Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE
2009-2014
Sylviana Hesti Putri Nugroho (128114044)
INTISARI
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kelainan hematologi dengan prevalensi 17:100.000. Termasuk dalam penyakit autoimun karena terdapat autoantibodi yang memperantarai terjadinya penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penatalaksanaan terapi untuk penyakit ini masih dalam tahap penelitian, sehingga terapi yang diberikan mengacu pada sejarah pengobatan AIHA yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA.
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan rancangan penelitian case series dan menggunakan data retrospektif. Data yang digunakan diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Kriteria usia pasien yaitu berkisar antara 26-45 tahun. Evaluasi DRPs dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan/recomendation).
Terdapat 15 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Kejadian AIHA lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (93%) dibanding laki-laki (7%). Obat yang paling banyak digunakan yaitu kelas terapi kortikosteriod (100%). Ditemukan 19 kasus DRPs, dimana kasus yang paling banyak terjadi adalah dibutuhkan obat tambahan sebanyak 11 kasus.
Kata kunci: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Usia Dewasa, Drug Related Problems (DRPs)
(2)
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE
2009-2014
Sylviana Hesti Putri Nugroho (128114044)
ABSTRACT
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an abnormally of hematological with a prevalence of 17: 100,000. Included in the autoimmune disease because there are autoantibodies which mediate the annihilation of red blood cells in the body. The organization of the therapy for this disease is still in the research progress, so that the treatment has been given mentioning to the history of medicine AIHA which has been done before. The aim of this study is to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in the therapeutic organization of adult patients with the primary diagnosis is AIHA.
This research is descriptive observational with case series study design and using retrospective data. The data used were taken from patients’ medical records with a primary diagnosis of AIHA in Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito period 2009-2014. Criteria from the patients’ ages are range between 26-45 years old. DRPs evaluation was conducted using SOAP method (Subjective, Objective, Assessment, Plan / Recommendation).
There are 15 cases that comply the inclusion criteria.In this case AIHA more common with female gender (93%) rather than men (7%). The most widely drug that used is corticosteroid therapy classes (100%). We found 18 episode of DRPs, which the most common is need additional drugs as much as 10 episode.
Keywords: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Adults, Drug Related Problems (DRPs)
(3)
i
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
ii
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
iii
Persetujuan Pembimbing
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA
(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
Skripsi yang diajukan oleh Sylviana Hesti Putri Nugroho
NIM: 128114044
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
(Yunita Linawati, M. Sc., Apt.) Tanggal ……….
(6)
iv
Pengesahan Skripsi Berjudul
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA
(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
Oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal: ………
Mengetahui, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Aris Widayati, M.Si., Apt.,Ph.D.)
Panitia Penguji Skripsi Tanda Tangan
1. Yunita Linawati, M. Sc., Apt. ... 2. Dr. Rita Suhadi, M. Si., Apt. ... 3. Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt. ...
(7)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
”Segala perkara dapat k
utanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku.”
Filipi 4:13
“Not all of us can do great things,
but we can do small things with
great love.”
-Mother Teresa-
“
Do your future self a favor and work hard now
”
Karya kecilku ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sepanjang hidupku Bapak dan Ibu,
Kakakku tercinta, Sahabat-sahabatku tersayang,
Serta
(8)
(9)
(10)
viii PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pasien Dewasa dengan Diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014” dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa moril, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Muhammad Syafak Hanung, Sp., A., M. Ph. selaku Direktur Utama dan drg. Rini Sunaring Putri, M. Kes. selaku Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit tersebut.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Yunita Linawati M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, bimbingan, perhatian, masukan dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
(11)
ix
4. Dr. Rita Suhadi, M. Si., Apt sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.
5. Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.
6. dr. Agnes Muryanti, Sp., A., M. Ph., Bapak Sudirman, Mbak Tri, Mas Ade, Mas Randy dan seluruh staff bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta atas kerjasamanya dalam membimbing dan mempersiapkan catatan rekam medis yang dibutuhkan penulis selama pengambilan data di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
7. Bapak dan ibu tersayang atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat, dan pengertian serta bantuan finansial hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Kakakku tersayang, Hermawan Hestu Nugroho atas kasih sayang, bimbingan, serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Teman-teman seperjuangan dalam tim Ope, Iwat, Dika untuk kerjasama, semangat, dan bantuan yang selalu dibagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
10.Sahabatku “Telektubbies” Momon, Sinta, Nonik, Nova, terimakasih untuk tawa, dukungan, dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.
11.Teman-teman kelompok Farmakoterapi Angga, Ella, Aris yang dengan kesabaran membantu dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.
(12)
x
12.Keluarga besar “Kost Griya Kanna” Cindya, Tasya, Mala, Bertha, Andrew, Celly, Novi, Yosef,, Malvin, David, Prima, Jose, Nanda, Nandus, Dika, Daniel, Edward, Sona, Rei, Gilang, Gerry, dan teman-teman lainnya yang telah memberikan keceriaan, kebersamaan, warna dalam hari-hari penulis serta menjadi keluarga kedua dalam hidup penulis.
13.Sahabat-sahabatku Flo, Alan, Noel, Miktam, Dana, Igreya, Arby, terimakasih untuk perhatian, kasih dan kesetiaan untuk menemukan harapan-harapan baru.
14.Teman-teman FSM B 2012 dan FKK A 2012, terimakasih atas kebersamaannya dan pengalaman yang tak akan terlupakan selama menjalani kuliah dan praktikum bersama peneliti.
15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis akan menerima setiap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 23 Mei 2016
(13)
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vii
PRAKATA ... viii
DAFTAR ISI...xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN...xvi
INTISARI ... xvii
ABSTRACT ... xviii
BAB I - PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan Masalah ... 2
2. Keaslian Penelitian ... 3
3. Manfaat Penelitian ... 3
B. Tujuan Penelitian ... 4
1. Tujuan Umum ... 4
2. Tujuan Khusus ... 4
BAB II – PENELAAHAN PUSTAKA... 5
A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) ... 5
B. Drug Related Problems (DRPs) ... 20
C. Metode SOAP ... 21
D. Keterangan Empiris ... 22
BAB III - METODE PENELITIAN ... 23
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 23
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 24
(14)
xii
D. Bahan dan Instrumen Penelitian... 26
E. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 27
F. Tata Cara Penelitian ... 27
G. Tata Cara Analisis Hasil... 28
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian ... 30
BAB IV – HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Karakteristik Pasien ... 31
1. Persentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur ... 32
3. Outcome Terapi ... 32
B. Profil Pengobatan ... 33
1. Terapi Farmakologi... 33
2. Terapi Suportif ... 40
3. Rute Pemberian ... 41
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 41
1. Kasus 1 ... 42
2. Kasus 2 ... 43
3. Kasus 3 ... 45
4. Kasus 4 ... 46
5. Kasus 5 ... 47
6. Kasus 6 ... 50
7. Kasus 7 ... 51
8. Kasus 8 ... 52
9. Kasus 9 ... 54
10. Kasus 10 ... 55
11. Kasus 11 ... 56
12. Kasus 12 ... 58
13. Kasus 13 ... 59
14. Kasus 14 ... 61
15. Kasus 15 ... 62
D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 64
(15)
xiii
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN...74
(16)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I Penelitian Terkait AIHA ... 3 Tabel II Klasifikasi AIHA ... 6 Tabel III Kategori dan Penyebab Utama Drug Related Problems 20 Tabel IV Distribusi kasus AIHA Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 32 Tabel V Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus
AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 32 Tabel VI Pemberian Transfusi pada Pasien AIHA Usia Dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014... 41 Tabel VII Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien
AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 41 Tabel VIII Gambaran DRPs pada Pasien AIHA Usia Dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
periode 2009 – 2014... 42 Tabel IX Hasil Evaluasi DRPs Kasus AIHA Pasien Usia Dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014... 48
(17)
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada wAIHA... 8 Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada cAIHA... 9 Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxymal
Cold Hemoglobinuria (PCH)... 10
Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT) dan Direct Antiglobulin Test
(DAT), Aglutinasi Sel Darah Merah dengan Serum IgG atau
Anti-C3... 12 Gambar 5. Terapi yang Disarankan Untuk AIHA primer maupun
sekunder... 13 Gambar 6. Alogaritma Terapi wAIHA pada Pasien Dewasa... 16 Gambar 7. Alogaritma Terapi cAIHA pada Pasien Dewasa... 19 Gambar 8. Skema Pemilihan Subjek Penelitian dii RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta... 26 Gambar 9. Persentase Kasus AIHA Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014... 31 Gambar 10. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit Pada Kasus AIHA Usia
Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
(18)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Ethic Committee Approval... 75
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 76 Lampiran 3. Kasus 1... 77
Lampiran 4. Kasus 2... 80
Lampiran 5. Kasus 3... 83
Lampiran 6. Kasus 4... 86
Lampiran 7. Kasus 5... 89
Lampiran 8. Kasus 6... 94
Lampiran 9. Kasus 7... 97
Lampiran 10. Kasus 8... 100
Lampiran 11. Kasus 9... 103
Lampiran 12. Kasus 10... 106
Lampiran 13. Kasus 11... 109
Lampiran 14. Kasus 12... 113
Lampiran 15. Kasus 13... 115
Lampiran 16. Kasus 14... 119
Lampiran 17. Kasus 15... 122
(19)
xvii INTISARI
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kelainan hematologi
dengan prevalensi 17:100.000. Termasuk dalam penyakit autoimun karena terdapat autoantibodi yang memperantarai terjadinya penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penatalaksanaan terapi untuk penyakit ini masih dalam tahap penelitian, sehingga terapi yang diberikan mengacu pada sejarah pengobatan AIHA yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA.
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan rancangan penelitian case series dan menggunakan data retrospektif. Data yang digunakan diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Kriteria usia pasien yaitu berkisar antara 26-45 tahun. Evaluasi DRPs dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan/recomendation).
Terdapat 15 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Kejadian AIHA lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (93%) dibanding laki-laki (7%). Obat yang paling banyak digunakan yaitu kelas terapi kortikosteriod (100%). Ditemukan 18 episode DRPs, dimana kejadian yang paling banyak terjadi adalah dibutuhkan obat tambahan sebanyak 10 episode.
Kata kunci: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Usia Dewasa, Drug Related Problems (DRPs)
(20)
xviii ABSTRACT
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an abnormally of hematological with a prevalence of 17: 100,000. Included in the autoimmune disease because there are autoantibodies which mediate the annihilation of red blood cells in the body. The organization of the therapy for this disease is still in the research progress, so that the treatment has been given mentioning to the history of medicine AIHA which has been done before. The aim of this study is to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in the therapeutic organization of adult patients with the primary diagnosis is AIHA.
This research is descriptive observational with case series study design and using retrospective data. The data used were taken from patients’ medical records with a primary diagnosis of AIHA in Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito period 2009-2014. Criteria from the patients’ ages are range between 26-45 years old. DRPs evaluation was conducted using SOAP method (Subjective, Objective, Assessment, Plan / Recommendation).
There are 15 cases that comply the inclusion criteria.In this case AIHA more common with female gender (93%) rather than men (7%). The most widely drug that used is corticosteroid therapy classes (100%). We found 18 episode of DRPs, which the most common is need additional drugs as much as 10 episode.
Keywords: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Adults, Drug Related Problems (DRPs)
(21)
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kasus gangguan
hematologi dimana terjadi penghancuran sel darah merah oleh auto-antibodi (DeLoughery, 2013). Terjadinya autoantibodi dapat dipicu oleh faktor genetik, infeksi, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif (Chaudhary and Das, 2014).
Angka kejadiannya pada orang dewasa yaitu 0,8-3 per 105/tahun, dengan prevalensi 17:100.000. AIHA dapat bersifat idiopatik (50%) atau sekunder dimana berhubungan dengan penyakit lain seperti penyakit autoimun (20%),
lymphoporoliferative syndroms (20%), infeksi, dan tumor (Zanella and Barcellini,
2014). Kasus AIHA yang paling sering terjadi adalah warm AIHA, mencapai 75% dari keseluruhan kasus (Gehrs and Friedberg, 2002).
Penyakit ini dapat terjadi pada seluruh usia termasuk orang dewasa. Mortalitas AIHA pada orang dewasa yaitu 10% pada 5 tahun pertama hingga 40% pada tahun ke-7 (Hoffbrand, Higgs, Keeling, Mehta, 2016).
Pengobatan AIHA meliputi obat-obat golongan kortikosteroid, splenektomi, dan obat-obatan imunosupresif (Zanella and Barcellini, 2014). Pengobatan AIHA sendiri masih dalam tahap penelitian, sehingga belum ada
guideline dengan rentang kepercayaan tinggi dan pengobatan yang dilakukan
mengacu pada sejarah pengobatan AIHA yang pernah dilakukan sebelumnya. Perlu dilakukan evaluasi terhadap Drug Related Problems (DRPs) untuk
(22)
mengetahui apakah terapi yang diterima pasien sudah efektif untuk mengobati penyakitnya.
Salah satu cara untuk menegetahui bahwa terapi yang diperoleh pasien sudah efektif yaitu dengan melakukan evaluasi drug related problems (DRPs). DRPs merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien yang dapat berpotensi mengganggu pencapaian outcome terapi yang diinginkan. DRPs sering terjadi terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu (polifarmasi) (Cipolle, Strand, and Morley, 2004).
Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta karena merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Yogyakarta. Terdapat 342 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito selama tahun 2009-2014, 20 diantaranya adalah pasien dewasa yang memiliki diagnosis utama AIHA. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan evaluasi terhadap terapi pasien AIHA khususnya usia dewasa dan memberikan gambaran DRPs yang lebih mendalam sehingga dapat meningkatkan rasionalitas pengobatan pada pasien AIHA usia dewasa di RSUP Dr. Sardjito.
1. Rumusan Masalah
a. Seperti apakah karakteristik pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014? b. Seperti apakah profil pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis
AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014?
(23)
c. Bagaimanakah DRPs yang terjadi pada pengobatan pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian terkait AIHA yang pernah dilakukan, antara lain:
Tabel I. Penelitian Terkait AIHA
No Pengarang Persamaan Perbedaan
1. Anggoro, J.
(2010)
Subjek penelitian: pasien dengan diagnosis AIHA di RSUP Dr. Sardjito
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan keamanan dan efektivitas antara transfusi PRC dan WRC pada pasien AIHA
2. Hoffman, C. P. (2006) Menggunakan data retrospektif dengan subjek penelitian pasien AIHA
Merupakan penelitian case series
Mengulas tentang penyakit AIHA dan komplikasinya
Tempat dan waktu penelitian dilaksanakan berbeda
3. Baumann
et al (2015) Menggunakan data retrospektif dengan subjek penelitian pasien AIHA
Merupakan penelitian case report
Subjek adalah wanita hamil
Tujuan penelitian mengulas kejadian AIHA pada wanita hamil dan efeknya bagi janin
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi mengenai DRPs pada penatalaksanaan terapi pasien AIHA usia dewasa dan menambah referensi pengetahuan terkait penyakit tersebut.
(24)
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi pada penatalaksanaan terapi AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan pada pasien AIHA usia dewasa.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi DRPs pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. 2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
b. Mengetahui profil pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
c. Mengevaluasi DRPs pada terapi AIHA pasien dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
(25)
5 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan gangguan hematologi
yang ditandai dengan adanya produksi autoantibodi yang menyerang sel darah merah melalui sistem komplemen dan sistem retikuloendotelial (Sarper, Kilic, Zengin, and Gelen, 2011). Autoantibodi yang terlibat yaitu immunoglobulin IgG dan IgM (DeLoughery, 2013).
1. Klasifikasi
AIHA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe berdasarkan reaktivitas suhunya, yaitu warm AIHA (wAIHA) dan cold AIHA (cAIHA). AIHA tipe cold dibagi lagi menjadi Cold Aglutinin Diseases (CAD) dan Paroxysmal
Cold Hemoglobinuria (PCH). Masing-masing jenis AIHA tersebut dibagi lagi
menjadi sub-bagian, yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Idiopatik yaitu AIHA tanpa adanya hubungan dengan penyakit lain, sedangkan sekunder yaitu AIHA yang memiliki hubungan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain yang menyertainya seperti infeksi atau penyakit lain seperti leukemia atau Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) (King and Ness, 2005).
AIHA juga dapat disebabkan karena penggunaan obat-obatan tertentu atau disebut dengan drug-induced hemolytic anemia. Obat golongan penisilin dan sefalosporin dapat menstimulasi formasi sel darah merah dengan autoantibodi. Obat-obatan yang dapat menginduksi autoantibodi sel darah merah antara lain, metildopa, procainamide, dan fludrabine (Reardon and Marques, 2006). Jenis ini
(26)
merupakan yang paling jarang terjadi, diperkirakan sekitar 1 dari 1.000.000 orang (Bass, Tuscano,and Tuscano, 2013).
Tabel II. Klasifikasi AIHA
Tipe Tipe
Immunoglobulin DAT Warm Autoimmune Hemolytic Anemia
Idiopatik
Secondary
Systemic Lupus Erythematosus Chronic Lymphocytic Leukimia
IgG
IgG dan/atau
C3 Cold Autoimmune Hemolytic Anemia
Cold Agglutinin Diseases(CAD)
Idiopatik
Secondary
Acute Transient (infeksi) Chronic (gangguan
lymphoproliferative)
Paroxymal Cold Hemoglobinuria (PCH)
Idiopatik
Secondary
Acute Transient (infeksi selain sipilis) Chronic (sipilis)
IgM
IgG
C3
C3
*DAT, direct antiglobulin test; Ig, immunoglobulin. 2. Patofisiologi
AIHA disebabkan oleh autoantibodi (IgG / IgM) yang berikatan dengan sel darah merah dam memulai penghancuran sel darah merah. Autoantibodi dapat diproduksi karenasistem imun tidak dapat mengenali host atau self-antigen dan berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B. Infeksi, faktor genetik, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif juga merupakan pemicu diproduksinya autoantibodi (Chaudhary et al, 2014).
a.Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)
Warm autoimmune hemolytic anemia (wAIHA) merupakan kasus AIHA
(27)
terlibat adalah IgG, yang dapat bereaksi secara optimum pada suhu 370C (Gehrs and Friedberg, 2002).
Sel darah merah yang dianggap antigen oleh IgG akan menyebabkan IgG menempel pada sel darah merah dan membentuk kompleks. Protein Rh merupakan antigen pada sel darah merah yang menjadi target sasaran IgG untuk berikatan dan membentuk kompleks. Interaksi antara sel darah merah dengan makrofag limpa dapat mengakibatkan fagositosis seluruh sel. Umumnya sebagian sel darah merah menempel pada makrofag dengan cara berikatan dengan reseptor Fc, kemudian bagian membran sel darah merah diinternalisasi oleh makrofag. Rusaknya area permukaan membran menyebabkan perubahan bentuk sel (Marcus, Attias, and Tamary, 2014).
Hilangnya sel darah merah dari sirkulasi dapat melalui mekanisme fagositosis atau lisis. Mekanisme tersebut terjadi karena adanya Fc
receptor-mediated immune adherence dan complement receptor-mediated hemolysis.
1)Fc Receptor-Mediated Immune Adherence
Antibodi menganggap sel darah merah sebagai antigen sehingga terbentuk kompleks autoantibodi dan mengaktifkan sistem komplemen. Fc reseptor (FcR) merupakan reseptor pada makrofag yang dapat membuat makrofag menempel pada kompleks IgG dan sel darah merah. Makrofag memiliki protein CR1 yang merupakan ligan bagi protein komplemen C3b sehingga C3b dapat berikatan dengan kompleks dan terjadilah fagositosis. Proses fagositosis oleh limfa tersebut menyisakan sferosit, yaitu eritrosit yang memiliki ukuran lebih bulat dan warna
(28)
yang padat dibandingkan eritrosit normal, serta bagian tengahnya berwarna pucat (Berentsen and Sundic, 2015).
Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Warm AIHA (Berentsen and Sundic, 2015)
2)Complement Mediated Hemolysis
Sel darah merah yang membentuk kompleks dengan IgG akan mengaktifkan sistem komplemen C1 kemudian terpecah menjadi C1q, C1r, dan C1s. C1qrs akan mengaktifkan C2 dan C4 yang selanjutnya mengaktivasi C3. Kemudian C3 membentuk C3b yang menempel pada kompleks antigen-autoantibodi sehingga sel darah merah menjadi lisis. Proses tersebut terjadi di liver (Brentsen and Sundic, 2015).
(29)
b.Cold-type Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA)
Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Cold AIHA (Berentsen and Sundic, 2015).
Patogenesis Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA) diperantarai antibodi IgM yang terjadi pada suhu rendah. cAIHA biasanya berhubungan dengan sistem golongan darah Ii dan kebanyakan spesifik pada antigen karbohidrat I. Kompleks terbentuk karenaterjadi pendinginan darah pada bagian akral (bagian ujung jari tangan dan kaki) sehingga menyebabkan CA berikatan dengan sel darah merah dan terjadi aglutinasi. Kompleks IgM-CA yang terikat pada antigen sel darah merah kemudian mengikat protein komplemen C1 sehingga jalur komplemen klasik lainnya teraktifasi. Kemudian C1 esterase mengaktifkan C4 dan C2, diikuti dengan aktivasi C3 konvertase dan membentuk C3a dan C3b. C3b ini lah yang akan berikatan dengan kompleks. Ketika kompleks
(30)
kembali ke bagian tubuh dengan suhu normal 370C, kompleks IgM-CA melepaskan diri dari permukaan sel darah merah, sehingga memungkinkan bagi sel darah merah yang teraglutinasi untuk memisahkan diri satu sama lain, sementara C3b tetap terikat dengan sel darah merah yang kemudian dibawa ke hati untuk difagosit (Marcus, Attias, Tamary, 2014).
1)Paroxymal Cold Hemoglobinuria (PCH)
Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxymal Cold Hemoglobinuria (PCH) (Berentsen and Sundic, 2015)
Paroxymal Hemoglobinuria (PCH) merupakan antibodi cold-reacting
dari sub tipe IgG. Kompleks IgG pada PCH mengikat protein pada permukaan sel darah merah, disebut protein P namun tidak mengaglutinasi sel darah merah. Terbentuk kompleks antara antigen dengan antibodi antieritrosit pada suhu 40C. Kompleks tersebut kemudian mengikata C1 pada suhu 370C sehingga terjadi
(31)
aktivasi C2 dan C4. Kemudian C3 konvertase teraktivasi dan dipecah menjadi C3a dan C3b. Kompleks antigen-antibodi antieritrosit yang berikatan dengan C3b akan mengaktifkan C5 sehingga menyebabkan terjadinya aktivasi protein komplemen C5b, 6, 7, 8, 9 dan kemudian terjadi lisis sel (Berentsen and Sundic, 2015).
3. Diagnosis
Gambaran klinis AIHA tidak jauh berbeda dari kasus anemia hemolitik lainnya, yaitu pusing, pucat, kelelahan, sesak napas dan jantung berdebar. Paparan suhu dingin pada kasus cold agglutinin dapat menyebabkan aglutinasi sel darah merah yang ditunjukkan adanya warna kebiruan pada jari kaki, jari tangan, telinga dan hidung namun warna dapat kembali lagi bila sudah tidak terpapar dingin lagi (Zeerlender, 2011).
Gambaran darah tepi laboratorium menunjukkan terjadinya proses hemolisis berupa sferositosis, polikromasi, maupun polikilositosis, sel eritrosit berinti, dan retikulositopenia pada awal anemia. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambar sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai trombositopeni (Permono dkk, 2005). Peningkatan kadar laktat dehydrogenase (LDH), indirect hyperbilirubinaemia, peningkatan retikulosit (retikulosis), dan penurunan haptoglobin mencerminkan terjadinya kerusakan sel darah merah. Jenis antibodi yang terlibat dapat diidentifikasi dengan penggunaan antibodi imunoglobulin G monospesifik untuk IgG dan C3D (Lencher et al, 2010).
(32)
Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT) dan Direct Antiglobulin Test (DAT), Aglutinasi Sel Darah Merah dengan Serum IgG atau anti-C3 (Zeerleder, 2011).
Tes imunohematologi yang dilakukan disebut dengan coomb’s test ditujukan untuk mendeteksi auto-antibodi terhadap sel darah merah. Direct
antiglobulin test (DAT) digunakan untuk mendeteksi antibodi pada permukaan sel
darah merah, sedangkan indirect antiglobulin test (IAT) untuk mengidentifikasi antibodi anti-eritrosit pada serum. Hasil positif DAT yang menunjukkan adanya aglutinasi sel darah dengan IgG saja atau sel darah dengan IgG dan C3d maka
(33)
termasuk dalam wAIHA, sedangkan jika terdapat aglutinasi antara sel darah dengan C3d saja kemungkinan besar termasuk dalam cAIHA (Zeerleder, 2011). 4. Terapi Farmakologi
Pengobatan untuk AIHA masih dalam tahap penelitian sehingga belum ada pedoman pengobatan (treatment guidelines) yang dipublikasikan untuk terapi AIHA. Namun terdapat beberapa kajian terapi untuk kasus AIHA (Lechner and Jager, 2010).
Gambar 5. Terapi yang Disarankan untuk AIHA Primer Maupun Sekunder (Lechner et al, 2010).
(34)
a. Transfusi dan Tindakan Suportif 1) Splenectomy
Splenectomy merupakan suatu prosedur operasi pengangkatan limpa
(Cadili and Gara, 2008). Merupakan terapi secondline yang paling efektif, biasanya digunakan pada pasien yang mengalami intoleran terhadap kortikosteroid (Zanella et al, 2014). Splenektomi dapat mengurangi penghancuran sel darah merah dan produksi auto-antibodi.
2) Transfusi Darah
Transfusi sel darah merah diperlukan pada pasien AIHA untuk mempertahankan kadar hemoglobin, setidaknya hingga perawatan khusus memberikan respon (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, dan Abdulsalam, 2005). Transfusi sel darah merah bertujuan untuk mengatasi hemolisis dan memperbaiki asupan oksigen ke jaringan. Direkomendasikan untuk melakukan transfusi ketika kadar hemoglobin pasien <7 g/dL dengan target mempertahankan kadar hemoglobin antara 7-9 g/dL (Sharma, Sharma, and Tyler, 2011).
Terdapat 4 jenis transfusi sel darah merah, antara lain: a) Sel darah merah pekat (Packed Red Cell)
Digunakan untuk mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia
aplastic, thalasemia, anemia hemolitik, mengatasi defisiensi yang berat
dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat, serta perdarahan akut (Permono dkk, 2005).
(35)
b) Sel darah merah miskin leukosit
Digunakan untuk mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dll), digunakan pada kasus transfusi berulang, menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek (Permono dkk, 2005).
c) Sel darah merah beku (Frozen Red Packed Cell)
Dibekukan agar sel darah merah dapat disimpan lebih lama, bagi persediaan sel darah merah yang jarang dijumpai (Permono dkk, 2005).
d) Sel darah merah yang diradiasi (Irradiation Blood)
Digunakan untuk menghindari reaksi imun yang akan terjadi, radiasi bertujuan untuk menghancurkan sel limfosit yang sering menyebabkan terjadinya graft
versus host (GVH) (Permono dkk, 2005).
e) Washed Red Cell (WRC)
Digunakan untuk pasien yang mengalami alergi parah atau reaksi demam berulang pada sel darah merah, atau pasien dengan defisiensi IgA. WRC memiliki kandungan plasma yang lebih rendah atau hampir tidak ada (<0,5 g sisa plasma per unit) bila dibandingkan dengan PRC (Norfolk, 2013).
3) Hindari Paparan Dingin
Pasien dengan cAIHA mengalami proses penghancuran sel darah pada kondisi suhu dingin sehingga pasien harus dijauhkan dari paparan dingin. Bila perlu, transfusi darah harus dilakukan dalam kondisi yang terkontrol pada suhu 370C dengan menggunakan sistem pemanas (Zeerleder, 2011).
(36)
b. Terapi Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)
Gambar 6. Alogaritma Terapi Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA) pada Pasien Dewasa (Zanella et al, 2014).
Terapi pada wAIHA bertujuan untuk menurunkan jumlah auto-antibodi yang diproduksi atau menurunkan kemampuannya dalam menghancurkan sel darah merah. Obat golongan kortikosteroid merupakan pilihan lini pertama untuk terapi AIHA. Obat ini bekerja dengan menghalangi sel yang terlapisi untuk bertemu dengan IgG dan menurunkan produksi IgG baru (Reardon et al, 2006).
(37)
1) Kortikosteroid
Obat golongan kortikosteroid merupakan first-line untuk terapi AIHA. Obat golongan steroid bekerja dengan menurunkan produksi auto-antibodi oleh sel-B. Selain itu, steroid juga menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada proses fagositosis di limpa. Kortikosteroid yang sering digunakan yaitu prednison dengan dosis 1-1,5 mg/kg/hari selama 1-3 minggu, kemudian dilakukan tappering dosis sesuai keadaan pasien. Untuk pasien yang mengalami hemolisis cepat atau
severe anemia dapat diberikan metilprednisolon injeksi dengan dosis 250-1000
mg/hari 1-3 hari. Penting untuk diingat bahwa penggunaan steroid dalam jangka waktu panjang harus disertai dengan pemberian bisphosphonates, vitamin D, kalsium, dan suplemen asam folat (Zanella et al, 2014). Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar gula dalam darah selama penggunaan steroid untuk mengetahui adanya diabetes melitus yang disebabkan penggunaan steroid (Zeerleder, 2011).
2. Rituximab
Rituximab (anti-CD20) merupakan terapi second-line untuk pasien yang tidak dapat menerima terapi dengan kortikosteroid dan menolak atau tidak memenuhi syarat untuk dilakukan splenectomy. Penggunaan obat Rituximab kontra indikasi terhadap pasien dengan infeksi virus hepatitis B yang tidak diobati (Zanella et al, 2014). Regimen standarnya 375 mg/m2 pada hari 1, 8, 15, 22, untuk 4 dosis (Lechner et al, 2010).
(38)
3. Imunosupresan
Imunosupresan direkomendasikan sebagai pengobatan bagi pasien yang tidak dapat menerima terapi degan kortikosteroid, rituximab, maupun
splenectomy. Obat-obatan yang biasa digunakan seperti azathioprine (100-150
mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) merupakan imunosupresif yang dapat menurunkan produksi auto-antibodi. Jumlah sel darah periferal perlu dimonitoring untuk mengetahui ada atau tidaknya efek samping berupa mielosupresif. Obat imunosupresif lain seperti siklosporin atau mikofenolat mofetil (MMF) sama efektifnya pada beberapa kasus (Zeerleder, 2011). MMF diberikan dengan dosis 500 mg/hari diberikan 2 kali, setelah 2 minggu ditingkatkan menjadi 1 gram/hari diberikan 2 kali (Howard, Hoffbr, Grant, and Mehta, 2001).
4. Last-line
Siklofosfamid dosis tinggi dapat digunakan sebagai pengobatan untuk pasien yang sangat mengalami kekambuhan. Terapi lain yang dapat digunakan yaitu Alemtuzumab, terbukti efektif pada beberapa pasien namun memiliki toksisitas yang tinggi (Zanella et al, 2014).
c. Terapi Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
Terapi yang paling mendasar cukup sederhana bagi pasien cAIHA, yaitu dengan menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat dengan mengenakan sarung tangan, topi, dan sepatu tertutup. Bila diperlukan transfusi dilakukan pada suhu 370C terkontol. Selama tindakan operasi, suhu tubuh juga harus dijaga pada 370C. Terdapat dua percobaan terkontrol dengan hasil rituximab menunjukkan respon baik pada 40-50% kasus (Zeerleder, 2011).
(39)
Gambar 7. Alogaritma Terapi Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA) pada Pasien Dewasa (Michel, 2011).
Pasien Cold AIHA yang tidak dapat menerima terapi splenektomi dan steroid, terapi yang diberikan adalah rituximab atau kombinasi rituximab dan fludarabine (Zanella et al, 2014).
5. Monitoring
Perlu dilakukan monitoring terhadap pasien AIHA karena kondisi tersebut dapat mengancam jiwa. Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Kadar hemoglobin (setiap 4 jam) 2. Jumlah retikulosit (setiap hari) 3. Ukuran splenic (setiap hari) 4. Hemoglobinuria (setiap hari) 5. Kadar haptoglobin (setiap minggu) 6. Coomb’s test (setiap minggu)
(40)
B. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems(DRPs) adalah hal yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien yang yang berkaitan dengan terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya tujuan terapi yang dinginkan. DRPs termasuk dalam domain praktisi pharmaceutical care, yang bertujuan untuk membantu pasien mencapai tujuan terapi dan mewujudkan hasil terbaik dari terapi (Cipolle et al, 2014).
Kondisi patofisiologis dan penatalaksanaan terapi dapat mempengaruhi permasalahan dalam terapi obat. Cipolle et al (2004) memaparkan penyebab untuk masing-masing kategori DRPs menjadi:
Tabel III. Kategori dan Penyebab Utama Drug Related Problems (DRPs) (Cipolle et al, 2014)
Kategori Penyebab Umum
Terapi obat yang tidak
diperlukan (Unnecessary drug
related)
Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu
Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat
Kondisi medis yang lebih tepat menggunakan terapi non-obat
Terapi untuk pencegahan efek samping
Penyalahgunaan obat Dibutuhkan tambahan obat
(Need for additional drug
related)
Kondisi yang membutuhkan terapi baru
Terapi obat pencegahan untuk mengurangi risiko timbulnya risiko baru
membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis dan aditif. Obat tidak efektif (Ineffective
drug)
Obat tidak efektif untuk kondisi pasien
Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan
Bentuk sediaan obat tidak sesuai
(41)
Tabel III. Lanjutan
Kategori Penyebab Umum
Dosis terlalu rendah (Dosage
too low)
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan
Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan
Interaksi obat mengurangi jumlah obat aktif yang tersedia
Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan
Efek samping obat (Adverse
drug reaction)
Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis
Diperlukan obat yang aman karena faktor risiko
Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan
Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat
Obat menyebabkan reaksi alergi
Obat merupakan kontraindikasi karena adanya faktor risiko
Dosis terlalu tinggi (Dosage
too high)
Dosis terlalu tinggi
Frekuensi obat terlalu sering
Durasi obat terlalu panjang
Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik
Dosis obat diberikan terlalu cepat
Ketidakpatuhan (Noncompliance)
Pasien tidak memahami instruksi
Pasien lebih memilih tidak meminum obat
Pasien lupa meminum obat
Obat terlalu mahal bagi pasien
Pasien tidak dapat menelan atau mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat
Obat tidak tersedia untuk pasien
C. Metode SOAP
Penelitian ini menggunakan metode SOAP (subjektive, objective,
assesment, plan) yang merupakan suatu strategi pada analisis catatan medis
(42)
subjektif dalam rekam medis yang meliputi data diri pasien. Objective (O) berisikan catatan hasil tes laboratorium dan pemeriksaan lainnya seperti tanda vital, hasil X-ray, ECG, pemeriksaan fisik, obat dan lainnya. Assesment (A) berisikan informasi dari subjective dan objective yang digunakan untuk mengembangkan rancangan terapi bersama dengan protokol terapi. Plan (P) berisikan rekomendasi terapi yang didapatkan dari analisis kasus, berupa perubahan strategi dan obat yang dipilih, tujuan yang ingin dicapai dan parameter yang harus dipantau (Becerra, Martinez, Guvara, dan Ramirez, 2012).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran Drug Related
Problems (DRPs) terkait terapi pengobatan pada pasien usia 26-45 tahun dengan
diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014, yang meliputi: terapi obat yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan obat (need for
additional drug related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah
(dosage too low), efek samping obat (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).
(43)
23 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terapi pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan rancangan penelitian secara case series dan menggunakan data retrospektif.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena penggalian informasi dilakukan secara sederhana melalui sumber informasi yang tersedia yaitu rekam medis pasien (World Health Organization, 2013).
Penelitian secara deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta tidak dimaksud untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006).
Rancangan case series merupakan suatu kumpulan dari kasus yang sama dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasilnya (Storm and Kimmel, 2006).
Penelitian ini menggunakan data retrospektif yang merupakan data yang diambil dengan cara melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar rekam medis pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
(44)
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian meliputi profil pengobatan Autoimmune Hemolytic
Anemia (AIHA) dan Drug Related Problems (DRPs) yang meliputi terapi obat
yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek samping obat merugikan (adverse drug
reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).
2. Definisi Operasional
a. Evaluasi DRPs pada penelitian ini dilakukan terhadap kondisi klinis dan pola pengobatan yang berhubungan dengan AIHA saja.
b. Pola pengobatan, merupakan terapi farmakologis dan non farmakologis yang diterima subjek penelitian selama dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode 2009-2014. Obat-obatan yang digunakan oleh subjek dalam penelitian ini disebut menggunakan nama generiknya.
c. DRPs ketidak patuhan tidak dikaji karena data yang digunakan adalah data retrospektif sehingga tidak dapat melihat kelanjutan pengobatan pasien untuk menentukankategori ketidakpatuhan pasien.
d. DRPs dibagi menjadi dua, yaitu aktual dan potensial. DRPs aktual yaitu masalah yang terjadi selama terapi pengobatan dan dapat dilihat melalui data yang tertera pada lembar rekam medis. DRPs potensial yaitu masalah
(45)
yang berkaitan dengan terapi yang diterima pasien yang mungkin terjadi dan dapat diketahui melalui berbagai literatur penunjang.
e. Pustaka acuan yang digunakan untuk melakukan evaluasi DRPs yaitu
Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemia oleh Zanella and Barcellini
pada tahun 2012, Autoimmune Hemolytic Anemia oleh DeLoughery pada tahun 2013, dan Drug Interaction Checker oleh Medscape.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan diagnosis utama
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
1. Kriteria inklusi subjek penelitian yaitu satu atau lebih kasus dalam satu nomor rekam medis pasien dengan usia 26-45 tahun yang memiliki riwayat diagnosis utama AIHA dan menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2009-2014.
2. Kriteria eksklusi subjek penelitian yaitu pasien yang memiliki AIHA sebagai diagnosis sekunder, serta rekam medis tidak lengkap dan rekam medis tidak ditemukan.
Hasil print out menunjukkan kejadian AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2009-2014 terdapat total 342 kasus AIHA. Diantaranya terdapat 20 pasien usia dewasa dengan diagnosis utama AIHA, namun 5 pasien dieksklusi karena 2 pasien diantaranya tidak ditemukan berkas rekam medisnya dan 3 pasien memiliki catatan terapi yang tidak lengkap
(46)
dan tidak dapat dikonfirmasi. Jumlah total kasus AIHA pada usia dewasa yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 15 kasus.
Gambar 8. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
D. Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan rekam medis pasien dengan usia 26-45 tahun yang memiliki diagnosis utama
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dan menjalani rawat inap di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta selama periode 2009-2014.
AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014
342 kasus AIHA tanpa SLE
299 kasus Anak (≤18 tahun) 93 kasus AIHA Inklusi 12 kasus Remaja (19-25 tahun) 38 kasus Dewasa (26-45 tahun) 49 kasus 20 kasus diagnosis utama AIHA Inklusi 15 kasus
Eksklusi 2 kasus tidak ditemukan 3 kasus terapi tidak lengkap
Pra Lansia (46-59 tahun) 43 kasus Lansia (≥60 tahun) 76 kasus Inklusi 9 kasus AIHA + SLE 43 kasus Eksklusi 37 kasus: 36 Kasus AIHA SLE dengan penyakit penyerta lain 1 Kasus tegak AIHA tahun 2008 Inklusi 6 kasus (5 rekam medis)
(47)
2. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa form yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien. Form yang digunakan memuat informasi subjektif dan objektif pasien selama menjalani rawat inap.
E. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 September sampai 21 Desember 2015 pada bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian 1. Persiapan
Penelitian ini dimulai dengan melakukan observasi untuk mencari informasi terkait jumlah pasien AIHA, perizinan, dan tata cara pengambilan data. mengurus izin penelitian untuk dapat mengambil data di lokasi penelitian, yaitu pada bagian Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Analisis Situasi
Analisis situasi merupakan pemastian data yang diambil telah memadahi untuk dilakukan evaluasi. Dilakukan dengan mengevaluasi data yang diambil dari beberapa kasus.
3. Pengambilan data
a. Penelusuran data dilakukan dengan melihat hasil print out dari bagian rekam medis sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
(48)
b. Pengambilan data dilakukan dengan menyalin data pada rekam medis pasien yang meliputi identitas pasien, tanggal rawat inap, diagnosis, keluhan utama, status keluar rumah sakit, riwayat penyakit dan riwayat penggunaan obat sebelumnya, hasil pemeriksaan, catatan keperawatan dan perkembangan pasien, terapi farmakologi pada pasien.
4. Pengolahan Data dan Analisis Hasil
Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik subjek penelitian, profil penggunaan obat pasien. Pengolahan data secara evaluatif dilakukan dengan cara mengevaluasi DRPs pada penggunaan obat pasien AIHA
G. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik Pasien
Analisis karakteristik pasien dilakukan dengan mengelompokkan usia pasien, jenis kelamin dan jenis AIHA. Penggolongan usia dewasa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu masa dewasa awal (26-35 tahun) dan masa dewasa akhir (36-45 tahun). Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Persentase masing-masing kelompok dapat dihitung menggunakan cara dibawah:
Persentase =
2. Profil Pengobatan
Profil pengobatan ada 2, yaitu terapi farmakologi dan non-farmakologi. Persentase jenis terapi diperoleh dengan cara di bawah:
(49)
3. Evaluasi DRPs
Analisis dilakukan menggunakan metode SOAP kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenis DRPs yang meliputi terapi obat yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), perlu obat tambahan (need for additional drug
related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too
low), efek samping obat (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage
too high). Penelitian ini menggunakan pendekatan retrospektif, sehingga bagian
plan digantikan dengan recommendation. Analisis yang dilakukan bertujuan
untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi. Persentase temuan DRPs dihitung dengan cara:
Persentase=
4. Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian ditunjukkan dengan karakteristik pasien AIHA usia dewasa, profil pengobatan, dan evaluasi Drug Related Problems (DRPs) diuraikan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan persentase. Persentase kejadian DRPs dapat dihitung dengan:
(50)
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian
Kesulitan yang dialami selama penelitian yaitu belum adanya guideline atau protokol resmi terkait terapi AIHA dengan tingkat kercayaan tinggi. Evaluasi yang dilakukan peneliti berdasarkan review dan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan. AIHA merupakan penyakit yang cukup jarang diderita sehingga belum banyak penelitian terkait penyakit ini. Selain itu terdapat beberapa rekam medis yang tidak ada, tidak lengkap atau sulit terbaca sehigga peneliti mengalami kesulitan untuk mengevaluasi terapi yang diterima oleh pasien.
Kelemahan penelitian ini yaitu jumlah kasus yang dievaluasi hanya berjumlah 15 kasus, sehingga hal ini belum benar-benar mewakili atau menggambarkan bagaimana penanganan penyakit AIHA secara umum.
(51)
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien
1. Persentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari data yang diperoleh (Gambar 9), terlihat bahwa kejadian AIHA lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan (93%) dibandingkan laki-laki (7%). Penelitian yang ada sebelumnya menyatakan bahwa AIHA pada orang dewasa memiliki perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yaitu 2:1 (Michel, 2011). AIHA cenderung lebih banyak dialami oleh wanita karena adanya hormon seks dan/atau sex linked gene inheritance yang mungkin menyebabkan wanita lebih rentan terhadap penyakit autoimun (Voskuhl, 2011). Hormon esterogen pada perempuan dapat merangsang produksi antibodi oleh sel B yang dimungkinkan juga bertanggung jawab untuk terjadinya penyakit autoimun. Hormon androgen pada laki-laki umumnya bersifat imunosupresif sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya proses autoreaktif (Bratawidjaja dkk, 2012).
Gambar 9. Persentase Kasus AIHA Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014
(52)
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur
Penggolongan usia dewasa dibagi menjadi dua yaitu masa dewasa awal (25-35 tahun) dan masa dewasa akhir (36-45 tahun).
Tabel IV. Distribusi Kasus AIHA Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 Berdasarkan Usia
Kriteria Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah Kasus
Persentase (%) (n=15)
Masa Dewasa Awal 26-35 9 60
Masa Dewasa Akhir 36-45 6 40
Gambaran kelompok pasien AIHA yang rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa pasien dengan kelompok umur 26-35 tahun sebesar 60% dan kelompok umur 36-45 tahun sebesar 40%.
3. Outcome Terapi
Dari 15 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014 yang masuk kriteria inklusi, sebagian besar kasus meninggalkan rumah sakit dalam kondisi yang membaik dan diizinkan pulang. Jumlah kasus yang pulang dengan membaik dan diizinkan terdapat 13 kasus (87%) dan jumlah kasus meninggal dunia sebanyak 2 kasus (13%). Penyebab kematian pada kasus 8 yaitu
shock septic dd hipovolemik, yaitu keadaan dimana tubuh tidak mampu
menyediakan oksigen untuk mencukupi kebutuhan jaringan. Hal tersebut terjadi karena tubuh kehilangan darah cukup banyak, terutama hemoglobin yang berperan dalam transport oksigen ke jaringan. Penyebab kematian pada kasus 10 yaitu hospital acquired pneumonia (HAP), merupakan infeksi paru-paru yang
(53)
berkembang selama rawat inap di rumah sakit. Hal tersebut terjadi karena pasien AIHA rentan terkena infeksi dan tidak diberikannya antibiotik untuk mengatasi infeksi bakteri tersebut.
Gambar 10. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit Pada Kasus AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014.
B. Profil Pengobatan 1. Terapi Farmakologi
Pengkajian terkait gambaran umum penggunaan obat pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA dilakukan berdasarkan sub kelas terapi menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional.
87% 13%
Membaik dan diizinkan Meninggal
(54)
Tabel V. Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus AIHA diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014
Kelas Terapi Jenis Obat Kasus Jumlah Kasus
Persentase (%) n=15
Kortikosteroid Metilprednisolon 1-15 15 100
Imunosupresan Mikofenolat
mofetil 5 dan 8 2 13,3
Analgesik Non
Narkotik Parasetamol 3, 6, 11, dan 13 4 26,6
Antidiabetes Insulin aspart 14 1 6,6
Antiulkus Ranitidin 2, 13, 14, 15
9 60,0
Lansoprazol 11
Pantoprazol Antasida
7, 8, 12 14 Antianemi Asam Folat 5, 6, 7, 9
4 26,6
Vitamin B12 9
Antibakteri Sefalosporin 3, 5, 11, 13
5 33,3
Meropenem 8
Aminoglikosida 11
Penggunaan obat yang paling banyak adalah dari kelas kortikosteroid, dimana obat-obatan pada kelas ini merupakan first-line untuk terapi AIHA.
a. Kortikosteroid
Obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk pengobatan AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ini adalah metilprednisolon. Semua kasus mendapatkan terapi metilprednisolon baik secara enteral maupun parenteral. Pasien yang baru terdiagnosis dan mengalami wAIHA parah harus segera diberikan terapi steroid (Hoffman et al, 2014).
Kortikosteroid merupakan sintesis analog dari hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal ginjal. Seperti hormon aslinya, komponen sintesis ini juga memiliki glukokortikoid (GC) dan/atau meneralokortikoid. Mineralokortikoid berperan pada transportasi ion di sel epitel pada tubulus renal
(55)
dan juga terlibat pada regulasi keseimbangan atau penyangga garam dan cairan dalam tubuh. GC terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, selain itu juga memiliki efek anti-inflamasi, imunosupresif, anti-proliferative, dan vasokonstriksi. GC dapat menurunkan penghancuran eritrosit pada pasien AIHA (Liu, Ward, Krishnamoorthy, Mandelcorn, Leigh, et al,2013). Steroid bekerja dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B, selain itu juga menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada saat fagositosis di limpa (Zeerleder, 2011).
Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya oseteoporosis pada orang dewasa dan menghambat perkembangan tulang rangka pada anak-anak. Hormon glukokortikoid dapat mengganggu transport kalsium oleh bantuan vitamin D di usus dan menghambat pembentukan tulang. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus disertai dengan pemberian vitamin D, kalsium, dan asam folat (Zanella et al, 2014). Beberapa efek samping potensial lainnya yaitu, gangguan cairan dan elektrolit, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit (Zoorob et al, 1998).
b. Imunosupresan
Imunosupresan merupakan pilihan obat secondline pada terapi AIHA yang bekerja dengan menurunkan produksi antibodi (Lechner et al, 2010). Obat imunosupresan yang efektif digunakan antara lain azathioprin, siklofosfamid, siklosporin dan mikofenolat mofetil (MMF) (Zeerleder, 2001). Penggunaan
(56)
imunosupresan perlu dilakukan monitoring terhadap jumlah sel darah peripheral karena obat ini memiliki efek samping berupa mielosupresif.
MMF merupakan pro-drug dari asam mikofenolat, hasil fermantasi spesies Penicillium. MMF bekerja poten dengan menghambat inosin 5’ -mono-phosphate dehydrogenase, enzim yang memiliki peranan penting pada sintesis
purin. Mekanisme utama MMF yaitu dengan menghambat limfosit proliferatif namun dapat juga dengan menyebabkan penipisan guanosis trifosfat (GTP) sehingga terjadi pengurangan molekul adhesi pada leukosit dan terjadi penurunan perekrutan leukosit pada lokasi inflamasi (Howard, Hoffbrand, Prentice, Mehta, 2001). MMF direkomendasikan untuk masuk dalam terapi kekambuhan pada imun sitopenias sebagai pilihan steroid-sparing (Zanella et al, 2014). Ditemukan 2 kasus, yaitu kasus 5 dan 8 yang diterapi dengan MMF bersamaan dengan metilprednisolon (kortikosteroid).
c. Analgesik Non Narkotik
Parasetamol merupakan terapi untuk mengurangi nyeri dan demam (Sharma and Mehta, 2013). Demam didefinisikan dimana keadaan suhu tubuh >370C. Suhu normal untuk orang dewasa dengan pengukuran secara oral (33.2-38.20C), rectal (34.4-37.80C), tympanic (35.4-37.80C), axillary (35.5-37.00C) (Sun, Forsberg, and Karin, 2011). Dosis parasetamol yang digunakan untuk meringankan demam dan nyeri ringan pada orang dewasa yaitu 325-650 setiap 4-6 jam, atau 1000 mg 3-4 kali per hari bila mengalami nyeri dengan dosis maksimum 4 gram/hari (American Pharmacist Association, 2007).
(57)
Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga menghambat sintesis prostaglandin di CNS (Botting, 2000). Parasetamol bekerja menurunkan demam dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase dan menurunkan jumlah PGE2 di hipotalamus sehingga impuls nyeri terhambat. Parasetamol dapat menembus blood-brain barrier dan dapat bertindak secara istimewa dalam sistem saraf pusat dengan mengurangi produksi prostaglandin (Aronoff, 2001).
Terdapat 4 kasus pada penelitian evaluasi DRPs pasien dewasa dengan AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi analgesik non-narkotik, yaitu kasus 3, 6, 11, dan 13.
d. Antidiabetes
Insulin aspart merupakan obat antidiabetes golongan rapid-acting yang bekerja secara cepat memiliki onset 15-30 menit (Dipiro, 2008). Insulin memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan antidiabetes oral untuk menurunkan kadar gula dalam darah (Meneghini, 2009).
Pemberian insulin bertujuan untuk menurunkan kadar gula dalam darah, dimana salah satu efek samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid yaitu peningkatan kadar gula dalam darah (Zeerleder, 2011). Terdapat 1 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi insulin, yaitu kasus 14.
(58)
e. Antiulkus
Penggunaan kortikosteroid berisiko menyebabkan gangguan pencernaan seperti pendarahan gastrointestinal bagian atas dan peptik ulser (Gutthann, Rodriguez, and Raiford, 1996). Kortikosteroid dapat menghambat sintesis mukosa lambung, peningkatan sel gastrin, hiperplasia sel parietal karena sekresi asam berlebih, gangguan fibroblast dan penekanan sintesis-sintesis prostaglandin melalui penghambatan interleukin-1beta dan COX-2 (Luo, Chang, Lin, Lu, Lu, Cheng et al, 2002).
Terdapat 8 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antiulkus, dimana pemberiannya ditujukan untuk mencegah terjadinya peptik ulser yang merupakan salah satu efek samping penggunaan obat golongan kortikosteroid. Obat yang digunakan yaitu golongan proton pump inhibitor (PPI) dan histamin H2
receptor agonist. Pantoprazol dan lansoprazol termasuk dalam golongan PPI,
sedangkan ranitidin dan antasida kombinasi termasuk dalam histamin H2 receptor
agonist. Obat golongan antiulkus yang paling sering digunakan yaitu ranitidin
sebanyak 4 kasus.
f. Antianemi
Berdasarkan formularium nasional, asam folat dan vitamin B12 (sianokobalamin), ferro sulfat, low molecule feri sucrose, dan low molecular
weiht iron dextran termasuk dalam kelas terapi antianemi (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Asam folat merupakan senyawa inaktif yang akan diubah oleh dihidrofolat reduktase menjadi asam tetrahidrofolat dan
(59)
metiltetrahidrofolat. Kemudian dibawa ke sel sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan eritropoesis normal, interkonvert asam amino, sintesis purin dan asam nukleat (Mahmood, 2014). Asam folat diperlukan oleh pasien dengan wAIHA aktif untuk meningkatkan eritropoesis sehingga mencegah defisiensi vitamin B9 (March, 2014).
Penelitian ini menunjukkan bahwa antianemi yang digunakan untuk pasien AIHA dewasa di RSUP Dr. Sardjito yaitu asam folat dan vitamin B12. Terdapat 4 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antianemi, dimana kasus tersebut menunjukkan pemeriksaan RDW diatas normal dan MCV >100 fL.
g. Antibakteri
Antibakteri umumnya digunakan untuk mencegah maupun mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Pasien AIHA rentan terhadap infeksi bakteri karena pertahanan tubuhnya terhadap agen asing menjadi lemah. Pada penelitian ini terdapat 5 kasus yang diberikan terapi antibibakteri. Golongan antibakteri yang digunakan yaitu golongan beta laktam (sefalosporin dan carbapenem) dan aminoglikosida.
Aminoglikosida bekerja dengan mengikatkan diri pada ribosom sel bakteri sehingga sintesis proteinnya menjadi kacau (Fourmy, Recht, Blanchard, and Puglisi, 1996). Beta laktam bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan dan mengaktifkan enzim autolisis pada bakteri (Gustaferro and Steckelberg, 1991).
(60)
2. Terapi Suportif
Salah satu terapi suportif untuk pasien AIHA adalah transfusi darah. Transfusi dilakukan untuk memperbaiki kadar hemoglobin pasien sehingga dapat melakukan penghantaran oksigen ke seluruh jaringan dengan baik (Zanella et al, 2014). Pada penelitian ini terdapat 11 kasus yang diberikan terapi transfusi. Terdapat dua jenis transfusi yang diterima pasien AIHA di RSUP Dr. Sardjito, yaitu transfusi PRC dan transfusi WRC.
Transfusi PRC sebagian besar merupakan sel darah merah namun masih mengandung sedikit sisa leukosit dan trombosit. Diberikan untuk mengatasi gejala anemia, profilaksis pada anemia yang mengancam nyawa dan memperbaiki transport oksigen (Weinstein, 2012). Transfusi PRC bertujuan untuk mengatasi hemolisis dan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan. Transfusi dilakukan pada pasien dengan Hb <7 g/dL dan target terapi mempertahankan Hb antara 7-9 g/dL (Sharma et al, 2011).
Transfusi WRC dilakukan pada pasien dengan severe anemia atau hematokrit antara 17-27% (Laurian, Girma, Allain, Verroust, and Larrieu, 1982). Transfusi WRC dilakukan apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis terhadap transfusi PRC, reaksi alergi atau anafilaksis parah terhadap produk transfusi darah. Transfusi WRC kadar leukosit dan trombositnya lebih rendah dibandingkan PRC, dilakukan pada pasien yang mengalami kekambuhan reaksi febril, mengalami reaksi anafilaksis pada pasien yang mengalami defisiensi IgA, pasien dengan aktivasi sel-T yang memerlukan transfusi (Anderson, 2011).
(61)
Tabel VI. Pemberian Transfusi pada Pasien AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 Jenis Transfusi Kasus Jumlah Kasus (n=15) Persentase Transfusi PRC
1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, 12, 13, dan
15
10 66,6
Transfusi WRC 5 1 13,3
3. Rute Pemberian
Seluruh kasus dalam penelitian ini menggunakan obat dengan rute enteral maupun parenteral. Obat parenteral digunakan karena dapat memberikan efek yang cepat. Gambaran umum penggunaan obat berdasarkan rute pemberian dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VII. Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014
Rute Pemberian Jumlah Kasus
(n=15) Persentase
Enteral 11 73,3
Parenteral 15 100
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Proses penatalaksanaan terapi pasien di rumah sakit perlu memperhatikan kerasionalan penggunaan obat. Evaluasi Drug Related Problems dilakukan untuk mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan penatalaksanaan terapi pada pasien AIHA usia dewasa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Identifikasi DRPs pada penelitian ini dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul terkait penggunaan obat pada pasien AIHA usia dewasa dirumah sakit tersebut. Kerugian atau DRPs yang timbul seperti obat tidak tepat, dosis berlebih, dosis kurang, obat yang tidak
(1)
120
Gambaran Sediaan Apus Darah Tepi (30/06/2014)Kesan Anemia dengan kelainan morfologi eritrosit Reaktifitas netrofil dan limfosit
Kesimpulan Gambaran anemia ec. Susp. Defisiensi besi disertai proses inflamasi
.
Tanda Vital
Tanggal 29/06/2014 30/06/2014 01/07/2014 02/07/2014 03/07/2014 04/07/2014 05/07/2014
Keadaan Umum Sedang cm cm Sedang cm Sedang cm Sedang cm sedang cm sedang cm
Suhu (0C) 36 Afebris Afebris 36.8 36.8 36.9 36.7
Nadi (x/menit) 107 90 92 98 92 92 88
Nafas (x/menit) 20 20 20 20 20 20 20
Tekanan Darah (mmHg) 110/70 110/70 90/60 128/78 108/60 90/60 110/60
Keluhan
Lemas, mual Lemas, mual Nyeri perut, mual Lemas - -Penatalaksanaan Obat
Nama Obat
Dosis dan Cara Pemberian P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So MAntasida syrup Oral 3x1 sdm √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. MP 125 mg 125 mg/6 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. Ranitidin 1A/12 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. MP 62,5 mg 62,5 mg/8 jam √
Inj. MP 62,5 mg 62,5 mg/12 jam √
Insulin aspart √
Tanda Vital
Tanggal 06/07/2014 07/07/2014
Keadaan Umum sedang cm sedang cm
Suhu (0C) 36.5 36.8
Nadi (x/menit) 100 76
Nafas (x/menit) 20 20
Tekanan Darah (mmHg) 100/60 110/80
Keluhan - -
Penatalaksanaan Obat
Nama Obat Dosis dan Cara
Pemberian P Si S
o M P Si S
o M P Si S
o M P Si S
o M P Si S
o M P Si S
o M P Si S o M Antasida syrup Oral 3x1 sdm
(2)
121
Inj. Ranitidin 1A/12 jam √ √
Inj. MP 62,5 mg 62,5 mg/8 jam
Inj. MP 62,5 mg 62,5 mg/12 jam √ √
Insulin aspart
Assesment
1. Antasida syrup (Kandungan: per 5mL Al(OH)3 250 mg, Mg(OH)2 250 mg, simethicone 50 mg.
Digunakan sebagai anti-userasi untuk mengatasi tukak lambung pada pasien karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Bekerja secara sinergis dengan ranitidine untuk menurunkan produksi asam di asam esofagus dan lambung (Robinson, Stanley, Ciociola, Filinto, Zubaidi, Miner, et al, 2001).
Dosis yang dianjurkan yaitu 1-2 sdt 3-4 kali/hari 15-30 mL/hari atau 20-40 mL/hari Diberikan pada hari 3, 5, dan 7 dengan dosis pemberian 3x1 sdm 45 mL/hari
2. Metilprednisolone sebagai agen antiinflamasi pada kondisi autoimun yang menekan reaksi hipersensitivitas dengan bekerja langsung pada sel limfosit-T (Liu, 2013) diberikan secara IV dengan dosis 100-200 mg/hari untuk penggunaan selama 10-14 hari atau 250-1000 mg/hari untuk penggunaan selama 1-3 hari (Zanella, 2012). Dosis yang diberikan pada hari 1-5 yaitu 125 mg/6jam atau sama dengan 500 mg/hari,
Dosis yang diberikan pada hari 6 yaitu 62.5 mg/8jam atau sama dengan 187.5 mg/hari Dosis yang diberikan pada hari 7-8 yaitu 62.5 mg/12jam atau sama dengan 125 mg/hari Dosis yang diberikan sesuai dosis terapi.
3. Ranitidine (Inj (amp) 25 mg/mL x 2 mL)
Ranitidine memiliki indikasi untuk mengatasi tukak lambung pada pasien karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Dosis ranitidin yaitu 50 mg setiap 6-8 jam perhari atau 150-200 mg perhari (Oliva, Partemi, Arena, De Giorgio, Colecchi, Fucci et al, 2008).
Diberikan pada hari 1-3;5;7-8 dengan dosis 1A/12jam atau sama dengan 100 mg/hari. 4. Novorapid (Insulin aspart)
Digunakan untuk menurukan kadar gula dalam darah
Diberikan pada hari ke-6 pasien rawat inap, dosis tidak dicantumkan pada lembar rekam medis.
Pasien diberikan insulin pada hari ke-6, diduga kadar gula darah pasien tinggi karena efek samping pemakaian kortikosteroid jangka panjang, namun hasil lab yang menunjukkan bahwa kadar gula darah pasien tinggi tidak tercantum di lembar rekam medis
Evaluasi DRPs
1. Dibutuhkan Tambahan Obat
Asam Folat, pasien dengan WAIHA diberikan asam folat dengan dosis 1 mg/hari untuk mencegah terjadinya anemia megaloblastik (DeLoughery, 2013). 2. Dosis Kurang
Ditemukan interaksi antara metilprednisolon dengan insulin aspart yang menyebabkan penurunan efek insulin aspart (Medscape, 2016).
Plan/Rekomendasi
1. Memberikan tambahan obat asam folat dengan dosis 1 mg/hari
2. Memberikan jeda pada penggunaan metilprednisolon dan insulin aspart untuk menghindari interaksi yang dapat menurunkan efek insulin. Monitoring gula darah pasien karena salah satu efek samping kortikosteroid adalah diabetes mellitus.
3. Monitoring kepadatan tulang menggunakan DXA (Dual energy X-Ray) pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang, bila perlu berikan tambahan suplemen kalsium dengan dosis 1000 mg/hari dan vit D dengan dosis 200 IU/hari untuk mencegah terjadinya efek samping osteoporosis (Dipiro, 2008).
(3)
122
Lampiran 17. Kasus 15
Form Pengambilan Data
Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) Usia Dewasa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014
Rekam Medis No. RM 01.70.42.11 (Kasus 15)
SUBJEKTIF
Nama Pasien: Ny. EM Tanggal Rawat: 25/10/2014-29/10/2014
Umur/JK: 37 tahun / Perempuan Diagnosis Utama: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) BB: 56 kg Diagnosis Sekunder: Peningkatan enzim transaminase
TB: 150 cm Keluhan Utama: pusing dan nggliyer sejak 3 hari sebelum masuk RS
RPD: - Status Keluar: Membaik dan diizinkan
RPO: KB suntik bulanan selama 6 tahun (terakhir suntik Februari 2014)
Perjalanan Penyakit: Pasien mengalami pingsan kemudian diperiksa di Puskesmas dan dikatakan Hb= 4. OS dirujuk ke RS PKU Muhammadiyah Bantul dengan Hb= 3,8 AL=4,3 AS=241 Direncanakan untuk transfusi darah namun tidak ada yang cocok kemudian pasien dirujuk ke RS PKU Muhammadiyah Bantul dengan Hb=3,8. Pasien dirujuk ke RS Sardjito.
OBJEKTIF
Hasil Laboratorium Pemeriksaan Hematologi
Satuan Nilai Rujukan 27/10/14 28/10/14 29/10/14
WBC x103/µL 3.6-11.0 3.51 3.78
RBC x106/µL 3.8-5.2 2.99 2.84
HGB g/dL 11.7-15.5 9.7 5 9.3
HCT % 32-47 32 17.2
MCV fL 80-100 107 134.2 108
MCH Pg 26-34 32.4 39.1 32.7
MCHC g/dL 32-36 30.3 29.2
PLT x103/µL 150-440 169 183 157
NEUT% % 50-70 82.1 82.5
LYPMH% % 20-40 16.5 10.8
MONO% % 2-8 1,4 3.8
EO% % 1-3 0 0.4
BASO% % 0-1 0 0.2
IG% % 1.1
Retikulosit % M: 0.60-2.60;
F: 0.60-2.60 22% 7.20%
CROSS Mayor +
Minor 3+
Pemeriksaan Kimia
Satuan Nilai Rujukan 28/10/2014
TBil mg/dL M: 0.02-1.4; F: 0.02-0.9 2.3
DBil mg/dL 0-0.2 0.6
Protein Total
Albumin g/dL 3.97-4.94 3.8
SGOT U/L M: 5-40; F: 5-32 54
SGPT U/L M: 10-50; F: 10-35 74
BUN mg/dL 6-20 16
Creatinine mg/dL 0.67-1.17 0.7
Asam Urat mg/dL M: 3.4-7.0; F: 2.4-7.0 6.4
Fe µg/dL M: 59-158; F: 37-145 83
TIBC µg/dL 250-478 252
IBC µg/dL 112-346 169
INDEX SAT % 20-50 33
Natrium/Sodium mmol/L 135-146 141
Kalium/Potasium mmol/L 3.4-5.4 3.8
Chloride mmol/L 95-108 104
LDH IU/L 266-500 444
GDS mg/dL Darah: 70-110; Urin: <0.5 g/24jam 112
Hasil Pemeriksaan Hemostasis (28/10/2014)
PT 15.7
INR 1.6
Kontrol 13.3 APTT 24.5 Kontrol 30.7
EKG Sinus bradikardi Heart
Rate 53 x/menit Gambaran Sediaan Apus Darah Tepi (25/10/14)
Kesan: Anemia dengan kelainan morfologi eritrosit dan peningkatan respon eritropoetik Reaktifitas netrofil
Kesimpulan:Gambaran anemia et causa sesp. Hemolitik disertai proses inflame/infeksi Coomb’s
Test
Indirect - Direct +
(4)
123
Pemeriksaan Urinalisis Fisik/Kimiawi
Nilai Rujukan Satuan 28/10/2014
Glukosa <1,6: Normal mmol/L 0
Protein <0,1: Negatif g/L 0
Bilirubin <8,4: Negatif µmol/L 0
Urobilin 1: Normal µmol/L Normal
pH <7: Asam ; >7: Basa 6
Blood/Darah <0,2: Negatif mg/L 0
Keton <1: Negatif mmol/L 0
Nitrit 0,8-5 mg/L 0
Leukosit <24: Negatif Leu/ul 4
S.G/Berat
Jenis >1030
Nilai Rujukan Satuan 28/10/2014
SEL: Eritrosit 2
Bakteri 135.5
Kristal 0-10 uL 0.1
Yeast Like Cell 0-25 uL 0
Small Round Cell 0-6 uL 7.6
Silinder Patologis 0-5 uL 0
Mucus 0-5 uL 0.8
Sperma 0-3 uL 0
Konduktivitas 3.1-2.7 mS/cm 23.9
Sel Epithel 0-40 uL 12.2
Silinder 0-1.2 uL 0.5
Tanda Vital
Tanggal 25/10/2014 26/10/2014 27/10/2014 28/10/2014 29/10/2014
Keadaan Umum Sedang cm Sedang cm Sedang cm Sedang cm Sedang cm
Suhu (0C) 36.7 36.7 36.7 36.6 36.4
Nadi (x/menit) 64 68 72 80 68
Nafas (x/menit) 20 18 20 20 20
Tekanan Darah (mmHg) 140/70 140/70 120/80 130/80 130/90
Keluhan
Pusing, oleng bilaberjalan, mual
Lemas, nyeri
perut Mual, nyeri perut -
Penatalaksanaan Obat
Nama Obat
Dosis dan Cara Pemberian P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So MInj. MP 125 mg 125 mg/8jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. Ranitidin 1A/12jam √ √ √ √ √ √ √
Transfusi PRC √ √
Assesment
1. Metilprednisolone sebagai agen antiinflamasi pada kondisi autoimun yang menekan reaksi hipersensitivitas dengan bekerja langsung pada sel limfosit-T (Liu, 2013) diberikan secara IV dengan dosis 100-200 mg/hari untuk penggunaan selama 10-14 hari atau 250-1000 mg/hari untuk penggunaan selama 1-3 hari (Zanella, 2012).
(5)
124
Dosis yang diberikan pada hari 2-5 yaitu 125 mg/8jam atau sama dengan 375 mg/hariDosis yang diberikan sesuai dosis terapi. 2. Ranitidine (Inj (amp) 25 mg/mL x 2 mL)
Ranitidine memiliki indikasi untuk mengatasi tukak lambung pada pasien karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang. dosis ranitidin yaitu 50 mg setiap 6-8 jam per hari atau 150-200 mg per hari (Oliva, Partemi, Arena, De Giorgio, Colecchi, Fucci et al, 2008).
Diberikan pada hari 2-5 dengan dosis 1A/12jam atau sama dengan 100 mg/hari under dose 3. Trandfusi PRC (Packed Red Cells)
Transfusi PRC bertujuan untuk mengatasi hemolisis dan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan. Transfusi dilakukan pada pasien dengan Hb <7 g/dL dan target terapi mempertahankan Hb antara 7-9 g/dL (Sharma, 2011).
Dilakukan transfusi PRC pada hari 1-2 pasien rawat inap. Kadar hemoglobin pada hari ke-3 (27/10/2014) yaitu 9.7 g/dL..
Evaluasi DRPs
1. Dibutuhkan Tambahan Obat
Asam Folat, pasien dengan WAIHA diberikan asam folat dengan dosis 1 mg/hari untuk mencegah terjadinya anemia megaloblastik karena hemolisis aktif pada pasien AIHA (DeLoughery, 2013).
2. Dosis Kurang
Ranitidin diberikan dengan dosis 100 mg/hari belum cukup untuk mengatasi keluhan pasien, dosis literature yang dianjurkan adalah 150-200 mg/hari
Plan/Rekomendasi
1. Memberikan tambahan obat asam folat dengan dosis 1 mg/hari
2. Memantau kondisi pasien terkait keluhan tukak lambung, dan memberikan ranitidin sesuai dosis literatur.
3. Monitoring kepadatan tulang menggunakan DXA (Dual energy X-Ray) pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang, serta berikan tambahan suplemen kalsium dengan dosis 1000 mg/hari dan vit D dengan dosis 200 IU/hari untuk mencegah efek samping kortikosteroid yaitu osteoporosis (Dipiro, 2008).
(6)