Pembagian Warisan atas Tanah dan Bangunan Menurut Tradisi

BAB IV PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN

ATAU BANGUNAN STUDI KASUS MASYARAKAT TEBET

A. Pembagian Warisan atas Tanah dan Bangunan Menurut Tradisi

Masyarakat Tebet Tebet merupakan sebuah kecamatan yang berada diwilayah Jakarta Selatan dengan penduduknya mayoritas beragama Islam 1 . Dalam hal pembagian warisan, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa diIndonesia menganut tiga hukum kewarisan, yakni Hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, dan hukum kewarisan Eropa BW 2 , walupun mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam hal pembagian warisan, masyarakat tebet tidak sepenuhnya memakai hukum waris Islam. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya sangat minimnya pemahaman masyarakat tentang hukum kewarisan, khusunya hukum waris Islam, kurang adanya sosialisasi akan pentingnya hukum waris Islam oleh Pemerintah, tokoh masyarakat dalam hal ini ulama’, yang memiliki hubungan lebih dekat dengan masyarakat setempat secara keagamaan, serta tidak 1 Laporan penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Bulan Maret 2007, hal. 16 2 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20 90 ﱠ ﻮ ءﺎﻓ سﺎﱠﻨ ا ﺎهاﻮ ﱠ و ﺾﺋاﺮ ا اﻮ ﱠ و سﺎﱠﻨ ا ﻮ ﱠ و نﺁﺮ ا ا ا نا ﻚﺷﻮ و عﻮﻓﺮ او ضﻮﺒ ؤﺮ ا ﺛﻨ ﺎ ن ﻓ ا ﻰ ﺮ ﻀ ﺔ ﻓ ﻼ ﺪ نا ا ﺣ ًﺪ ا ﺒ ﺮ ه ﺎ . ﻰﻨﻄ راﺪ او ﻰﺋﺎﺴﻨ او ﺪ ﺣا ﻪﺟﺮﺧأ ” Pelajarilah oleh kalian al-Qur’an, dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah pula ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang akan terenggut mati sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bersengketa tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. ” HR. Ahamad. Al-Nasa’i, dan al-Daruquthny Hadist di atas menempatkan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid sejalan dengan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an. Ini tidak lain dimaksudkan, untuk menunjukkan bahwa ilmu faraid merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagi pula, tidak jarang dijumpai bahwa naluriah manusia memiliki kecenderungan materialistik, serakah, tidak adil, dan kadang dengan mudah mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka, di sinilah letak pentingnya kegunaan ilmu fiqh mawaris, karena itu wajib dipelajari dan diajarkannya kepada orang lain. Maksudnya adalah, agar di dalam pembagian warisan, setiap orang menaati dan melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam al-Quran secara detail. 91 Menurut beberapa nara sumber yang merupakan tokoh masyarakat dan ulama’yang sering dijadikan rujukan dalam urusan pembagian warisan di wilayah Tebet, 3 sebagaimana penulis wawancarai secara dept interview wawancara bebas menerangkan bahwa : masyarakat Tebet secara umum membagi harta warisan yang berupa tanah dan atau bangunan berdasarkan kekeluargaan atau kesepakatan di antara para ahli waris. Adapula di antara mereka yang membagi sama rata, adapula yang menganut kaidah hukum waris Islam, namun demikian masalah kewarisan disini seringkali menimbulkan konflik di antara para ahli waris, hal ini disebabkan ada diantara para ahli waris yang tidak mau menerima hasil pembagian atas harta warisan yang berupa tanah dan atau bangunan dikarenakan merasa kurang memenuhi rasa keadilan bagi dirinya, walupun sudah ada ketentuan di masing – masing hukum waris yang ada. Sebagai contoh, kasus pembagian warisan di kelurahan Bukit Duri Kecamatan Tebet, yaitu keluarga Bpk Banin dan Ibu Sumiyah dengan dua orang anaknya yang terdiri dari satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Setelah bapak Banin meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak maka di antara ahli waris ini saling berebut harta warisan, dari pihak anak laki-laki meminta harta warisannya dibagi secara Islami, namun dari pihak anak perempuan tidak mau menerima dengan pembagian secara hukum Islam, karena menurutnya anak perempuan ini lebih dominan dalam hal perhatiannya terhadap keluarganya dibandingkan anak laki-laki yang tidak pernah mempedulikan urusan keluarganya di masa pewaris masih hidup. Setelah berlarut – larut tidak menemui 3 KH. Masyhuri Shahid, KH.M Thoyib AR, KH. A Hanafi, Ustd Luqman Hakim tokoh Ulama 92 hasil kesepakatan di antara ahli waris, akhirnya antara ahli waris sepakat membawa masalah ini ke tokoh masyarakat setempat atau ulama’. Kemudian ulama’ yang dimaksud disini adalah KH. M Thoyib AR. Pimpinan Majlis ta’lim Al-Husna Kebon Baru, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan. Setelah KH. M Thoyib mempelajari akar masalahnya, ternyata anak perempuan ini merasa kurang banyak bagiannya jika dibagi secara hukum waris Islam, pada tataran ini KH M. Thoyib memberikan penjelasan dan pemahaman kepada para ahli waris tentang pentingnya hukum waris Islam sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah kewarisan dan juga sebagai umat Islam merupakan kewajiban bagi kita untuk mematuhi aturan hukum Islam sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Quran, sebab di dalam Al-Qur’an sendiri telah ditetapkan bagian masing – masing ahli waris, sebagaimana yang termaktub dalam Surah An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33, dn 176. Untuk memenuhi rasa keadilan disini, KH M. Thoyib meminta kesadaran dari ahli waris laki- laki untuk membagi sebagaian hartanya kepada ahli waris perempuan setelah harta yang berupa tanah dan atau bangunan disini dibagi secara waris Islam, sebagian harta yang diberikan kepada ahli waris perempuan di sini diistilahkan oleh KH. M. Thoyib sebagai ”kerohiman.” 4 Dengan adanya cara pembagian harta warisan seperti ini, yaitu tetap dibagi secara hukum waris Islam kemudian atas kesadaran diantara para ahli waris, ahli waris yang merasa berkecukupan membagi sebagian bagaiannya kepada ahli waris yang kurang mampu atau mendapat bagian yang lebih sedikit dengan istilah kerohiman. 4 Wawancara pribadi dengan KH.M. Thoyib, Jakarta 01 Juli 2010 93 Di lain tempat pernah juga terjadi sengketa harta warisan berupa tanah dan atau bangunan di wilayah kelurahan Menteng Dalam, tepatnya di Jl. Persada Raya persis di samping lampu merah Saharjo, pewaris yaitu KH. Tabrani, merupakan seorang tokoh agama di wilayah Menteng Dalam, namun demikian para ahli waris mengindahkan norma-norma agama dalam hal pembagian warisan, sehingga di antara para ahli waris tidak ada kesepakatan atau titik temu dalam rangka membagi harta warisannya. Setelah berlarut-larut tidak ada kata sepakat akhirnya di antara para ahli waris ada yang berinisiatif untuk melibatkan seorang ulama’ yang biasa dijadikan rujukan jika ada masalah pembagian warisan, dalam hal ini almarhum KH. Mashuri Syahid, MA yang tinggal di Jl. Tebet Barat dan juga pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa MUI DKI. Namun demikian setelah diberikan pemahaman dan pengertian tentang ilmu mawaris dan juga merupakan kewajiban bagi umat muslim untuk mengaplikasikan nilai – nilai Islami dalam setiap lini kehidupan, khusunya masalah kewarisan,ternyata para ahli waris tidak juga bisa menerima, hal ini kembali kepada sifat manusia sendiri yang cenderung serakah, tidak adil, dan suka mementingkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Setelah melihat kenyataan seperti ini akhirnya KH. Masyhuri Syahid mengembalikan sepenuhnya masalah ini kepada keluarga almarhum H. Tabrani. 5 Setelah melalui jalur kekeluargaan tidak bisa juga, di antara para ahli waris ada yang melibatkan jasa pengacara, disisi lain akhirnya masing – masing ahli waris saling mengklaim melalui pengacaranya masing – masing, setelah cukup lama bertikai , akhirnya para ahli 5 Wawancara Pribadi dengan Alm. KH. Masyhuri Syahid, Jakarta 4 Oktober 2007. 94 waris harus mengeluarkan biaya besar untuk membayar para pengacara mereka, naifnya, ternyata para ahli waris di sini tidak mampu membayar para pengacaranya, sehingga sampai sekarang tanah dan atau bangunan yang diperebutkan tadi dikuasai oleh pengacara sebagai jaminan dari para ahli waris untuk membayar jasanya. Ada juga kasus pembagian warisan yang terjadi di daerah Pasar Pedok, masih wilayah Menteng Dalam yaitu keluarga H. Yasin, masalahnya di sini adalah, semasa hidupnya pewaris sudah membagi-bagi sebagian hartanya berupa tanah dan atau bangunan kepada para ahli waris yang dianggap sudah dewasa, ketika pewaris meninggal dunia masih ada salah satu anaknya yang belum dewasa, setelah ahli waris yang satu ini sudah cukup umur, para ahli waris yang lain meminta harta yang ditinggalkan pewaris dibagi lagi di antara mereka, secara otomatis pewaris yang belum pernah mendapat bagian ini tidak bisa menerimanya, sehingga terjadilah sengketa di antara ahli waris dan akhirnya para ahli waris sepakat untuk membawa masalah ini kepada seorang tokoh agama yang biasa menyelesaikan masalah pembagian warisan di daerah Pedok. Menurut KH A. Hanfi LC. masalah yang terjadi pada keluarga H. Yasin ini timbul akibat kurang adanya pemahaman terhadap ilmu mawaris oleh umat Islam, jikalau umat Islam memahami betul dan mengamalkan al-Quran, maka hal-hal semacam ini tidak akan terjadi, sebab di dalam hukum waris Islam, yang dikatakan harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia, jadi jika ada orang yang telah membagi-bagi hartanya sebelum ia meninggal dunia tidak bisa dikatakan sebagai pembagian warisan, kalau akadnya membagi warisan 95 maka dianggap tidak sah. Dengan demikian para ahli waris dari H. Yasin akhirnya menghitung kembali semua harta yang ada, termasuk yang telah dibagi-bagikan semasa pewaris masih hidup dan dianggap sebagai harta warisan. Setelah semuanya sepakat dan semua harta dihitung semua, KH A. Hanafi LC, membagi harta tersebut sesuai dengan porsi masing-masing ahli waris yang terdiri dari 4 orang anak, satu laki-laki dan tiga orang anak perempuan serta seorang istri sesuai dengan hukum waris Islam, dan juga KH A. Hanafi menganjurkan kepada ahli waris yang mendapat bagian lebih banyak, untuk mambagi sebagian hartanya kepada ahli waris lain yang porsi bagiannya lebih sedikit dengan istilah kerohiman. 6 Menurut para kyai yang penulis wawancarai di antaranya, KH M. Thoyib AR, KH Masyhuri Syahid, MA, KH. A. Hanafi LC, Drs Ustd. Luqman Hakim pimpinan PonPes Ar-Rahmah Bojong Gede yang berdomosili di Jl. Flamboyan Menteng Dalam Tebet dan beberapa warga masyarakat menyatakan bahwa pada umumnya masyarakat menyelesaikan masalah kewarisan secara kekeluargaan tanpa melibatkan orang lain dengan cara menjual dalam hal ini tanah dan bangunan kepada orang lain, kemudian dari hasil penjualan ini baru dibagi di antara para ali waris sesuai kesepakatan bersama. Jika di dalam pembagian warisan ini timbul masalah yang tidak bisa diselesaikan, baru tokoh agama atau ulama’ dilibatkan untuk memberikan pengarahan dan pemahaman sesuai syari’at Islam, jika dengan cara ini masih ada di antara para ahli waris yang tidak bisa menerima, biasanya masyarakat akan membawa masalah ini ke meja hijau, dalam hal ini Pengadilan Agama. Adapula yang memakai 6 Wawancara Pribadi dengan A. Hanafi , Jakarta 01 Juli 2010. 96 jasa pengacara, namun realita yang terjadi dibeberapa keluarga, seperti keluarga H. Thabrani di Jl. Persada Raya, keluarga H. Jejen di Jl Palbatu Raya, Keluarga Hj. Fatimah di Tebet Barat, yang semuanya dalam wilayah kecamatn Tebet, harta warisan yang tadinya diperebutkan karena saling ingin menguasai akhirnya malah jatuh ke tangan pengacara, disebabkan karena waktu yang dipakai untuk sengketa terlalu lama dan biaya yang dibutuhkan untuk jasa pengacara sangatlah besar, sampai para ahli waris tidak mampu membayar, sehingga harta yang berupa tanah dan bangunan yang akan dibagi secara waris dibuat jaminan untuk membayar pengacara. 7 B. Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT Tebet dalam Kaitannya dengan Pembagian Harta Warisan atas Tanah dan Bangunan yang di Perjual Belikan. Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT merupakan pejabat yang berwenang membuat akta otentik berupa Akta Jual Beli AJB, jika diantara para ahli waris telah sepakat untuk menjual harta warisannya berupa tanah dan atau bangunan kepada pihak pembeli dengan kesepakatan harga tertentu serta keadaan tanah tidak dalam sengketa atau ada tanggungan diatasnya. Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum Adat, dan harus memenuhi syarat- syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat 7 Wawancara Pribadi dengan Luqman Hakim, Jakarta 5 Agustus 2010. 97 Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT yang terdiri dari: 1. PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat di sini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya. 2. PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu. Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut: 1. Akta Jual Beli AJB bila mana sudah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung biaya pembuatan Akta Jual Beli AJB antara pihak penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. 98 2. Persyaratan Akta Jual Beli AJB hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut: a. Syarat-syarat yang harus dibawa penjual: 1. Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual; 2. Kartu Tanda Penduduk; 3. Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan PBB sepuluh tahun terakhir; 4. Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga. b. Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli: 1. Kartu Tanda Penduduk 2. Kartu Keluarga 3. Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT a. Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli: 1. Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada pihak lain atau sedang dalam sengketa kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut; 99 2. Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut; 3. Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum; 4. Penjual diwajibkan membayar Pajak Penghasilan PPh yakni sebesar 5 dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak NJOP, sedangkan pembeli diwajibkan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB yakni sebesar 5 dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak NJOP setelah dikurangi terlebih dulu dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NJOPTKP. b. Pembuatan Akta Jual Beli 1. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis; 2. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi; 3. PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani 100 oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri; 4. Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak. c. Setelah Pembuatan Akta Jual Beli 1. Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertifikat; dan 2. Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. d. Proses di Kantor Pertanahan 1. Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan 101 permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli; 2. Nama penjual dalam buku tanah dan sertifikat akan dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; 3. Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan 4. Dalam waktu 14 empat belas hari pembeli berhak mengambil sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor pertanahan setempat. 8 Demikian deskripsi peranan PPAT dalam kaitannya pembagian harta warisan berupa tanah dan atau bangunan jika harta tersebut dijual kepada pihak orang lain.

C. Instansi Atau Pejabat yang Berhak Menentukan Nilai Harga Atas Tanah