Pengaruh sistem penentuan nilai harta wrisan dalam pembagian warisan atas tanah dan bangunan Kec. Tebet Jakarta Selatan

(1)

PENGARUH SISTEM PENENTUAN NILAI HARTA WARISAN DALAM PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KECAMATAN

TEBET JAKARTA SELATAN

Oleh Taqwalloh NIM : 101044222209

Program Studi Ahwal Syakhsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam Fakultas syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah

Jakarta 1431 H / 2010 M


(2)

PENGARUH SISTEM PENENTUAN NILAI HARTA WARISAN DALAM PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KECAMATAN

TEBET JAKARTA SELATAN SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hudayatullah Jakarta Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Sarjana Syariah ( S.Sy )

Oleh : Taqwalah NIM : 101044222209

Pembimbing :

Drs.H.Hamid Farihi,M.A. NIP : 195811191986031001

Program Studi Ahwal Syakhsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam Fakultas syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah

Jakarta 1431 H / 2010 M


(3)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Almarhum Bapakku

Almarhumah Ibuku

Kakak-kakakku dan adikku Keponakan-kaponakanku


(4)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Almarhum Bapakku

Almarhumah Ibuku

Kakak-kakakku dan adikku Keponakan-kaponakanku

Merekalah yang telah mengajariku arti “ semangat hidup”


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, pembawa risalah kedamaian.

Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun spiritual. Merekalah yang telah berjasa mengajar, mendidik, memberikan inspirasi, dan semangat hidup kepada penulis.

Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku ketua program studi Ahwal Syahsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam, Bapak Kamarusdiana, Sag, MH, selaku sekretaris program studi Ahwal Syahsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akademik, juga kepada seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengajar dengan penuh semangat sehingga penulis mampu “sedikit”

mengenal seputar hukum syariah.

Bapak Drs. H. Hamid Farihi, MA, selaku Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan dan saran-saran yang membangun bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.

Kepada seluruh staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik, khusunya kepada ibu Yanti staf program studi Ahwal Syahsiyyah yang banyak membantu penulis dalam melengkapi data-data dengan sangat tulus.


(6)

Persembahan terbesar dan terimakasih tak terhingga untuk keluarga tercinta, Ibu Bapakku yang telah berpulang kerahmatullah, semoga Allah menempatkan keduanya ditempat yang layak disisiNya, kakak-kakak, adik, kedua keponakanku atas semua dorongan dan do’a.

Keluarga besar Mayang production, group Kapak Merah, Mas Slamet Bagio, serta teman-teman seperjuangan di SAS/AKI yang tidak henti-hentinya memberi motivasi dan informasi, terimakasih atas partisipasinya.

Demikian

Penulis

Jakarta, 30 Agustus 2010


(7)

1

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN... i

LEMBAR PENGESAHAN... i

LEMBAR PERSEMBAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan perumusan masalah ... 5

C. Tujuan dan kegunaan penelitian ... 6

D. Metodologi penelitian ... 6

E. Sistematika penulisan... 8

BAB II SISTEM PENILAIAN, KEWARISAN DAN PERTANAHAN DI INDONESIA A. Sistem penilaian tanah dan bangunan di Indonesia ... B. Hukum kewarisan di Indonesia... C. Hukum tanah di Indonesia ... BAB III GAMBARAN UMUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DI KECAMATAN TEBET A. Letak geografis kecamatan Tebet ... 10

B. Sejarah dan perkembangan PPAT... 20

C. Struktur organisasai dan kewenangan PPAT ... 58

BAB IV PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN ATAU

BANGUNAN STUDI KASUS MASYARAKAT DI WILAYAH KECAMATAN TEBET


(8)

2

A. Pembagian warisan atas tanah dan bangunan menurut tradisi masyarakat di kecamatan Tebet ... 90 B. Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kaitannya

dengan pembagian harta warisan atas tanah dan atau bangunan yang diperjual belikan... 97 C. Instansi atau pejabat yang berhak menentukan nilai harga atas tanah

dan atau bangunan... 102 D. Sistem penentuan nilai harga atas tanah dan atau bangunan yang

akan di waris ... 112 E. Penentuan nilai harga terhadap pembagian warisan atas tanah dan

bangunan menurut tradisi masyarakat Tebet ... 114 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 118 B. Saran-saran... 120 DAFTAR PUSTAKA... 122 Lampiran I


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan umatnya. Semua pemeluk agama Islam sepenuhnya meyakini bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dasar teologis ini memberikan pemaknaan bahwa Islam meliputi semua dimensi kehidupan manusia, dari yang berskala duniawi hingga ukhrowi, dari yang bertalian dengan Allah ataupun sesama manusia. Bahkan cakupan hukum yang berkaitan dengan pola hubungan antar manusia memiliki porsi yang jauh lebih besar. Di dalamnya tercakup pola-pola hukum seputar muamalah atau pula hudud. Di antara norma hukum yang melatarbelakangi penulisan ini adalah masalah mawaris atau faraid, sebagai bagian dari hukum keluarga yang pelaksanaannya tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)1 serta dijadikan dasar hukum oleh Pengadilan Agama di Indonesia.

Sebelum datang agama Islam, hukum kewarisan sudah dikenal dan dilakukan oleh masyarakat jahiliyah dengan sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada

1

H. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004), hal. 12


(10)

dengan seperangkat aturan yang didominasi oleh laki-laki dewasa dan kuat, sehingga kaum perempuan, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan tidak mendapatkan bagian warisan.2 Namun setelah datangnya Islam sebagai pedoman sekaligus pencerahan bagi umat manusia, tata aturan hukum yang bersifat diskriminatif ini setahap demi setahap mulai diperbaiki oleh syari’at Islam, sekaligus mengubah perilaku jahiliyah yang mengebiri hak-hak manusia lain, sampai disempurnakannya hukum Islam melalui wahyu terakhir yang diterima Nabi Muhammad pada saat haji wada’.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa Islam sangat menghargai hak-hak setiap umatnya, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan pun diperhitungkan hak warisnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., yang artinya, apabila bayi yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi bagian warisan, (Riwayat Ashab al-Sunan),

Di sini penulis mencoba mengkorelasikan sistematika aturan hukum tentang kewarisan menurut syariat Islam dengan sistem aturan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam hal pembagian warisan atas barang tidak bergerak yakni tanah dan atau bangunan oleh masyarakat muslim di kecamatan Tebet Jakarta Selatan, di mana jika ahli warisnya hanya satu orang, maka hal ini tidak akan menimbulkan suatu permasalahan, namun jika ahli warisnya lebih dari satu orang dan harta warisannya dalam hal ini tanah dan atau bangunan berada pada tempat yang berlainan maka akan menimbulkan masalah atau sengketa, sebab harta yang akan

2

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris edisi revisi, Cet.ke-4 (Jakarta:PT RajaGrafindo, 2001) hal.8


(11)

dibagi adalah harta tidak bergerak serta memungkinkan memiliki nilai jual yang berbeda, sebagaimana ungkapan Von Thunnen yang menyatakan bahwa perbedaan sewa tanah disebabkan adanya perbedaan lokasi tanah terhadap pusat pasar.3 apalagi jika di antara para ahli waris menganut sistem pembagian yang berlainan, sebab walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam, persoalan keberadaan hokum adat di Indonesia yang telah “terlanjur” dianggap mengakar, akan semakin sulit untuk memilih hokum waris Islam sebagai alternative. Ia terlahir sendiri akibat adanya hubungan – hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga.4

Hal inilah yang menjadikan permasalahan, mengapa homogenitas hukum keluarga di Indonesia susah diwujudkan, bahkan dalam masyarakat yang seagama sekalipun, terbukti dengan adanya orang Islam Indonesia yang cenderung membawa permasalahan hukum keluarga ke dalam wilayah Pengadilan Umum. Dari deskripsi ini, perlu dicari alternatif yang tepat untuk menyelesaikan masalah kewarisan dalam bentuk barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan.

Di sini penulis akan mendeskripsikan sejauh mana pengaruh sistem penentuan nilai harta warisan dalam bentuk tanah dan bangunan terhadap pembagian warisan yang lebih efektif dan berkeadilan menurut syariat Islam, khususnya di wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan dan adakah peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah

3

Barlowe, R, Land Resourse Economic, (Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1972), page 167

4

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997). Hal 21


(12)

(PPAT) kecamatan, serta sejauh mana kewenangan PPAT dalam hal ini, dan adakah lembaga diluar PPAT yang bersifat independen yang mempunyai kewenangan dalam menentukan nilai harta tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan, agar dalam menentukan nilai harga atas tanah dan atau bangunan yanag akan diwaris lebih akurat dan efisien sesuai standar nasional.

Hipotesa inilah yang menjadikan kerangka berfikir penulis dalam menyusun penulisan ini. Selain itu penulis juga akan mendeskripsikan sistem hukum kewarisan di Indonesia yang berlainan sistematika dan redaksinya. Seperti sistem hukum Islam yang mengklasifikasikan ahli waris berdasarkan keturunan atau nasab dan hubungan perkawinan5 serta ketentuan masing-masing ahli waris telah di tentukan kadarnya berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Lain halnya dengan sistem hukum adat dengan aturan mainnya didasarkan pada ketentuan yang telah disepakati oleh masyarakat setempat, karena masng-masing daerah memiliki aturan yang berbeda, seperti hukum adat Jawa berbeda dengan hukum adat Minangkabau, dan juga sistem hukum Barat dengan sistem pembagiannya didasarkan pada BW.

Setelah diketahui pengaruh serta efek dari sistem penentuan nilai harga atas tanah dan atau bangunan sebagai harta warisan, penulis berharap masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam menentukan nilai harta tidak bergerak yang akan dibagi secara waris dan tidak salah menunjuk orang atau instansi untuk menilai harta peninggalan keluarganya untuk segera dibagikan kepada para ahli warisnya dengan sistem pembagian yang telah disepakati oleh para ahli waris, sebab di Indonesia ada

5

Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 59


(13)

tiga sistem pembagian warisan yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum BW. Serta masyarakat mengetahui bagaimana tata cara mendapatkan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) dari harta warisan yang telah dilelang kepada orang lain dihadapan PPAT agar memiliki kekuatan hukum sebab secara administratif telah berpindah kepemilikannya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Studi ini akan membatasi kajian tentang pengaruh sistem penilaian terhadap obyek warisan berupa harta tidak bergerak dalam hal ini tanah dan atau bangunan terhadap pembagian warisan khususnya masyarakat muslim, yang diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan di antara para ahli waris diwilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan.

Untuk lebih memfokuskan kajian ini, penulis membatasi studi ini dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara masyarakat muslim Tebet membagi harta warisan berupa tanah dan atau bangunan dengan jumlah ahli waris lebih dari satu orang dan harta warisannya berada di beberapa tempat terpisah.

2. Apa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) jika pembagian harta tersebut di atas dibagi dengan cara menjual terlebih dahulu kepada orang lain. 3. Perlukah lembaga atau instansi yang bersifat independen dilibatkan untuk

menilai harta warisan dalam bentuk tanah dan atau bangunan tersebut. 5


(14)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Melakukan studi deskriptif terhadap sistematika pembagian warisan menurut syariat Islam diwilayah kecamatan Tebet.

2. Melihat peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka pembuatan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) atas pembagian harta warisan berupa tanah dan atau bangunan yang diperjual-belikan oleh para ahli waris.

3. Mencari solusi atas sengketa penentuan nilai harta waris berupa tanah dan atau bangunan di wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan.

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena penelitian kualitatif selalu berorientasi pada penemuan konsep-konsep atau temuan evaluasi yang baru

2. Unit analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah para ahli yang mengerti dan memahami tentang kebijakan dan implementasi hukum di bidang kewarisan dan pertanahan. Sementara unit analisis teoritiknya adalah konsep-konsep yang dikemukakan dalam rumusan permasalahan dan konseptualisasi di atas. 3. Tipe Penelitian


(15)

Penelitian ini bersifat descriptive-explanatory. Tipe penelitian ini bermaksud melakukan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan-hubungan antar konsep yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penilitian ini adalah wawancara, observasi dan kajian pustaka.

Wawancara; untuk mendapatkan informasi, peneliti akan melakukan wawancara mendalam (depth interview), berbentuk terbuka, dan tidak berstruktur (unstructured). Teknik ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan berekspresi bagi informan sebagai unit analisis penelitian sehingga dimungkinkan berbagai gagasan dan pemikiran berkaitan dengan kebijakan dan implementasinya dapat tergali.

Observasi; teknik ini dilakukan untuk mengkonfrontir berbagai temuan dalam wawancara dengan situasi riil lapangan. Obsrevasi juga sekaligus merupakan teknik untuk membaca secara obyektif obyek-obyek praktis lembaga-lenbaga yang terkait di dalamnya.

Penggunaan dokumen dan bahan pustaka; kedua bahan ini sebagai data pijakan bagi proses penelitian sejak perencanaan hingga penulisan laporan. 5. Teknik Analisis Data


(16)

Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti struktur gaya berfikir ilmiah. Data kualitatif akan dianalisis dengan menggunakan metode deduktif, content analys, dan fenomenologi. Kesemuanya itu dilakukan dengan menurut data yang disesuaikan dengan sistematika penulisan laporan.

E. SISTEMATIKA PENYUSUNAN

Sistem penyusunan laporan penelitian ini secara umum memuat tiga hal pokok, yaitu, pendahuluan , temuan-temuan dalam riset yang dilakukan, dan terakhir kesimpulan serta saran atau rekomendasi. Secara garis besar sistematika penulisan dalam studi ini adalah sebagai berikut:

a. Pendahuluan sebagai bagian pembuka, dalam bagian ini penulis akan memaparkan proses awal perencanaan penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan signifikasi gagasan, konseptualisasi, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan laporan.

b. Bagian kedua adalah seputar pengertian dan dasar hukum tentang sistem penilaian, kewarisan, dan tanah.

c. Bagian ketiga adalah deskripsi tentang letak geografis wilayah kecamatan Tebet yang menjadi obyek penelitian, sejarah adanya PPAT serta tugas dan wewenangnya terhadap masalah tanah dan atau bangunan yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) atas harta


(17)

9

warisan berupa tanah dan atau bangunan yang diperjual belikan dari segi administratif.

d. Bagian keempat akan dideskripsikan tentang kebiasaan masyarakat muslim Tebet dalam membagi harta warisan berupa tanah dan atau bangunan, kewenangan PPAT Kecamatan Tebet dalam keterkaitannya mendaftar serta membuat akta otentik jual beli tanah, serta instansi atau lembaga independen yang dianggap perlu untuk membantu menganalisa atau menilai jumlah harta secara nominal dan pengaruh sistem penilaian harta warisan berupa tanah dan atau bangunan dalam memudahkan para ahli waris dalam membagi harta dalam bentuk barang tidak bergerak.


(18)

BAB II

SISTEM PENILAIAN, KEWARISAN DAN PERTANAHAN DI INDONESIA

A. Sistem Penilaian Tanah dan Bangunan di Indonesia 1. Nilai tanah

Secara fisik tanah dapat diartikan sebagai permukaan, termasuk bagian yang berada di bawah permukaan bumi serta yang terletak di atas permukaan bumi. Di dalam kehidupan manusia, tanah mempunyai peran yang sangat penting, karena tanah menjadi tempat segala aktivitas kehidupan manusia berlangsung seperti kegiatan bercocok tanam, mendirikan tempat tinggal, tempat rekreasi dan berbagai aktivitas lainnya.

Dalam teori ekonomi tanah, konsep sewa tanah merupakan konsep yang penting, karena merupakan dasar teoritis untuk menjelaskan mengapa tanah memiliki nilai. Selain itu, konsep tersebut juga mempengaruhi alokasi tanah antar individu dan antar berbagai jenis penggunaan yang saling berkompetisi serta mempengaruhi kebijakan perpajakan.1 Menurut David Ricardo dan John H von Thunne tentang teori sewa tanah yang menitikberatkan analisisnya pada sewa untuk tanah pertanian, hal ini disebabkan oleh perbedaan kesuburan antara sebidang tanah dengan bidang tanah lainnya. Asumsi yang dipergunakan David Ricardo dalam melakukan analisis adalah

1

Barlowe, R., Land Resources Economic, (Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1972), page 156.


(19)

suatu daerah memiliki tanah subur yang luas, tetapi hanya sedikit tanah saja yang dimanfaatkan untuk keperluan seluruh masyarakat di daerah tersebut.2

David Ricardo juga berpendapat bahwa hanya tanah yang paling subur saja yang dimanfaatkan dan tidak ada sewa yang dikenakan terhadap penggunaan tanah tersebut. Sewa dikenakan terhadap tanah hanya ketika peningkatan jumlah populasi penduduk menyebabkan kenaikan kebutuhan tanah, sehingga tanah-tanah yang kurang suburpun terpaksa dimanfaatkan.

Pemanfaatan tanah yang kurang subur menyebabkan peningkatan ongkos produksi sehingga penggunaan tanah yang subur akan dikenai sewa sebagai kompensasi ongkos produksi yang lebih rendah daripada tanah yang kurang subur. Dengan demikian sewa tanah yang lebih subur akan lebih tinggi dibanding dengan tanah yang kurang subur.

Berbeda dengan David Ricardo, von Thunnen menyatakan bahwa perbedaan sewa tanah disebabkan adanya perbedaan lokasi tanah terhadap pusat pasar. Von Thunnen berpendapat bahwa tanah yang terletak dekat pusat pasar memiliki sewa tanah yang lebih tinggi daripada tanah yang terletak jauh dari pusat pasar. Perbedaan sewa ini berkaitan dengan perbedaan ongkos transportasi diantara kedua bidang tanah tersebut. Tanah yang terletak dekat pusat pasar membutuhkan ongkos transportasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang terletak jauh dari pusat pasar.

Sewa tanah mempunyai pengaruh terhadap lokasi penggunaan tanah. Tanah yang mempunyai kapasitas penggunaan potensi yang tinggi untuk menghasilkan

2

Id. at 163-167.


(20)

pendapatan cenderung memiliki sewa yang tinggi. Jenis penggunaan tanah yang dipilih ditentukan oleh kemampuan jenis penggunaan tanah tersebut untuk menghasilkan keuntungan yang maksimum pada lokasi tanah tersebut.3

Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI 2000), Nilai adalah konsep ekonomi yang merujuk pada hubungan finansial antara barang dan jasa yang tersedia untuk dibeli dan mereka yang membeli atau menjual. Nilai bukanlah fakta tetapi lebih merupakan perkiraan manfaat ekonomi atas barang dan jasa pada suatu waktu tertentu dalam hubungannya dengan nilai tertentu. Harga adalah sejumlah uang yang diminta, ditawarkan, atau dibayarkan untuk sesuatu barang atau jasa. Hubungannya dengan penilaian, harga adalah fakta historis baik diumumkan maupun tidak.

Firdaus mengemukakan Ada dua pengertian nilai tanah dikemukakan oleh Northam (1975) yakni nilai pasar (market value), yaitu harga jual beli tanah yang terjadi pada suatu persil pada suatu waktu tertentu dan nilai taksiran (assessed value), yaitu nilai yang diestimasi oleh seorang penilai. Nilai pasar merupakan data bagi nilai taksiran.4 Wolcott menyebutkan secara umum bahwa nilai tanah tidak saja dipengaruhi oleh karakteristik fisik tanah saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, pemerintah dan karakteristik lingkungan.5 Wolcott memberikan definisi tentang harga, bahwa harga direpresentasikan oleh sejumlah

3

Id. at 179.

4

Firdaus. Awang, Analisis Pengaruh Jalan Lingkar Luar Terhadap Nilai Jual Properti Perumahan di Kecamatan Depok Sleman-Yogyakarta, (Yogyakarta, Tesis S2, Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta: 1999), hal. 18 (tidak dipublikasikan).

5

Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate, (American Institute of Real Estate Appraissers, 430 North Michigan Avenue,Chicago, Illinois: 1987), hal. 39-41.


(21)

pembeli yang bersedia membayar dan penjual yang bersedia menerima transaksi dalam keadaan tertentu.6

Nilai tanah mendasarkan pada prinsip penggunaan terbaik adalah sebagai bentuk tolok ukur kemampuan tanah memproduksi sesuatu yang secara langsung memberikan keuntungan ekonomis, sedangkan harga tanah adalah ukuran nominalnya. Ciri-ciri tertentu yang harus dimiliki oleh suatu properti agar mempunyai nilai menurut Eldred adalah demand (permintaan), utility (kegunaan), scarcity

(kelangkaan), dan transferability (dapat dialihkan).7

Secara khusus nilai properti di kawasan industri dipengaruhi oleh kondisi alam wilayah, penawaran tenaga kerja, fasilitas transportasi, distribusi input dan

output yang ekonomis, iklim politik, ketersediaan utilitas dan energi dan efek kontrol lingkungan.8 Hal ini secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan material dan faktor distribusi merujuk pada jarak ke tempat bahan baku, pasar dan tenaga kerja. Jadi nilai properti industri terkait dengan ketersediaan utilitas maupun fasilitas di kawasan tempatan (karakteristik geografis) yang ada (establishment), dan aksesibilitas positif (transportasi) dan aksesibilitas negatif (biaya) yang mengacu pada jarak.

6

Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate, (American Institute of Real Estate Appraissers, 430 North Michigan Avenue,Chicago, Illinois: 1987), hal. 15.

7

Eldred, Gary, Real Estate Analysis and Strategy, (Harper & Row, Publisher, New York; 1987), page. 24-25.

8

Appraisal Institute, The Appraisal of Real Estate, (Eleventh Edition, Chicago, Illinois: 1999), page. 209-211 & AIREA, The Appraisal of Real Estate, (Ninth Edition, Chicago, Illinois: 1997), page. 179.


(22)

Lebih lanjut hubungan nilai tanah dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagaimana dikemukakan Hoover bahwa lokasi adalah fungsi dari aksesibilitas, karakteristik lingkungan dan biaya.9 Lusth mengemukakan, nilai tanah adalah fungsi dari lokasi yang terkait dengan aksesibilitas yang diproxy dengan jarak (distance) dan persekitaran (neighborhoods). Nilai tanah berkait dengan lokasi dipengaruhi oleh hubungan keterkaitan lokasi dengan sistem transportasi dan aksesibilitas (linkage), kedekatan dengan pelayanan umum (proximity to public service) dan lingkungan /persekitaran (environmental/neighborhoods).10

2. Pemanfaatan tertinggi dan terbaik (highest and best use)

Definisi kegunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) adalah sebagai penggunaan yang paling memungkinkan dan diijinkan dari suatu tanah kosong atau tanah yang sudah dibangun, yang mana secara fisik memungkinkan, didukung atau dibenarkan oleh peraturan, layak secara keuangan dan menghasilkan nilai tertinggi AIREA.11 Nasucha mengatakan bahwa sumber daya tanah akan mencapai nilai tertinggi dan terbaik bila dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga memperoleh pendapatan optimum, baik untuk si pengguna maupun masyarakat. Konsep ini

9

Hoover, Edgar M., The Evolving Form and Organization of the Metropolis : Principal Location Factors in William H. Leahy : Urban Economic, (The Free Press, New York: 1968), page.65-77.

10

Lusht, Kenneth M., Real Estate ValuationPrinciples and Applications, (Irwin. Chicago: 1997), page. 25-45.

11

AIREA, The Appraisal of Real Estate, (Ninth Edition, Chicago, Illinois: 1997), page. 269.


(23)

seringkali dibatasi oleh peraturan peruntukan tanah (zoning) dan kebijaksanaan umum lainnya. Pada konsep ekonomis, sumber daya tanah dapat menghasilkan pendapatan lebih tinggi jika dimanfaatkan untuk tujuan komersil dan industri.12

3. Pendekatan Penilaian

Penilaian merupakan suatu proses penentuan nilai, baik nilai pasar, nilai investasi, nilai asuransi atau jenis nilai lainnya, dari suatu properti pada suatu tanggal penilaian tertentu. Penilaian suatu properti menurut American Institute Of Real Estate Appraiser dan Eckert et al. dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu;

a. Pendekatan data pasar (sales comparison approach), b. Pendekatan biaya (cost approach), dan

c. Pendekatan pendapatan (income capitalization approach).

Dalam pendekatan perbandingan yakni mengestimasi nilai suatu properti dengan menggunakan rata-rata perbandingan dengan properti sejenis yang mempunyai karakteristik yang hampir sama letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya obyek lain yang sejenis, dengan melakukan beberapa penyesuaian (adjustment). Langkah-langkah secara sederhana dalam melakukan penilaian adalah:

1) Mengumpulkan harga jual properti yang karakteristiknya sama dan telah terjual.

12

Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah, (Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, Jakarta: 1995), hal. 12-13.


(24)

2) Melakukan analisa dam penyesuaian-penyesuaian (adjustment) atas waktu transaksi, konsisi fisik lainnya.

3) Melakukan pemilihan secara rata-rata atau diambil yang terbaik nilainya menurut tujuan penilaian.

4) Membuat kesimpulan nilai.

Dalam pendekatan biaya, penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan kondisi fungsi, fisik dan ekonomi.

1) Menghitung biaya yang digunakan untuk memperoleh nilai baru (dapat dilakukan metode per unit pekerjaan, per meter2 maupun berdasarkan analisa detail bangunan)

2) Menambahkan biaya konsultan dan keuntungan bagi kontraktor dalam analisa tersebut.

3) Mengestimasi jumlah penyusutan fisik, fungsi dan ekonomi. 4) Membuat kesimpulan nilai.

Dalam pendekatan pendapatan, nilai properti adalah fungsi pendapatan, di mana semakin tinggi pendapatan yang dapat dihasilkan oleh properti maka semakin tinggi pula nilai properti tersebut. Untuk properti perumahan, pendapatan diperoleh


(25)

dari sewa bersihnya, yaitu pemasukan sewa properti tersebut dikurangi biaya operasionalnya melalui pendekatan pendapatan. Nilai suatu properti diperoleh dari pengkapitalisasian pendapatan bersihnya (net operating income) dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan pendapatan ini sesuai untuk digunakan untuk menilai properti yang menghasilkan pendapatan (income producing property).13

International Association Assessing Officers (IAAO) menyatakan bahwa dalam aplikasi pendekatan pendapatan ini, terdapat beberapa langkah-langkah dasar sebagai berikut:

1) Mengestimasi pendapatan kotor potensial (potential gross income).

2) Melakukan pengurangan pendapatan kotor potensial dengan tingkat kekosongannya (vacancy and collection loss).

3) Melakukan penjumlahan antara pendapatan lain-lain dan pendapatan kotor potensial setelah dikurangi dengan tingkat kekosongannya untuk mendapatkan perkiraan pendapatan kotor efektif (effective gross income).

4) Menentukan biaya-biaya operasi (operating expenses).

5) Mengurangkan pendapatan kotor efektif dengan biaya-biaya operasional untuk mendapatkan pendapatan bersih operasi sebelum bunga dan pajak.

6) Menentukan tingkat kapitalisasi yang sesuai.

7) Menentukan prosedur pengkapitalisasian yang sesuai untuk diterapkan.

13

Eckert, Joseph K., Gloudemans and Almy Richard R., Property Appraisal and Assessment Administration, (The International Association of Assesing Officer, Chicago, Illinois: 1990), page. 151.


(26)

8) Melakukan pengkapitalisasian pendapatan bersih operasi (net operating income) untuk mengestimasi nilai properti dengan formulasi umum sebagai berikut :

MV = I : R

di mana :

MV = estimasi nilai properti

I = pendapatan bersih operasi selama satu tahun R = tingkat kapitalisasi.

Dalam penentuan tingkat kapitalisasi, terdapat dua metode yang lazim dipakai, yaitu kapitalisasi langsung (direct capitalization) dan yield capitalization. Perbedaan di antara keduanya adalah terletak pada asumsi yang dipakai. Kapitalisasi langsung mengasumsikan bahwa pendapatan yang diterima pada tahun-tahun yang akan datang adalah sama atau tercermin seperti pendapatan pada tahun penilaian, sedangkan yield capitalization memasukkan asumsi-asumsi berkenaan dengan faktor-faktor seperti tingkat pengembalian (rate of return) yang diharapkan oleh investor, sisa umur ekonomis, jangka waktu kepemilikan dan antisipasi terjadinya depresiasi/apresiasi.14

14

International Association Assessing Officers (IAAO), Standard on Ratio Studies,

(Assessment Journal, Volume 6 Nomor 5: 1999), page. 204.


(27)

4. Penilaian Tanah Menurut PBB (Nilai Jual Objek Pajak)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli nilai jual obyek pajak yang ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti.

Pendekatan dalam penilaian:

a. Perbandingan dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual onyek pajak dengan cara membandingkan dengan yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya obyek lain yang sejenis.

b. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan kondisi fungsi, fisik dan ekonomi.

c. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan hasil produksi obyek pajak tersebut.

Nasucha (1995:59) menyatakan bahwa NJOP merupakan suatu kriterium yang dipengaruhi banyak faktor yang saling berkorelasi (prediktor), maka analisis yang


(28)

sesuai dengan penyelesaian model matematis adalah analisis regresi linier berganda. NJOP dapat dinyatakan sebagai variabel terikat (kriterium),sedangkan faktor-faktor penentunya dinyatakan sebagai variabel bebas atau prediktor.15

B. Hukum kewarisan di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan. Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid.

UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.16

Selain itu, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau membentang luas dari timur sampai ke barat, dengan adanya perbedaan

15

Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah, (Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, Jakarta: 1995), hal. 59.

16

“ Kedudukan Hukum Waris Indonesia”artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari http://notary-herman.blogspot.com/2009/03/kedudukan-hukum-waris-indonesia.html


(29)

tempat dan budaya sudah barang tentu akan mempengaruhi cara berfikir, tingkah laku serta gaya hidup yang beraneka ragam. Dari deskripsi ini penulis akan memaparkan sistem kewarisan di Indonesia dengan latar belakang masyarakatnya yang majemuk.

Di Indonesia terdapat tiga hukum waris yang biasa digunakan sebagai landasan hukum dalam hal pembagian warisan, yaitu hukum waris Islam, hukum waris Adat, dan hukum waris BW (Burgerlijk Weetbook).17

1. Hukum Waris Islam

Kata mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirast artinya warisan. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.-Naml: 16 “wa warisa Sulaimanu Dawud” yang artinya “dan Sulaiman mewarisi Dawud”, artinya “ Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud as. Serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Dalam QS. Al-Zumar: 74 “wa aurasana al-ardla” yang artinya “..dan telah memberi kepada kami tempat ini”. Demikian juga dalam QS. Maryam:6 “yarisuni wa yarisu min ali ya’qub” artinya “…yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub.18

Mawaris juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah, kata ini bersal dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. Kata faridah ini banyak juga disebut dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 237 misalnya disebutkan “wa qad

17

Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

18

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1993:reprint, 2001), hal. 2


(30)

ىﺪﻬ ﺎ

ءﺎﺟ

أ

ر

دﺎ

ﻰ إ

كداﺮ

نﺁﺮ ا

ضﺮﻓ

يﺬﱠا

ﱠنإ

ﻦ ﺒ

لﻼﺿ

ﻮه

ﻦ و

)

٨٥

(

Artinya :

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata".

dan al-Ahzab:38

اﻮ ﺧ

ﻦ ﺬﱠا

ﻪﱠ ا

ﺔﱠﻨﺳ

ﻪﱠ ا

ضﺮﻓ

ﺎ ﻓ

جﺮﺣ

ﺒﱠﻨ ا

نﺎآ

اًروﺪ

اًرﺪ

ﻪﱠ ا

ﺮ أ

نﺎآو

)

٣٨

(


(31)

tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,

Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan – ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.19

Adapun unsur – unsur hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan, terdiri atas tiga unsure yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri20

a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan21. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak

19

Ibid.

20

H. Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,2008), hal. 45

21

Pasal 171 huruf b, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia


(32)

dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.

Pewaris di dalam Alquran Surah An-Nisa’ ayat 7,11,12,33, dan 176 dapat diketahui bahwa “ Pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (al-walidain), dan kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya menjadi kakek atau nenek kalau ayah atau ibu tidak ada. Demikian pula pengertian anak (al-walad) dapat diperluas menjadi cucu kalau tidak ada anak. Begitu juga pengertian kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga yang dapat dan sah menjadi pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke atas, ke bawah, dan garis ke samping. Selain itu, hubungan nikah juga menjadi pewaris, baik istri maupun suami.

Pewaris yang disebutkan di atas, perlu ditegaskan bahwa seseorang menjadi pewaris bila telah nyata meninggal. Karena sepanjang belum jelas meninggalnya seseorang, hartanya tetap menjadi miliknya sebagaimana halnya orang yang masih hidup. Demikian juga, bila belum ada kepastian meninggal seseorang itu dipandang masih hidup. Kepastian meninggal seseorang itu dimungkinkan secara haqiqy, hukmy, dan taqdiry.22

- Mati haqiqy, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.

- Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini biasa terjadi

22

H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 45.


(33)

seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan karena itu mengikat.

- Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.23

b. Harta warisan

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran dan pemberian untuk kerabat24.

Harta warisan atau harta peninggalan disebut oleh al-Quran Surah an-Nisaa’ ayat 7 dengan istilah tarakah atau harta yang akan ditinggalkan (al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 180) beralih kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris). Tarakah yang disebutkan oleh al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 11 dan 12,

23

Ahamad Rofiq, Op.cit, 28-29.

24

Pasal 171 huruf e, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia


(34)

yang kemudian diterjemahkan sebagai harta peninggalan terdiri atas benda dan hak-hak yang pembagiannya dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesudah ditunaikan pembayaran utang dan wasiat pewaris. Sisa harta sesudah ditunaikannya berbagai kewajiban tersebut, itulah yang harus dibagi-bagi oleh para ahli waris sebagai harta warisan. Namun bila harta yang ditinggalkan oleh pewaris jumlahnya hanya sedikit, ulama menetapkan urutan kewajiban yang harus ditunaikan oleh para ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris.

Sehubungan dengan hak ahli waris yang disebutkan di atas, jumhur ulama golongan Sunni menetapkan tiga kewajiban yang harus dilakukan ahli waris sebelum melakukan pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang pewaris, menunaikan wasiat pewaris.25

Uraian di atas menunjukkan bahwa tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain. Dalam hukum kewarisan Islam terdapat ketentuan mengenai beberapa hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian harta warisan, seperti penyelesaian urusan jenazah, pembayaran utang, dan wasiat pewaris. Selain itu, perlu diketahui bahwa warisan yang berupa hak-hak tidak berarti bendanya dapat diwarisi. Sebagai contoh, hak-hak manfaat penggunaan sebuah rumah kontrak dapat diwariskan kepada ahli waris, tetapi rumahnya tetap menjadi hak bagi pemiliknya.

25

Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:Al-ma’arif, 1981) hal. 121


(35)

c. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris.26

Asas- asas hukum waris Islam terdiri atas: a. ijbari, b. bilateral, c. individual, d. keadilan berimbang, dan e. akibat kematian.27

a. Ijbari

Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya

b. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu, mempunyai 2(dua) dimensi saling mewarisi dalam Al quran Surah An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua.

c. Asas Individual

26

Pasal 171 huruf c, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

27

Amir, Syarifudin, Pelaksanaan Hujum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal. 18


(36)

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

d. Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam Alquran yang kedudukannya sangat penting dalam system hukum Islam, termasuk hukum kewarisan.

e. Asas Kematian

Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia.Ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.


(37)

Ahli waris dalam sistem kewarisan Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.

2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu, yaitu:

- Perkawinan yang sah (al-musabarah)

- Memerdekakan hamba sahaya (al-wala) atau karena adanya perjanjian tolong menolong28

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:

1. Ahli waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, 1/3, atau 1/6

Adapun bagian ahli waris ashab al-furudh secara rinci adalah sebagai berikut : a. Anak perempuan, berhak menerima bagian :

1. Setengah bila hanya seorang dan tidak disertai anak laki-laki,

2. Dua pertiga bila dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki, 3. Bila bersama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 178 Kompilasi) b. Ibu, berhak mendapat bagian :

1. Seperenam bila ada anak atau dua saudara atau lebih,

28

Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 59


(38)

2. Sepertiga bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih

3. Sepertiga dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah (pasal 178 Kompilasi )

c . Ayah, berhak mendapat bagian:

1. Sepertiga, bila pewaris tidak meninggalkan anak,

2. Seperenam, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 177 Kompilasi ) d. Duda, berhak mendapat bagian :

1. Setengah, bila pewaris tidak meninggalkan anak,

2. Seperempat, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 179 Kompilasi ) e. Janda, berhak mendapat bagian :

1. Seperempat. Bila pewaris tidak meninggalkan anak,

2. Seperdelapan, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 180 Kompilasi ) f. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, berhak mendapat bagian : 1. Masing-masing seperenam, bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah,

2. Sepertiga secara bersama-sama, bila mereka dua orang atau lebih (pasal 181 Kompilasi)

g. Saudara perempuan kandung atau seayah, berhak mendapat bagian : 1. Setengah, bila sendiri tidak ada ayah dan anak,

2. Dua pertiga bagian, bila dua orang atau lebih,

3. Bila bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.


(39)

h. Cucu perempuan dan laki-laki dari anak perempuan, berhak mendapat bagian sama dengan akan perempuan (ibunya) dengan ketentuan :

1. Bila cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki, maka bagian cucu laki-laki adalah dua berbanding satu dengan cucu perempuan.

2. Bila bersama ahli waris lain yang sederajat, bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 178 jo. Pasal 185 Kompilasi ).

i. Kakek dan nenek dari ayah, berhak mendapat bagian yang sama dengan bagian ayah, dan bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 177 jo. Pasal 185 Kompilasi)

j. Kakek dan nenek dari ibu, berhak mendapat bagian yang sama dengan bagian ibu dan bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 178 jo. Pasal 185 Kompilasi)

k. Anak laki-laki dan perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, berhak mendapat bagian yang sama dengan orang tuanya dan bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 181 jo. Pasal 185 Kompilasi)

l. Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara kandung atau seayah, berhak mendapat bagian yang sama dengan orang tuanya yang diganti dan bagiannya


(40)

tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan orang tuanya (pasal 182 jo. Pasal 185 Kompilasi)29

2. Ahli waris “asabah, yaitu ahli waris bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furudh.

Ahli waris ’asabah dibagi menjadi tiga, yaitu: ’asabah bi nafsih, ’asabah bi al-ghair dan ’asabah ma’a al ghair.

1. Yang termasuk ’asabah bi nafsih adalah (1). Anak laki-laki

(2). Cucu laki-laki dari garis laki-laki (3) Bapak

(4) Kakek (dari garis bapak) (5) Saudara laki-laki sekandung (6) Saudara laki-laki seayah

(7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah (9) Paman sekandung

(10) Paman seayah

(11) Anak laki-laki paman sekandung (12) Anak laki-laki paman seayah

29

H. Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan, (Jakarta:PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), h 62-64.


(41)

(13) Mu’tiq dan atau mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)

2. ’Asabah bi al ghair

(1) anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki

(2) cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki (3) saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung

(4) saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.

Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ’asabah, maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah surah an-nisa’:11 dan 176.

3. ’Asabah ma’a al-ghair

(1) saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih)

(2) saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih)30

Dasar hukum pembagian ’asabah ma’a al ghair adalah pelaksanaan pembagian warisan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dalam riwayat dar Ibn Mas’ud :

30

Ahmad rofiq,op.cit, hal.73-75.


(42)

3. Ahli waris dzawil al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al Qur’an, tidak berhak menerima warisan.

Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:

1. Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi ahli waris yang lain.

2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.

d. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan

Sehubungan dengan pengelompokan ahli waris yang telah disebutkan, baik ahli waris kelompok pertama, ahli waris kelompok kedua, maupun ahli waris kelompok ketiga, maka dapat diuji melalui pembuktian ayat-ayat Alquran yang menggambarkan ada pewaris yang meninggalkan anak, orang tua (ibu), janda saudara laki-laki pewaris, dan ahli waris pengganti (cucu pewaris melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya); ada pewaris yang meninggalkan anak, meninggalkan janda, dan meninggalkan saudara laki-laki (‘asabah); ada pewaris yang meninggalkan anak, cucu melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu


(43)

dari pewarisnya, cucu yang melalui anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, janda, dan saudara perempuan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.

1. Contoh Pembagian Ahli Waris Kelompok Pertama

Contoh pembagian ahli waris kelompok pertama sebagai berikut Pembagian:

I adalah ibu pewaris mendapat bagian = 1/6 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa’ ayat 11d, sebagai dzawul faraid). AP + AP adalah dua orang anak perempuan pewaris bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya (AWP) mendapat bagian =2/3 X harta warisan (Alqurqn Surah An-Nisa” ayat 11b, sebagai dzawul faraid) J adalah janda pewaris mendapat bagian = 1/8 dari harta warisan (Alqur’an Surah An-Nisa’ ayat 12d, sebagai dzawul faraid). SP adalah saudara perempuan pewaris yang terhijab dari ibunya.31

2. Contoh Pembagian harta warisan kelompok kedua Pembagian:

AP + AP adalah dua orang anak perempuan pewaris memperoleh = 2/3 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat 11b, sebagai dzawul faraid). J adalah janda pewaris memperoleh = 1/8 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat 12d, sebagai dzawul faraid). Ibu mendapat 1/6 harta warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat 11d sebagai dzawul faraid). SL adalah saudara laki-laki pewaris memperoleh = sisa

31

H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 67


(44)

(1-(2/3 + 1/8 = 1- 19/24 = 5/24) sebagai ‘asabah). Pembagian tersebut, dapat disimpulkan bahwa =2/3 atau 16/24 + 1/8 atau 3/24 + 5/24 = 24/24 = 1

3. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan Kelompok Ketiga Pembagian:

AP adalah anak perempuan memperoleh = 1/4 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa’ ayat 11). AWL adalah anak laki-laki melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya memperoleh =1/4 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa’ ayat 33 dan al-Quran Surah An-Nisa ayat: 11). AWP adalah anak perempuan melalui anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya memperoleh =2/4 X harta warisan (al-Quran Surah An-Nisa ayat 33 dan al-Quran Surah An-Nisa ayat 11). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagian seorang anak perempuan + bagian seorang anak laki-laki melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya + bagian seorang anak perempuan melalui anak laki-laki yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya = 1/4 + 1/4 + 2/4 = 4/4 =1

4. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan Melalui Pemecahan Kasus-Kasus Awl dan Radd

Selain contoh – contoh yang diungkapkan diatas, perlu juga diuraikan metode pembagian harta warisan melalui metode pemecahan kasus – kasus awl dan rad. Awl dan rad merupakan dua metode yang khas yang hanya dijumpai dalam kewarisan Islam.32

a. Awl

32

H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 69


(45)

Awl adalah suatu cara penyelesaian kasus kewarisan bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, yaitu para ahli waris yang berhak menerima harta warisan, jumlahnya lebih banyak dari harta warisan yang akan dibagi. Untuk menghilangkan ketekoran itu supaya pembagiannya menjadi 1/1, dilakukan pengurangan terhdap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang.

Contoh:

Seorang istri meninggal dunia (P). Ia meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang suami (A) dan dua orang perempuan saudara kandung (B dan C). Harta peninggalan pada saat meninggal dunia berjumlah Rp. 66.000.000,00. Selain itu, ia meninggalkan biaya rumah sakit Rp. 1.500.000,00 dan wasiat yang senilai Rp 1.000.000 dan biaya penguburan Rp 500.000,00. Oleh karena itu, jumlah harta peninggalan yang menjadi harta warisan berjumlah Rp. 63.000.000,00. Pembagian harta dimaksud, sebagai berikut

A = 1/2 X Rp 63.000.000,00 = Rp 31.000.000,00 B dan C = 2/3 X Rp 63.000.000,00 = Rp 42.000.000,00 Jumlah = Rp 73.500.000,00

Menurut ketentuan Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam, pembagian harta warisan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada di dalam Alquran tetapi tidak cukup misalnya dalam kasus diatas, yaitu harta warisan berjumlah Rp 63.000.000 sedangkan perhitungan bagia ahli waris yang ditetapkan bagiannya akan berjumlah Rp 31.500.000,00 + Rp 42.000.000,00 = Rp 73.000.500,00. Sehubungan kasus dimaksud, dalam hal ini berlaku yang dinamakan AWL, yaitu suami seharusnya 1/2


(46)

sama dengan 3/6 dan dua orang saudara perempuan seharusnya menerima 2/3 atau 4/6 sehingga menjadi: 3/6 + 4/6 = 7/6. Perbandingannya 3:4. Dengan demikian, pembagiannya disesuaikan dengan perbandingan, yaitu

Suami menerima 3/7 X Rp 63.000.000,00 = Rp 27.000.000,00 Dua orang saudara pr 4/7 X Rp 63.000.000,00 = Rp 36.000.000,00 Jumlah = Rp 63.000.000,00 b. Rad

Rad adalah sisa dari harta warisan sesudah dikeluarkan bagian dzul faraid, sisa itu disebut oleh Hazairin sisa kecil, maka sisa tersebut harus ditambahkan kepada semua dzul faraid secara berimbang. Dengan perkataan lain, rad adalah pengembalian sisa dibagi secara berimbang kepada semua dzul faraid.33

Contoh: Pembagian:

a = 1/8 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 12d b,c,d = 2/3 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 11b e = 1/6 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 11d f = 0 terhalang dari ibunya

a + b + c + d + e + f = 1/8 + 2/3 + 1/6 + 0

33

Hazairin dan Imam Syafie berpendapat bahwa janda atau duda, meskipun mempunyai status dzul faraid, dikecualikan memperoleh sisa bagi. Sebab, janda atau duda tidak mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, yaitu berdasarkan Alquran Surah Al-Anfal ayat 75. dalam hubungan ini Sajuti Thalib berpendapat bahwa rad dapat diberikan kepada janda dan/atau duda, oleh karena : (1) dalam hal

awl semua dzul faraid dikenakan pengurangan secara berimbang (termasuk janda atau duda). Kalau dalam hal rad janda atau duda tidak memperoleh pembagian maka jalan pikiran dimaksud, tidak konsisten; (2) dalam Alquran sudah digariskan bahwa anak, bapak/ibu, janda atau duda, dan saudara memperoleh bagian kewarisan, maka dalam hal rad semestinya juga diikuti.


(47)

= 3/24 + 16/24 + 4/24 + 0 = 23/24

Jadi, ada sisa = 1-23/24 = 24/24 -23/24 = 1/24. Angka inilah yang di-rad-kan kepada dzul faraid. Artinya dikembalikan kepada mereka secara berimbang. Oleh karena itu, untuk menentukan berapa besar tambahan mereka masing-masing, harus dilihat dahulu bagian perolehan mereka masing-masing dalam pembagian yang pertama, yaitu

a = 3/24 b,c, dan d = 16/24 e = 4/24

Dengan demikian, perbandingan perolrhan mereka, yaitu 3: 16 : 4. Jumlahnya 3 + 16 + 4 = 23. Angka ini dijadikan pembagi sehingga :

a mendapat tambahan = 3/23 X 1/24 = 3/552 b,c,dan d mendapat tambahan = 16/23 X 1/24 = 16/552 e mendapat tambahan = 4/23 X 1/24 = 4/552 Jadi, pembagian terakhir:

a = 1/8 + 3/552 = 69/552 + 3/552 = 72/552

b,c, dan d = 2/3 + 16/552 = 368/552 + 16/552 = 384/552 e = 1/6 + 4/552 = 92/552 + 4/552 = 96/552

a + b, c dan d + e = 72/552 + 384/552 + 96/552 = 552/552=1

contoh: seorang suami meninggal dunia tahun 2003. Ia meninggalkan seorang istri, dua orang anak yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,


(48)

dua orang cucu yang terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui anak perempuan yang meninggal tahun 2002, dan seorang ibu. Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris adalah senilai Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)

Penentuan porsi pembagian harta warisan adalah sebagai berikut.

A + (B + C + d + e ) + F = 1/8 + (2/3) + 1/6 = 3/24 + 16/24 + 4/24 = 23/24

Jadi, ada sisa = 1-23/24 = 24/24-23/24 = 1/24. Angka inilah yang di-rad-kan kepada dzul faraid. artinya dikembalikan kepada mereka secara berimbang. Oleh karena itu, untuk menentukan berapa besar tambahan mereka masing-masing, harus dilihat dahulu bagian perolehan mereka masing-masing dalam pembagian yang pertama, yaitu

A = 3/24 B, C, d dan e = 16/24 F = 4/24

Dengan demikian, perbandingan perolehan mereka, yaitu 3:16 :4, jumlahnya 3 + 16 + 4 = 23. angka ini dijadikan pembagi sehingga

A mendapat tambahan = 3/23 X 1/24 = 3/552 B, C, d dan e mendapat tambahan = 16/23 X 1/24 = 16/552 F mendapat tambahan = 4/23 X 1/24 = 4/552 Jadi, pembagian terakhir:

A = 1/8 + 3/552 = 69/552 + 3/552 = 72/552 B, C, d, dan e = 2/3 + 16/552 = 368/552 + 16/552 = 384/552


(49)

F = 1/6 + 4/552 = 92/552 + 4/552 = 96/552

A + B, C, d dan e +F = 72/552 + 384/552 + 96/552 = 552/552 =1 Berdasarkan rumusan porsi pembagian ahli waris tersebut, maka: Istri mendapat = 72/552 XRp 75.000.000,00 = Rp 9.782.609,00 Anak dan Cucu + 384/552 X Rp 75.000.000,00 = Rp 52.173.913,00 Ibu mendapat = 96/552 X Rp 75.000.000,00 = Rp 13.043.478,00 Jumlah = Rp 75.000.000,00 Anak dan Cucu masing-masing mendapat bagian sebagai berikut Anak laki-laki = Rp 26.086.957,00 Anak peremouan = Rp 13.043.478,00 Cucu laki-laki melalui anak perempuan = Rp 8.695.652,00 Cucu perempuan melalui anak perempuan = Rp 4.347.826,00 Jumlah = Rp 52.173.913,0034

2. Hukum Waris Adat

Menurut pendapat para ahli mengenai hukum waris adat adalah sebagai berikut. a. Betrand Ter Haar

34

H. Zainuddin Ali,op.cit, hal. 66-72


(50)

Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan.35

b. Soepomo

Hukum adat waris memuat peraturan –peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda

(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.36

ng immaterial dari seseorang yang telah eninggal dunia kepada ahli warisnya.37

ara Republik Indonesia terdiri atas : (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris.

c. Soerojo Wignjodipoero

Hukum adat waris meliputi norma-norma hokum yang menetapkan harta kekayaan baik yang bersifat meteriil maupun ya

m

a. Unsur – unsur Hukum Waris Adat

Unsur – unsur hukum waris adat masyarakat yang mendiami neg

1. Pewaris

35

Betrand Ter Harr, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. (Surabaya: Fajar, 1953), hal. 197.

36

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan ke-13, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1993), hal. 79.

37

Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 161.


(51)

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini, biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah : (a) orang tua (ayah dan ibu ), (b) saudara – saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah erkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (c) suami atau istri yang

an yang ditinggalkan oleh seseorang yang meni gal d

en Donggala yang menetapkan harta bawaan atau

b

meninggal dunia.

2. Harta Warisan

Harta warisan adalah harta kekaya

ng unia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas : 1. Harta Bawaan atau Harta Asal

Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu akan kembali kepada keluarganya bila ia meninggal tanpa anak, Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupat

harta asal kembali kepada keluarga si pewaris bila ia meninggal tidak mempunyai anak, yaitu38 :

38

Putusan pengadilan diambil dari registrasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala tahun 1990-1993. H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 4


(52)

(1) Maryam versus Husen cs, putusan penetapan harta bawaan Nomor 79/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993

sus Erna Djempa, putusan Nomor 46/Pdt. G/1992/PN.

arang

nai harta bersama, yaitu:

1993;

s Husen cs, putusan penetapan harta bersama Nomor

runannya. Sebagai contoh, Harta pusaka tinggi diminang, suku Kaili, alat rumah tangga, alat dapur dan semacamnya.39

4. Harta yang Menunggu

(2) Marcopolo cs ver Palu, 29 Maret 1993. 2. Harta Perkawinan

Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha suami-istri selama dalam ikatan perkawinan (waramp sibalireso). Sebagai contoh dapat disebut putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala menge

(1) Abbas cs versus Drs. Damir Thalib, putusan penetapan harta bersama Nomor 38/Pdt.G/1993/PA. Palu, 15 Juli

(2) Maryam versu

79/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993. 3. Harta Pusaka

Harta pusaka yang disebut mbara-mbara nimana adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya dinikmati/dimanfaatkan bersama oleh semua ahli waris dan ketu

pakaian adat perkawinan

39

Ibid.


(53)

Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerimaharta itu tidak diketahui di mana ia berada.

3. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain itu dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin, yang biasanya diberikan bagian harta warisan dari ahli waris bila para ahli waris membagi harta warisan di antara mereka. Selain itu, biasa juga diberikan harta dari pewaris, baik melalui wasiat maupun melalui hibah.40

b. Penetapan Harta Warisan

Penetapan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia sebagai harta warisan terlebih dahulu memenuhi ketentuan sebagaimana berlaku dalam ungkapan hukum adat sossora, yaitu apabila seseorang telah meninggal dunia dan mempunyai utang, maka didahulukan pembayaran utangnya kemudian diselesaikan penyelenggaraan pemakaman jenazahnya. Sesudah jenazah pewaris dikuburkan, maka ditunaikan wasiat pewaris. Ungkapan hukum adat sassora diatas, menunjukkan bahwa dalam harta peninggalan seseorang masih terkait dengan

40

H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 6


(54)

hak orang lain sehingga sebelum harta peninggalan seseorang dibagi oleh ahli warisnya, terlebuh dahulu diselesaikan secara berurut hal – hal sebagai berikut. (1) Melunasi Utang Pewaris

(2) Mengeluarkan Biaya Pengurusan Jenazah (3) Menunaikan Wasiat Pewaris

c. Asas- Asas Hukum Waris Adat

1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri

Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan.

2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak

Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisan.

3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan

Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik dalam


(55)

menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.

4. Asas Musyawarah dan Mufakat

Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.

5. Asas Keadilan

Asas keadilan, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.41

3. Hukum Waris Eropa (BW)

Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si

41

H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 2-9


(56)

mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka denga pihak ketiga42

Kekayaan dalam pengertian waris di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena itu, unsure-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut :

a. Ada orang yang meninngal dunia;

b. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Hukum waris menurut BW berlaku asas: “ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya “.43 Hak –hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang

Ciri khas hukum waris perdata Barat atau BW antara lain : adanya hak mutlak dari para ahli waris masing – masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari

42

Lihat, A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata. Terjemahan M. Isa Arief. Jakarta: Intermasa, 1979, hal. 1.

43

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata:(Jakarta:Intermasa, 1997) hal. 79


(57)

harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan dipengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 BW sebagai berikut:

1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.

2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut.

3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.

4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak. Hukum waris Perdata Barat diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Yaitu yang mengatur tentang Benda. Hal ini didasari oleh pemikiran: (1) memperoleh warisan merupakan satu cara untuk memperoleh harta benda, dan (2) falsafah hidup orang Barat pada umumnya bersifat marerialistis dan individualistis.

Dalam Kitab Undang –Undang Hukum Perdata di Indonesia ada dua cara untuk mendapatkan harta warisan, yaitu

1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab intestato). 2. Karena seorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).


(58)

Pasal 834 BW mengungkapkan bahwa seorang ahli waris berhak untuk menuntut segala apa saja yang termasuk harta peninggalan agar diserahkan kepadanya, berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip dengan hak seorang pemilik benda.

Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya terbatas pada seseorang yang menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk memilikinya. Jadi, penuntutan ini tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wasiat (executeur testamentair), seorang curator atas harta peniggalan yang tidak terurus dan penyewa dari benda warisan.44

a. Harta Warisan dalam Sistem Hukum Waris Eropa

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada ahli waris antara lain :

1. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik).

2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.

44

H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 83.


(59)

3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota atau persero.

Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu

a. hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak

b. hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah atau ibunya.

Sistem hukum waris BW tidak mengenal harta asal dan harta perkawinan atau harta gono – gini. Sebab, harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan si peninggal harta warisan atau pewaris kepada seluruh ahli warisnya. Hal ini berarti dalam system pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar asal – usul harta yang ditinggalkan oleh pewaris seperti yang diungkapkan dalam pasal 849 BW, “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari barang– barang dalam sesuatu harta peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.

b. Pewaris dan Dasar Hukum dalam Sistem Hukum Waris BW

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang


(60)

diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW adalah sebagai berikut :

a. Menurut ketentuan undang-undang. b. Ditunjuk dalam surat wasiat45

Dasar hukum tersebut menetukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu.Undang –undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menetukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.

Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal dunia adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari sesorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali.

45

R. Subekti, op.cit, hal. 78.


(61)

c. Ahli Waris Sistem BW dan Porsi Bagiannya

Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya.

Ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, yaitu istri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut peraturan undang – undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan sebagai berikut.

a. Golongan Pertama

Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak – anak beserta keturunannya serta suami dan/atau istri yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus kebawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama.oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris tetapi mempunyai lima orang anak. Yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan dalam sistem hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam sitem hukum waris adat disebut ahli waris pasembai) sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian.


(62)

b. Golongan kedua

Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunannya. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh 1/4 bagian dari seluruh harta warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing – masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut.

(1) 1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.

(2) 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama – sama dengan dua orang saudara pewaris.

(3) 1/4 ( seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris

c. Golongan Ketiga

Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas


(63)

keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada nenek.

d. Golongan Keempat

Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari simayit atau yang meninggal ( pewaris),dan saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari simayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan : “apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan


(64)

jatuh menjadi milik negara, selanjutnya negara wajib melunasi utang-utang si peninggal harta warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.

Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.46

1. Ahli Waris Karena Wasiat

Menurut pasal 874 s.d. pasal 894, pasal 913 s.d. pasal 929 dan pasal 930 s.d. pasal 1022 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata ) mengatur tentang seseorang, dua orang dan/atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris berdasarkan wasiat.

Menurut pasal 874 harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan ahli waris menurut undang-undang, tetapi pewaris dengan surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang. Oleh karena itu, surat wasiat yang dilakukan oleh pewaris dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang disebut erfstelling. Erfstelling adalah orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk menerima harta peninggalan pewaris. Orang yang menerima wasiat itu disebut testamentaire erfgenaam. Testamentaire erfgenaam adalah ahli waris menurut wasiat. Ahli waris dimaksud, menurut undang-undang adalah ahli waris yang memperoleh segala

46

H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 87-91.


(1)

B. Saran-Saran

1. Sebagai umat muslim, seharusnya dalam pembagian harta warisan memakai hukum waris Islam, sebagaimana disyariatkan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Adapun jika para ahli waris menghendaki pembagiannya memenuhi rasa keadilan dari sudut pandang banyak sedikitnya bagian, hendaknya tetap dibagi secara hukum waris Islam, kemudian ahli waris yang mendapat bagian lebih banyak membagi sebagian hartanya kepada ahli waris yang mendapatkan bagian harta warisan lebih sedikit, yang diistilahkan oleh beberpa tokoh masyarakat Tebet sebagai “kerohiman.”

2. Dalam menentukan nilai harga warisan atas tanah dan atau bangunan, hendaknya melibatkan lembaga independen dan profesional yang telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan menteri Keuangan nomor 125/PMK.01/2008 tentang jasa penilai publik, sebab dengan keterlibatan lembaga independen ini diharapkan harga atas tanah dan atau bangunan akan di dapat dengan mudah dalam waktu yang singkat dan akurat, sebab berdasarkan Standar Penilaian Indonesia. Dan juga dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat banyak dalam menentukan nilai suatu property dalam hal ini tanah dan atau bangunan yang akan dibagi secara waris tetapi tidak dijual kepada orang lain, melainkan akan ditempati atau dimiliki oleh salah satu ahli waris yang lain..


(2)

121

3. Pemerintah seharusnya membuat perundang-undangan khusus dalam bidang kewarisan, seperti undang-undang perkawinan misalnya, yang dikodifikasikan dan dilembagakan seperti adanya Petugas Pencatat Nikah (PPN), sehingga ketertiban dalam pelaksanaan pembagian kewarisan akan terjaga, serta masalah – masalah tentang kewarisan bisa terselesaikan dengan baik dan benar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

AIREA, The Appraisal of Real Estate. Ninth Edition, Chicago, Illinois, 1997.

Ali, H. Zaenuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,2008.

A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah .Bandung:Mandar Maju, 1990 Appraisal Institute, The Appraisal of Real Estate. Eleventh Edition, Chicago, Illinois,

1999.

Barlowe, R., Land Resources Economic. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs, 1972.

Djakfar, Idris dan Yahya,Taufiq, Kompilasi Hukum Kewarisan, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995.

Eckert, Joseph K., Gloudemans and Almy Richard R., Property Appraisal and Assessment Administration. Chicago, Illinois: The International Association of Assesing Officer, 1990.

Eldred, Gary, Real Estate Analysis and Strategy. New York: Harper & Row, Publisher, 1987.

Firdaus. Awang, “Analisis Pengaruh Jalan Lingkar Luar Terhadap Nilai Jual Properti Perumahan di Kecamatan Depok Sleman-Yogyakarta.” Tesis S2 Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).


(4)

Harjanto, Budi, ”Analisis Tingkat Kapitalisasi Sektor Perumahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Kotamadya Malang.” Tesis S2, Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).

Hoover, Edgar M., The Evolving Form and Organization of the Metropolis : Principal Location Factors in William H. Leahy : Urban Economic. New York: The Free Press, 1970.

International Association Assessing Officers (IAAO), Improving Real Property Assessment: A Reference Manual. Chicago, 1978.

International Association Assessing Officers (IAAO). 1990. Standard on Ratio Studies. Chicago.

International Association Assessing Officers (IAAO). 1999. Standard on Ratio Studies, Assessment Journal, Volume 6 Nomor 5.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Laporan penyelenggaraan pemerintah Wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan, bulan Maret 2007.

Lusht, Kenneth M., Real Estate Valuation Principles and Applications. Chicago: Irvin, 1997.

Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah. Jakarta: Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, 1975.

Pitlo, A., Hukum Waris Menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata. Terjemahan M. Isa Arief. Jakarta: Intermasa, 1979.


(5)

“Pembentukan UUPA dan Perkembangan Hukum Tanah Di Indonesia”,artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari http://image,

ymfreaklawyers.multiply.multiplycontent.com

Prosedur data yang diperlukan dan syarat-syarat penandatanganan akta jual beli (AJB),” artikel diakses pada 31 maret 2009 dari http://kuliah-notariat.blogspot.com/label/akta jual beli (AJB)

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, Reprint, 2001.

Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1977.

Suparman, Erman, Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Madju, 1991. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan ke-13. Jakarta: Pradnya Paramita,

1993.

Tugas dan Wewenang PPAT, artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari: http://kuliah-notariat. Blogspot.com/2009/03/tugas-dan-wewenang-ppat.html Ter Harr, Betrand, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng. Soebakti

Poesponoto. Surabaya: Fajar, 1953.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994.

Wawancara pribadi dengan KH.M. Thoyib, Jakarta 01 Juli 2010

Wawancara Pribadi dengan Alm. KH. Masyhuri Syahid, Jakarta 4 Oktober 2007.


(6)

125

Wawancara Pribadi dengan A. Hanafi , Jakarta 01 Juli 2010.

Wawancara Pribadi dengan Luqman Hakim, Jakarta 5Agustus 2010.

Wignjodipoero, Soerodjo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8. Jakarta: Haji Masagung, 1989.

Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate. Chicago, Illinois: American Institute of Real Estate Appraisers, 430 North Michigan Avenue, 1987.