BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan umatnya. Semua pemeluk agama Islam sepenuhnya meyakini bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil ‘alamin. Dasar teologis ini memberikan pemaknaan bahwa Islam meliputi semua dimensi kehidupan manusia, dari yang berskala duniawi hingga
ukhrowi, dari yang bertalian dengan Allah ataupun sesama manusia. Bahkan cakupan hukum yang berkaitan dengan pola hubungan antar manusia memiliki porsi yang jauh
lebih besar. Di dalamnya tercakup pola-pola hukum seputar muamalah atau pula hudud. Di antara norma hukum yang melatarbelakangi penulisan ini adalah masalah
mawaris atau faraid, sebagai bagian dari hukum keluarga yang pelaksanaannya tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam KHI
1
serta dijadikan dasar hukum oleh Pengadilan Agama di Indonesia.
Sebelum datang agama Islam, hukum kewarisan sudah dikenal dan dilakukan oleh masyarakat jahiliyah dengan sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada
1
H. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004, hal. 12
1
dengan seperangkat aturan yang didominasi oleh laki-laki dewasa dan kuat, sehingga kaum perempuan, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan tidak mendapatkan
bagian warisan.
2
Namun setelah datangnya Islam sebagai pedoman sekaligus pencerahan bagi umat manusia, tata aturan hukum yang bersifat diskriminatif ini
setahap demi setahap mulai diperbaiki oleh syari’at Islam, sekaligus mengubah perilaku jahiliyah yang mengebiri hak-hak manusia lain, sampai disempurnakannya
hukum Islam melalui wahyu terakhir yang diterima Nabi Muhammad pada saat haji wada’.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa Islam sangat menghargai hak-hak setiap umatnya, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan pun diperhitungkan hak
warisnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., yang artinya, apabila bayi yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi bagian warisan, Riwayat
Ashab al-Sunan, Di sini penulis mencoba mengkorelasikan sistematika aturan hukum tentang
kewarisan menurut syariat Islam dengan sistem aturan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam hal pembagian warisan atas barang tidak bergerak yakni
tanah dan atau bangunan oleh masyarakat muslim di kecamatan Tebet Jakarta Selatan, di mana jika ahli warisnya hanya satu orang, maka hal ini tidak akan
menimbulkan suatu permasalahan, namun jika ahli warisnya lebih dari satu orang dan harta warisannya dalam hal ini tanah dan atau bangunan berada pada tempat yang
berlainan maka akan menimbulkan masalah atau sengketa, sebab harta yang akan
2
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris edisi revisi, Cet.ke-4 Jakarta:PT RajaGrafindo, 2001 hal.8
2
dibagi adalah harta tidak bergerak serta memungkinkan memiliki nilai jual yang berbeda, sebagaimana ungkapan Von Thunnen yang menyatakan bahwa perbedaan
sewa tanah disebabkan adanya perbedaan lokasi tanah terhadap pusat pasar.
3
apalagi jika di antara para ahli waris menganut sistem pembagian yang berlainan, sebab
walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam, persoalan keberadaan hokum adat di Indonesia yang telah “terlanjur” dianggap mengakar, akan
semakin sulit untuk memilih hokum waris Islam sebagai alternative. Ia terlahir sendiri akibat adanya hubungan – hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara
sosiologis telah lama melembaga.
4
Hal inilah yang menjadikan permasalahan, mengapa homogenitas hukum keluarga di Indonesia susah diwujudkan, bahkan dalam masyarakat yang seagama
sekalipun, terbukti dengan adanya orang Islam Indonesia yang cenderung membawa permasalahan hukum keluarga ke dalam wilayah Pengadilan Umum. Dari deskripsi
ini, perlu dicari alternatif yang tepat untuk menyelesaikan masalah kewarisan dalam bentuk barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan.
Di sini penulis akan mendeskripsikan sejauh mana pengaruh sistem penentuan nilai harta warisan dalam bentuk tanah dan bangunan terhadap pembagian warisan
yang lebih efektif dan berkeadilan menurut syariat Islam, khususnya di wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan dan adakah peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah
3
Barlowe, R, Land Resourse Economic, Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1972, page 167
4
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. Hal 21
3
PPAT kecamatan, serta sejauh mana kewenangan PPAT dalam hal ini, dan adakah lembaga diluar PPAT yang bersifat independen yang mempunyai kewenangan dalam
menentukan nilai harta tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan, agar dalam menentukan nilai harga atas tanah dan atau bangunan yanag akan diwaris lebih akurat
dan efisien sesuai standar nasional. Hipotesa inilah yang menjadikan kerangka berfikir penulis dalam menyusun
penulisan ini. Selain itu penulis juga akan mendeskripsikan sistem hukum kewarisan di Indonesia yang berlainan sistematika dan redaksinya. Seperti sistem hukum Islam
yang mengklasifikasikan ahli waris berdasarkan keturunan atau nasab dan hubungan perkawinan
5
serta ketentuan masing-masing ahli waris telah di tentukan kadarnya berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Lain halnya dengan sistem hukum
adat dengan aturan mainnya didasarkan pada ketentuan yang telah disepakati oleh masyarakat setempat, karena masng-masing daerah memiliki aturan yang berbeda,
seperti hukum adat Jawa berbeda dengan hukum adat Minangkabau, dan juga sistem hukum Barat dengan sistem pembagiannya didasarkan pada BW.
Setelah diketahui pengaruh serta efek dari sistem penentuan nilai harga atas tanah dan atau bangunan sebagai harta warisan, penulis berharap masyarakat tidak
mengalami kesulitan dalam menentukan nilai harta tidak bergerak yang akan dibagi secara waris dan tidak salah menunjuk orang atau instansi untuk menilai harta
peninggalan keluarganya untuk segera dibagikan kepada para ahli warisnya dengan sistem pembagian yang telah disepakati oleh para ahli waris, sebab di Indonesia ada
5
Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 59
4
tiga sistem pembagian warisan yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum BW. Serta masyarakat mengetahui bagaimana tata cara mendapatkan
akta otentik berupa Akta Jual Beli AJB dari harta warisan yang telah dilelang kepada orang lain dihadapan PPAT agar memiliki kekuatan hukum sebab secara
administratif telah berpindah kepemilikannya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.