ini milik orang-orang yang menang. Akhirnya ia mendapatkan bahwa Mubarok saudara dari Syekh Kuwait mendekatinya dan memberikan
keleluasaan padanya untuk menghadiri berbagai majlisnya dan mendengarkan berbagai pembicaraannya dengan wakil negara-negara asing di wilayah Teluk
seperti Inggris, Rusia, Jerman, Utsmaniyah. Ia pun melihat berbagai orientasi dan aliran politik yang saling bertentangan.
Dan dari berbagai hal tersebutlah dapat terlihat bahwa kehidupan yang diwarnai aneka macam orientasi politik merupakan salah satu faktor
pendukung utama yang mengajarkan kepada Abdul Aziz bahwa kemauan keras dan percaya diri termasuk dari faktor-faktor pembentukan kepribadian
yang dengannya dapat menghadapi berbagai aliran-aliran politik yang dialami wilayah ini, yang hingga akhirnya dia menjadi seorang raja di Saudi Arabia.
47
B. Usaha-usaha yang Dilakukan Raja Abdul Aziz dalam Merebut Wilayah-
wilayah di Arab Saudi
Negara Saudi Arabia yang terbentuk pada sekitar abad ke-19 M ini, memiliki sejarah panjang yang berakar kuat dengan sejarah etnik Arab yang
paling tua. Wilayah politik negara ini mulai dikenal sejak zaman Rasulullah SAW, setelah tahun 634 M dilanjutkan oleh Khulafah ar-Rasyidin dengan
sistem kekhalifahan yang sama-sama masih di Madinah. Sejak tahun 660 M dilanjutkan oleh keluarga Amawiyah, dan memindahkan ibukota
47
Departemen Pendidikan Tinggi Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud, Kumpulan Makalah Sejarah Raja Abdul Aziz, h. 57.
pemerintahanya ke Damaskus, Syiria.
48
Tahun 750 M pemerintah Islam Abbasiyah menggantikan Bani Umayyah dan memindahkan pusat
pemerintahanya di Baghdad. Sebagai sebuah wilayah Islam yang cukup tua ia Saudi Arabia sekarang sangat diperhitungkan dengan sebutan sebagai
wilayah “Haramain”. Bahkan sejak abad ke-10 M ketika berbagai kerajaan
kecil muncul, seperti halnya dinasti Fatimiyah yang ingin menyaingi Abbasiyah di Baghdad, ketika mereka berupaya ingin meningkatkan
statusnya sebagai kek halifahan, akhirnya wilayah “Haramain” telah dijadikan
simbol perebutan status kekuatan spritual politik dunia Islam, di mana sang khalifah ingin disebut sebagai penjaga tanah haram, yakni Makkah-Madinah.
Dalam beberapa ratus tahun berikutnya wilayah ini masih terus bertahan sebagai suatu wilayah yang masing-masing dipegang oleh suku-suku
Arab, hingga tahun 1500-an kesultanan Turki Usmani akhirnya berhasil menyatukan kembali dan menguasai seluruh Jazirah Arabia, termasuk daerah-
daerah sekitar Utara dan Barat Laut. Meski sejak abad ke-16 1512 M secara formal Arab telah dikuasai
Turki Ottoman Utsmaniyah, namun berbagai keamiran tetap berkuasa. Inilah yang membuat wilayah tersebut terus bergolak hingga akhir abad ke-19
M. Di antara banyak keamiran, Amir dinasti Saud muncul sebagai kekuatan politik yang paling berpengaruh dan paling menonjol. Mereka mulai muncul
sejak abad ke-18 M sebagai wilayah suku di wilayah Hijaz, kekuasaanya
48
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 117.
berpusat di kota Dariyah dekat kota Riyadh sekarang. Pada tahun 1744, Dinasti Saud semakin memperluas wilayah kekuasaanya, satu demi satu
keamiran yang lemah ditaklukannya, hingga akhirnya penguasaan terhadap daerah Makkah dan
Madinah sebagai “Haramain” semakin memperbesar daerah politiknya.
49
Untuk menahan pengaruhnya, pemerintah Ottoman Turki mengirim pasukannya ke Arab, namun hal itu bisa dipatahkan. Bersamaan dengan ini
ibukota pemerintahan Arab dipindahkan dari Dariyah ke Riyadh, Saudiah akhirnya menjadi pemerintah yang berkuasa atas seluruh tanah Arab.
Keberhasilan keluarga Saud mengambil alih wilayah-wilayah dari Turki Utsmani karena didukung oleh gerakan keagamaan kelompok Wahabi yang
bergerak di Nejd dari tahun 1744 M. Berkat saling dukungan ini Makkah dikuasainya tahun 1803 M dari tangan Turki Utsmani, yang saat itu berada di
bawah pengawasan Muhammad Ali Fasya di Mesir.
50
Periode berikutnya terjadi kegoyahan pemerintahan akibat perebutan kekuasaan antar keluarga hingga tahun 1902 M, sehingga membuat muncul
figur muda yang berpengaruh dari dinasti itu, yakni Abdul Aziz Ibnu Sa’ud
yang berdomisili di Riyadh dengan dukungan Wahabi.
51
Pada permulaan abad ke-20 M, Abdul Aziz yang masih muda, yang lebih dikenal dengan
49
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Jakarta: Logos, 1999, h. 103-117.
50
Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, h. 118.
51
Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, h. 119, lihat Carl Brockelmann, History Of The Islam Peoples, London: Goutledge Kegan Paul, 1980,
hlm. 470.
sebutan Ibnu Sa’ud, dengan 200 tentaranya melakukan usaha untuk merebut
kembali warisan nenek moyang Saudi-nya. Tanggal 15 Januari 1902, Abdul Aziz bersama 15 orang pasukannya merebut Riyadh dengan serangan
mendadak yang dramatis. Penyerangan Abdul Aziz merebut benteng Riyadh merupakan pertempuran paling nekat yang tercatat dalam sejarah, di mana ini
menjadi titik awal sejarah Kerajaan Saudi Arabia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun berikutnya, Abdul Aziz maju untuk menaklukan kembali Nejd,
kota-kota dan provinsi-provinsi lainnya dari kaum Rasyidi.
52
Dan satu demi satu daerah-daerah yang terpecah dapat disatukan kembali sehingga pada
tahun 1913 M kekuasaan Turki keluar dari daerah Hasa.
53
Syekh Abdul Aziz ibn Sa’ud memerankan dengan lihai perjuangan
antara Turki disatu sisi dan ekspansi kekuasaan Inggris di Arabia Selatan di sisi lain. Pada bulan Desember 1915, dia menandatangani perjanjian dengan
Inggris yang
mana, ketika
mempertahankan kemerdekaanya,
dia mendapatkan subsidi dan janji bantuan jika diserang. Akhir perang dan
perseteruan dengan Turki yang berakhir pada masa ini dan meninggalkannya sendiri berhadapan dengan Inggris. Dia menjalankan rencana barunya sangat
baik dan mampu memperluas daerah yang diwarisi dalam beberapa tahap secara berturut-turut. Pada tahun 1921, akhirnya dia mengalahkan saingan
52
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, h. 352.
53
Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, h. 120 lihat Carl Brockelmann, History Of The Islam Peoples, London: Goutledge Kegan Paul, 1980,
hlm. 470.
lamanya Ibn Rasyid di Selatan Najd dan mencaplok wilayahnya, dan kemudian diambil gelar Sultan Najd.
Tahap ini menjadi perjuangan yang lebih krusial untuk mengontrol Hijaz. Wilayah ini termasuk dua kota suci muslim. Makkah dan Madinah
dikuasai oleh keluarga Dinasti Hasyim, keturunan Nabi lebih dari satu milenium, yang pada beberapa abad terakhir lepas dari kekuasaan Raja Turki.
Pendirian keluarga Hasyimiyah yang dipimpin oleh beberapa keturunan keluarga, di Iraq dan Trans-Yordan sebagai bagian dari restrukturisasi
beberapa propinsi Arab Turki sebelumnya setelah Perang Dunia 1, dipandang oleh Ibnu Sa’ud sebagai sebuah ancaman atas wilayahnya. Setelah beberapa
tahun terjadi hubungan yang memburuk, Raja Husein Hijaz mengajukan dalih ganda, pertama dengan mengklaim bahwa dirinya adalah khalifah, kedua
dengan menolak memberi izin jamaah haji kelompok Wahabi melakukan ibadah haji ke kota-kota suci. Di sini Ibnu Saud merespon dengan akhirnya
dapat menaklukan Hijaz pada tahun 1925.
54
Pendiri negara Saudi moderen ini menganut teologi puritan Wahhabi dan menggabungkan dirinya dengan suku-suku Nejd. Inilah yang menjadi
cikal bakal negara Arab Saudi. Meskipun kita juga telah melihat pemberontakan pada abad ke-18 digagalkan, tetapi pemberontakan pada abad
ke-19 dan awal abad ke-20 melahirkan satu situasi yang sangat berbeda. Dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20, Semenanjung Arab merupakan
masyarakat yang sangat tribal dengan sejumlah besar keluarga terkemuka
54
Lewis, The Crisis Of Islam: Antara Perang Suci Dan Teror Kotor, h. 132.
yang saling bersaing dan berebut dominasi di antara yang lain. Namun wilayah Hijaz di Arab, berbeda dengan wilayah Nejd, yang secara kultural
sangatlah beragam, semua bentuk kebiasaan dan orientasi teologis ada di sana, membentuk suatu mozaik komplek keyakinan dan praktik. Bahkan
dalam bidang yurisprudensi, di Makkah dan Madinah yang berada di Hijaz, terdapat sebuah
sekolah hukum dan hakim bermazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Juga ada perkumpulan sufi dan ahli hukum Syiah,
terlepas dari populasi Syiah yang sangat besar di bagian-bagian lain Hijaz. Ibadah haji tiap tahun ke Makkah tampak laksana satu festival dari beragam
praktik dan ritual yang mencerminkan keragaman dunia Islam itu sendiri. Di sini sebuah tritunggal telah terbentuk dan hendak mengubah wajah
Semenanjung Arab untuk selanjutnya, dan mungkin juga negara-negara muslim. Tritunggal ini terdiri atas keluarga al-
Sa’ud, kaum Wahabi dan Inggris dari kesemuanya ini mempunyai misi masing-masing. Dari Keluarga
al- Sa’ud sendiri, ia ingin mengalahkan semua pesaing lain dan menguasi
Arabia, sedangkan dari kelompok Wahabi ingin memperkuat citra puritan Islam di seluruh Arab. Dan adapun negara Inggris menginginkan
pemerintahan kuat di Arabia yang kelak dapat melayani kepentingan- kepentingan Inggris dengan memberikan konsesi ekslusif pertambangan
minyak kepada perusahaan-perusahaan Inggris. Inggris juga ingin memperlemah Dinasti Utsmani dengan menjauhkan Makkah dan Madinah
dari kendali mereka, hingga akhirnya dengan tujuan masing-masing mereka bergabung.
55
Dari penggabungan tritunggal di atas akhirnya kita dapat melihat bahwa penaklukan yang dapat dilakukan oleh Ibnu Saud terhadap negara
Saudi berhasil dengan sempurna. Pasukannya pertama menguasai Makkah, kemudian pada tanggal 5 Desember 1925, setelah melakukan pengepungan
selama 10 bulan, akhirnya kota Madinah menyerah secara damai. Dua minggu kemudian Raja Ali yang menggantikan ayahnya, Husein, meminta
wakil konsul Inggris di Jeddah memberitahukan Ibnu Saud tentang penarikannya dari Hijaz beserta pasukan personilnya. Kejadian ini dipandang
sebagai sebuah penurunan tahta raja Husein dan pada hari berikutnya pasukan Saudi memasuki Jeddah. Jalan ini terbuka bagi Ibnu Sa’ud untuk mengklaim
dirinya sebagai Raja Hijaz dan sultan Nejd dan kemerdekaannya pada tanggal 8 Januari 1926. Rezim baru secara langsung diperkenalkan oleh negara-
negara Eropa, terutama oleh Uni Soviet dalam sebuah surat diplomatik tanggal 16 Februari kepada Ibnu
Sa’ud yang isinya, “Atas dasar prinsip hak rakyat untuk menentukan dirinya dan menghormati kehendak penduduk Hijaz
sebagaimana diekspresikan dipilih mereka padamu sebagai raja”. Dan adapun perjanjian formal antara Ibnu
Sa’ud dan Inggris, mengakui kemerdekaan penuh kerajaan Ibnu
Sa’ud, ditandatangani pada tanggal 20 Mei 1927, yang kemudian beberapa negara Eropa lainnya juga mengikutinya.
56
55
Abou El Fadh, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, h. 80.
56
Lewis, The Crisis Of Islam: Antara Perang Suci dan Teror, h. 133.
Dari buku yang ditulis oleh Ahmad al-Usairy kita juga dapat melihat usaha-usaha Ibnu Saud dalam menaklukan wilayah-wilayah di Arab Saudi,
diantaranya: 1. Mengembalikan Riyadh dan wilayah sekitarnya dari tangan keluarga
Rasyid pada tahun 1319 H1901 M. 2. Mengembalikan Khorj, Aflaq, wilayah Nejd dan sekitarnya dari tangan
keluarga Rasyid pada tahun 1321 H 1904 M. 3. Mengembalikan Anzah dari tangan keluarga Rasyid pada tahun 1322
H1905 M. 4. Mengembalikan Buraidah dalam Perang Raudhah Mihnah dari tangan
keluarga Rasyid pada tahun 1324 H 1906 M. 5. Mengembalikan Ihsa dan wilayah Timur lainnya dari tangan orang-orang
Utsmaniyah pada tahun 1331 H 1912 M. 6. Mengembalikan Hail dari tangan keluarga Rasyid dan menghabisi
mereka pada tahun 1340 H 1921 M. 7. Mengembalikan wilayah Usair dan mengalahkan pemerintahan keluarga
Ayidh pada tahun 1340 H 1921 M 8. Pada tanggal 2151351 H atau 2291932 M raja mengeluarkan
keputusan menyatukan seluruh wilayah kerajaan denga n nama “Kerajaan
Saudi Arabia” dan memberi gelar kepada Raja Abdul Aziz dengan sebutan Raja Kerajaan Saudi Arabia.
57
57
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penerjemah H.Samson MA., Jakarta: Akbar Media, 2003, h. 387-388.
C. Kondisi Arab Saudi ketika Dipimpin oleh Raja Abdul Aziz