2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak
merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional subjek tetapi sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang
dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial. Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat
mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena
berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam
pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut
serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan
dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah
satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan
harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan
sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup : a.
Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan
sebagai imbalan atas pengorbanan energinya. c.
Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima seseorang.
Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata
tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum dapat dikurangi atau berkurang Sagir,1992.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus
melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor
non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai
berikut ; a.
Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin
tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun kesehatan atau kehidupan yang sehat.
b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul
beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi,
disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua,
maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya masing-masing.
Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi.
Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,
sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya Mundy, 1995.
Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita, pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh
melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan, pengetahuan- pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa
datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi,
atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri. Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang
pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan
mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial, maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis
kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama, sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok
manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerahgeografis turun temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang
dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka
konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerahsuku memakan nasi sebagai makanan pokoknya Berg, 1989.
Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala
keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga.
Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga Suhardjo, 1989.
2.4. Status Gizi Balita