Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi

38

4.3. Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi

Dalam proses pencairan solubilisasi batubara, tingkat solubilisasi diamati melalui absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm ini bertujuan untuk mengetahui produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang Selvi and Banerjee, 2007. Gambar 14 mempresentasikan performa masing-masing kapang dalam melakukan solubilisasi batubara melalui pendeteksian secara spektroskopik. Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang gelombang 250 nm bernilai antara 0 sampai 0,981 Gambar 14. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik Selvi and Banerjee, 2007. Gugus fenolik merupakan gugus yang terdapat pada proses degradasi lignin. Gambar 14. Absorbansi pada panjang gelombang 250 nm pada masing-masing kapang. Nilai absorbansi tertinggi pada λ 250 nm dimiliki oleh kapang B1 pada hari ke-28 yaitu 0,981. Pada hari ke-7 nilai absorbansi semua kapang meningkat, untuk kapang B1 nilai absorbansinya terus meningkat hingga hari ke-28. Peningkatan nilai absorbansi ini terjadi karena adanya proses biosolubilisasi batubara padat yang diurai menjadi batubara terlarut, dimana terbentuknya 39 senyawa fenol hasil solubilisasi senyawa lignin. Senyawa ini merupakan komponen terbesar penyusun batubara, dengan bantuan enzim lignin peroksidase yang mampu men goksidasi unit non fenolik lignin dengan memotong ikatan Cα- Cβ molekul lignin. Pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih Hammel, 1996 Gambar 15. Gambar 15. Reaksi degradasi lignin oleh enzim lignin peroksidase Hammel, 1996. Untuk kapang B2 dan B3 nilai absorbansi menurun pada hari ke-14 hingga hari terakhir inkubasi. Penurunan absorbansi ini terjadi karena batubara yang sudah didegradasi dan melarut dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana diurai kembali menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana Perez et al.,2002. Penguraian menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana ini dilakukan oleh enzim lakase yang mengoksidasi unit fenolik dan mangan peroksidase MnP yang mendegradasi unit fenolik gambar 16. Gambar 16. Reaksi oksidasi unit non fenolik dan fenolik oleh enzim lakase Lac dan MnP Perez et al., 2002. 40 Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang gelombang 450 nm bernilai antara 0 sampai 0,065 Gambar 17. Pengukuran pada panjang gelombang 450 nm ini bertujuan untuk mengukur adanya ikatan terkonjugasi pada senyawa aromatik batubara Selvi and Benerjee, 2007. Pada panjang gelombang 450 nm, senyawa yang terdeteksi adalah dengan sinar tampak. Nilai absorbansi tertinggi pada λ 450 nm dimiliki oleh kapang B1 pada hari ke-14, yaitu 0,065. Untuk kapang B1, nilai absorbansi sedikit meningkat pada hari ke-7 lalu meningkat tajam pada hari ke-14, yaitu dari 0,02 menjadi 0,065. Absorbansi pada kapang ini mengalami penurunan pada hari ke-21, lalu meningkat lagi pada hari ke-28. Pada kapang B3, nilai absorbansi terus mengalami sedikit peningkatan hingga hari ke-14 dan selanjutnya berfluktuasi hingga hari terakhir inkubasi. Untuk kapang B2, nilai absorbansi menurun pada hari ke-7 lalu mengalami peningkatan pada hari ke-14 dan berfluktuasi hingga hari inkubasi terakhir. Untuk panjang gelombang 450 nm, nilai absorbansi semua kapang meningkat pada hari ke-14. Gambar 17. Absorbansi pada panjang gelombang 450 nm pada masing-masing kapang. 41 Nilai absorbansi yang meningkat terjadi karena senyawa-senyawa seperti humat yang ada pada permukaan batubara dilepaskan oleh kapang sehingga melarut ke dalam medium. Kemudian terjadi penurunan absorbansi yang terjadi karena senyawa-senyawa terkonjugasi tersebut didegradasi lebih lanjut menjadi fulvat dan senyawa alifatik Arianto et al., 2005. Degradasi ini dilakukan oleh enzim lakase dan peorksidase yang mengakibatkan terputusnya ikatan-ikatan konjugasi pada senyawa tersebut Cerniglia, 1992 Gambar 18. Senyawa yang dihasilkan merupakan asam-asam organik, sehingga pH yang dihasilkan juga cenderung asam Gambar 12. Gambar 18. Reaksi degradasi poli aromatik hidrokarbon Cerniglia, 1992. 42 Pada gambar terlihat jelas perbedaan nilai absorbansi hasil biosolubilisasi pada setiap kapang. Secara kualitatif terdapat perbedaan pada kekeruhan supernatan pada hari ke-0 dan seterusnya. Umumnya pada hari ke-0 supernatan berwarna lebih bening, pada hari selanjutnya menjadi cokelat lalu hitam. Hal tersebut menunjukkan telah ada batubara yang terlarut kemudian bercampur dengan medium Sugoro et al., 2009. Pengujian supernatan dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menentukan nilai absorbansi. Perbedaan absorbansi menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraselular menjadi produk yang dapat larut atau mencair. Produk solubilisasi melalui depolimerisasi batubara adalah substansi campuran teroksidasi berwarna cokelat gelap bersifat larut dalam air yang memiliki berat molekuler menengah sekitar 30.000-300.000 Da Selvi and Banerjee, 2007. Jika dibandingkan dengan kedua kapang lainnya, isolat kapang B1 memiliki nilai absorbansi tertinggi atau memiliki kemampuan tertinggi dalam mendegradasi batubara lignit. Kemampuan tersebut disebabkan kapang ini diduga menghasilkan tiga enzim ekstraselular yaitu peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase yang lebih banyak dibanding dua isolat kapang lainnya. Namun, dalam prosesnya ternyata produk solubilisasi ini memiliki potensi untuk didegradasi lebih lanjut sehingga memungkinkan pula untuk terjadinya penurunan absorbansi Ralph and Catcheside, 1994. 43

4.4. Kadar Protein Ekstraselular dalam Biosolubilisasi Batubara