyatakan bahwa economic shocks (seperti kenaikan harga minyak) secara bersamaan dapat menyebabkan peningkatan pada laju inflasi dan menurunkan expected real earnings (dan dividen). Sehingga dapat disimpulkan bahwa inflasi akan menurunkan imbal hasil saham.

c. Pengaruh PNB pada Imbal Hasil Saham

PNB yang merupakan indicator ekonomi yang memberikan informasi mengenai jumlah agregat barang dan jasa uang telah diproduksi oleh ekonomi nasional untuk suatu periode tertentu, biasanya satu tahun, sangat mendukung PNB yang merupakan indicator ekonomi yang memberikan informasi mengenai jumlah agregat barang dan jasa uang telah diproduksi oleh ekonomi nasional untuk suatu periode tertentu, biasanya satu tahun, sangat mendukung

2.7. Arbitrage Pricing Theory (APT) Arbitrage Pricing Theory (APT) merupakan model ekuilibrium yang menjelaskan bahwa tingkat keuntungan saham dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam APT baik jumlah maupun jenisnya belum diketahui, namun diasumsikan pula bahwa hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan tingkat keuntungan saham adalah linier (Fabozzi, hal. 267, 1996).

APT mempergunakan prinsip the law of one price, dimana dua aset yang memiliki karakteristik yang sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Apabila aset dengan karakteristik yang sama tersebut dinilai dengan harga yang berbeda, maka akan muncul peluang arbitrase, yaitu memperoleh laba tanpa risiko dengan cara menjual aset yang bernilai tinggi dan dengan waktu yang bersamaan membeli aset yang memiliki karakteristik sama namun nilainya lebih rendah (Sharpe et al, hal 134, 1995).

Menurut konsep APT tingkat keuntungan dari setiap sekuritas yang diperdagangkan di pasar saham (bursa) terdiri dari dua komponen. Pertama, tingkat keuntungan normal atau yang diharapkan dan merupakan bagian dari tingkat keuntungan aktual yang diharapkan oleh pemegang saham. Tingkat keuntungan tersebut dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki oleh para pemodal. Kedua, adalah tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko. Bagian tingkat keuntungan ini berasal dari informasi yang bersifat tidak terduga. Secara formal tingkat keuntungan saham dapat dituliskan sebagai berikut (Ross et al. hal. 288, 2002):

R  R  U …………………………………………………………… 2.1 R  R  U …………………………………………………………… 2.1

: Tingkat keuntungan aktual saham R

: Tingkat keuntungan yang diharapkan saham U

: Bagian keuntungan tak terduga

Dari persamaan 2.1, keuntungan yang diharapkan R merupakan tingkat keuntungan yang telah diperkirakan oleh para investor atas dasar berbagai

informasi yang dimiliki investor di pasar saham sehingga tidak ada faktor surprise. Sedangkan bagian keuntungan yang tak terduga U merupakan keuntungan yang dihasilkan dari adanya informasi baru dalam pasar saham yang tidak terduga sebelumnya (surprise factor).

Bagian keuntungan yang tak terduga atau terantisipasi, yaitu yang berasal dari informasi tak terduga (faktor surprise), merupakan risiko yang dihadapi oleh para investor. Sumber risiko tersebut dapat berasal dari faktor yang mempengaruhi semua atau banyak perusahaan (systematic risk), tetapi ada pula yang spesifik perusahaan tertentu saja (unsystematic risk). Dengan membagi faktor surprise menjadi dua bagian, maka persamaan tingkat keuntungan yang diperoleh investor dapat ditulis menjadi (Ross et al. hal. 288, 2002):

R  R  U , dan ……………………………………………………….. 2.1 U m   , maka ……………………………………………………………. 2.2

R  R  m   ………………………………………………………….. 2.3