Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan

2. Kewenangan PPAT dikaitkan dengan Uang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB Sebagai Uang Negara dan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 1 UU BPHTB, menyebutkan bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPATNotaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPATNotaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak SSB dan menunjukkan aslinya. Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang-undang juga tidak mengatur, bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB. Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada. Dengan demikian, kewenangan maupun tanggung jawab PPAT berkaitan dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sesungguhnya hanya sebatas melakukan penandatanganan atau pengesahan terhadap SPPD-BPHTB sebelum ditanda tanganinya akta peralihan yang diinginkan para pihak. Jadi tanggung jawab PPAT bukan menjadi tempat pembayaran pajak BPHTB, maka sebaiknya PPAT menolak dan menyarankan serta menghimbaukan kepada para kliennya untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB di Dinas Pendapatan Daerah terlebih dahulu sebelum menandatangani akta peralihan hak atas tanah. Lebih lanjut, dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat 1 Undang-undang BPHTB. Dalam suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk melakukan pemalsuan terjadi. Dari hasil penelitian penulis kasus Pelaku, SH Ssebagai NotarisPPAT telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Akan tetapi tidak pernah mebayarkannya ke kas negara sebaliknya notaris telah melakukan pemalsuan surat setoran bea SSB perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak SSP. Sebagaimana dalam Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. PPATNotaris ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh Pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan dimaksud. Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, Pejabat Lelang dan Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-undang, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat 3 dan Pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 dan UU PDRD: Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dalam pelaksanaan Undang-Undang tentang BPHTB mempunyai tugas pokok dan fungsi membuat serta menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan setelah subyekwajib pajak BPHTB menyerahkan bukti penyetoran biaya pajak ke Kas Negara. Kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah melaporkan pembuatan akta Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 sepuluh bulan berikutnya. 1 Menurut Habib Adjie, apabila akta PPAT telah dapat menjawab pertanyaan mengenai telah terpenuhi kecakapan dan kewenangan sedang Kantor Pertanahan masih memerlukan persyaratan yang berkaitan dengan terpenuhinya kecakapan dan kewenangan, maka Kantor Pertanahan akan ikut bertangung jawab atau setidak-tidaknya telah mengurus sesuatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab PPAT. 2 Dalam UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti setoran pajak berupa SSB. Dalam penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak SSB dan menunjukkan aslinya. Berdasarkan UU PDRD, bahwa kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPATNotaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPATNotaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu, salah satu tugas Notaris disini 1 Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT Citra Aditya Bandung, Bandung, 2009, h 16. 2 Ibid berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undang- undang juga tidak mengatur bahwa kewenangan PPAT untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB. 3 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada. 4 Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris telah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang BPHTB, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPATNotaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima penitipan uang pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya. Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya. Sebelum menjelaskan lebih lanjut terkait adanya penyalahgunaan wewenang dalam pemungutan BPHTB dalam kasus Pelaku, ada baiknya 3 Hasil wawancara dengan Pelaku, NotarisPPAT, Semarang, 4 April 2016 4 Hasil wawancara dengan Pelaku, NotarisPPAT, Semarang, 4 April 2016 disamakan persepsi bahwa pemungutan pajak apapun harus berdasarkan hukum. Selanjutnya, harus pula disepakati bahwa dasar hukum atau legalitas pajak dan retribusi daerah adalah peraturan daerah. Artinya, selama tidak ada peraturan daerah, maka pungutan apapun bentuknya termasuk pungutan liar, ilegal, dan masuk kategori perbuatan melawan hukum. Untuk menyamakan persepsi tersebut, maka menurut Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang. Artinya, negara dengan kekuasaannya tidak bisa sewenang-wenang memungut pajak apapun tanpa ada dasar hukum atau undang-undang. Menurut Sugiharto bahwa peningkatan pendapatan dari bidang pajak, dapat dilakukan dengan menetapkan strategi yang tepat dalam pemungutan pajak, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak antara lain adalah asas dalam pemungutan pajak. 5 Dalam pemungutan pajak terkait beberapa asas yakni asas yuridis, ekonomis dan finansial: 1 Asas Yuridis Menurut asas ini untuk menjamin bahwa pemungutan pajak mencerminkan keadilan maka hukum pajak harus memberikan jaminan hukum yang nyata bagi Negara maupun bagi warganya, oleh karena itu maka pajak yang dipungut untuk kepentingan negara harus berdasarkan 5 Sugiharto, Op. cit, 2003, hal 37 undang-undang. Di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak untuk kepentingan negara adalah Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. 2 Asas Ekonomi Asas ekonomi lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat, untuk itu maka pemungutan pajak diupayakan tidak menghambat kelancaran perkembangan ekonomi juga akan selalu memperhitungkan biaya untuk melakukan pemungutan pajak collection ratio relevan dengan jumlah penerimaan yang diharapkan. Selain itu tidak kalah pentingnya asas ekonomi dalam pemungutan pajak ini justru lebih dekat dengan fungsi pengaturan regulerred. 3 Asas Finansial Suatu pemahaman bahwa fungsi pajak adalah fungsi budget, yaitu fungsi pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, sehubungan dengan itu agar hasil pemungutan pajak besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya. Mengingat bahwa pajak adalah pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah kepada wajib pajak tanpa kontraprestasi secara langsung yang dapat ditunjuk, menurut Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti bahwa pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sebagai berikut: 1 Asas legal, berdasarkan asas ini setiap pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Oleh karena itu setiap peraturan perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah, maupun peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam undang- undang”. 2 Asas kepastian hukum, menurut asas ini ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan dan kebingungan, tetapi harus jelas dan mempunyai pengertian sehingga tidak bersifat ambigu. Ketentuan-ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak. 3 Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintah dan pembangunan. Oleh karena itu suatu pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pemungutannya justru lebih besar dari hasil penerimaan pajaknya sendiri. 4 Asas non distorsi, berdasarkan asas ini Pajak yang dipungut harus tidak menimbulkan distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi, pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan dampak kelesuan ekonomi dan menghambat perkembangan ekonomi tetapi sebaliknya dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangan dunia usaha. 5 Asas kesederhanaan, dalam hal ini yang dimaksud bahwa aturan-aturan perpajakan, harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat wajib pajak, maupun oleh fiskus sebagai pihak-pihak yang terkait dengan perpajakan. Sederhana dalam sistem maupun tata caranya sehingga wajib pajak mudah dalam melaksanakan kewajibannya maupun haknya. Aturan-aturan pajak yang rumit disamping akan menyulitkan dalam pelaksanaan perpajakan juga akan menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat celah hukum loopholes dan memudahkan terjadinya penghindaran pajak, disamping itu juga dapat menimbulkan keengganan bagi wajib pajak. 6 Asas-asas tersebut akan dijadikan notaris, untuk memposisikan diri, menimbang kebenaran informasi yang diberikan, hal ini berkaitan dengan landasan logis dari Notaris dalam menilai suatu transaksi, logis dalam mengkaji nilai riil dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, dengan pertimbangan Undang-Undang 22 tahun 1999 yang disempurnakan oleh Undang-Undang 32 tahun 2004 yang intinya terdapat pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, diharapkan terciptanya kemandirian pengelolaan pemerintahan daerah melalui sistem otonomi daerah. Atas dasar itulah, maka Pemerintah Pusat mengalihkan beberapa pemungutan pajaknya kepada 6 Miyasto dalam Dewi Kania Sugiharti , Op. cit, 2005, hal 20 Pemerintah Daerah, salah satunya adalah Pajak BPHTB dengan dasar Undang-Undang 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Merujuk dalam kasus ini, maka suatu transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, pembeli biasanya karena tidak mau repot, menitipkan pembayaran BPHTB kepada Notaris atau Pemalsu. Di sinilah peluang untuk menggunakan uang titipan tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian, belum tentu kesalahan selalu ada pada notaris. Karena, bisa saja pemalsuan dilakukan justru oleh pembelinya sendiri. Dengan cara memalsukan SSB dan SSP tersebut, yang mana telah dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang dapat dianalisis, sebagai berikut : Bahwa pada bulan November sampai dengan Desember 2010 atau setidak-tidaknya pada tahun 2010 di Kota Semarang telah diduga terjadi tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB SSB dan PPh Final SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 yang mengakibatkan kerugian Negara Rp 823.536.000,00 delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah yang dilakukan oleh Pelaku. Pelaku, dkk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 dan atau pasal 9 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 15 UU Rl No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Rl No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 88 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaris Pelaku melakukan proses pembalikan nama berikut pembayaran pajak BPHTB dan PPh Final sebagaimana diuraikan diatas terdapat perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang di mana proses pembalikan nama sertifikat HM No. 295 Kalibanteng Kulon tersebut, Pelaku secara sadar menyalahgunakan kewenangan selaku PPAT yang mempunyai kewenangan melakukan proses peralihan hak atas tanah dan bangunan tetapi sekaligus menawarkan diri untuk jasa pembayaran BPHTB dan PPh Final atas peralihan hak tersebut. Namun alih-alih Pelaku membayarkan biaya BPHTB dan PPh Final tersebut, Pelaku justru meminta bantuan sdr. Pemalsu Pensiuan pegawai BPN Kota Semarang untuk dibuatkan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh Final palsu dan menggunakan bukti setor pembayaran BPHTB dan PPh Final yang palsu fiktif tersebut dengan secara sadar dan diketahui oleh Pelaku . Bahwa uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris PPAT dari wajib pajak tersebut adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara atau masuk pengertian keuangan Negara yang wajib disetorkan ke Kas Negara oleh Pelaku selaku Notaris PPAT, dalam jumlah yang sama. Bahwa uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final sejumlah Rp. 823.536.000,00 yang berada dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris PPAT adalah merupakan uang yang seharusnya disetorkan ke Negara atau masuk keuangan Negara karena uang setoran pajak BPHTB dan PPh Final adalah menjadi hak Negara, meskipun secara fisik belum dalam penguasaan Negara melainkan masih dalam penguasaan Pelaku selaku Notaris PPAT disebabkan karena kedudukannya sebagai PPAT yang menyelesaikan akta-akta peralihan hak atas tanah, yang menawarkan diri kepada para wajib pajak untuk membayarkan uang pajak tersebut. Sifat uang Negara menjadi melekat timbul atas sejumlah uang Rp. 823.536.000,00 itu terjadi adalah sejak wajib pajak yang in casu pihak wajib pajak mempercayakan dan menyerahkan uang itu pada dan diterima Notaris PPAT, sehingga pejabat yang karena kedudukannya sebagai PPAT boleh menerima titipan untuk disetor ke Kas Negara tentunya melalui Bank Persepsi. Maka terhadap uang yang seharusnya disetorkan ke Negara tidak dibenarkan melakukan perbuatan hukum yang lain dari pada perbuatan hukum yang menjadi kewajiban hukumnya untuk dilakukan harus dilakukan oleh seorang pejabat in casu notaris PPAT Pelaku terhadap uang itu in casu menyetorkannya ke Kas Negara. Maka apabila melakukan perbuatan tidak menyetorkan uang titipan yang seharusnya milik Negara sama dengan perbuatan yang melanggar kewajiban hukum yang artinya sama dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan, yang jika dapat menimbulkan lenyap hilang sebagian atau seluruhnya uang tersebut akibat perbuatan itu, sama artinya dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sama artinya dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi, permasalahan yang dibahas dalam kasus yang Penulis uraikan di atas juga merupakan kasus penggelapan uang titipan pembayaran pajak BPHTB dan PPh yang diduga dilakukan oleh Pelaku terhadap proses jual SHM No. 295 Kalibanteng Kulon serta menggunakan bukti setor palsu BHTB SSB dan PPh final SSP tersebut untuk syarat kelengkapan berkas pendaftaran peralihan hak SHM No. 295 Kalibanteng Kulon. Akibat perbuatan tersebut, Negara mengalami kerugian sebesar Rp.823.536.000,00,. Mengkaji kembali terhadap sejak diberlakukannya Undang-Undang 28 tahun 2009, pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat dialihkan kepada Pemerintah Daerah sejak 1 Januari 2011, seperti yang tercantum dalam Pasal 180, bahwa Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetap berlaku paling lama 1 satu tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini. Ketentuan Pasal 180 tersebut tidak serta merta pada 1 Januari 2011 itu Pemda bisa langsung memungutnya, sebab ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana isi Pasal 184, bahwa peraturan pelaksanaan atas Undang- undang ini ditetapkan paling lambat satu tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Dalam penjelasan dari Pasal 184 yang menyebutkan, peraturan pelaksanaan atas Undang-undang ini Undang-Undang 28 tahun 2009 ada dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-495MK2010, bahwa persiapan yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB antara lain : Landasan hukum pemungutan BPHTB berupa Peraturan Daerah tentang BPHTB; Sistem dan Prosedur pemungutan BPHTB, yang ditetapkan dengan peraturan Kepala Daerah; Data NJOP, untuk validasi pembayaran BPHTB; dan Melakukan sosialisasi tentang tata cara pemungutan BPHTB kepada pihak terkait termasuk Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, Notaris, Kantor Lelang, dan kantor Pertanahan. Dalam praktek sehari-hari, Wajib Pajak yang mewakilkan kepada NotarisPPAT, menyetorkan BPHTB yang terhutang atas transaksi yang dibuat dihadapannya Jual Beli ke Bank persepsi yaitu Bank BPD Jateng dan Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2011, Surat Setoran BPHTB ini harus diteliti lebih dahulu verifikasi oleh Dinas Pendapatan Kota Semarang, baru dapat dipergunakan sebagai lampiran dari akta pemindahan hak untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Saat ini kegiatan verifikasi ini sudah mulai mengarah kepada hal-hal yang sifatnya kolektif. Penelitian dilakukan mencakup 2 hal, yaitu : 1 Kebenaran dari informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah SSPD, 2 Kelengkapan Dokumen pendukung Surat Setoran BPHTB. Berdasarkan pada Kasus Pelaku, dimana masalah yang timbul disebabkan karena tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan NotarisPPAT melalui kedudukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum untuk menunjang tata cara pembayaran BPHTB. Faktor utama tersebut, lahir dari praktek notaris, karena memang permasalahan-permasalahan tersebut sangat menghambat tugaskerja notaris. Sanksi terhadap notaris sangat jelas tetapi kenyataannya dukungan administrasi guna mengefektifkan peran notaris dalam pemungutan BPHTB hadiah tidak maksimal, contoh lain adalah ketentuan praktek harus dibayar dulu BPHTB baru dilakukan penandatangan akta, padahal ketentuan lain sebelum akta ditandatangani belum terjadi peralihan hak, sehingga status kepemilikan antara pembayaran BPHTB dan sebelum penandatangan akta, tanah masih milik penjual, karena BPHTB belum merupakan bukti terjadinya peralihan objek tanah dan bangunan yang dimaksud. Dasar-dasar pemikiran tersebut yang perlu direvisi kembali dalam pola administrasi baru menyangkut pengaturan dalam pemungutan BPHTB. Secara hukum, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang penggunaan wewenang yang melanggar hukum harus dilihat dari segi sumber atau lah irnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan” geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no authoritu without responbility. 7 Ini membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Menurut L.J.A Damen, yang mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas specialiteitsbeginsel yakni asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu ”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. 8 7 Nur Basuki, Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Palangkaraya : Laksbang Mediatama, hal 75-76 8 L.J.A Damen, 2005, hal 57 Di dalam hukum administrasi asas legalitaskeabsahan legaliteit beginselwetmatigheid van bestuur mencakup tiga aspek, yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang –undangan asas legalitas, karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya. Indriyanto Seno Adji , memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 tiga wujud yaitu : 1 Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, 2 Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan- peraturan lainnya, 3 Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. 9 Cara dan metode tindak kejahatan korupsi juga semakin canggih, kejahatan ini semakin bisa mengikuti perkembangan zaman dan juga mengikuti perkembangan aturan yang ada. Kejahatan ini bermetamorfosis dengan baik dan semakin rapi dalam prakteknya. Perilaku kejahatan ini mewabah tidak hanya dalam sisi masyarakat yang secara financial membutuhkan uang atau dengan kata lain melakukan kejahatan korupsi berdasarkan terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan cenderung mewabah pada pegawai pemerintah yang dalam sisi ekonomi lebih mapan dan memiliki pendapatan yang tetap. Public officials’ excessive desire for material wealth has been deemed as among the major causes of the rampaging corruption in Indonesia. This is believed to have contributed to the high demand for civil servant positions in the government. In fact, evidence suggests that there is even an underground market for those who are willing to pay a huge amount of money to succeed in civil servant recruitments. 10 Sudut pandang ini timbul atas terlalu banyaknya kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi yang hanya melihat korupsi merupakan kejahatan yang didasarkan pada subjeknya yaitu manusia yang merupakan makhluk ekonomi yang memiliki kebutuhan. Salah satu upaya yang marak dilakukan adalah dengan berbagai perubahan kebijakan pemerintah secara 9 Lilik Mulyadi, Op. cit, 2007, hal 5 10 Hendi Yogi Prabowo, Op. cit, 2014, hal 313 merata maupun pihak swasta untuk meningkatkan gaji Pemalsu, yang terbukti belum maksimal untuk menekan angka kejahatan korupsi. Oleh karena itu, menempatkan korupsi dalam kerangka manusia sebagai makhluk ekonomi atau homo economicus sungguh tidak memadai. Barangkali karena kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secepat harapan kita semua. Praktis hampir semua kebijakan pemberantasan korupsi dirancang berdasarkan kerangka pemikiran yang menggunakan asumsi homo economicus itu. Korupsi diberantas dengan menaikkan gaji dan meningkatkan hukuman untuk membuat efek jera. Bila penghasilan resmi dinaikkan, maka seseorang tidak akan tergoda untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara korupsi. Demikian juga ketika ancaman hukuman diperberat, seseorang tidak akan berani lagi melakukan korupsi. 11 Namun penegakan hukum tidak akan pernah berhenti begitu saja, sebab bagaimanapun juga hukum akan terus mengikuti kemajuan jaman dan kebutuhan masyarakat. Metamorfosis hukum sama halnya juga dengan kejahatan, selalu akan berubah seiring jaman. Dalam hal ini yaitu permasalahan kejahatan korupsi, hukum di Indonesia juga terus berkembang. Berdasar pada salah satu tuntutan dari rakyat Indonesia adalah pemberanasan korupsi, kolusi dan nepotisme KKN yang diawali dengan adanya Ketetapan 11 J Danang Widoyoko, Op. cit, 2013, hal v MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lalu secara yuridis normatif berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana pemberantasan korupsi mulai tercipta, dinataranya yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, selanjutnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah ke dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sehingga saat ini Indonesia memakai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu cara untuk memberantas korupsi dengan pendayagunaan hukum pidana. Dalam tata hukum Indonesia, istilah Korupsi sudah dikenal setelah diundangkan Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan dan pembaharuan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kini Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sejak berlakunya KUHP sejak Pemerintah Kolonial Belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, S 1915 No. 732, mulai berlaku 1 Januari 1918 sudah ada pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana termasuk dalam hukum pidana khusus didayagunakan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu sarana penal yang memerlukan sarana lain non-penal secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian perundang-undangan pidana dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya. 12 Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya. Mengingat tipe atau kualitas sasaran yakni korupsi yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan dilihat dari pelaku dan modus operandinya sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Bahkan dalam perkembangannya, bukan hanya secara peraturan perundang-undangan saja yang dimaksimalkan dan 12 http:dickyfh.blogspot.com201206vbehaviorurldefaultvmlo_6184.html semakin berkembang, namun juga instansi dan metode dari para aparat penegak hukum untuk dapat memberantas korupsi yang merajalela di Indonesia.

C. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada