mghari pada hari kedua dan 500 mghari pada hari ketiga dan keempat. Tetapi pada hari keempat kadar hemoglobin pasien turun menjadi 6,2 gdL. Pasien yang
tidak memberikan respon atau menunjukan resistensi pada terapi firstline harus menjalani evaluasi ulang diagnosia untuk kemungkinan adanya penyakit penyerta,
karena AIHA terkait dengan beberapa penyakit seperti tumor ganas, ulcerative colitis, benign ovarian teratomas, atau warm autoantibodi IgM sering menjadi
penyebab resistensi steroid Zanella et al, 2014. Selain DRP tidak perlu obat, pada kasus ini juga ditemukan terdapat
risiko interaksi antara pantoprazole dan mikofenolat mofetil. Penjabaran telah dibahas di kasus 1.
Rekomendasi untuk pasien kasus 2 ini yaitu sebaiknya terapi dengan metilprednisolon ditambah dengan obat secondline atau diganti dengan terapi
secondline seperti rituximab 100 mg dosis pasminggu selama 4 minggu, azathioprine 100-150 mghari, siklofosfamid 100 mghari, atau mikofenolat
mofetil Zanella et al, 2014. Selain itu penggunaan mikofenolat mofetil dan pantoprazole diberi jeda kurang lebih 1-2 jam untuk menghindari risiko interaksi
obat. Kemudian dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek
samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waktu panjang.
3. Kasus 3
Pasien merupakan seorang laki-laki berusia 61 tahun dengan berat badan 49 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas dan terdiagnosis AIHA. Hasil
pemeriksaan darah pasien menunjukan kadar hemoglobin 6,7 gdL yang termasuk dalam kategori anemia berat World Health Organization, 2011 dan HCT 22.
Pasien menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon dosis 500 mg hari selama 3 hari, kemudian dosis diturunkan menjadi 250 mg hari hingga hari
pasien pulang sebagai terapi AIHA, pantoprazole dengan dosis 40 mghari untuk pencegahan peptic ulcer, dan chlorpromazine dengan dosis 12,5 mghari untuk
meredakan cegukan. Selain itu pasien juga menerima terapi suportif yaitu tranfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama 5 hari.
Tidak ditemukan DRP terkait terapi AIHA pada kasus ini. Terapi AIHA yang diterima pasien sudah sesuai dengan acuan. Tetapi sebaiknya tetap
direkomendasikan untuk dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek
samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.
4. Kasus 4
Pasien merupakan seorang wanita berusia 61 tahun dengan berat badan 42 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas, pucat, badan kuning sejak 4
hari, perut sebah, mual, nyeri ulu hati, dan pasien terdiagnosis mengalami AIHA cold. Pasien memiliki riwayat suspek hepatitis akut. Hasil pemeriksaan darah
ketika pasien datang menunjukan kadar hemoglobin 6 gdL yang termasuk dalam kategori anemia berat World Health Organization, 2011 dan HCT 14. Pasien
menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon dosis 500 mg hari selama 5 hari dan dilanjutkan dengan dosis 160 mghari selama tiga hari,
furosemid dosis 20 mghari sebanyak satu kali, dan ranitidin injeksi 100 mghari. Pasien juga menerima terapi suportif yaitu transfusi PRC. Pasien
dirawat di rumah sakit selama 9 hari. Kasus 4 menunjukan pemberian furosemid kurang dari dosis yang
seharusnya. Furosemid digunakan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan setelah melakukan transfusi. Pasien kasus 4 menerima furosemid dengan dosis 1
ampul perhari atau 20 mghari. Sedangkan dosis menurut literatur yaitu adalah 40- 80 mgdosis Hillyer et al, 2004.
Selain dosis kurang, pada kasus 4 ditemukan bahwa frekuensi pemberian ranitidin kurang dari frekuensi yang seharusnya. Ranitidin digunakan untuk
mencegah peptic ulcer yang
merupakan risiko efek samping dari
metilprednisolon. Pasien kasus 4 menerima ranitidin dengan dosis 1 ampul setiap 12 jam atau 50 mg x 2. Sedangkan menurut literatur dosis ranitidin yaitu 50 mg
setiap 6-8 jam perhari atau 150-200 mg perhari Oliva, Partemi, Arena, De Giorgio, Colecchi, Fucci et al, 2008.
Kasus 4 ditemukan terdapat risiko interaksi antara metilprednisolon dan furosemid. Metilprednisolon dan furosemid berinteraksi secara sinergisme
farmakodinamik dan interaksi bersifat minor dan tidak signifikan Medscape, 2015. Metilprednisolon dapat menyebabkan peningkatan efek kaliuretik dari
diuretik dan terjadi hipokalemia Liu et al, 2013. Rekomendasi untuk pasien kasus 4 yaitu perlu dipertimbangkan untuk
penyesuaian dosis furosemid agar terapi pencegahan yang diterima pasien lebih efektif, perlu dipertimbangkan untuk penyesuaian dosis ranitidin agar terapi
pencegahan yang diterima pasien lebih efektif, dan dilakukan monitoring kadar kalium untuk mencegah kemungkinan efek interaksi metilprednisolon dan
furosemid. Selain itu dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek
samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.
5. Kasus 5