68
Middle East and North Africa, and what will be my policy during the remainder of my presidency….”
14
Dalam pidato tersebut, Obama menyatakan bahwa visi baru Amerika Serikat kedepan adalah fokus pada perkembangan nuklir Iran dan konflik Israel-Palestina.
Dalam naskah pidato Presiden Obama, visi baru AS di Timur Tengah tersebut adalah upaya intervensi kemanusiaan mengenai isu-isu tersebut. Selain itu
pembahasan mengenai Syiria juga dimasukkan dalam pidato tersebut. Visi baru Obama mencakup banyak isu, hampir semua masalah yang ada di kawasan.
Visi baru Obama adalah ide keterlibatan AS di kawasan ini yang rencananya akan diimplementasikan dalam waktu dekat. Pembahasan mengenai visi baru AS
dalam sidang Umum PBB merupakan upaya AS mendapatkan dukungan internasional. Presiden Obama mengharapkan dukungan negara-negara melalui
kerjasama dalam intervensi kemanusiaan. Upaya pelibatan diri AS di Timur Tengah yang dikatakan sebagai visi baru AS tentunya tidak terlepas dari upaya
hegemoni atas minyak di kawasan tersebut. Hal ini akan dianalisis secara komperhensif pada bab berikutnya.
2.4 Mandat Intervensi Kemanusiaan Peranan PBB
Secara umum, istilah mandat dimaksudkan sebagai suatu an order or command.
15
Mandat merupakan
dasar hukum
dilakukannya intervensi
kemanusiaan. Mandat sebagai suatu description of the missions tasks yaitu deskripsi mengenai tugas-tugas suatu misi, tertulis atau tertuang dalam suatu
resolusi dan atau perjanjian internasional maupun regional.
16
Penggunaan istilah mandat dalam kajian intervensi kemanusiaan berkaitan dengan suatu perintah untuk melakukan tindakan intervensi kemanusiaan.
Perintah tersebut dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-bangsa. PBB mengeluarkan mandat dilakukannya intervensi
14
Yoram Etinger. 2013. President Obama’s US Speech – New or Old Middle East?. Dalam
http:www.aim.orgguest-columnpresident-obamas-un-speech-new-or-old-middle-east .
Diakses 15 Maret 2015..
15
Russel, Geddes Grosset. 1990. Webster’s New Dictionary and Thesaurus. Dalam Rina
Dewi Ratih. 2003. Benturan Intervensi Terhadap Bantuan Kemanusiaan di Darfur. Universitas Indonesia: Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional.
16
Ibid
69
kemanusiaan didasarkan pada fungsinya sebagai organisasi internasional yang memiliki kewajiban memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Mandat
intervensi kemanusian ini diatur dalam Piagam PBB. PBB
sebagai organisasi
internasional yang
diberi legitimasi
mengorganisasikan keamanan bersama negara-negara di dunia, pada tahun 1950 melalui Majelis Umum, PBB telah mengesahkan suatui resolusi tentang Uniting
for Peace. Di dalam resolusi tersebut terdapat lima ketentuan penting, yaitu: a. Suatu ketentuan bahwa Majelis Umum PBB dapat bersidang dalam waktu
24 jam. Dewan Keamanan dihalangi melalui veto untuk melaksanakan tanggung jawab utamanya bagi keamanan dan perdamaian internasional.
b. Suatu ketentuan, bahwa dalam kasus-kasus tersebut, Majelis Umum dapat memberikan rekomendasi-rkomendasi pada negara-negara anggota untuk
melakukan tindakan bersama, termasuk penggunaan angkatan bersenjata. c. Sebuah rekomendasi, bahwa tiap negara anggota memlihara dalam
angakatan bersenjata nasionalnya kesatuan-kesatuan yang secara cepat dapat dipakau untuk melakukan tugas sebagai pasukan PBB.
d. Pembentukan komisi pengawas perdamaian untuk mengamankan dan melaporkan di wilayah manapun ada ketegangan internasional.
e. Penciptaan komite tindak bersama untuk mempelajari dan melaporkan tentang cara dan sarana memperoleh perdamaian dan keamanan
internasional menurut Piagam PBB. Persoalan yang muncul berkaitan mandat PBB yang dibebankan kepada
negara-negara di Dewan Keamanan pada kenyataannya tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan, begitu pula dengan pelaksanaan
mandat dalam intervensi kemanusiaan. Pelaksanaan intervensi kemanusiaan pada kenyataannya menimbulkan benturan antara norma-norma dan pelakunya.
Permasalahan serius tersebut berkenaan dengan benturan antara ketentuan dengan pelaksanaan intervensi kemanusiaan yang secara signifikan memiliki kesenjangan
antara evolusi yang cepat dari tanggungjawab untuk melindungi responsibility to
70
protect
17
, yaitu dari sisi normatif dengan sisi operasionalnya. Kemampuan masyarakat internasional dalam melaksanakan tanggung jawabnya atas
perlindungan penduduk sipil secara efektif. Hal inilah yang menjadi suatu pertanyaan. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan bagaimana aktualisasi
pelaksanaan intervensi kemanusiaan yang sarat dengan permasalahan. Mandat intervensi kemanusiaan yang telah dikeluarkan oleh PBB secara
teoritis yang pada awalnya telah menimbulkan perdebatan dari kalangan ilmuwan dan praktisi hukum serta hubungan internasional, dalam pelaksanaannya pun
menimbulkan benturan-benturan. Contoh benturan yang terjadi adalah tidak adanya persetujuan dari negara yang diintervensi sehingga kedatangan pasukan
perdamaian justru menimbulkan konflik baru di lapangan. Hal ini disebabkan intervensi kemanusiaan oleh sikap masyarakat negara yang menjadi sasaran dari
suatu pemberlakuan mandat intervensi kemanusiaan yang menolak serta kurangnya koordinasi pelaksanaan misi intervensi kemanusiaan itu oleh kelompok
yang seringkali disebut sebagai pasukan penjaga perdamaian. Legalitas intervensi didapatkan ketika telah memenuhi tiga hal. Pertama,
intervensi tersebut merupakan mandat dari insitusi internasional, yaitu PBB. Kedua,atas permintaan representasi sah negara yang akan diintervensi. Ketiga,
alasan kemanusiaan. Intervensi dilaksanakan dengan tujuan penyelamatan kehidupan masyarakat suatu negara yang mengalami kekerasan yang dilakukan
pemerintah atau pun pemberontak atau bisa juga akibat dari anarki di internal negara tersebut.
18
17
Responsibility to Protect adalah sebuah prinsip di dalam hubungan internasional yang memiliki tujuan mencegah tindakan pemusnahan masal, kejahatan perang, pembersihan
etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi responsibility to protect rakyatnya dari
empat kejahatan yang sudah disebutkan. Selain itu, komunitas internasional juga memiliki tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam upaya menjalankan tugasnya
melindungi rakyat tersebut. Prinsip ini didukung oleh komunitas internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia KTT PBB tahun 2005. Pada KTT tersebut, negara-
negara di dunia berjanji untuk menjunjung prinsip Responsibility to Protect agar negara- negara di dunia tidak mengalami lagi tragedi kemanusiaan. Lihat Responsibility to
Protect dalam
www.r2pasiapacific.orgdocs...R2P_basic_info_Bahasa
. Diakses 10 April 2015.
18
Michael Walzer. 1977. Intervention: Just and Unjust War. New York: Basic Books. Hal 86.
71
Implementasi intervensi kemanusiaan di Timur Tengah yang tidak mendapatkan mandat PBB salah satu contohnya adalah intervensi NATO ke
Libya. Libya tidak pernah menunjuk representasi negaranya untuk memberikan informasi atau menyatakan kepada PBB akan kesediaan negaranya untuk
diintervensi. Dengan demikian intervensi kemanusiaan ke Libya tidak mendapatkan justifikasinya. Oleh karena tidak terpenuhinya mandat dan
permohonan negara untuk intervensi tersebut membuat intervensi kemanusiaan di Libya tidak sah. Hal berbeda terjadi di Mali, bahwa representasi dari pemerintah
Mali meminta bantuan kepada pemerintah Prancis untuk mengatasi pemberontakan di Mali Utara.
19
Jadi, dalam intervensi kemanusiaan, jika suatu negara tetap tidak menginginkan adanya campur tangan dari pihak lain maka
intervensi tersebut ilegal atau tidak sah untuk dilakukan, mmeskipun telah mendapatkan mandat dari PBB.
2.5 Isu Moral dalam Intervensi Kemanusiaan