Wahabiyah Dijadikan sebagai Ideologi oleh Raja Abdul Aziz di Arab

Antara Wahabisme dan al-Saud telah terjalin hubungan yang saling membutuhkan di mana yang satu tidak bisa eksis tanpa keterkaitan antara keduanya. Pada waktu itu juga kaum Wahabi melayani negara atau setidaknya mereka yang memegang kekuasaan, dan begitu juga dengan negara melayani kaum Wahabi, jadi diantara mereka ada timbal balik. di wilayah-wilayah yang jatuh ke dalam kekuasaan mereka, kaum Wahabi memperkenalkan praktik yang secara luar biasa memperluas kekuasaan intrusif negara kepada para pelaksana hukum yang mendefinisikan aturan- aturan dan tata perilaku. Hubungan antara keluarga al-Saud dan Wahabi berlangsung dengan sangat baik, lebih dari sekedar hubungan pragmatis dan saling memberi dukungan. Saudi dan Wahabi menemukan satu model untuk menjawab persoalan tentang bagaimana negara Islam seharusnya bertindak di dunia moderen. 79

B. Wahabiyah Dijadikan sebagai Ideologi oleh Raja Abdul Aziz di Arab

Saudi Dalam ungkapan seorang penulis Perancis, disebutkan bahwa ideologi adalah sebuah kata ajaib yang menciptakan pikiran dan semangat hidup manusia, terutama diantara kaum muda, dan khususnya di antara para cendikiawan atau intelektual dalam suatu masyarakat. Ideologi selalu dihubungkan dengan cendikiawan dan keduanya saling memerlukan. Karena itulah seorang cendikiawan dan intelektual dituntut untuk memiliki 79 Abou El Fadh, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, h. 84-85. pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang khas. 80 Setelah orang-orang Utsmaniyah menundukkan Hijaz, lalu diikuti dengan menundukkan Nejd. Al-Asyraf penguasa Hijaz merasa terbebani dengan hal ini. Orang-orang Utsmaniyah beberapa kali menyerbu Hijaz antara tahun 1578-1695 M, sehingga pada masa itu Nejd dan wilayah-wilayah sekitarnya berada dalam kondisi terburuknya. Kemiskinan dan kebodohan tersebar di sana, pencurian dan pembegal berkuasa. Pada masa ini, Allah menakdirkan bagi wilayah ini seorang da ’i besar yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang muncul dari kota Uyainah Nejd. Di mana beliau menyerukan kepada agama yang benar, dan mengembalikan agama kepada ajaran para salaf berupa kemurnian akidah, membuang kemusyrikan dan bid’ah. Dan pada masa ini juga telah terjalin hubungan antara keluarga as- Sa’ud dan Muhammad Abdul Wahhab. 81 Adapun hubungan yang dijalin Muhammad bin Abdul Wahab dengan keluarga Sa ’ud adalah ketika Muhammad bin Abdul Wahhab melarikan diri ke Kota Dariyah, yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad ibn Saud. Di sini Ibnu Saud menyambut Abdul Wahhab dengan sangat baik. Ibnu Saud sendiri merupakan seorang pemimpin suku kecil dengan ambisi yang sangat besar yaitu ingin mempersatukan Jazirah Arab, hingga pada saat itu keduanya 80 Ali Shariati, Tugas Cendikiawan Muslim. Penerjemah M. Amin Rais Jakarta: CV Rajawali, 1984, h. 191-192. 81 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penerjemah H. Samson Rahman MA., Jakarta: Akbar Media, 2003, h. 379-380. saling bekerja sama di mana kepala suku waktu itu adalah Muhammad ibn Saud sepakat mengakui Wahhab sebagai puncak otoritas keagamaan komunitas muslim dan melakukan semua yang dia bisa mewujudkan visinya. Sang pendakwah sendiri sepakat untuk mengakui Ibn Saud sebagai kepala politik komunitas muslim, amirnya dan memerintahkan para pengikutnya untuk berjuang bagi dirinya. Kerjasama itu membuahkan hasil. Selama beberapa dekade berikutnya kedua orang itu menyatukan seluruh suku Badui Semenanjung Arabia di bawah pemerintahan Saudi-Wahabi. 82 Aliansi yang terjadi antara pemerintahan al-Saud dengan Abdul Wahhab sekitar tahun 1745 hingga 1818 yang dikenal dengan negara Saudi pertama pada masa Muhammad bin Sa’ud pemimpin ad-Dir’iyah di mana Ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad ibn Sa’ud menyebarluaskan ide-ide Abdul Wahhab dan memulai gelombang ekspansi yang pada awal abad berpuncak pada penaklukan sebagian besar Semenanjung Arab, namun hal ini tidak dapat berjalan dengan lancar hingga akhirnya kerajaan Wahabiyah pertama ini ditaklukan oleh militer Mesir yang menghancurkan kota ad- Dir’iyah, ibukota kerajaan Saudi pertama. Namun hal itu tidak lantas benar- benar membuat gerakan Wahabi mati, ajaran dan konsep Wahabi tetap hidup karena diteruskan oleh keturunan Ibnu Saud dan Abdul Wahhab, hingga akhirnya ideologi Wahabi benar-benar dihidupkan kembali sekali pada awal 82 Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam. Penerjemah Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman, 2009, h. 406. abad ke-20 di bawah kepemimpinan Abdul Aziz ibn al- Sa’ud yang memerintah dari tahun 1902-1953 M. 83 Ideologi Wahabiyah yang tumbuh di bawah kepemimpinan Abdul Aziz membentuk sebuah identitas kebangsaan di antara masyarakat Semenanjung yang berbeda-beda secara etnis dan kesukuan itu. Riyadh yang merupakan ibukota dari Saudi Arabia pada masa Abdul Aziz menjadi pusat kebangkitan agama. Sekolah-sekolah al- Qur’an berkembang dan prestasi keilmuan diberi penghargaan dalam upacara resmi di depan umum. Kehadiran pada shalat-shalat jamaah diwajibkan, dan hukuman fisik diberikan kepada mereka yng tidak hadir. Merokok dilarang, musik dikutuk dan tertawa keras dipandang sebagai tanda ketidaksenonohan. Kehidupan di ibukota dicirikan oleh keselarasan tingkat tinggi dalam perilaku umum yang berasal dari hasrat orang-orang yang beriman dan para warga negara pemerintahan Wahabiyah baru untuk memenuhi standar-standar keislaman sebagaimana yang ditafsirkan oleh ulama-ulama Nejd. Keselarasan perilaku yang dituntut selama era kebangkitan 1920-an ini, terabadikan dengan sendirinya. Dengan menghidupkan kembali gagasan tentang sebuah komunitas orang beriman, yang disatukan oleh ketaatan mereka kepada Allah dan kemauan untuk hidup selaras dengan hukum-hukum Allah maka di masa ini jelas terlihat bahwa ideologi Wahabi telah dibangkitkan kembali. 84 83 Abou El Fadh, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, h. 79. 84 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2001, h. 162. Melihat semua hal di atas, maka jelas ideologi yang digunakan semua bermuara pada prinsip kemurnian agama yaitu al- Qur’an dan Sunnah. Di mana menurut kaum Wahabi hukum itu ada di dalam al- Qur’an dan Sunnah di dalam kehidupan Nabi seperti diungkapakan melalui hadis adalah bertujuan untuk menafsirkan hukum itu. Al-Qur ’an tidak menetapkan prinsip- prinsip untuk membimbing perilaku manusia melainkan tindakan nyata yang harus dilakukan kaum muslim. Kehidupan Nabi Muhammad memberikan teladan untuk diikuti. Sikap dan antusiasme Wahabi terhadap hukum al- Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad telah menyebar jauh di Arab Saudi. Dalam praktiknya di Arab Saudi mereka benar-benar menekankan akan ajaran Islam yang murni berdasarkan al- Qur’an dan Sunnah. Wahabi juga memandang fikih sebagai inti Islam. 85 Persekutuan yang terjadi ini, antara ajaran agama yang dibawa oleh Abdul Wahhab dan keluarga al- Sa’ud terus berlangsung walaupun pada akhirnya terjadi sekularisasi. Transfer generasional dari nilai-nilai keagamaan dan pandangan sosial dan politik yang berdasarkan keagamaan tampaknya telah berhasil dicapai. Tetapi apabila ekonomi di Saudi Arabia memburuk atau pengaruh unsur-unsur dari luar tumbuh, maka kekuatan sintesis keagamaan-politik Wahabi-Saudi mungkin akan mendapat ujian berat. 86 85 Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam. Penerjemah Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman, 2009, h. 406. 86 Shireen T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman Dan Kesatuan. Penerjemah Ajat Sudrajat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001, h. 190.

C. Dampak dari Keterkaitan Gerakan Wahabiyah dengan Raja Abdul Aziz