Evaluasi Drug Related Problems (DRPS) pada pasien Autoimmune Hemolytic anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di instalasi rawat inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2014.

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DENGAN KOMPLIKASI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE TAHUN 2009-2014 OKTA PUSPITA, YUNITA LINAWATI

INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan penyakit autoimun akibat kerusakan sel darah merah (eritrosit) oleh autoantibodi. Penyakit ini dapat berkomplikasi dengan penyakit lain seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang merupakan penyakit gangguan autoimun multisistem dengan tingkat kejadian mencapai 6,1%. Terapi AIHA dengan SLE harus efektif dan tepat untuk mencegah faktor resiko yang dapat memperburuk kondisi pasien. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2014.

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif observasional dengan rancangan case series. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan retrospektif pada rekam medis pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2014. Evaluasi DRPs dilakukan dengan menganalisis data menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/Recommendation).

Penelitian ini terdapat 6 kasus yang memenuhi kriteria inklusi yang terjadi paling banyak pada perempuan dengan kelompok umur dewasa. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan adalah metilprednisolon. Kejadian drug related problem (DRPs) paling banyak ditemukan adalah dibutuhkan obat tambahan pada 3 kasus.

Kata Kunci: Drug Related Problems (DRPs), Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


(2)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DENGAN KOMPLIKASI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE TAHUN 2009-2014 OKTA PUSPITA, YUNITA LINAWATI

ABSTRACT

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an autoimmune disease, which is caused red blood cells (erythrocyte) destruction by autoantibodies. This disease can be complicated by another disease such as Systemic Lupus Erythematosus (SLE) which is multisystem autoimmune disease, with the incidence rate 6,1%. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) with SLE complication therapy must be effective and appropriate to prevent the risk factors that can be worsen the patient’s condition. The study aimed to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) complication with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients hospitalized at RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta in the period of 2009-2014

This is observational descriptive study with case series design. Data collection was done on medical records of hospitalized Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) complication with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients in RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta in the period of 2009-2014, with retrospective approach. In the DRPs evaluation, the data obtained were analysed using SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/Recommendation).

In this study, there were 6 cases which met the inclusion criteria, most of patient are women with adult age groups. The most widely used drugs is methylprednisolone. The most incidences of DRPs is need additional drug therapy occurred in 3 case.

Keywords : Drug Related Problems(DRPs), Autoimmune Hemolytic Anemia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DENGAN KOMPLIKASI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE TAHUN 2009-2014 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Okta Puspita NIM: 128114049 FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DENGAN KOMPLIKASI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE TAHUN 2009-2014 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Okta Puspita NIM: 128114049 FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Nom sum, qualis

eram

(Aku bukanlah aku yang dahulu)

Kupersembahkan hasil ini untuk

kedua orang tua,

kakak, adik,

dan

teman-teman

serta


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan Komplikasi Systemic Lupus ERYTHEMATOSUS (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2009-2014” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph. D. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingannya selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Yunita Linawati, M. Sc., Apt. selaku dosen pembimbing atas dukungan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 3. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan

kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

4. Bapak Christianus Heru Setiawan, M. Sc., Apt.selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.


(11)

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA……….. vii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

INTISARI... xvi

ABSTRACT... xvii

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang... 1

1. Rumusan Masalah... 3

2. Keaslian Penelitian... 3

3. Manfaat Penelitian... 5

B. Tujuan Penelitian... 5

1. Tujuan Umum... 5

2. Tujuan Khusus... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)... 7

1. Definisi... 7

2. Klasifikasi AIHA... 7

3. Patogenesis... 8

4. Diagnosis... 11


(13)

x

6. Terapi Suportif... 16

B. Systemic Lupus Erythematotus (SLE)... 18

1. Definisi... 18

2. Etiologi dan Patogenesis SLE... 19

3. Diagnosis SLE... 24

4. Terapi... 25

C. Terapi Autoimmune Hemolytic Anemia(AIHA) dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematotus (SLE) ... 30

D.Drug Related Problems (DRPs)... 31

E. Metode SOAP... 33

F. Keterangan Empiris... 33

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 35

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 35

C. Subjek Penelitian... 37

D. Bahan dan Instrumen Penelitian... 39

E. Waktu dan Lokasi Penelitian... 39

F. Jalannya Penelitian... 39

G. Tata Cara Analisis Hasil... 40

H. Keterbatasan Penelitian... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien... 43

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Kelompok Umur... 43

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin... 44

B. Pola Pengobatan... 45

1. Rute Pemberian Obat... 45

2. Terapi Farmakologis... 46

a. Vitamin dan Mineral... 47


(14)

xi

c. Antimalaria... 49

d. Immunosupresan dan Antiinflamasi... 50

e. Antihipertensi... 52

f. Analgesik dan Antipiretik... 53

g. Antibiotik... 55

3. Terapi Suportif... 56

C. Evaluasi Drugs Related Problems (DRPs)... 57

1. Kasus 1... ... 58

2. Kasus 2... ... 59

3. Kasus 3... ... 60

4. Kasus 4... 62

5. Kasus 5... 63

6. Kasus 6... 64

D. Rangkuman Hasil Evaluasi Drugs Related Problems (DRPs... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 68

B. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA... 70

LAMPIRAN... 74


(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I Prevalensi AIHA dengan SLE... 3

Tabel II. Penelitian Terkait Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)... 7

Tabel III. Tes Klinis AIHA... 8

Tabel IV. Kriteria diagnosis klinis SLE... 24

Tabel V. Tanda atau Gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE)... 25

Tabel VI. Terapi Farmakologi SLE... 26

Tabel VII. Terapi AIHA dengan SLE... 30

Tabel VIII. Kategori dan Penyebab Umum dari Masalah Terapi Obat... 31

Tabel IX. Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian Pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009- 2014 ... 45

Tabel X. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 46

Tabel XI. Penggunaan Vitamin dan Mineral pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 47

Tabel XII. Penggunaan Antiulkus pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 48

Tabel XIII. Terapi Antimalaria pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 50

Tabel XIV. Terapi Immunosupresan dan Antiinflamasi pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 50 Tabel XV. Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Autoimmune

Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP


(16)

xiii

Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 53 Tabel XVI. Penggunaan Analgesik dan Antipiretik pada Pasien

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr. `Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 54 Tabel XVII. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Autoimmune Hemolytic

Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 55 Tabel XVIII. Terapi Suportif (Transfusi darah) pada Pasien Autoimmune

Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 56 Tabel XIX. Gambaran Drugs Related Problems (DRPs) pada Pasien

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 57 Tabel XX. Rangkuman Hasil Evaluasi Drugs Related Problems

(DRPs)pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada cAIHA... 11

Gambar 2. Indirect Antiglobulin Test dan Direct Antiglobulin Test... 13

Gambar 3. Terapi Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)... 14

Gmabar 4. Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)... 19

Gambar 5. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta... 38 Gambar 6. Distribusi Pasien AIHAdengan Komplikasi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Berdasarkan Kelompok Umur (n = 6)... 43 Gambar 7. Distribusi Pasien AIHAdengan Komplikasi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=6)... 44


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Approval Committee Ethics... 69 Lampiran 2. Izin Penelitian dan Pengambilan Data di RSUP Dr. Sardjito... 70 Lampiran 3. Kasus 1 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 71 Lampiran 4. Kasus 2 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 75 Lampiran 5. Kasus 3 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 80 Lampiran 6. Kasus 4 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 84 Lampiran 7. Kasus 5 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014... 88 Lampiran 8. Kasus 6 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di


(19)

xvi INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan penyakit autoimun akibat kerusakan sel darah merah (eritrosit) oleh autoantibodi. Penyakit ini dapat berkomplikasi dengan penyakit lain seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang merupakan penyakit gangguan autoimun multisistem dengan tingkat kejadian mencapai 6,1%. Terapi AIHA dengan SLE harus efektif dan tepat untuk mencegah faktor resiko yang dapat memperburuk kondisi pasien. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2014.

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif observasional dengan rancangan case series. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan retrospektif pada rekam medis pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan komplikasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2014. Evaluasi DRPs dilakukan dengan menganalisis data menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/Recommendation).

Penelitian ini terdapat 6 kasus yang memenuhi kriteria inklusi yang terjadi paling banyak pada perempuan dengan kelompok umur dewasa. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan adalah metilprednisolon. Kejadian drug related problem (DRPs) paling banyak ditemukan adalah dibutuhkan obat tambahan pada 3 kasus.

Kata Kunci: Drug Related Problems (DRPs), Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


(20)

xvii ABSTRACT

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an autoimmune disease, which is caused red blood cells (erythrocyte) destruction by autoantibodies. This disease can be complicated by another disease such as Systemic Lupus Erythematosus (SLE) which is multisystem autoimmune disease, with the incidence rate 6,1%. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) with SLE complication therapy must be effective and appropriate to prevent the risk factors that can be worsen the patient’s condition. The study aimed to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) complication with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients hospitalized at RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta in the period of 2009-2014

This is observational descriptive study with case series design. Data collection was done on medical records of hospitalized Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) complication with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients in RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta in the period of 2009-2014, with retrospective approach. In the DRPs evaluation, the data obtained were analysed using SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/Recommendation).

In this study, there were 6 cases which met the inclusion criteria, most of patient are women with adult age groups. The most widely used drugs is methylprednisolone. The most incidences of DRPs is need additional drug therapy occurred in 3 case.

Keywords : Drug Related Problems(DRPs), Autoimmune Hemolytic Anemia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


(21)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) adalah penyakit autoimun akibat kerusakan sel darah merah (eritrosit) oleh autoantibodi. AIHA yang merupakan penyakit hematologi ini jarang terjadi namun penting, dengan tingkat keparahan mulai dari gejala ringan hingga berat yang berlangsung secara cepat (DeLoughery, 2013).

Angka kejadian AIHA pada dewasa mencapai 0,8-3 per 105/tahun, prevalensi 17 : 100.000 dan tingkat kematian sebesar 11%. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dapat bersifat idiopatik (50%) atau bersifat sekunder yang berhubungan dengan beberapa penyakit seperti lymphoproliferative syndroms (20%), penyakit autoimun (20%), infeksi dan tumor. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) sangat jarang terjadi pada bayi dan anak-anak (0,2 per 105/tahun), dimana 37% kasus terjadi secara primer dan 53%kasus berhubungan dengan penyakit imun. Tingkat kematian pada anak-anak sebesar 4% dan dapat mencapai 10% jika komplikasidengan Evans syndrome (Zanella and Barcellini, 2014).

Prevalensi AIHA dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yaitu berkisar 6,1% pada orang dewasa (Lechner and Jager, 2010).


(22)

Tabel I. Prevalensi AIHA dengan SLE (Lechner and Jager, 2010)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit gangguan autoimun yang mempengaruhi beberapa sistemorgan termasuk kulit, ginjal, dan otak. Penyebab pastinya tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang berpengaruhyaitu genetik, asal etnis, faktor lingkungan, dan obat-obatan(Sweet, Mahdavian, Singh, Ghazivini, McKinnon, and Jones, 2013).Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ditandai dengan adanya peradangan, vaskulitis, deposisi kompleks imun, dan vasculopathy (Mok and Lau, 2003). Pengobatan pasien AIHA dengan komplikasi SLE harus efektif dan diperhatikan untuk mencegah faktor risiko yang dapat memperparah kondisi pasien sehingga diperlukan pemantauan salah satunya dengan evaluasi DRPs. Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat, dimana dapat menghambat ataupun berpotensi mengganggu pasien dalam mencapai hasil optimum suatu terapi (Shareef and Shastry, 2014).

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus


(23)

(SLE) diInstalasi Rawat Inap RSUP Sardjito Yogyakarta ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran terkait kerasionalan terapi pasien.

1.Rumusan Masalah

a. Bagaimana karakteristik pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2009-2014?

b.Bagaimana polapengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2009-2014?

c. Bagaimana Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014?

2.Keaslian Penelitian

Penelitian Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi Drug Related Problems (DRPs)pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) yang sudah dilakukan seperti pada Tabel II :


(24)

Tabel II.Penelitian Terkait Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)

No Pengarang Tahun Judul Persamaan Perbedaan 1 Kumar,

Benseler, Allen, and Silverman,

2009 B-Cell Depletion for Autoimmune Thrombocyto- penia and Autoimmune Hemolytic Anemia in Pediatric Systemic Lupus Erythematosus Penelitian ini menggunakan pengambilan data secara retrospektif dengan subjek penelitian yaitu pasien AIHA SLE Subjek yang digunakan pada penelitian terdapat penyakit lain yaitu Autoimmune Thrombocyto-penia, tujuan, tempat, dan waktu penelitian juga berbeda. 2 Kokori,

Loannidis, Voulgarelis, Tzioufas, and

Moutsopoulos,

2000 Autoimmune hemolytic anemia in patients with systemic lupus erythematosus Subjek penelitian AIHA dengan SLE Metode yang digunakan yaitu consecutive selain itu tujuan, tempat, dan waktu penelitian juga berbeda 3 Durans, et al 2008 Features

Associated With, and the Impact of, Hemolytic Anemia in Patients With Systemic Lupus Erythematosus : LX, Results From a Multirthnic Cohort Subjek penelitian menggunakan pasien AIHA dengan SLE Metode yang digunakan pada penelitian yaitu cohort selain itu tujuan, tempat, dan waktu penelitian juga berbeda


(25)

3.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE). b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan dapat meningkatkan pelayanan terapi pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1.Tujuan Umum

Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

2.Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

b.Mendeskripsikan profil penggunaan obat pada pasien pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus


(26)

(SLE) pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

c. MengevaluasiDrug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.


(27)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) 1. Definisi

Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) merupakan penyakit autoimmuneditandai lisisnya eritrosit akibat autoantibodi yang diproduksi tubuh.Eritrosit yang mengalami lisis ini dianggap sebagai antigen non-self oleh antibodi.Normalnya eritrosit (sel darah merah) memiliki masa hidup 120hari, namun pada AIHA masa hidup eritrosit kurang dari 120 hari (Dipiro et al, 2008). 2. Klasifikasi AIHA

Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) diklasifikasikan menjadi warm-type Autoimmune hemolytic anemia (wAIHA) dan cold-type Autoimmune hemolytic anemia (cAIHA) yang masing-masing dapat bersifat idiopatik ataupun yang disebabkan oleh penyakit lain (sekunder). Klasifikasi AIHA didasarkan pada deteksi DAT (Direct antiglobulin test),wAIHA akan menunjukkan adanya antigen IgG antisera dan C3 (coomb’s test positif) dengan aktivitas optimum pada suhu 37oC sedangkan cAIHAditemukan C3 serta IgM (dalam jumlah sedikit dan atau tidak terdeteksi) yang memiliki aktivitas optimum pada suhu 4oC. IgG dan C3d terdeteksi dalam sel darah merah pada 50% kasus wAIHA, IgG pada 23% kasus, C3D pada 27% kasus.


(28)

Tabel III. Tes Klinis AIHA (DeLoughery, 2013)

Tes Hasil

Direct Antiglobulin Test (DAT) Positif

IgG ± C3 pada WAIHA C3 pada CAIHA

Haptoglobin Menurun

Bilirubin indirek Meningkat

Lactate dehydrogenase Meningkat

Jumlah Retikulosit Meningkat

Urine hemosiderin Ditemukan

Gejala klinis pada pasien wAIHA yaitu anemia, jaundice (penyakit kuning), dan splenomegali sedangkan cAIHA pada kondisi cuaca dingin akan terjadi anemia dan warna urin yang sangat pekat. Penyakit CAIHA akan sering ditemukan pada pasien lanjut usia dan dewasa, sedangkan wAIHA akan mudah ditemukan disemua usia (Marcus, Attias, and Tamary, 2014).

3.Patogenesis

Peningkatan penghancuran sel darah merah oleh autoantibodi diperantarai dengan atau tidak adanya aktivasi komplemen. Autoantibodi diproduksi oleh limfosit sel B yang kehilangan toleransi diri dengan bantuan limfosit Th. Komplemen cukup berperan penting dalam pertahanan tubuh karena jika teraktivasi, komplemen akan menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan substansi biologi aktif untuk melisiskan membran sel antigen. Aktivasi komplemen dapat juga membahayakan tubuh, jika komplemen teraktivasi oleh endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan secara terus menurus maka akan terjadi lisisnya eritrosit (Suyoko, 2008).


(29)

a. Warm-typeAutoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)

Warm-typeAutoimmune Hemolytic Anemialebih dari 70% terjadi pada AIHA sekunder, hal ini disebabkan adanya produktivitas autoantibodi yang melawan eritrosit. Antibodi IgG merupakan antibodi yang hampir ada pada semua kasus wAIHA, meskipun begitu antibodi IgM dan IgA juga dapat terdeteksi. Hemolisis ekstravaskulaer yang disebabkan oleh wAIHA terjadi melalui mekanisme yaitu Fc receptor-mediated immune adherence dan complement mediated hemolysis (Kelton et al, 2002). Antigen dapat bersifat nonspesifik atau ditujukan melawan antigen dalam sistem Rh (Mehta dan Hoffbrand, 2006). 1) Fc Receptor-Mediated Immune Adherence

Sel darah merah yang terlapisi antibodi dapat dihilangkan dari sirkulasi darah melalui dua mekanisme yang berbeda yaitu fagositosis dan lisis. Proses fagositosis makrofag menelan dan melisiskan sel darah merah dengan pembentukan oksigen radikal pada sitoplasma, sedangkan lisis sel toksis diakibatkan hancurnya sel target oleh enzim lisosomal yang dikeluarkan sel fagosit. Fagositosis diperantarai oleh deposisi opsonin yang mengandung antibodi atau C3b pada antigen. Sel imun efektor memiliki reseptor Fc pada permukaan sel yang akan berinteraksi dengan reseptor Fc antibodi. Reseptor Fc IgG pada makrofag memiliki tiga kelas berbeda yaitu Fcγ RI, Fcγ RII danFcγ RIII. Fcγ RII dan Fcγ RIII berikatan dengan IgG oligomer sedangkan Fcγ RI berikatan dengan IgG monomerik. Hal tersebut mengakibatkan munculnya IgG pada wAIHA. Fcγ RIII mengandung fagosit, endositosis, dan antibodi yang memediasi sitotoksik sel.


(30)

Fcγ RII merupakan reseptor inhibitor dan memiliki aksi negative regulator pada aktivasi sel B dan sel mast. Proses penghancuran sel yang dimediasi oleh reseptor Fc tergantung pada sejumlah faktor antara lain kekebalan imunoglobulin spesifik, jumlah antibodi yang terikat pada sel darah merah dan aktivitas keseluruhan dari makrofag dalam sistem retikuloendotelial (Kelton et al, 2002).

2)Complement Mediated Hemolysis

IgG yang menempel pada sel darah merah akan membentuk kompleks untuk mengaktifkan sistem komplemen C1 (C1q, Clr, dan Clr). C1qrs mengaktivasi C3 melalui C2 dan C4, aktivasi ini membentuk C3b yang kemudian menempel pada kompleks antigen-autoantibodi sehingga terjadi lisis sel darah merah (Berentsen et al, 2015).

b. Cold-typeAutoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA)

Antibodi yang muncul pada cAIHA 85% berupa IgM dan IgG (15%), antibodi ini bereaksi optimum pada suhu dingin (dibawah 30oC). Darah perifer pasien dengan cold hemagglutinin akan mengalami aglutinasi jika diperiksa pada suhu ruangan. Umumnya autoantibodi spesifik pada cAIHA menyerang antigen I pada permukaan sel darah merah. Autoantibodi yang mengikat antigen melakukan proses penghancuran sel darah merah melalui aktivasi komplemen (Kelton, et al 2012).


(31)

Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada cAIHA Cold Antigen (CA) yang berikatan dengan sel darah merah mengalami aglutinasi jika terjadi pendinginan darah pada akral tubuh (ujung jari tangan dan kaki). Aktivasi komplemen melalui jalur klasik ditunjukan oleh kompleks IgM-CA yang berikatan dengan sel darah merah dan C1. C1 esterase mengaktifkan C2 dan C4 kemudian mengaktifkan C3 konvertase, C3 terpecah menjadi C3a dan C3b. C3b akan berikatan dengan kompleks dan pada saat kompleks kembali pada tubuh dengan suhu 370C, IgM-CA terlepas dari permukaan sel sedangkan C3b tetap terikat sel darah merah untuk difagosit dihati (Berentsen et al, 2015)

4.Diagnosis AIHA

Tanda dan gejala AIHA tergantung pada tingkat keparahan penyakit, pada umumnya pasien mengalami tanda dan gejala anemia seperti pusing, pucat, mudah kelelahan, sesak napas dan jantung berdebar-debar. Pasien dengan hemolisis hebat dapat mengalami ikterik, pucat, edema, hemoglobinuria, splenomegali dan limfadenopati hingga infeksi (Zeeleder, 2011).


(32)

Penegakan diagnosis AIHA selain berdasarkan tanda dan gejala yang dialami pasien maka dilakukan juga pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan serologi (coomb’s test) dan gambaran darah tepi.

a. Pemeriksaan laboratorium. Deteksi AIHA berupa hemolisis dan autoantibodi eritrosit sangat berperan penting dalam penegakan diagnosis. Peningkatan kadar Lactat Dehidrogenase (LDH), hiperbilirubin indirek, retikulositosis dan penurunan haptoglobin menunjukan terjadinya hemolisis secara internal maupun eksternal (Zeeleder, 2011).

b.Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan berupa Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Coomb’s test merupakan suatu pengukuran untuk mendeteksi imunoglobulin dan/atau komplemen yang melapisi sel darah merah. Coomb’s test dapat dilakukan secara Direct dan Indirect Coomb’s test. Direct Coomb’s test dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien yang kemudian diinkubasi dengan antihuman antibodies (reagen coomb’s). Indirect Coomb’s test bertujuan untuk mendeteksi antibodi yang ada didalam aliran darah yang mengikat eritrosit, dilakukan dengan menambahkan darah pendonor pada serum resipien sehingga terbentuk kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi tersebut ditambahkan reagen coomb’s (Zeeleder, 2011).


(33)

Gambar 2. Indirect Antiglobulin Test dan Direct Antiglobulin Test (Zeeleder, 2011)

Coomb’s test positif jika terjadi aglutinasi sel darah merah pasien dengan anti IgG atau tanpa C3d maka termasuk wAIHA, sedangkan permukaan sel darah merah yang hanya terdapat C3d maka kemungkinan termasuk cAIHA (Hoffman et al, 2014). Deteksi DAT dapat menunjukan coomb’s negatif sekitar 2% pada kasus wAIHA dikarenakan tingkat sensitisasi antibodi sel darah merah di bawah sensitivitas DAT atau AIHA yang disebabkan oleh IgA atau immunogloblulins lainnya (DeLoughery, 2013).

c.Gambaran darah tepi merupakan proses hemolitik berupa ferositosis, polikromasi, maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, dan retikulositopenia pada awal anemia. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai trombositopeni ditunjukan pada pasien AIHA (Permono dkk, 2005).


(34)

5.Terapi Farmakologi AIHA

a. Terapi Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)

Gambar 3. Terapi Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)(Zanella et al, 2014)

1) Steroid (Kortikosteroid)

Steroid (Kortikosteroid) merupakan first-line pada warm-type AIHA yang diberikan selama 1-3 minggu sampai kadar hemoglobin lebih dari 10 g/dL, jika tidak terjadi respon pada minggu kedua maka perlu dilakukan peningkatan dosis. Setelah hemoglobin stabil, selanjutnya dilakukantappering dosis secara bertahap dan perlahan sesuai kondisi pasien. Pasien yang menggunakan steroid jangka panjang harus dilakukan pertimbangan pemberian suplemen asam folat, vitamin D, kalsium, bifosfonat untuk mencegah efek osteoporosis akibat berkurangnya massa tulang. Pasien dengan hemolisis sangat cepat dan severe anemia, atau kasus yang kompleks seperti sindrom Evans dan Systemic Lupus


(35)

Erythematosus (SLE), memerlukan metilprednisolon iv di100-200 mg/hari selama 10-14 hari atau 250-1000 mg /hari selama 1-3 hari (Zanella and Barcellini, 2014). 2) Splenoctomy dan Rituximab

Second-linewarm-type AIHA yaitusplenectomy dan rituximab. Splenectomy diberikan jika pasien tidak responsive atau tidak toleran terhadap steroid dan pada pasien yang membutuhkan lebih dari 10 mg prednisone serta pasien yang sering mengalami kekambuhan.Rituximab sebagai antibody monoclonal ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh sel B. Rituximab dengan dosis 100 mg/minggu selama 4 minggu telah dilaporkan efektif pada pasien AIHA yang gagal merespon pengobatan konvensional serta pada pasien autoimun. Rituximab dapat dijadikan monoterapi maupun kombinasi.Pemberian anti histamin, stroid dan meperidin dapat mengatasi efek samping dari rituximab (Zanella and Barcellini, 2014).

3) Imunosupresan

Imunosupresan seperti azathioprine dan cyclophosphamide serta obat-obatan lain seperti danazol, mycophenolate mofetil, cyclosporine dapat digunakan jika pasian tidak toleran terhadap rituximab dan Splenoctomy (DeLoughery, 2013). Dosis imunosupresan yang diberikan yaitu azathioprine (100-150 mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) menunjukan respon yang baik (40-60% kasus) (Zeerleder, 2011).


(36)

4) Last Option

Pemberian Alemtuzumab yang memiliki toksisitas tinggi, efetif terhadap pasien yang mengalami kekambuhan setelah pemberian cyclophosphamidedosis tinggi (Zanella et al, 2014).

b. Terapi Cold-type Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA)

Pasien cold-type AIHA, penggunaan steroid dan Splenoctomy tidak memberikan respon sehingga diberikan rituximab untuk meningkatkan hemoglobin.Namun jika respon yang didapat kurang optimal maka dapat ditambahkan fluradabine (40mg/mg/m2 pada hari ke-1 sampai 5).Bortezomib dapat pula digunakan sebagai terapi karena respon yang ditimbulkan baik dan dapat menghentikan hemolysis dapat digunakan eculizumab sebagai inhibitor komplemen. Transfusi darah dapat diberikan pada pasien cAIHA (Lechner and Jager, 2010).

6.Terapi Suportif

Pasien AIHA secara umum membutuhkan transfusi darah untuk mengurangi risiko komplikasi hingga kematian (Kelton et al, 2002). Pemberian transfusi darah difungsikan untuk memperbaiki dan mempertahankan kadar hemoglobin pasien. Tujuan terapi sel darah merah terutama untuk memperbaiki oksigenisasi jaringan (Permono dkk, 2005).

Sel darah merah memiliki antigen permukaan yang merupakan glikoprotein atau glikolipid. Seseorang yang tidak memiliki antigen sel darah merah dapat membuat antibodi jika terpejan sel darah merah melalui transfusi atau


(37)

melalui transfer sel darah merah janin yang melewati plasenta pada kehamilan. Antigen antibodi terhadap ABO terjadi secara alamiah, yaitu IgM dan bersifat komplit (dapat terdeteksi dengan inkubasi sel darah merah dengan antibodi dalam aliran darah pada temperatur ruangan). Antibodi terhadap antigen sel darah merah lain hanya tampak setelah sensitisasi. Antibodi ini biasanya adalah IgG dan bersifat inkomplit, dideteksi dengan teknik khusus misalnya penambahan enzim, albumin atau DAT (Hoffbrand and Metha, 2016).

Darah yang akan diberikan pada pasien harus diuji untuk memeriksa keamanan darah sehingga terhindar dari agen infeksi dan penyakit yang memperparah kondisi pasien. Uji yang dilakukan yaitu pemeriksaan golongan darah dan reaksi silang. Reaksi silang bertujuan untuk memastikan di dalam serum resipien atau plasma donor tidak terdapat antibodi reaktif terhadap eritrosit dan menghindari reaksi transfusi hemolitik serta memastikan efektivitas transfusi.

Transfusi sel darah merah dapat dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Sel darah merah pekat (Packed Red Cell)

Berfungsi mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia aplastic, thalassemia, anemia hemolitik, dan lainnya, mengatasi defisiensi yang berat dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat, serta perdarahan akut

2. Sel darah merah miskin leukosit

Untuk menghindari/mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dan lainnya), dipergunakan pada kasus transfusi berulang,


(38)

menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek

3. Sel darah merah beku (Frozen Red Packed Cell)

Bertujuan agar sel darah merah dapat disimpan lebih lama, sebagian persediaan sel darah merah yang jarang dijumpai

4. Sel darah merah yang diradiasi (Irradiation Blood) Untuk menghindari reaksi imun yang akan terjadi, radiasi bertujuan untuk menghancurkan sel limfosit yang sering menyebabkan terjadi reaksi graft versus host (GVH) (Permono dkk, 2005).

5. Washed Red Cell (WRC)

Indikasi untuk pasien yang mengalami alergi parah atau reaksi demam berulang pada sel darah merah, atau pasien yang mengalami defisiensi IgA. Perbedaan WRC dengan paket sel darah merah yang lain yaitu plasmanya telah dihilangkan (<0,5 g sisa plasma per unit) (Norfolk, 2013).

B. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 1. Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit gangguan autoimun multisistem,akibat penumpukan kompleks imun dan ditandai beragam autoantibodi terutama antibodi antinukleus (ANA) (Kumar, Abbas, and Fausto, 2005). Angka kejadian tahunan pada orang dewasa berkisar 1,9-5,6 per 100.000 orang pertahun dengan prevalensi 124 kasus per 100.000 orang. SLE lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan rasio 10:1 terhadap pria.Penyakit ini


(39)

dapat ditemukan disemua usia, ras dan gender namun lebih sering terjadi pada wanita usia 15-45 tahun (Dipiro et al, 2008).

2. Etiologi dan Patogenesis SLE

Faktor genetik, hormon, lingkungan, imunologimaupun antigen spesifik yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh akan berinteraksi dengan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) pada permukaan Antigen Presenting Cells (APCs) seperti sel B dan sel Dendrit. Interaksi inimengakibatkan aktivasi sel T yang memproduksi Th2 berlebih dan menekan sel Ts. Produksi Th2 berlebih dan penekanan sel B menyebabkan aktivasi sel B yang menghasilkan autoantibodi. Sel B yang teraktivasi kemudian berinteraksi dengan sistem komplemen membentuk autoantibodies immune complexes dan menyebabkan inflamasi, kerusakan jaringan organ (Dipiro et al, 2008).

Gambar 4. Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)(Dipiro et al, 2008)


(40)

SLE yang merupakan penyakit dengan ditandai munculnya autoantibodi ini belum diketahui kemunculan antibodi-antibodi tersebut, namun diperkirakan ada beberapa faktor yang berperan diantarannya faktor genetik, lingkungan, hormon, imunologi.

a. Genetik

Anti-dsDNA diduga berperan penting sebagai faktor genetik dalam penyakit SLE, dibuktikan dengan adanya peningkatan 20% risiko SLE pada anggota keluarga dekat (asimptomatik) dan saudara kembar monozigot. Beberapa studi menunjukan adanya keterkaitan Human Leukocyte Antigen (HLA) dari Major Histocompatibility Complex (MHC) II untuk mengendalikan produksi autoantibodi spesifik seperti Anti ds-DNA, Anti Sm dan antibodi antifosfolipid. Gen HLA berguna dalam pengikatan dan presentasi antigen serta aktivasi sel T, sehingga penderita yang secara genetik mempunyai predisposisi SLE akan sering mengalami gangguan pada sistem regulasi sel T dan fungsi sel B (Kumar, Abbas and Fausto, 2009).

Pasien SLE ditandai dengan defisiensi herediter komplemen (C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan IgA atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Pasien SLE sekitar 6% mewarisi defisiensi komplemen C2, C4 atau C1q yang dapat mengganggu pembersihan kompleks imun dalam darah oleh sistem fagosit mononukleus sehingga kemungkinan pengendapan kompleks imun di jaringan lebih besar serta hilangnya toleransi diri sel B (Kumar, dkk 2009).


(41)

b. Hormon

Penyakit SLE sering terjadi pada pubertas, waktu hamil, pasca persalinan dan penggunaan pil kontrasepsi oral yang mengandung estrogen. Estrogen bersifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral dan menekan fungsi sel Ts (Sel T supresor) dengan cara mengikat reseptor, akibatnya terjadi peningkatan produksi antibodi yang memicu SLE. Pasien perempuan dengan SLE dapat mengalami kadar peningkatan 16 alfa hidroksiestron dan estriol (Akib, Munasir dan Kurniati, 2008).

c. Lingkungan

Pengaruh sinar matahari (UV), infeksi (bakteri, virus, protozoa) dan obat-obatan dapat memicu serta memperberat penyakit autoimun melalui aktivasi sel B poliklonal maupun meningkatkan ekspresi MHC I atau II.

Mekanisme sinar UV belum sepenuhnya diketahui, tetapi diperkirakan sinar UV yang berikatan dengan DNA kulit akan membentuk kompleks UV-DNA bersifat lebih imunogenik dibanding DNA kulit. UV-DNA akan masuk ke sirkulasi akan masuk ke sirkulasi darah dan merangsang pembentukan anti-DNA yang bereaksi dengan DNA epidermal membentuk kompleks imun. Kompleks imun selanjutnya terdifusi keluar pembuluh darah, masuk dan menempel ke membran basal sehingga mengakibatkan aktivasi komplemen yang memicu inflamasi. Sinar UV juga dapat menginduksi keratinosit untuk menghasilkan IL-1 serta memicu apoptosis sel (Akib, dkk 2008).


(42)

d. Imunologi 1) Limfosit B

Hiperaktivitas intrinsik sel B diduga mendasari munculnya SLE, namun analisis molekuler terhadap antibodi anti-DNA untai ganda menunjukan autoantibodi patogenik tidak berasal dari sel B yang diaktifkan secara poliklonal melainkan antibodi perusak tersebut dirangsang oleh antigen diri akibat respon sel B terhadap sel Th. Aktivasi poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen merangsang poliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivitas sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus dan bakteri.

Sel B juga dapat mempengaruhi presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan adanya gangguan fungsi CD8+, nature killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Kadar autoantibodi pada jumlah tinggi dipengaruhi oleh persentensi antigen dan antibodi yang dalam bentuk kompleks kurang optimal dibersihkan dari sistem retikuloendotelial sehingga menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.

Autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita SLE adalah antibodi nuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk yaitu sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen tetapi dapat juga


(43)

mempermudah destruksi sel sebagai perantara begi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin (Akib, dkk 2008).

2) Limfosit T

Pasien SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya CD4+ yang mengaktifkan CD+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan fenotip dari sel TH0 ke sel TH2 sehingga sitokin cenderung membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, dan IL-6 (Akib, dkk 2008).

3) Kompleks Imun

Keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan serta aktivasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dengan adanya produk aktivasi komplemen. Kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit dijaringan serta beberapa terbentuk insitu. Komplemen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. Kompleks imun melalui aktivasi kaskade komplemen, mengakibatkan muncul faktor kemotaktik (C3a, C5a), granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi (Akib, dkk 2008).

4) Apoptosis

Pasien SLE mengalami peningkatan apoptosis dan limfosit, serta terjadi persistensi sel apoptosis akibat defek pembersih (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah pengambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositpenia (Akib, dkk 2008).


(44)

3. Diagnosis SLE

Kriteria diagnosis klinis SLE berdasarkan American College of Rheumatology 1997seperti pada Tabel IV:

Tabel IV. Kriteria Diagnosis Klinis SLE (American College of Rheumatology, 1999).

Ruam malar Pada daerah malar terdapat eritema yang menetap, rata atau menonjol menyerupai bentuk kupu-kupu

Ruam diskoid Terjadinya plak eritema yang menonjol dengan lapisan keratin terkelupas disertai penyumbatan folikel dan terjadi jaringan parut pada lesi lama

Fotosensitifitas Ruam kulit akibat rekasi berlebihan terhadap sinar matahari Tukak mulut Ulkus mulut atau nasofaring biasanya tidak nyeri dan

diketahui melalui hasil anamnesis dokter

Artritis Arthritis mengenai dua atau lebih sendi perifer, nyeri, bengkak atau terdapat efusi

Serositis  Pleuritis; adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura

 Perikarditis; diketahui gambaran EKG atau terdengar bunyi gesekan perikardium atau ada efusi perikardium Gangguan renal Proteinuria persisten lebih dari 0,5g/hari atau lebih dari 3+

bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau terdapat silinder seluler (sel darah merah, Hb, granular, tubular, atau campuran)

Gangguan neurologi

Kejang ataupun psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolik

Gangguan hematologi

- Anemia hemolitik disertai retikulositosis

- Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

- Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

- Trombositopenia <100.000/mm3 yang disebabkan bukan karena obat-obatan

Gangguan Imunologi

Anti-dsDNA, Anti-Sm dan/atauantibodi antifosfolipid Antinuclear

antibody (ANA)


(45)

Jika 4 dari kriteria tersebut telah menunjukan gejala klinis pada seseorang maka, dapat dikatakan bahwa orang tersebut positif SLE (American College of Rheumatology, 1999). Pemeriksaan penunjang lain yang perlukan untuk dianosis dan monitoring yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah, urin rutin, urin mikroskopik, kimia darah, PT dan aPTT pada sindrom antifosfolipid, serologi ANA, Anti-dsDNA, komplemen, serta foto thorax (Akib, dkk 2008).

Tanda atau gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE) berdasarkan tingkat kejadiannya:

Tabel V. Tanda atau Gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE)(American College of Rheumatology, 1999)

4. Terapi

Outcome SLE yang diharapkan adalah berkurangnya tanda dan gejala penyakit serta memelihara kondisi pasien agar tidak terjadi komplikasi penyakit lanjutan.Terapi farmakologi SLE:


(46)

Tabel VI. Terapi Farmakologi SLE (Ioannouand Isenberg, 2002).

a. NSAIDs (Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs)

NSAIDsmerupakan obat pilihan empiris pada pengobatan SLE, meninjau lebih lanjut tentang tanda dan gejala umum pada pasien SLE seperti demam, arthritis, skin rash,myalgia, arthralgia dan serosis maka NSAID merupakan pilihan tepat. Dosis NSAID yang diberikan harus memberikan efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesik meskipun pada dosis rendah NSAID ini dapat juga digunakan untuk pasien dengan sindrom antifosfolipid.

NSAID nonselektif siklooksigenase secara signifikan meningkatkan risiko iritasi lambung dan ulkus peptikum untuk itu pemberian NSAID pada pasien dengan SLE dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal karena efek obat dan bukan penyakit yang mendasari sehingga penggunaan NSAID ini harus berhati-hati (Dipiro et al, 2008).


(47)

b. Antimalaria

Agen antimalaria seperti chloroquine dan hydroxychloroquine ini bekerja dengan menghambat T-limfosit, imunomudulator, menghambat sitokin, menurunkan sensitivitas terhadap ultraviolet,antiinflamasi, memberikan efek antiplatelet, dan memiliki aktivitas antihiperlipidemic. Dosis hydroxychloroquine pada pasien SLE yaitu 200-400mg/hari sedangkan chloroquine 250-500mg/hari.

Pemberian hydroxychloroquine pada pasien SLE dapat menurunkan aktivitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup terbukti dengan meningkatkan kepadatan mineral tulang, efek proktektif terhadap trombosis dan kerusakan organ irrversibel serta mengurangi flare. Hydroxychloroquine mengurangi konsentrasi sitokin (IL-1, IL-2, IL-6, TNF-α) dan menghambat pengolahan APCs serta signaling sel T. Efek samping penggunaan Hydroxychloroquine pada dosis rendah relatif aman, namun pemeriksaan mata perlu dipertimbangkan terkait efek samping obat (Dipiro et al, 2008).

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid sebagai monoterapi menekan dan mempertahankan penekanan terhadap penyakit SLE.Kortikosteroid memiliki onset cepat jika dibandingkan obat SLE yang lainnya.

Dalam kasus pasien dengan penyakit SLE tahap ringan digunakan prednisolon dosis rendah yaitu 10-20mg/hari, sedangkan untuk pasien dengan tingkat lebih berat digunakan kortikosteroid dengan dosis 1-2mg/kg BB/hari.Penggunaan kortikosteroid dapat meningkatkan beberapa faktor


(48)

risikodiantaranya infeksi, hipertensi, penyakit aterosklerosis, diabetes, obesitas, osteoporosis, dan penyakit kejiwaan sehingga penggunaan kortikosteroid pada pasien SLE harus dengan dosis efektif terendah. Metilprednisolon intravena dengan dosis 500-1000mg/hari selama 3-6hari berturut-turut dapat diberikan bersamaan dengan prednisolon (1-1,5mg/kg BB/hari) sebagai standar terapi pulse steroids jangka pendek dan dapat merangsang remisi pasien SLE (Dipiro et al, 2008).

d. Obat sitotoksik

Cyclophosphamide (alkylating agent) dan azathioprine(antimetabolit) termasuk dalam golongan obat sitotoksik yang berfungsi menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit ekstrarenal. Obat golongan ini sering dikombinasikan dengan kortikosteroid karena dapat menurunkan risiko gagal ginjal stadium akhir yang memerlukan dialisis dan transplantasi ginjal serta digunakan untuk meminimalkan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi. Dosis cyclophosphamide jika dikombinasikan dengan kortikosteroid yaitu 0,5-1g/m luas permukaan tubuh dalam pemberian intravena. Efek toksik dari cyclophosphamide yaitu penekanan hematopoesis, infeksi oportunistik, komplikasi kandung kemih, kemandulan, dan teratogenesis. Jumlah sel darah putih harus dipantau selama terapi cyclophosphamide, dan jika kurang dari 1.500 / mm dosis harus disesuaikan untuk menjaga jumlah sel putih di atas 1.500 / mm. Mual dan muntah yang berhubungan dengan cyclophosphamide dapat dikontrol menggunakan ondansetron dan deksametason.


(49)

Azathioprine diberikan dengan dosis oral 1-3mg/kg BB/hari, efek toksik yang dihasilkan azathioprine lebih kecil jika dibandingkan dengan cyclophosphamide.Azathioprinedapat digunakan sebagai steroid sparing agent untuk mereduksi dosis kortikosteroid. Penambahan Azathioprine lebih efektif dibandingkan dengan dosis tunggal prednisolon.

Mycophenolate mofetil(MMF) merupakan agen imunosupresif yang mencegah proliferasi sel B dan sel T serta mengurangi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE serta nefritis yang resisten terhadap cyclophosphamide. Dosis MMF yaitu 500-100mg dua kali sehari, kemudian ditingkatkan menjadi 750mg dua kali sehari setelah dua minggu dan ditingkatkan setiap minggu sampai mencapai dosis maksimal 1000mg/hari. Methotrexate dengan dosis 15-20mg/ perminggu terbukti efektif mengatasi keluhan pada kulit dan sendi. Efek samping yang ditimbulkan yaitu peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi oral ulcer, fungsi hati dan ginjal sehingga perlu dilakukan monitoring ketat. Cyclosporine dosis 2,5-5mg/kgBB/hari berguna untuk memperbaiki kondisi proteinuria, sitopenia, parameter imunologi, dan aktifitas penyakit (Dipiro et al, 2008).

e. Terapi Adjuvan

Terapi adjuvan yang perlu diperhatikan yaitu penggunaan tabir surya untuk mencegah perkembangan lesi kulit akibat fotosensitifitas dari sinar UV. Pemberian kalsium dan vitamin D dapat melindungi kehilangan masa tulang akibat penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Pengendalian berat badan, latihan


(50)

fisik, dan merokok dapat mencegah peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada pasien SLE.

C. Terapi Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ini merupakan salah satu penyakit berkomplikasi dengan AIHA,dengan prevalensi mencapai 6,1%(Lechner and Jager, 2010). Terjadinya predisposisi genetik, defek apoptosis, gangguan sel T dan sel B, serta komplemen atau komplemen reseptor menunjukan adanya abnormalitas pada pasien AIHA dengan SLE. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya autoantibodi yang akan mengancurkan sel darah merah yang dianggap sebagai antigen. Diagnosis AIHA dengan SLE dapat ditegakan dengan

coomb’s test untuk mengetahui aktivitas autoantibodi (Giannouli, et al 2006). Tabel VII. Terapi AIHA dengan SLE (Lechner and Jager, 2010)


(51)

First-line terapi dari Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dengan komplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE)adalah steroid. Steroid yang digunakan yaitu prednisolone 1 mg/kg/hari namun jika tidak ada respon maka perlu ditambahkan pulse steroid berupa 1000 mg metilprednisolon IV selama 3hari, serta diberikan kombinasi atau cylclophosphamide. Second-line terapi dari penyakit ini adalah azathioprine, dan dapat digunakan mycophenolate mofetiljika second-line tidak bekerja.Dari semua terapi ini rituximab autologous stem cell dapat dijadikan pilihan terakhir (Lechner and Jager, 2010).

D. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien dengan melibatkan ataupun diduga melibatkan terapi obat sehingga dapat mengganggu pencapaian dari tujuan terapi yang diinginkan secara aktual maupun potensial (Cipolle, Strand, and Morley, 2004).

Tabel VIII. Kategori dan penyebab umum dari masalah terapi obat(Cipolleet al, 2004).

Masalah terapi obat

Penyebab umum masalah terapi obat Indikasi Obat yang tidak

dibutuhkan

(Unnecessary drug related)

 Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu

 Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat  Kondisi medis yang lebih tepat

menggunakan terapi non-obat

 Terapi untuk pencegahan efek samping  Penyalahgunaan obat

Dibutuhkan tambahan obat (Need for additional drug related)

 Kondisi yang membutuhkan terapi baru  Terapi obat pencegahan untuk

mengurangi risiko timbulnya risiko baru  membutuhkan tambahan terapi untuk


(52)

Tabel VIII. Lanjutan

Masalah terapi obat

Penyebab umum masalah terapi obat Efektif Obat tidak efektif

(Ineffective drug)

Obat tidak efektif untuk kondisi pasien  Kondisi medis tidak dapat disembuhkan

dengan obat yang diberikan  Bentuk sediaan obat tidak sesuai  Obat tidak efektif untuk indikasi Efektif Dosis terlalu

rendah(Dosage too low)

 Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan

 Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan  Interaksi obat mengurangi jumlah obat

aktif yang tersedia

 Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan Kepatuhan Ketidakpatuhan(N

oncompliance)

Pasien tidak memahami instruksi  Pasien lebih memilih tidak meminum

obat

 Pasien lupa meminum obat  Obat terlalu mahal bagi pasien  Pasien tidak dapat menelan atau

mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat

 Obat tidak tersedia untuk pasien Keamanan Efek samping obat

(Adverse drug reaction)

 Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis

 Diperlukan obat yang aman karena faktor risiko

 Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan

 Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat

 Obat menyebabkan reaksi alergi

 Obat merupakan kontraindikasi karena adanya faktor risiko

Dosis terlalu tinggi  Dosis terlalu tinggi

 Frekuensi obat terlalu sering  Durasi obat terlalu panjang

 Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik


(53)

E. Metode SOAP

SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan) merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi DRPs yang timbul selama penggunaan obat pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.Metode ini terdiri atas 4 elemen, yaitu: subjective (S): terdiri dari informasi subjektif dalam rekam medis; objective (O): berisi data yang dimasukkan ke dalam catatan kesehatan seperti beberapa hasil tes, prosedur dan evaluasi; data ini dapat berupa tanda vital, temuan pemeriksaan fisik, hasil X-ray, ECG, obat dan lainnya; Assessment (A): mengacu pada informasi subjektif dan objektif yang harus digunakan untuk mengembangkan rencana terapi; plan (P): terdiri diri semua rekomendasi selama analisis, menetapkan perubahan obat dan strategi yang dipilih, tujuan yang akan dicapai dan parameter yang harus dipantau (Becerra, Martinez, Bohorquez, Guevara, dan Ramirez, 2012). Elemenplan berdasarkan pendekatan retrospektif diganti dengan recommendationyang bertujuan untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi.

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan gambaran mengenai DRPs pada pengobatan pasien AIHA dengan KomplikasiSLE pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 2009-2014, yang meliputi :obat yang tidak dibutuhkan (Unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan


(54)

obat (Need for additional drug related), obat tidak efektif (Ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too low), efek samping obat (Adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (Dosage too high).


(55)

35 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Evaluasi DPRs pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus (SLE) di Instalasi Rawat InapRSUPDr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2009-2004 merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan case series melalui pengambilan data yang bersifat retrospektif.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena penggalian informasi dilakukan secara sederhana melalui sumber infomasi yang tersedia yaitu rekam medis pasien (World Health Organization, 2013).Penelitian secara deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta tidak dimaksud untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006). Rancangan case series merupakan kumpulan dari kasus yang sama dengan suatu kondisi dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasilnya (Storm and Kimmel, 2006).Pengambilan data dilakukan secara retrospektif, yaitu penelusuran data dan dokumen terdahulu dari rekam medis pasien.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Profil penggunaan obat AIHA dengan KomplikasiSLE dan DRPs yang meliputi obat yangtidak dibutuhkan (unnecessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat tidak


(56)

effektif(ineffective drug), dosis rendah (under dose), dosis tinggi (high dose) efek obat merugikan (adverse drug reaction).

2. Definisi Operasional

a. Rekam Medis menurut PERMENKES Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 yaitu berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

b. Pola pengobatan merupakan terapi farmakologis berupa jumlah, jenis dan rute yang diterima subjek penelitian di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014.

c. Referensi yang digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi DRPs yaitu Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemias ditulis oleh Zanella and Barcellini tahun 2012,How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults ditulis Lechner andJa¨ger tahun 2010,A Practical Guide To The Monitoring And Management of The Complications of Sistemic Corticosteroid Therapy ditulis oleh Liu et al tahun 2013, dan Drug Interaction Checker oleh Medscape.

d. DRPs yang dikaji meliputi obat yang tidak dibutuhkan (Unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan obat (Need for additional drug related), obat tidak efektif (Ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too low), efek samping obat (Adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (Dosage too high). DRPs kepatuhan pasien (Noncompliance) tidak dikaji dikarenakan metode penelitian yang digunakan yaitu retrospektif sehingga tidak dapat


(57)

melihat kelanjutan pengobatan pasien untuk menentukan katagori kepatuhan pasien (Noncompliance).

e. DRPs dikelompokan berdasarkan jenisnya yaitu potensial dan aktual. DRPs aktual merupakan masalah yang terjadi selama terapi pengobatan dan dapat dilihat melalui data yang tertera pada lembar rekam medis. DRPs potensial merupakan masalah yang berkaitan dengan terapi yang diterima pasien dimungkinkan terjadi dan dapat diketahui melalui berbagai literatur penunjang.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pasien AIHA dengan Komplikasi SLE pada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

1. Kriteria inklusi subjek yaitu semua pasien AIHA dengan Komplikasi SLE

2. Kriteria eksklusi subjek yaitu pasien yang terdiagnosis AIHA dengan komplikasi SLE sebelum Tahun 2009,pasien rekam medis tidak lengkap, rekam medis tidak ditemukan dan pasien yang menjalani rawat inap hingga Tahun 2015.

Pemilihan subjek penelitian didasarkan oleh kriteria inklusi yang telah ditentukan. Rekam medis pasien AIHA dengan SLE yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito periode tahun 2009-2014 sebanyak 27 rekam medis pasien dan 43 kasus diagnosis AIHA komplikasi SLE. Kasus tereksklusi sebanyak 37 kasus dari 43 kasus karena 36 kasus terdiagnosis memiliki penyakit penyerta lain selain AIHA dan SLE serta terdapat satu kasus tegak AIHA tahun 2008. Enam kasus


(58)

yang masuk dalam kriteria inklusi merupakan kasus yang diperoleh dari 5 rekam medis atau 5 pasien, dan 2 kasus dari 6 kasus berasal dari satu nomor rekam medis yang sama.Pada penelitian, subyek penyakit penyerta tereksklusi karena peneliti memfokuskan penelitian hanya pada AIHA komplikasi dengan SLE sehingga dimungkinkan penyakit penyerta seperti bronkopneumia, infeksi saluran kemih, raynold syndrom dan post herpatic syndrom akan mempengaruhi kondisi dan terapi yang diterima.


(59)

Gambar 5. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

D. Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Bahan Penelitian

Bahan penelitianmeliputi rekam medis AIHAdengan Komplikasi SLEpada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menggunakanform terkait informasi subjektif dan objektif yang digunakan saat proses pengambilan data dari rekam medis pasien AIHAdengan Komplikasi SLEpada Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014.

E. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 September sampai 21 Desember 2015 di bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.

F. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui empat tahap, diantaranya: 1. Persiapan

Persiapan ini meliputi observasi dan perijinan. Observasi dilakukan untuk menggali informasi mengenai jumlah pasien AIHA dengan Komplikasi SLE, perijinan dan proses pengambilan data. Perijinan yang dilakukan terkait Ethical Clereance pada Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan


(60)

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito.

2. Analisis situasi dan penentuan masalah

Tahapan ini diawali dengan melakukan survey tentang situasi dan masalah yang terjadi pada pasien AIHA dengan KomplikasiSLE yang menjalani Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Tahun 2009-2014. Tujuannya untuk melihat dan memastikan bahwa data yang akan diambil telah memadai. 3. Pengambilan data dan pengolahan data

Pengambilan data diawali dengan penelusuran data yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi berdasarkan lembar print out data dari bagian rekam medis, selanjutnya dilakukan penyalinan data rekam medis. Penyalinan datameliputi identitas pasien, diagnosis, keluhan utama, tanggal rawat, status keluar, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat, hasil pemeriksaan, terapi yang didapat pasien (dosis, frekuensi pemberian dan bentuk sediaan obat), catatan perkembangan pasien setiap terapi yang diberikan dan selanjutnya dilakukan pengolahan data.

4. Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram.

G. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik Pasien

Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis untuk melihat karakter dari penyakit AIHA dengan Komplikasi SLE.Karakteristik pasien dikelompokan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin


(61)

yaitu laki-laki dan perempuan. Pengelempokan umur dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu anak (<18 tahun), dewasa (18-64 tahun) dan lansia (65≤ tahun). Persentase masing-masing kelompok dilakukan dengan menghitung jumlah rekam medis setiap kelompok per jumlah keseluruhan rekam medis yang dianalisis dikalikan 100%

2. Profil Pengobatan

Berdasarkan terapi pengobatan yang didapat pasien, dikelompokan menjadi terapi farmakologi dan terapi suportif. Persentase jenis terapi dihitung dengan menjumlahkan rekam medis yang mendapat terapi tertentu per jumlah keseluruhan rekam medis yang dianalisis dikalikan 100%

3. Evaluasi DRPs

Analisis penggunaan obat pada penyakit AIHA dengan SLE dilakukan menggunakan metode SOAP (subjective, objective, assesment, planning) dan dikelompokkan sesuai DPRs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat tidak effektif (ineffective drug), dosis rendah (under dose), dosis tinggi (high dose) efek obat merugikan (adverse drug reaction). Persentase DRPs dihitung dengan menjumlahkan kasus pada tiap kategori per jumlah keseluruhan kasus DRPs dikalikan 100%.

4. Penyajian Hasil Penelitian

Penyajian hasil penelitian diuraikan secara deskriptif dan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram serta dihitung persentasenya.


(62)

H. Keterbatasan Penelitian

Evaluasi DRPs pada penelitian memiliki keterbatasan yaitu penelitian yang hanya berdasarkan data dalam rekam medis tidak dapat dikonfirmasi terkait informasi yang kurang jelas dan legkap serta alasan pemilihan terapi kepada tim medis yang bertanggung jawab. Belum terdapat guideline atau protokol resmi, sehingga peneliti kesulitan untuk mengevaluasi terapi. Evaluasi yang dilakukan hanya berdasarkan review dan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Peneliti hanya mengevaluasi 6 kasus AIHA dengan komplikasi SLE, sehingga belum benar-benar mewakili atau menggambarkan bagaimana penanganan penyakit AIHA dengan komplikasi SLE secara umum,sehingga ini merupakan salah satu kelemahan penelitian ini. Selain itu kasus AIHA SLE dengan penyakit penyerta lain cukup banyak terjadi dan cukup kompleks.


(63)

43 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan kelompok umur

Pasien AIHA dengan Komplikasi SLE dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pasien anak, dewasa dan lansia.Distribusi pasien tersebut berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Distribusi Pasien AIHAdengan Komplikasi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Berdasarkan Kelompok Umur (n = 6)

Distribusi pasien berdasarkan umur menunjukkan bahwa pasien pasien AIHA dengan Komplikasi SLE pada Instalasi Rawat Inap didominasi pasien dewasa sebanyak 66,7% kemudian diikuti pasien anak (33,3%) sedangkan pasien lansia dalam penelitian tidak ditemukan. Menurut Lechner and Jager (2010), prevalensi AIHA dengan SLE mencapai 6,1% dengan 65% Systemic Lupus Erythematosus terjadi pada usia 16-55 Tahun, 20% sebelum usia 16 Tahun dan

Anak 33.3% Dewasa

66.7%

Lansia 0.00%

Persentase

Kategori Umur

Anak Dewasa Lansia


(64)

15% terjadi pada usia diatas 55 Tahun (Bertsiaset al, 2012). Penelitian ini telah sesuai dengan penelitian sebelumnya.

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Gambar 7 . Distribusi Pasien AIHAdengan Komplikasi SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=6)

Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin yang ditunjukan gambar 9 pada kasus tersebut menunjukan bahwa 100% terjadi pada perempuan sedangkan laki-laki 0%.Penelitian ini telah sesuai dengan perbandingan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, sebab penyakit autoimmun seperti SLE memiliki rasio perbandingan wanita 10:1 terhadap pria (Dipiro et al, 2008), hal ini didasarkan oleh perbedaan hormon dan gen khususnya kromosom X sehingga mengakibatkan wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi terhadap penyakit autoimmun (Lockshin, 2001). Hormon estrogen pada wanita memicu sel Th2 untuk mengaktifkan sel B dalam menghasilkan antibodi, selain itu esterogen bersifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral dan menekan fungsi sel Ts


(1)

92 Terapi Metilprednisolon sebagai antiinflamasi yang didapat pasien bertujuan untuk memperbaiki kondisi pasien dengan cara

mengendalikan inflamasi dengan menghambat vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan menurunkan perpindahan leukosit ke jaringan yang luka (Countinho and Champman, 2011). Pasien mendapatkan terapi Metilprednisolon IV pada tanggal 25/05/2013 - 31/05/2013 dengan disertai pemberian terapi suportif berupa transfusi PRC. Transfusi PRC bertujuan meningkatkan hemoglobin dan hematokrit pasien dengan cara meningkatkan ataupun memperbaiki pengiriman oksigen ke jaringan berdasarkan kondisi klinis pasien (Sharma et al, 2011), terlihat setelah transfusi PRC pasien mengalami peningkatan Hb menjadi 9,54g/dL pada pemeriksaan lab terakhir tanggal (31/05/2013) karena pada saat masuk RSUP Dr. Sardjito Hb pasien hanya 2,4 g/dL yang menunjukan pasien mengalami anemia berat berdasarkan WHO tahun 2011. Tanggal 1/06/2013 dilakukan tappering off metilprednisolon menjadi IV dengan dosis 62,5/6jam dan hari selanjutnya menjadi 62,5/12jam. Tappering off dilakukan dengan melihat kondisi pasien yang terus membaik berdasarkan tanda vital dan hasil lab, selain itu juga untuk meminimalisir efek samping kortikosteroid dalam penggunaan jangka panjang. Target terapi menggunakan Metilprednisolon IV yaitu Hb pasien mencapai >10g/dL maupun hematokrit>30% (Lechner and Jager, 2010), pada kasus target terapi telah tercapai setelah penambahan metilprednisolone IV pasien mengalami penaikan Hb hingga pulang menjadi 10g/dL dengan kadar hematokrit 31,2%.

Evaluasi DRPs

Obat yang tidak dibutuhkan : Pasien mendapatkan obat sesuai dengan indikasi, oleh karena itu terapi yang didapat sudah tepat.

Dibutuhkan tambahan obat : Dibutuhkan obat tambahan berupa Ranitidine untuk mengatasi gejala mual dan muntah yang dialami pasien. Dan dibutuhkan juga suplemen kalsium ataupun asam folat untuk meminimalisir faktor risiko terapi kortikosteroid jangka panjang.

Obat tidak efektif : Tidak ditemukan Dosis rendah : Tidak ditemukan

Dosis tinggi : Tidak ditemukan obat dengan dosis berlebih Efek samping Obat : Tidak ditemukan

Rekomendasi

Monitoring terhadap kondisi pasien secara umum sangat diperlukan seperti tanda vital, keluhan, dan gejala pasien serta memperbaiki kondisi tersebut. Dilakukan penyesuaian dosis Mertilprednisolon IV agar efek terapi yang didapat pasien lebih efektif. Selain itu monitoring terkait efek samping obat dan lebih memperhatikan serta mengelolah faktor risiko yang dapat memperparah kondisi pasien sepertihalnya mual muntah pada pasien dan kepadatan tulang akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang


(2)

93

Lampiran 7. Kasus 5 Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dengan Komplikasi Systemic Lupus Erythematotus (SLE) di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014

Kasus 5 No. RM 01.66.26.41 Subjektif

Nama Pasien : Ny. AUP Tanggal Rawat : 22/08/2014 - 20/08/2014

Jenis Kelamin/ Umur : Perempuan/ 12 Tahun 1 Bulan Diagnosis Utama : AIHA Berat Badan : 30 kg Diagnosis Sekunder : SLE Tinggi Badan : 129 cm Keluhan Utama : Pucat Gol Darah : A

Status Keluar : Diizinkan (Membaik)

RPD : 6 Bulan yang lalu pasien terdiagnosis SLE dengan pengobatan protokol SLE berat bulan 6. Dua minggu yang lalau pasien opnam untuk protokol terapi bulan ke-6, sudah tampak pucat, Hb terakhir 6 g/dL. 1MSMRS pasien pucat, kontrol dengan pemeriksaan Hb 4,6 g/dL, AL 4260, AT 261000, ANC 3360, riwayat hipertensi stage II

RPO : Metil Prednisolon Objektif

Hasil Laboratorium

Gambaran sediaan apus darah tepi (21/08/2014)

Eritrosit : Anisositosis, makrosit. normosit, sferosit, mikrosferosit, fragmentosit, sel sigar, sel tear drops, sedikit selmtarget, normokromik, polikromasi, NRBC

Leukosit :Jumlah cukup, granulasi immatur (stab+), netrofilia relatif, sedikit graulasi toksik netrofil , lmfosit atipik Trombosit :Jumlah cukup, penyebaran merata, trombosit besar

Kesan : Anemia dengan kelainan morfologi eritrosit dengan peningkatan respon eritrooetik dan reaktifitas netrofil serta limfosit. Kesimpulan : Gambaran anemia disertai proses inflamasi (proses hemolitik belum dapat disingkirkan)

Saran : Monitor DT, Retikulosit, LDH, Billirubin direct/indirect HB - AE - AL -AT: 4,6 - 1,42 - 4,26 -261


(3)

94

HCT 32-47 15,8 22,6 %

MCV 80 - 100 111,3 111,9 fL

MCH 26 -34 32,4 30 pg

MCHC 32 -36 27,4 g/dL

PLT 150 -450 261 336 x 10.e3/uL

NEUT% 50 -70 78,8 82 %

LYMP% 20 -40 10,6 7,6 %

MONO% 2-8 9,9 10,2 %

EOS% 1-3 0,7 0,1 %

BASO% 0 -1 0 0,1 %

IG% 0 4,7 %

Assesment

Pasien masuk ke RSUP Dr. Sadjito dengan keluhan utama lemas dan pucat, hal ini terlihat dari hasil lab yang menunjukan Hb pasien hanya 4,6 g/dL. Berdasarkan WHO tahun 2011 pasien usia 12-14 tahun Hb normalnya 120g/l atau 12 g/dL, maka pasien tergolong dalam amenia berat.

Terapi suportif yang didapat pasien untuk meningkatkan Hb adalah transfusi PRC. Terapi PRC merupakan terapi transfusi sel darah merah yang bertujuan untuk meningkatkan hemoglobin dan hematokrit pasien dengan cara meningkatkan ataupun memperbaiki pengiriman oksigen ke jaringan berdasarkan kondisi klinis pasien (Sharma et al, 2011). Kadar hemoglobin dan hematokrit pasien setelah mendapatkan transfusi PRC mengalami kenaikan seperti yang ditunjukan hasil laboratorium pasien.

(x/menit) 105 110 98 100

RR (x/menit)

24 20 20 20 20 20 24 23

23 25 24 24

Suhu Tubuh (°C)

36 36,4 36 36 37 36

36 36,4 36 36

Terapi Rawat Inap Rute 23/8 24/8 25/8 26/8 27/8 28/8 29/8 Metil Prednisolon (2-1-1) Peroral √

Klorokuin 2,5g/24j Peroral √ √ √ √ √ √ √

Lisinopril 2,5g/24j Peroral √ √ √ √ √ √ √

Metil Prednisolon 8mg

(6-4-3) Peroral √ √

Metil Prednisolon 50mg/12j Peroral √ √ √ √

Ca hydrogen phosphate 500 mg, cholecalciferol 133 iu500g/24j

Peroral √ √ √


(4)

95 Metilprednisolon sebagai antiinflamasi autoimun yang didapat pasien pada tanggal 22/08/2014 bertujuan untuk menekan tingkat keparahan kondisi pasien (Lechner and Jager 2010).Pada tanggal 23/08/2014 dosis Metilprednisolon ditingkatkan menjadi (6-4-3) dengan kekuatan 8 mg untuk terus memperbaiki kondisi pasien.Setelah kondisi pasien cukup membaik pada tanggal 26/08/2014 dilakukan tappering off Metilprednisolon menjadi 50g/12jam.Tappering off dilakukan jika kondisi pasien cukup membaik dan bertujuan untuk meminimalkan risiko efek samping yang disebabkkan kortikosteroid jangka panjang (Lechner and Jager, 2010).

Pasien mendapatkan terapi Ca hydrogen phosphate 500 mg, cholecalciferol 133 iu (500g/24jam) dengan tujuan untuk meminimalisir risiko efek samping kortikosteroid berupa osteoporosis, karena berdasarkan American College of Rheumatology penggunaan kortikosteroid harus diiringi dengan terapi bisphosphonates, vitamin D, kalsium ataupun asam folat (Lechner and Jager, 2010). Kortikosteroid merangsang aktivitas osteoklas yang kemudian diikuti penurunan pembentukan tulang dengan cara menekan aktivitas osteoblastik dalam sumsum tulang serta menstimulasi terjadinya apoptosis osteoblas dan osteosit. Data meta-analisi menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kepadatan mineral tulang secara signifikan (Liu et al, 2013).

Lisinopril yang merupakan angiotensin-converting enzyme inhibitors merupaka lini pertama antihipertensi pada pasien dengan riwayat SLE. Antihipertensi ini bertujuan untuk menjaga tekanan darah pasien, meskipun jika dilihat dari hasil pemeriksaan tanda vital tekanan darah pasien cukup normal namun pasien yang sebelumnya memiliki riwayat hipertensi stage II akan lebih baik untuk tetap menjaga tekanan darah. risiko tertinggi pasien AIHA dengan SLE adalah hipertensi yang nantinya dapat memicu terjadinya stroke (Skamra and Goldman 2010).

Sebagai antimalaria, klorokuin dengan mekanisme aksi sebagai antitrombotik ini berguna untuk mencegah terjadinya agregasi sel darah marah, agregasi platelet dan mengurangi kekentalan darah pada pasien dengan AIHA-SLE (Caruncho, R.C., and Marsol, B.I., 2012). Selain itu pemberian klorokuin bertujuan untuk mengendalikan ekserbasi penyakit dan agen steroidspearing pada pasien (Dipiro et al, 2008)

Evaluasi DRPs

Obat yang tidak dibutuhkan : Pasien mendapatkan obat sesuai dengan indikasi, oleh karena itu terapi yang didapat sudah tepat. Dibutuhkan tambahan obat : Tidak dibutuhkan tambahan obat

Obat tidak efektif : Tidak ditemukan Dosis kurang (Underdoses) : Tidak ditemukan. Dosis tinggi (Overdoses) : Tidak ditemukan Efek samping dan Interaksi Obat : Tidak ditemukan


(5)

96 Monitoring terhadap kondisi pasien secara umum sangat diperlukan seperti keluhan, gejala dan tanda vital serta perlu dilakukan penyesuaian dosis metilprednisolon agar efek terapi yang didapat pasien lebih efektif dan menghindarkan terjadinya efek tidak diinginkan pada pasien.Selain itu monitoring terkait efek samping obat dan lebih memperhatikan serta mengelolah faktor risiko yang dapat memperparah kondisi pasien sepertihalnya hipertensi.


(6)

97

BIOGRAFI PENULIS

Okta Puspita merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ngadi dan Sukarminingsih yang lahir di Palembang pada 27 Oktober 1994. Pernah menempuh pendidikan di SD Karya Usaha (2000-2006), SMP Negeri 6 Kayuagung (2006-2009), dan SMA Negeri 3 Kayuagung (2009-2012) selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2012-2016).

Penulis dengan hobi fotografi ini aktif dalam UKM Lens Club dan pernah menjabat sebagai ketua periode tahun 2015. Penulis juga aktif dalam kegiatan kepanitian tingkat Fakultas maupun Universitas diantaranya sebagai Anggota Pubdekdok Desa Mitra III tahun 2012, Koordinator dekdok Desa Mitra II, III dan IV tahun 2015, Anggota Dekorasi INSADHA 2013, Koordinator dekorasi INSADHA 2014, Dokumentasi SALT (Student Actions for Life and Trust) 2013, Dokumentasi Komunitas Sadar Sehat 2013, dan Bendahara I Donor Darah Fistara 2014.


Dokumen yang terkait

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

2 39 174

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RS “Y” Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

4 37 21

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

0 7 13

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

3 18 145

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

1 17 110

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

1 9 161

Autoimmune Hemolytic Anemia in Systemic Lupus Erythematosus Patient

0 0 9

Evaluasi drug related problems (DRPs) pada pasien anak dengue shock syndrome (DSS) di instalasi rawat inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2008 - USD Repository

1 1 98

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma pediatri rawat inap : studi kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013 - USD Repository

0 0 141