Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

(1)

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS

GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN

AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Oleh HENDRA YUDI 037 012 007/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS

GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN

AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HENDRA YUDI 037 012 007/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

Nama Mahasiswa : Hendra Yudi Nomor Pokok : 037 012 007

Program Studi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Badaruddin, MSi) Ketua

(Dr. Sutarman, MSc) (Ir. Etti Sudaryati, MKM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 12 Maret 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MSi

Anggota : 1. Dr. Sutarman, MSc

2. Ir. Etty Sudaryati, MKM 3. dr. Ria Masniari Lubis, MSi 4. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN

STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN

MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2008


(6)

ABSTRAK

Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa dan sebagai modal pembangunan. Karena itu, sudah sewajarnya perlu adanya upaya peningkatan kualitas manusia yang dimulai sejak dalam kandungan dari keluarga. Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orang tua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga agar memenuhi standar gizi yang memadai. Faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada perawatan anak dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Masalah gizi balita di kota Medan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Pada Kecamatan Medan Area masih dijumpai kasus gizi kurang, dengan keadaan masyarakat yang heterogen.

Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan survei dengan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu di Kecamatan Medan Area. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang, dengan sampel sebanyak 107 keluarga, dimana masing-masing sampel tersebut diwakili oleh ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan dan pengukuran status gizi (BB/U) dengan menggunakan timbangan digital.

Hasil pengumpulan data, menunjukan dimana hasil uji kai kuadrat diketahui bahwa pendidikan ibu (p=0,011), pekerjaan ibu (p=0,031) dan pengetahuan ibu (p=0,026) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Sedangkan pendidikan ayah (p=0,395), pekerjaan ayah (p=0,211), penghasilan keluarga (p=0,294) dan tradisi/kebiasaan (p=408) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Dari perhitungan yang didapat berdasarkan penelitian tersebut, maka terlihat bahwa masih terdapat masalah gizi yang tidak baik yang disebabkan kurangnya pengetahuan tetang kesehatan dan gizi, untuk itu disarankan kepada petugas puskesmas dan posyandu untuk meningkatkan pelaksanaan pemantauan pertumbuhan balita dan meningkatkan penyuluhan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh masyarakat khususnya kaum ibu sebagai orang yang berhubungan langsung terhadap pertumbuhan status gizi balita.


(7)

ABSTRACT

The children of Indonesia are the generation responsible for continuing the national aspiration and development. Therefore, their family needs to attempt to improve their quality even when they are still being carried by their respective mothers. The importance of paying attention to the nutrient in children under five years old requires their parents to more understand the family menu arrangement in order to meet the adequate standard of nutrient. The sicio-cultural factor is very dominant in treating children in a family that it brings an impact to the health status and nutrient status of children of 6 – 24 months old. Based on the result of Pemantauan Status Gizi (Nutrient Status Monitoring) done by the Health Service of Sumatera Utara Province in 2006, the nutrient problem in children of 6 – 24 months old in the city of Medan was children with less nutrients (23,8%), poor nutrient (9%), and excessive nutrient (2%). A case of less nutrient and heterogeneous community is still found in Medan Area sub district.

The population of this survey study with cross-sectional design is 2960 children of 6 – 24 months old originally from the families living in Medan Area sub district and 107 children were selected as the samples for this study. Each sample was represented by a housewife as a respondent for this study. The data for this study were obtained through interviewing the respondents based on the questionnaires distributed to them and the nutrient status (Body Weight/Age) of the children was measured through digital weighing scale.

The result of the chi-square test shows that mothers` education (p = 0.011), mothers` occupation (p = 0.031), and mothers` knowledge(p = 0.026) have relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. Fathers` education (p =0.395), fathers` occupation (p = 0.211), family income (p = 0.294) and tradition/belief (p = 0.408) do not have any relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. This result of this study reveals that the problem of poor nutrient caused by the less knowledge on health and nutrient still exists, therefore, it is suggested that the officer/ personnel of puskesmas

(Community Health Center) and posyandu (Integrated Service Post) improve the implementation and monitoring of the growth of children of 6 – 24 months old and increase the number of extension in providing the community with the information on health and nutrient that the information can be well understood by the community especially the mothers who are directly related to the growing process of nutrient status of children of 6 – 24 months old.


(8)

KATA PENGANTAR

Sebelum dan sesudahnya penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ”

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak dan oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Sutarman, MSc dan Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam membimbing mulai dari penyusunan proposal hingga selesai penulisan tesis ini, demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi dan Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes atas kesediaan waktu, tenaga dan fikiran sebagai Tim penguji tesis ini. Disamping itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor USU.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU.


(9)

3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.

4. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.

5. Kapala Dinas Kesehatan dan Kepala Balitbang Kota Medan beserta jajarannya yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

6. Pegawai puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Medan Area Kota Medan dan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

7. Seluruh Staf Dosen Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana USU.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tahun 2003 serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan dalam penulisan tesis ini.

Demikian juga kepada Alm. Ayahanda tercinta Misdi Haryanto dan Ibunda tercinta Musiyah serta kepada Istri tercinta Masnura dan ketiga putera tersayang dambaan hati Mhd. Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi yang telah banyak membantu dalam hal memahami, menghibur dan mau mengerti, memberikan dorongan moril maupun materil mulai dari mengikuti pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.


(10)

Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalasnya semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuannya dan penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pengambil keputusan dibidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Maret 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama Hendra Yudi dilahirkan di Kelumpang, dengan Ayah bernama Misdi Hariyanto dan Ibu bernama Musiyah, merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara, menganut agama Islam. Telah menikah dengan Masnura dan telah dikarunia 3 (tiga) orang putera yang masing-masing bernama Mhd Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi, sekarang menetap di Jalan Pukat Banting IV No. 46-B Kelurahan Bantan Kecamatan Medang Tembung Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.

Pendidikan dimulai dari SD Negeri 064021 Helvetia Medan pada tahun 1974 - 1980, selanjutnya ke SMTP MTs Swasta Perguruan NU Sekip Medan pada tahun 1980 - 1983, kemudian mengikuti sekolah keguruan pada PGAN Tanjung Pura pada tahun 1983 – 1986, setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1987 – 1992 dan pada Tahun 2003 – 2008 mengikuti studi sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, pernah mengajar pada Perguruan Swasta Alwasliyah Binjai pada tahun 1992 – 1994. pada tahun 1994 – 2004 diangkat menjadi PNS sebagai staf pada Subbid Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat pada Bidang Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan sekarang menjabat Kasubbid Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Perempuan pada Bidang Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... ... viii

RIWAYAT HIDUP ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sosial Budaya ... 7


(13)

2.3 Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek

Sosial Budaya ... 14

2.4 Status Gizi Balita ... 18

2.5 Penilaian Status Gizi Balita ... 24

2.6 Landasan Teoritis ... 27

2.7 Kerangka Konsep... 31

BAB 3 : METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5 Defenisi Operasional Variabel ... 37

3.6 Metode Pengukuran ... 39

3.7 Metode Analisis Data ... 40

BAB 4 : HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1. Geografi Medan Area ... 41


(14)

4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian ... 43

4.1.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita ... 44

4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu ... 44

4.2. Gambaran Faktor Siosial Budaya ... 45

4.2.1. Pendidikan ... 45

4.2.2. Pekerjaan... 48

4.2.3. penghasilan ... 49

4.2.4. Suku/Etnis... 49

4.2.5. Tradisi/Kebiasaan ... 51

4.2.6. Pengetahuan ... 53

4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan ... 53

4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dan Faktor Sosial Budaya... 55

BAB 5 : PEMBAHASAN... 60

5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah ... 60

5.2. Status Gizi Anak ... 62

5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi ... 63

5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ... 63

5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ... 65

5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi ... 66

5.3.4. Tradisi/kebiasaan dengan Status Gizi ... 68


(15)

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN

... 71

6.1. Kesimpulan ... 71

6.2 Saran ... 72


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada 15 Respnden ... 37 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala ... 38 4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di

Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……....……….. 41

4.2. Distribusi Penduduk berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di

Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……….. 42

4.3. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area

tahun 2006 ... 43 4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah

Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ... 44 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu

di Wilyah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area

tahun 2007... 45 4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 ... 46 4.7. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 46 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ... 47 4.9. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan


(17)

4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 ... 48 4.11. Distribusi Katagori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 ... 48 4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 49 4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ... 50 4.14. Distribusi /Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ... 50 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ... 51 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/

Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 51 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/

Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 52 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 ... 53 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 54 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di

Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 54 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu

dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 55 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pekerjaan Ibu

dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 56 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga


(18)

4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan

di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 58 4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan di Kecamatan


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Model Interelasi Tumbuh Kemban Anak ( Unicef) ….………... 24 2.2 Kurva klasifikasa Z score (Standar Deviasi)

Status Gizi (NHCS-WHO) ……….. 28 2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF

(1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ.

Press)………... 32


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kecamatan Medan Area

Kota Medan ... 79 2. Master Data Status Gizi Anak Usia-24 Bulan di Kecamatan Medan

Area Kota Medan ... 83 3. Tabel Katagori Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan

Menurut umur (BB/U) Anak Laki-laki dan Perempuan

Usia 0-60 Bulan ... 89 4. Uji Validitas dan Reliabilitas serta Hasil Uji Statistik Penelitian

Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya peningkatan kualitas manusia merupakan suatu proses yang panjang dan berkesinambungan, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak manusia masih dalam kandungan. Mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, terampil, produktif dan kreatif, yang akan meneruskan pembangunan bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita, sehingga dalam jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata (DepKes RI, 1996).

Mempersiapkan kualitas balita dimulai dari keluarga, sebab keluarga mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, antara lain sebagai kesatuan unit ekonomi yang bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Disamping fungsi tersebut salah satu fungsi keluarga yang paling menonjol adalah sebagai pemelihara dan sebagai wadah sosialisasi bagi generasi baru. Perlu diingat bahwa keluarga harus dilihat sebagai suatu sistem interaksi antar individu yang secara timbal balik akan mensosialisasikan dan saling mengatur para anggotanya (Yuliani, 2004).

Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orangtua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang. Pengetahuan orangtua tentang gizi akan sangat berpengaruh pada kebiasaan makan keluarga. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Kesehatan


(22)

memberikan penyuluhan program keluarga sehat dengan tujuan membantu para keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri, membantu pelayanan kesehatan dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta untuk menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau serta mudah diakses berdasarkan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan, membantu masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk keperluan peningkatan kesehatan yang bersifat preventif (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2003).

Selain itu, faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Faktor sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis, tradisi/kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Dimana latar belakang suku yang berbeda pada orangtua akan berdampak pada kebiasaan makan balita yang berbeda pula. Di sisi lain orangtua yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima informasi kesehatan yang dapat mendukung peningkatan status gizi balita. Demikian juga dengan tingkat pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada keluarga yang berpendapatan rendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar memiliki balita berstatus gizi kurang dibandingkan pada keluarga yang berpendapatan tinggi (Berg, 1989).

Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. Masalah gizi utama terjadi akibat dari ketidakseimbangan gizi


(23)

yang masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga jika balita kekurangan gizi maka dapat mengakibatkan status kesehatan balita yang buruk. Setiap balita yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta balita bergizi buruk, berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin, (Pemerintah RI dan WHO, 2000).

Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000 menyebutkan sekitar 3-4 juta balita menderita kekurangan gizi, yaitu sebanyak 1,5 juta diantaranya bergizi buruk, sedangkan pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang sebanyak 27,5 persen dan prevalensi gizi buruk sekitar 8,5 persen. Hal ini dapat mengakibatkan mudahnya terkena diare, infeksi dan mengalami gangguan pertumbuhan (upc@centrin.net.id,2007).

Permasalahan kesehatan masih banyak dijumpai di Kota Medan, diantaranya masalah gizi pada balita. Hal ini terlihat dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 untuk Kota Medan adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Angka ini masih dinyatakan bermasalah dan perlu penanganan yang serius karena angka ini masih berada diatas angka prevalensi gizi kurang yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 - 2009 yaitu setinggi-tingginya gizi kurang mencapai 20 persen dan gizi buruk 5 persen.

Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang bersifat multi etnis dengan latar belakang budaya, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan yang


(24)

berbeda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2006 bahwa masyarakat Kecamatan Medan Area memiliki keanekaragaman sosial budaya, dengan jumlah penduduk sebesar 112.667 orang, dimana laki-laki sebesar 55.802 orang sedangkan perempuan sebesar 56.865 orang.

Data untuk suku bangsa yang terdapat di Kecamatan Medan Area, juga terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa sehingga dapat dijadikan objek penelitian dengan uraian sebagai berikut : suku Melayu sebanyak 6.444 orang, Karo sebanyak 607 orang, Simalungun sebanyak 248 orang, Tapanuli/Toba sebanyak 8.330 orang, Madina sebanyak 6.831 orang, Pakpak sebanyak 215 orang, Nias sebanyak 265 orang, Jawa sebanyak 18.919 orang, Minang sebanyak 35.016 orang, Cina sebanyak 30.246 orang, Aceh sebanyak 3.240 orang, dan suku lainnya sebanyak 2.306 orang.

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kecamatan Medan Area mempunyai tiga puskesmas yaitu Puskesmas Kota Matsum, Puskesmas Sukaramai dan Puskesmas Medan Area Selatan. dimana puskesmas Kota Matsum mempunyai jumlah balita sebanyak 4.562 orang, puskesmas Sukaramai mempunyai balita sebanyak 4.582 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan mempunyai balita sebanyak 2.696 orang. Sedangkan jumlah balita yang ditimbang di puskesmas Kota Matsum sebanyak 3.735 orang, puskesmas Sukaramai balita yang ditimbang sebanyak 3.070 orang sedangkan puskesmas Medan Area Selatan balita yang ditimbang sebanyak 2.322 orang.

Puskesmas yang memiliki angka balita yang kurang gizi tertinggi adalah Puskesmas Kota Matsum dengan presentase sebesar 17,97 persen, kemudian


(25)

diikuti puskesmas Sukaramai sebesar 2,64 % dan selanjutnya Puskesmas Medan Area Selatan sebesar 0,56 persen. Puskesmas Kota Maksum memiliki jumlah balita Bawah Garis Merah (BGM) 78 balita atau 2,09 persen dan Bawah Garis Titik-Titik (BGT) 593 balita atau 15,88 persen, sedangkan Puskesmas Sukaramai BGM sebanyak 6 balita atau 0,2 persen dan BGT 75 balita atau 2,44 persen, dan puskesmas Medan Area Selatan terdapat BGM hanya 13 balita atau 0,56 persen dan tidak terdapat balita BGT. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006).

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor sosial budaya dengan status gizi balita di wilayah Kecamatan Medan Area.

1.2. Perumusan Masalah

Masih dijumpai kasus anak gizi kurang di Kecamatan Medan Area yang secara sosial budaya masyarakat bersifat heterogen, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah hubungan faktor sosial budaya terhadap status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan”.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor sosial budaya dan kaitannya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.


(26)

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan faktor sosial budaya (suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi pemerintah khususnya bidang kesehatan agar lebih memahami hubungan faktor sosial budaya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dalam kegiatan perencanaan program dan strategi penanggulangan gizi anak usia 6 – 24 bulan agar mempertimbangkan aspek sosial budaya.

c. Merupakan bahan informasi penting yang ditinjau dari sosial budaya


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sosial Budaya

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah sosial tidak sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkatan perkembangan kebudayaannya, sifat kependudukannya dan keadaan lingkungan alamnya (Munandar, 1992).

Teori sosial yang diartikan sebagai usaha mengerti hakikat masyarakat, memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmaja, 1986).

Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan

primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku


(28)

penerus keturunan saja, banyak hal-hal mengenai kepribadian yang dapat diyakini dari suatu keluarga yang pada saat-saat sekarang ini sering dilupakan orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu sering kali dilepaskan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena kehilangan pijakan.

Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi, karena itu harus dibedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Widagdho, 1993).

Budaya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi perlakuan dan tindakan-tindakan sosial manusia, atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia. Di dalam masyarakat, manusia mengembangkan kebudayaannya. Ada yang diterima dan ada yang tidak, atau diterima secara selektif karena berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, sistrem-sistem penggolongan, benda-benda, berbagai hal lainnya yang diperlukan hidupnya. Kesemuanya ini merupakan masalah sosial, yang didalamnya masyarakat berada dalam suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat (Munandar, 1992).

Budaya berisi norma-norma sosial, yakni sendi-sendi masyarakat yang berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan oleh golongan


(29)

bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai kebiasaan-kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turun-temurun (Shadily, 1984).

Pada dasarnya individu selalu berada dalam situasi sosial. Situasi sosial yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku disebut situasi perangsang sosial atau social stimulus situation (Ahmadi, 1999).

Situasi perangsang sosial ini digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar, yaitu :

a. Orang lain, yang dapat berupa :

1). Individu-individu lain sebagai perangsang.

2). Kelompok sebagai situasi perangsang, yang dapat dibedakan lagi atas : hubungan intragroup, hubungan intergroup.

b. Hasil kebudayaan yang dibedakan : 1). Kebudayaan materil (materiil culture).

2). Kebudayaan non materil (non materiil culture).

Persoalan kurang gizi disebabkan karena tidak tersedianya zat-zat gizi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kecukupan zat-zat gizi ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh makanan


(30)

yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya amat ditentukan oleh kebiasaan yang bertalian dengan makanan. Kebiasaan makan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan manusia yang berakar dalam setiap kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, berbicara mengenai kebiasaan makan berarti juga berbicara mengenai kebudayaan masyarakat.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto, 1980).

Dengan adanya pernyataan di atas, dapat menimbulkan pertanyaan tentang mengapa satu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi sedangkan keluarga lainnya tidak. Disamping faktor ekonomi, faktor sosial dan budaya sangat menentukan dalam hal ini. Karena kebiasaan makan, nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan, cara memasak, merupakan konsep yang diciptakan masyarakat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.


(31)

2.2. Indikator Sosial Budaya

Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan (Koentjaraningrat, 1993).

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia, 2008).

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya,


(32)

berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008). Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan, kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :

Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992):

a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan.

b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan

c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan

energinya.

d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.


(33)

e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia makhluk Tuhan.

Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga (Mulyanto, 1995).

Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :

a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.

b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan berlangsung seusia hidup.

c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan

kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah. Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat mengangkat harkat


(34)

dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan lain sebagainya (Soediharjo, 1993).

Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan, bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).

Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap komunitas (Helman, 1984).


(35)

2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial. Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini


(36)

terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup :

a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan.

b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan energinya.

c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.

d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber

martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia sebagai makhluk Tuhan.

Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan


(37)

seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima seseorang.

Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai berikut ;

a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun kesehatan atau kehidupan yang sehat.

b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.


(38)

c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi, disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua, maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya masing-masing.

Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,

sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).

Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita, pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan, pengetahuan-pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi, atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri.

Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian


(39)

keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial, maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama, sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.

Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989).

Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga. Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang


(40)

bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).

2.4. Status Gizi Balita

Berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga (Berg, 1989).

Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian adalah sebagai berikut :

1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka waktu tertentu. Di negara-negara sedang berkembang, konsumsi pangan yang tidak menyertakan pangan cukup energi, biasanya juga kurang dalam satu atau lebih zat gizi esensial lainnya. Berat badan yang menurun adalah tanda utama dari gizi kurang.

2. Gizi lebih, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makanan dan dengan demikian mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi


(41)

lebih. Kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat dari keadaan gizi lebih.

3. Gizi salah, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan oleh makanan yang kurang atau berlebihan dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu lama. Di negara-negara sedang berkembang jenis utama gizi salah yang disebabkan kurang gizi dalam waktu yang lama adalah kombinasi salah gizi energi-protein, anemia kurang besi, kurang vitamin A dan gondok.

Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi status gizi tubuh, pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi individu dan distribusi makanan dalam keluarga serta tingkat kesukaan individu. Konsumsi individu diperoleh dari konsumsi pangan dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi pangan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh persediaan pangan dan tingkat kesukaan. Pangan yang ada dalam rumah tangga tergantung dari pendapatan rumah tangga dan persediaan pangan, sedangkan persediaan pangan serta pendapatan dipengaruhi oleh persediaan pertanian dan pembangunan daerah (Roedjito, 1987).


(42)

Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur dengan cara yaitu (Direktorat Bina Gizi, 1992).

a. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lemak dibawah kulit.

b. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang melakukan adalah dokter.

c. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine, tinja.

d. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi oleh individu.

Pengukuran status gizi balita pada umumnya menggunakan antropometri yaitu dengan cara mengukur tinggi badan atau menimbang berat badan. Berat badan merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan, tulang, otot, lemak dan cairan tubuh, ukuran antropometri berat badan yang terbaik untuk status gizi dengan keadaan tumbuh kembang pada waktu sekarang. Sedangkan tinggi badan bertambah sesuai dengan kecepatan pertumbuhan balita karena itu tinggi badan dapat dipakai sebagai petunjuk keadaan gizi balita untuk waktu yang lampau (Soetjiningsih, 1994).

Status gizi yang ditentukan oleh keterbatasan dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh, berkembang dan berfungsi normal semua


(43)

anggota badan. Oleh karena itu, pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua hal sebagai berikut : (Persagi, 1990)

a. Terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh.

b. Peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi tersebut.

Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, demikian juga pada keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi, ia akan dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsinya. Pengetahuan gizi seseorang didukung dari latar belakang pendidikannya. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan sekalipun di daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah) serta pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.

Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor diantara berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang peranan penting. Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi secara formal tetapi merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja, sepanjang dapat


(44)

mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan agar individu, kelompok atau masyarakat dapat memperbaiki sikap dan tingkah lakunya (Blum, 1972).

Dari hal di atas, diketahui bahwa pengetahuan masalah gizi merupakan faktor penentu dalam melihat perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita. Dimana daya tahan, perkembangan dan pertumbuhan (gizi) balita diperoleh dari pengambilan makanan yang sehat dalam keluarga. Pelayanan kesehatan makanan dan lingkungan juga diperoleh dari kepedulian seorang ibu dalam rumah tangga. Hal ini tentunya di dapat melalui pendidikan, dimana pendidikan hanya dapat diperoleh dengan adanya sumber penghasilan dan pengawasan dalam rumah tangga yang meliputi : manusianya, ekonomi dan organisasi. Kesemuanya ini didasarkan pada kebijakan dan susunan dasar pemikiran pada struktur ekonomi dan potensi penghasilan yang diperoleh di dalam rumah tangga. Untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita digambarkan pada halaman berikut (Soetjiningsih, 1995):


(45)

Faktor Penentu dari Perkembangan dan Ketahanan Daya Tahan (Tubuh) TUMBUH –

KEMBANG ANAK

Kecukupan makanan Keadaan kesehatan

Ketahanan makanan

Pemanfaatan Yankes dan Sanit. Asuhan Bagi Ibu dan

Pendidikan Keluarga

Keberadaan dan Kontrol Sumber Daya keluarga : Manusia, Ekonomi

Super Struktur Politik dan Ideologi

Struktur Ekonomi

Potensi Sumber

Gambar : 2.1. Model interelasi tumbuh kembang anak, (Unicef)


(46)

2.5. Penilaian Status Gizi Balita

Pertumbuhan dan perkembangan balita dapat diartikan menyangkut semua kemajuan yang dicapai oleh tubuh manusia baik dari segi jasmani, mental dan intelektual, mulai dari masa konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan berarti bertambah besar ukuran fisik sebagai akibat perbanyakan dan pembesaran sel dalam tubuh manusia. Sedangkan perkembangan berarti meningkatnya keterampilan dan fungsi yang kompleks dari seseorang.

Pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada balita jika dikaitkan dengan gizi diperlukan tinjauan dari keadaaan gizi ibu sejak masa kehamilan. Masa hamil seorang ibu membutuhkan zat gizi yang lebih besar dari biasanya karena pada masa ini, zat gizi diperlukan bukan hanya untuk keperluan si ibu saja tetapi juga janin yang sedang dikandungnya. Apabila pada masa hamil seorang ibu kurang mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya bisa berakibat tidak baik bagi kesehatannya dan janin yang sedang dikandungnya (Departemen Kesehatan RI, 1985).

Dalam menilai status gizi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu (Supariasa dkk, 2002):

a. Secara biokimia, yaitu melalui pemeriksaan darah, air seni, tinja sehingga dapat diketahui tingkat kecukupan zat dan gizi seseorang.

b. Secara dietetika, yaitu survei konsumsi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.


(47)

c. Secara klinis, yaitu dengan pemeriksaan keadaan jasmani.

d. Secara antropometri, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan atau merujuk bagian tubuh tertentu sepoerti lingkar lengan, lingkar kepala, tebal lapisan lemak dan lain-lain.

Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di Indonesia adalah secara

antropometri. Pengukuran status gizi berdasarkan kriteria antropometri

mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun sampai saat ini dianggap merupakan cara yang paling banyak, mudah serta praktis untuk dilakukan, karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat sedikit latihan.

Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin berat badan berkembang mengikuti pertambahan usia. Sebaliknya dalam keadaan yang tidak normal terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari pada normal.


(48)

Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihannya adalah :

a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. b. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.

c. Dapat mendeteksi kegemukan.

Untuk menentukan klasifikasi status gizi menurut rekomendasi WHO (NCHS – WHO) digunakan Z Score (Standar deviasi) sebagai batas ambang yang dibagi menjadi empat klasifikasi yaitu (Supariasa, 2002):

a. Status gizi buruk bila < – 3SD.

b. Status gizi kurang bila ≥ -3SD dan < -2SD c. Status gizi baik bila ≥ – 2SD dan < +2SD. d. Status gizi lebih bila ≥ +2SD.


(49)

Baik

-3 -2 -1 +1 +2 +3

2.6. Landasan Teoritis

Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya KEP tidak hanya karena kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makan yang cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya(imunitas)dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak menjadi kurus dan timbullah KEP. Sering ditanyakan apakah makanan atau penyakit yang lebih dahulu menjadi penyebab KEP. Dalam kenyataan, keduanya (makanan dan penyakit) sering datang bersama-sama menyebabkan KEP.


(50)

Penyebab langsung seperti diuraikan diatas timbul karena tiga faktor sebab tidak langsung, yaitu (1) tidak cukup tersdia pangan atau makanan dikeluarga, (2) pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk dan tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut itu tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan.

Tidak cukupnya persediaan pangan dikeluarga menunjukan adanya kerawanan ketahanan pangan keluarga. Artinya kemampua keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh anggota keluarga belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Pola pengasuhan anak adalah sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya denagn anak, memberi makan, merawat, menjag kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebab anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu, seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik , peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat


(51)

pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.

Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, pratek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan dan gizi, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi termasuk KEP.

Ketiga faktor tidaklangsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pokok masalah yang ada di masyarakat yaitu diberdayakannya sumber daya masyarakat, terutama sumberdaya perempuan akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi keluarga dan masyarakat. Ketidak berdayaan keluarga tersebut dimuka bersumber pada akar masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara sehingga banyak pengangguran, meningkatkan harga terutama harga pangan (inflasi).

Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat


(52)

digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya sebagaimana berikut (Soekirman, 2000):

Dampak Kekurangan Gizi

Makan Penyakit Infeksi Tidak Seimbang

Penyebab langsung

Tidak Cukup Persediaan

Pangan

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan

Kesehatan Dasar TidakMemadai Pola Asuh Anak

Tidak

M d i

Penyebab tidak langsung

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Kurang pemberdayaan wanita Dan keluarga, kurang pemanfaatan

Sumberdaya masyarakat

Pokok Masalah di Masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan

Krisis Ekonomi,Politik Akar Masalah

(nasional)

Gambar 2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)


(53)

2.7. Kerangka Konsep

Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan status gizi balita di dalam keluarga. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam penelitian meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis, tradisi/kebiasaan, dan pengetahuan yang berhubungan dengan pola makan balita pada keluarga baik kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya juga dapat berhubungan dengan status gizi balita. Dimana antara pendidikan, pekerjaan dan penghasilan mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Ketiganya saling mendukung satu sama lain, dalam arti apabila pendidikan yang dimiliki tinggi biasanya akan memperoleh pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang memadai akan memberikan penghasilan yang baik pula. Keterkaitan faktor sosial budaya terhadap status gizi balita dalam keluarga sebagaimana yang telah disampaikan pada awal penulisan ini dari berbagai leteratur, antara lain mengemukakan bahwa kondisi sosial sering terkait dengan permasalahan perumahan, kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat serta merupakan interaksi yang bersinggungan dalam lingkungan hidup manusia. Keterkaitan tersebut termasuk juga menyangkut dari latar belakang pendidikan orangtua. Oleh karena itu dengan pendidikan yang tinggi maka orangtua akan lebih mengetahui cara merawat balita, sedangkan pekerjaan dan penghasilan yang baik dapat mendukung pola makan balita yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi balita. Selain ketiga faktor sosial budaya tersebut suku/etnis, tradisi/kebiasaan


(54)

dan pengetahuan merupakan faktor penting lainnya dalam meningkatkan status gizi balita. Faktor-faktor sosial budaya ini yang berhubungan dengan status gizi balita dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut :

Status Gizi Balita ( Baik dan Tidak Baik)

Sosial Budaya

1. Pendidikan

2. Pekerjaan

3. Penghasilan

4. Suku/Etnis

5. Tradisi/Kebiasaan

6. Pengetahuan

Pola Makan Balita Pada Keluarga (kuantitas/

Kualitas)

--- = tidak diteliti


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu (Notoadmojo, 2002).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Medan Area, dikarenakan pada kecamatan ini banyak balita yang mengalami gizi kurang (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006). Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan, mulai bulan April - Desember 2007. Tahap-tahap penelitian ini dimulai dari penelusuran pustaka, konsultasi, seminar proposal dan dilanjutkan dengan penelitian di lapangan (pengumpulan data), analisa data dan penyusunan laporan penelitian.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kerja Puskesmas di Kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang. Namun tidak


(56)

termasuk anak dari keluarga etnis China, dikarenakan tidak tercantum dalam data Puskesmas maupun data posyandu.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah anak usia 6 – 24 bulan yang ditimbang dan ibu sebagai responden yang diwawancarai, diambil dari populasi, dimana jumlahnya ditentukan dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi, yaitu (Sastroasmoro, 1995) :

Z ² PQ n =

Keterangan : Z = deviat baku normal untuk (Z =1,96)

P = proporsi balita yang mengalami masalah gizi (50 %) Q = 1-P (50 %)

d = ketepatan absolut yang dikehendaki (10 %) n = jumlah sampel (97 keluarga)

Dari perhitungan rumus didapat jumlah sampel minimal 97 keluarga, dengan memperkirakan 10 persen sampel yang keluar sewaktu pengolahan maka jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 107 keluarga. Teknik pengambilan sampel digunakan teknik Simple Random Sampling (pengambilan sampel secara acak sederhana), yaitu memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sampel diambil dengan mengumpulkan nama anak yang berusia 6-24 bulan secara keseluruhan yang ada di Kecamatan


(57)

Medan Area. Kemudian nama diambil secara acak dengan menggunakan gulungan kertas yang telah tertulis nama balita (sistem undian).

3.4. Metoda Pengumpulan Data

Sebelum data dikumpulkan, terlebih dahulu kuesioner diuji validitasnya dengan melakukan uji realibilitas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah diketahui kusioner layak diajukan, selanjutnya dilakukan pengumpulan data.

Pengumpulan data dilakukan untuk jenis data : 1. Data Primer.

Dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data primer yang dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independent dan variabel dependen. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah responden yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah diberikan pelatihan sebelum ke lapangan.

Data status gizi balita dikumpulkan dengan melakukan pengukuran berat badan dan mencatat data anak usia 6 – 24 bulan. Berat badan diukur dengan memakai alat ukur timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.

2. Data Sekunder.

Dikumpulkan dari laporan bulanan, triwulan dan tahunan di Puskesmas Kecamatan Medan Area dan data dari laporan/catatan kantor kelurahan atau camat


(58)

atau instansi terkait lain yang berkenaan dengan data-data gambaran daerah penelitian.

Adapun usaha reabilitas dan validitas data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :

a. Validitas alat ukur seperti timbangan.

b. Pengukuran dilakukan dua kali seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan

c. Melatih enumerator atau pengumpul data dalam pengumpulan data, misal melatih cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, menyamakan persepsi tentang kuesioner.

d. Uji kuesioner di luar sampel penelitian. (hasil uji pada Lampiran 2)

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan responden diluar sampel penelitian diperoleh r-tabel = 0.514 dari N=15 orang dan taraf signifikansi 95% ternyata skore tiap pertanyaan lebih dari nilai r-tabel. Hal ini menunjukan bahwa semua kuesioner valid dan layak diajukan kepada sampel penelitian dan tidak dibutuhkan revisi kembali, sebagaimana dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


(59)

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pada 15 Orang Responden

No. Pertanyaan Total Keterangan

Pengetahuan1 .778** Valid

.001 0.778 > 0.514

15

Pengetahuan 2 .868** Valid

.000 0.868 > 0.514

15

Pengetahuan 3 .652* Valid

.011 0.652 > 0.514

15

Pengetahuan 4 .773** Valid

.001 0.773 > 0.514

15

Pengetahuan 5 .656* Valid

.011 0.656 > 0.514

15

Pengetahuan 6 .778** Valid

.001 0.778 > 0.514

15

Pengetahuan 7 .925** Valid

.000 0.925 > 0.514

15

Pengetahuan 8 .638* Valid

.010 0.638 > 0.514

15

3.5. Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini, terdapat berbagai variabel yang akan diukur dengan menggunakan perangkat-perangkat alat ukur yang telah ditetapkan, untuk


(60)

memperjelas gambaran variabel dalam penelitian, maka disusunlah definisi operasional variabel sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala

Varibel Sub Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala

Pendidikan Tingkat pendidikan

orang tua yang didapat secara formal seperti SD, SLTP, SLTA, PT

Kuesioner Ordinal

Pekerjaan Jenis pekerjaan orang

tua yang meliputi PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, buruh, dll.

Kuesioner Ordinal

Penghasilan Tingkat pendapatan

yang didapat keluarga setiap bulannya, yang dihitung berdasarkan rupiah

Kuesioner Ratio

Tradisi/kepercayaan Kepercayaan terhadap ada tidaknya makanan pantangan pada balita

Kuesioner Ordinal

Suku/etnis Suku bangsa orang tua

yang terdiri dari Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Nias, Minang, dll. Kuesioner Nominal Faktor Sosial Budaya

Pengetahuan Segala sesuatu yang

diketahui ibu tentang kesehatan dan gizi

Kuesioner Ordinal

Status gizi

Keadaan keseimbangan

gizi yang diukur dari indeks antropometri (berat badan disesuaikan dengan usia)


(61)

3.6. Metode Pengukuran

a. Pendidikan, dikategorikan menjadi :

1. tinggi, jika orang tua sampai pada pendidikan SLTA dan PT 2. rendah, jika SD dan SLTP

b. Pekerjaan, dikategorikan menjadi :

1. pekerjaan tetap, jika jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta. 2. pekerjaan tidak tetap, jika wiraswasta, buruh, dan Ibu Rumah tangga. c. Penghasilan, dikategorikan menjadi :

1. penghasilan diatas atau sama dengan rata-rata 2. penghasilan dibawah rata-rata

d. Tradisi/kepercayaan, dikategorikan menjadi : 1. ada pantangan makanan

2. tidak ada pantangan makanan

e. Pengetahuan, dikategorikan menjadi (Notoadmojo, 2005) : 1. baik, jika pertanyaan benar ≥ 75%

2. kurang baik, jika pertanyaan benar < 75%

f. Status gizi dikategorikan dengan mengambil batasan Z-score NCHS-WHO, dimana data diolah dengan menggunakan perangkat lunak yaitu dengan program Gizi Com (Supariasa, 2002), yaitu :


(62)

1. baik, jika batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi baik (≥ -2 SD sampai ≤ +2 SD).

2. tidak baik, jika ada dalam batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi kurang ( < -2 SD sampai > -3 SD), status gizi buruk (≤ 3 SD), dan status gizi lebih (> +2 SD).

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi responden, maka dilakukan analisis deskriptif/univariat. Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel yang meliputi suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan pada orang tua yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan, serta status gizinya.

3.7.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Untuk menguji hipotesis dipakai uji kai kuadrat.


(63)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian 4.1.1. Geografi Medan Area

Kecamatan Medan Area terletak 25 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 4,22 km2 dan batas wilayah Kecamatan Medan Area sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Medan Perjuangan Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Kota Sebelah Barat : Kecamatan Medan Kota

Sebelah Timur : Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Area memiliki 3 (tiga) unit Puskesmas yaitu Puskesmas Sukaramai, Puskesmas Medan Area Selatan dan Puskesmas Kota Maksum dengan keadaan geografis sebagaimana terlihat pada Tabel 4. 1.

Tabel 4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

No. Puskesmas Luas Wilayah (H) Jumlah Kelurahan

1. Kota Maksum 112,40 H 4

2. Sukaramai 150,23 H 4

3. Medan Area Selatan 153,10 H 4

Jumlah 415,73 H 12


(64)

Puskesmas Kota Maksum mempunyai wilayah kerja seluas 112,40 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Maksum I, Kelurahan Kota Maksum II, Kelurahan Kota Maksum IV dan Kelurahan Sei Rengas Permata. Puskesmas Sukaramai mempunyai wilayah kerja seluas 150,23 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Sari I, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Tegal Sari III dan Kelurahan Pasar Merah Timur. Puskesmas Medan Area Selatan mempunyai wilayah kerja seluas 153,10 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Pandau Hulu II dan Sei Rengas II.

4.1.2. Gambaran Kependudukan

Distribusi penduduk berdasarkan jumlah keluarga dan jenis kelamin di wilayah kerja 3 (tiga) Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

Penduduk KK

Laki-laki Perempuan Jumlah Total

Wilayah Kerja Puskesmas

n % n % n % n %

Kota Maksum 8657 39,8 18011 32,9 17857 33,2 38045 35,1

Sukaramai 6603 30,3 20673 37,8 19643 36,5 40316 37,2

Medan Area

Selatan 6476 29,7 15951 29,1 16212 30,1 32163 29,6

Jumlah 21736 100 54635 50,4 53712 49,5 108347 100


(65)

Jumlah penduduk Kecamatan Medan Area pada tahun 2006 sebanyak 108.347 jiwa yang terdiri dari 54.633 laki-laki (50,4%) dan 53.712 perempuan (49,5%).

4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian

Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di wilayah kerja 3 (tiga) puskesmas di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

Kota

Maksum Sukarame

Medan Area

Selatan Jumlah Pekerjaan

N % N % N % N % Negeri 1112 49,8 782 35,0 337 15,1 2231 5,4 Swasta

6050 34.3 4588 26.0 6989 39.6 1762

7 42.8 Pegawai

ABRI 31 34,3 50 55,5 9 10 90 0,2

Petani - - - - - 21 100 21 0,05

Pedagang -

9639 41,9 6464 28,1 6900 29,9 2300

3 55,8 Pensiun - 237 37,1 254 39,8 147 23,0 638 1,5 Jumlah

Total

- 1706

9 41,4

1213

8 29,4

1194

5 29,0

4115

2 100

Sumber : Badan Pusat Statistik 2006

Penduduk Kecamatan Medan Area sebagian besar mempunyai mata pencaharian pedagang yaitu 55,8 persen sedangkan pegawai swasta 42,8 persen, pegawai negeri 5,4 persen, pensiunan 1,5 persen, ABRI 0,2 persen dan petani 0,05 persen.


(66)

4.1.4. Jumlah kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita

Jumlah kelahiran dan kematian bayi dan balita di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006

Puskesmas Jumlah

Kelahiran

Jumlah Lahir Mati

Jumlah Bayi Mati

Jumlah Balita

Jumlah Balita

Mati

Kota Maksum 1080 0 0 4.582 0

Sukaramai 1027 0 0 3.908 0

Medan Area

Selatan 732 0 1 2.696 1

Jumlah 2.839 0 1 11.186 1

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006.

Tabel 4.4 di atas menunjukan bahwa jumlah kelahiran terbesar terdapat pada Puskesmas Koata Maksum yaitu 1080 orang, kemudian diikuti Puskesmas Sukaramai sebanyak 1027 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan sebanyak 732 orang.

4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu

Balita yang mengalami BGM ada 65 orang dengan perincian terbanyak di Puskesmas Kota Maksum sebanyak 44 orang, dan pencapaian program hanya 89 persen, paling rendah diantara Puskesmas Sukaramai dan Medan Area Selatan. Tetapi partisipasi masyarakat untuk menggunakan posyandu di Puskesmas Kota


(67)

Maksum paling tinggi dibandingkan dengan Sukaramai dan Medan Area Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2007 Kecamatan Bayi Yang Memiliki KMS (%) Partisipasi Masyarakat (%) Pencapaian Program (%) Cakupan Efek Program (%) BGM

Kota Maksum 89,0 89,2 75,0 89,0 44

Sukaramai 86,4 80,7 74,6 93,0 16 Medan Area

Selatan 85 81 76,5 93,0 5

Rata-Rata 86,8 83,6 75,4 91,6 -

Jumlah - - - - 65

Sumber : Puskesmas Kecamatan Medan Area, bulan November 2007

4.2. Gambaran Faktor Sosial Budaya 4.2.1. Pendidikan

Tingkat pendidikan ayah dan ibu yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tingkat pendidikan tinggi dan tingkat pendidikan rendah, dimana yang tamat SLTA dan PT/Akademi termasuk dalam kategori tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan tidak tamat, tamat SD dan SLTP dikategorikan tingkat pendidikan rendah yang dapat dilihat pada tabel berikut :


(68)

Tabel 4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Tingkat Pendidikan n %

1. SD 13 12,1

2. SLTP 24 22,4

3. SLTA 56 52,3

4. PT/Akademi 14 13,1

Jumlah 107 100,0

Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pendidikan yang ditempuh ayah adalah SLTA yaitu 56 orang (52,3 %). Hal ini menunjukan bahwa tinggkat pendidikan ayah sebagian besar tinggi yang dapat berhubungan kepada status gizi anak.

Tabel 4.7. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Tingkat Pendidikan n %

1. Tinggi 70 65,4

2. Rendah 37 34,6

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.7 diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah pada kategori tinggi sebanyak 70 orang (65,4 %), dan kategori rendah sebanyak 37 orang (34,6%). Sebagian besar pendidikan ayah adalah pada kategori tinggi yang dapat berhubungan dengan status gizi anak.


(69)

Tabel 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Tingkat Pendidikan n %

1. SD 18 16,8

2. SLTP 24 22,4

3. SLTA 55 51,5

4. PT/Akademi 10 9,3

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.8. di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu terbanyak adalah SLTA sebanyak 55 orang (51,5 %) dan yang paling sedikit adalah PT/Akademi yaitu 10 orang (9,3 %). Dari tabel tersebut menunjukan bahwa pendidikan ibu sudah menggambarankan kategori yang baik yaitu tinggi.

Tabel 4.9. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Tingkat Pendidikan n %

1. Tinggi 65 60,7

2. Rendah 42 39,3

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kategori tingkat pendidikan tinggi yaitu 65 orang (60,7 %), dan kategori tingkat pendidikan rendah yaitu 42 orang (39,3 %). Hal ini menunjukan tingginya tingkat pendidikan ibu yang akan berhubungan pada status gizi anak.


(70)

4.2.2. Pekerjaan

Pekerjaan ayah dan ibu dikategorikan menjadi pekerjaan dengan penghasilan tetap dan pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap yang dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Pekerjaan n %

1. Pekerjaan Tetap 22 20,6

2. Pekerjaan Tidak Tetap 85 79,4

Jumlah 107 100,0

Dari Tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 85 orang (79,4 %) ayah yang pekerjaan tidak tetap. Dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai wiraswasta atau dikategorikan pada pekerjaan tidak tetap.

Tabel 4.11. Distribusi Kategori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Pekerjaan n %

1. Pekerjaan Tetap 10 9,3

2. Pekerjaan Tidak Tetap 97 90,7

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu adalah ibu yang pekerja tidak tetap yaitu 97 orang (90,7%). Di lapangan ditemukan bahwa


(71)

sebagian besar ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya dirumah atau dikategorikan ibu dengan pekerjaan tidak tetap.

4.2.3. Penghasilan

Penghasilan keluarga dikategorikan dengan penghasilan di atas rata-rata dan penghasilan di bawah rata-rata yang diperoleh dari penghasilan tertinggi keluarga sebesar Rp. 5.000.000,- dan penghasilan keluarga terendah sebesar Rp. 200.000,- dengan nilai rata-ratany sebesar Rp. 1.065.400,- yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Penghasilan n %

1. Penghasilan ≥ rata-rata

(Rp.1.065.400) 28 26,2

2. Penghasilan < rata-rata

(Rp.1.065.400) 79 73,8

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.12 diatas diketahui bahwa kategori pendapatan diatas rata-rata sebanyak 28 orang (26,2%) dan kategori pendapatan dibawah sebanyak 79 orang (73,8%).

4.2.4. Suku/Etnis

Suku dari orang tua anak usia 6 – 24 bulan terdiri dari beberapa yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :


(1)

6. Kapan anak ibu seharusnya dihentikan ASI (sapih) ? a. sampai anak berusia 24 bulan (2) b. sampai anak berhenti sendiri (1) c. tidak tahu (0)

7. Apakah ibu tahu arti dari anak BGM ?

a. anak yang berat badannya di bawah garis merah (2) b. anak dengan status gizi buruk (1)

c. tidak tahu

8. Apakah ibu tahu apa yang dilakukan jika anak BGM ?

a. membawa anak ke puskesmas dan minta nasihat yang harus dilakukan pada anak (2) b. memberi makan pada anak sesering mungkin tanpa membawa ke puskesmas (1) c. tidak tahu (0)

9. Apa ibu tahu tanda-tanda anak kekurangan makan ? a. anak badannya kurus dan beratnya tidak naik (2) b. anak rewel dan tidak ceria (1)

c. tidak tahu (0) 10. Manfaat ASI adalah :

a. meningkatkan kekebalan tubuh bayi, agar tidak mudah sakit Ya (1) Tidak (0) b. menjadikan hubungan ibu dan bayi semakin erat Ya (1) Tidak (0) c. tidak tahu (0)

11.Makanan yang baik untuk anak ibu adalah :

a. ASI dan makanan lain yang mengandung cukup zat gizi seimbang (2) b. ASI dan makanan lain yang hanya mengandung kalori dan protein (1) c. Tidak tahu (0)

12.Menurut ibu apakah harus ada makanan yang dipantangkan bagi anak kecuali makanan yang terlalu merangsang (pedas dan banyak bumbu) ?

a. Tidak (2) b. Ya (1) c. Tidak tahu (0)

13.Apakah arti makanan yang megandung zat gizi seimbang ?

a. mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur dalam porsi yang cukup (2) b. mengandung zat karbohidrat, protein dan vitamin (1)

c. tidak tahu

14.Kapan sebaiknya frekuensi ASI diberikan dalam sehari ?

a. sekehendak hati anak, kapan saja anak mau harus diberikan (2) b. 3 kali saja dalam sehari (1)

c. tidak tahu (0)

15.Menurut ibu apa manfaat dari menjaga kebersihan diri dan lingkungan anak ? a. agar anak tetap sehat dan baik pertumbuhan dan perkembangannya (2) b. agar anak tidak mudah sakit dan mau makan (1)


(2)

Hasil penimbangan

Berat badan I : ...kg Berat badan II : ...kg

Rata-rata berat badan : Berat badan I + II = ...kg

2


(3)

Lampiran 4

Uji Validitas Pengetahuan

Correlations

Total Pengetahuan Pengetahuan1 Pearson Correlation .778**

Sig. (2-tailed) .001

N 15

Pengetahuan 2 Pearson Correlation .868**

Sig. (2-tailed) .000

N 15

Pengetahuan 3 Pearson Correlation .652*

Sig. (2-tailed) .011

N 15

Pengetahuan 4 Pearson Correlation .773**

Sig. (2-tailed) .001

N 15

Pengetahuan 5 Pearson Correlation .656*

Sig. (2-tailed) .011

N 15

Pengetahuan 6 Pearson Correlation .778**

Sig. (2-tailed) .001

N 15

Pengetahuan 7 Pearson Correlation .925**

Sig. (2-tailed) .000

N 15

Pengetahuan 8 Pearson Correlation .638*

Sig. (2-tailed) .010


(4)

Total Pengetahuan Pengetahuan 9 Pearson Correlation .571*

Sig. (2-tailed) .029

N 15

Pengetahuan 10 Pearson Correlation .652*

Sig. (2-tailed) .011

N 15

Pengetahuan 11 Pearson Correlation .574*

Sig. (2-tailed) .025

N 15

Pengetahuan 12 Pearson Correlation .638*

Sig. (2-tailed) .010

N 15

Pengetahuan 13 Pearson Correlation .516*

Sig. (2-tailed) .049

N 15

Pengetahuan 14 Pearson Correlation .515*

Sig. (2-tailed) .048

N 15

Pengetahuan 15 Pearson Correlation .516*

Sig. (2-tailed) .049

N 15

Total

Pengetahuan

Pearson Correlation

1.000

Sig. (2-tailed) .

N 15

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(5)

Reliability Pengetahuan

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 15 100.0

Excluded(

a) 0 .0

Total 15 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.678 15

Item Statistics

Mean

Std.

Deviation N Pengetahuan 1 1.67 .488 15 Pengetahuan 2 2.40 .737 15 Pengetahuan 3 1.20 .561 15 Pengetahuan 4 1.67 .488 15 Pengetahuan 5 1.20 .414 15 Pengetahuan 6 1.67 .488 15 Pengetahuan 7 2.67 .724 15 Pengetahuan 8 2.07 .799 15 Pengetahuan 9 1.87 .352 15 Pengetahuan 10 2.53 .302 15 Pengetahuan 11 1.73 .458 15 Pengetahuan 12 1.20 .561 15 Pengetahuan 13 2.00 .378 15 Pengetahuan 14 1.27 .594 15 Pengetahuan 15 1.60 .507 15


(6)

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if

Item Deleted Pengetahuan 1 25.07 17.210 -.271 .716 Pengetahuan 2 24.33 11.667 .823 .573 Pengetahuan 3 25.53 15.124 .210 .672 Pengetahuan 4 25.07 13.495 .731 .617 Pengetahuan 5 25.53 15.981 .060 .684 Pengetahuan 6 25.07 15.067 .277 .665 Pengetahuan 7 24.07 11.495 .883 .564 Pengetahuan 8 24.67 13.238 .426 .641 Pengetahuan 9 24.87 16.981 -.259 .704 Pengetahuan 10 24.20 14.029 .064 .746 Pengetahuan 11 25.00 14.143 .581 .636 Pengetahuan 12 25.53 15.838 .045 .690 Pengetahuan 13 24.73 14.781 .492 .650 Pengetahuan 14 25.47 14.981 .222 .671 Pengetahuan 15 25.13 14.552 .399 .652

Scale Statistics

Mean Variance

Std. Deviation

N of Items 26.73 16.352 4.044 15


Dokumen yang terkait

Studi Faktor Sosial Eknomi Dan Status Gizi Serta Perkembangan Motorik Anak Usia 1-2 Tahun Di Kelurahan Kota Matasumi Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2005

0 31 85

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Bandung Kulon Kotamadya Bandung

0 8 144

HUB Hubungan Antara Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Kelurahan Malangjiwan Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar.

0 0 12

PENDAHULUAN Hubungan Antara Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Kelurahan Malangjiwan Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar.

0 0 4

Pengaruh Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Keluarga Miskin Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2015

0 0 16

Pengaruh Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Keluarga Miskin Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Keluarga Miskin Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2015

0 0 8

Pengaruh Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Keluarga Miskin Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2015

0 0 41

Pengaruh Pola Asuh Ibu Terhadap Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Keluarga Miskin Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Iii Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2015

0 0 3

HUBUNGAN JENIS ASUPAN MP-ASI DOMINAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN

0 0 71