Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
propaganda kedua adalah dengan ancaman dan teror. Dalam beberapa video yang dirilis ISIS tampak mayat-mayat yang berserakan. Darah segar kelihatan
di mana-mana membasahi tubuh dan pakaian para korban. Mereka adalah korban pembantaian kelompok garis keras yan mengklaim diri sebagai
berjuang di jalan Allah itu. Mereka, para korban itu, bisa dari kelompok Syiah, Sunni, Yazidi, Kurdi, Kristen, dan sebagainya.
Intinya, semua pihak yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan ISIS dianggap sebagai musuh. Dan sebagai musuh, mereka dianggap halal
darahnya. Apalagi bagi mereka yang menghalangi dan berani melawan sepak terjang ISIS seperti yang dilakukan AS dengan serangan udaranya. Sebagai
balasan terhadap AS, James Foley adalah korbannya. Ia dipenggal kepalanya tanpa ampun.
Bukan hanya nyawa yang menjadi korban, tempat-tempat ibadah pun tak lepas dari keganasan sepak terjang ISIS. Masjid, gereja, obyek wisata, dan
bahkan bangunan pemakaman pun mereka hancurkan rata dengan tanah. Hal ini mereka lakukan setiap kali mereka berhasil menguasai suatu wilayah baru,
terutama wilayah-wilayah kelompok-kelompok yang berani membangkang terhadap keberadaan ISIS.
2
Kemunculan kelompok ekstrem seperti ISIS the Islamic State of Iraq and Syria, Al Nusro dan lain-lain, sudah diprediksi kedatangannya oleh
sahabat Ali bin Abi Thalib. Menurut pengasuh Majelis ‘Bismillah’ MWCNU
Pasarkliwon Surakarta, Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi, 1.400 tahun silam, Imam Ali telah mengingatkan akan datangnya gerombolan bengis yang
2
Ikhwanul Kiram Mashuri, ISIS Jihad atau Petualangan Jakarta: Republika Penerbit, 2014, Cetakan Pertama, h. 47-50.
akan mengibarkan panji-panji hitam yang menyerupai panji-panji hitam Imam Mahdi.
Cicit Muallif Simtuddurar, Habib Ali Al-Habsyi mengatakan : “Ucapan beliau terekam dalam literatur Hadits Ahlus Sunnah wal
Jamaah, yakni dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh ulama besar yang bernama Al Muttaqi Al Hindi pada riwayat nomer 31.530”.
Dalam kitab tersebut, diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah berkata: “Jika kalian melihat bendera-bendera Hitam, tetaplah kalian di
tempat kalian berada, jangan beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian. Kemudian akan muncul kaum lemah lemah
akal sehat dan imannya, tiada yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi hati keras membatu jauh dari cahaya Hidayah.
Mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah pemilik negara, saat ini ISIS telah mengumumkan berdirinya Daulah Islam di Iraq dan
Syam, mereka tidak pernah menepati janji, mereka berdakwah pada Al Haq kebenaran tapi mereka bukan Ahlul Haq pemegang
kebenaran. Namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah nama pemimpin mereka, memakai nama julukan dan marga
dari asal daerah Baghdad rambut mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan bertindak apapun sampai nanti
terjadi perselisihan diantara mereka sendiri, kemudian Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya
.”
3
Realitas-realitas yang berkenaan dengan kasus ISIS tersebut dapat diketahui masyarakat karena pemberitaan media massa. Tentunya kegiatan
jurnalistik yang menjadi bagian cara kerja media massa tidak dapat dipisahkan dari proses mengolah fakta yang menjadi informasi. Media massa
menginformasikan realitas yang berlangsung di suatu tempat, namun realitas tersebut sesungguhnya sudah dibentuk, dibingkai, dan dipoles sedemikian
rupa oleh media tersebut. Media melakukan tindakan konstruktif berdasarkan ideologi yang menjadi landasan media tersebut.
3
http:www.nu.or.ida,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,53439-lang,id-c,nasional- t,Sayyidina+Ali+Pernah+Peringatkan++Waspadai+Kelompok+Ini+-.phpx
diakses pada 24 Oktober 2014 pukul 11:10 WIB
Pada akhirnya, realitas sosial tersebut dianggap sebagai “fakta”, terlepas benar atau tidaknya isi pemberitaan tersebut. Karena individu diyakini
sangat terpengaruh oleh pesan-pesan media karena media dianggap sangat kuat dalam membentuk opini masyarakat.
4
Sebuah keniscayaan, hampir semua media akan menyeleksi, menonjolkan isu yang ada dan menyembunyikan atau
mengabaikan isu lain, menonjolkan aspek tertentu yang terdapat isu tertentu dan aspek lainnya disembunyikan bahkan dibuang. Cara pandang atau
perspektif itulah pada akhirnya menentukan fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita
tersebut. Proses konstruksi realitas tersebut didasarkan pada adanya kepentingan
yang dimiliki oleh masing-masing media tersebut. Tentunya sebuah kebijakan tidak serta merta sinergi dengan realitas sosial yang ada, bahkan terkadang
bertolak belakang sama sekali. Nilai-nilai yang terdapat pada sebuah pemberitaan merepresentasikan karakter media itu sendiri, kepentingan
pemilik medianya, sasaran atau target pasar, yang kemudian membentuk sebuah kebijakan media. Adanya kepentingan itulah memunculkan anggapan
bahwa fakta yang disampaikan dalam sebuah berita bukanlah fakta yang objektif, melainkan fakta yang sudah dikonstruksi. Kaum konstruksionis
memandang bahwa berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses
konstruksi mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar,
4
Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication Jakarta: Salemba Humanika, 2009, Edisi 9, h. 423.
sampai penyuntingan memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak.
5
Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.
Menurut Eriyanto, teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan ideologi tertentu.
6
Media bukan hanya mekanisme sederhana untuk menyebarkan informasi: media merupakan organisasi kompleks yang membentuk institusi
sosial masyarakat yang penting. Jelasnya, media adalah pemain utama dalam perjuangan ideologis. Sebagian besar teori komunikasi kritis berhubungan
dengan media terutama karena kekuatan media untuk menyebarkan ideologi yang dominan dan kekuatannya untuk mengungkapkan ideologi alternatif dan
ideologi yang bertentangan.
7
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan
kata logia berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak berbicara. Selanjutnya kata logia berarti science
pengetahuan atau teori. Jadi, ideologi menurut arti kata ialah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus didalam pikiran sebagai
hasil dari pemikiran.
8
5
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media Yogyakarta: LkiS, 2002, h. 68.
6
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, Cet-kelima, h. 60.
7
Stephen, Karen, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, h. 432.
8
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 64.
Kasus ISIS menjadi perhatian menarik bagi media massa untuk membahasnya, tidak terkecuali Repulika Online dan Merdeka.Com. kasus ini
menjadi perhatian, karena kasus tersebut merupakan isu besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, merugikan negara, berpola pada suatu
konspirasi yang sistemik yang melibatkan banyak pihak, baik aparatur pemerintahan maupun swasta, baik secara institusi maupun perorangan.
Landasan penulis memilih Republika Online dan Merdeka.Com sebagai objek penelitian ini adalah karena kedua media tersebut adalah koran nasional yang
mapan dalam segi ekonominya, dan memiliki jumlah pembaca yang banyak yang menyebar hampir merata ke seluruh bagian di Indonesia.
Media online disini berusaha membentuk opini publik menurut kehendak media tersebut, setiap media mempunyai cara yang berbeda-beda
dalam menyajikan atau mengkonstruksi suatu realitas. Hal ini dapat terjadi dikarenakan setiap media memiliki ideologi yang berbeda-beda, sehingga
pengambilan sudut pandang terhadap suatu realitas disesuaikan dengan ideologi media tersebut.
Penulis menganalisa pemberitaan mengenai kasus ISIS Islamic State of Iraq and Syria di Republika Onlinedan Merdeka.Comdengan
menggunakan analisis framing. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan
dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.
9
Gagasan
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 162.
mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1995.
10
Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana,
serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa, aktor, kelompok, atau apa
saja dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Disini realitas dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.
Peristiwa dipahami dengan bentukan tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu.
11
Model Framing yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah framing Robert N. Entman. Framing, kata Entman, secara esensial meliputi
penseleksian dan penonjolan. Membuat frame adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan membuatnya lebih menonjol di
dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi
kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan penanganannya.
12
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Framing Pemberitaan ISIS Islamic State of Iraq and Syria Pada
Republika Onlinedan Merdeka.Com Edisi September 2014
”.
10
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 161.
11
Eriyanto, Analisis Framing, h. 3.
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 165.