commit to user 30
macam genotip adalah lokus TGLA227 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus ETH225 pada sapi Aceh. Dilihat dari macam genotip yang dihasilkan, setiap lokus
mempunyai jumlah alel bervariasi antara satu sampai tiga alel. Jumlah alel sebagian besar lokus adalah tiga alel. Jumlah alel terendah terdapat pada lokus
BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa serta lokus TGLA227 pada sapi Aceh.
Table 2. keragaman alel mikrosatelit tiap individu pada setiap lokus mikrosatelit yang dianalisis
No Individu
Sapi Bali dari Sumbawa Sapi Aceh
TGLA 227
ETH 225
BM 1824
INRA 005
MM 12
TGLA 227
ETH 225
BM 1824
INRA 005
MM 12
1. AB
AC AA
AA AB
AA AB
AA AB
AC
2. AB
AC AA
AA AB
AA AB
AA AB
BC
3. AB
AC AA
AA AA
AA AB
AB AB
AC
4.
AB AC
AA AA
AB AA
AB AB
AB BC
5. AB
AC AA
AA AB
AA AC
AA AB
BC
6. AB
AC AA
AA BC
AA AC
AB AB
CC
7.
AA AA
AA AA
BC AA
AC AB
AA BC
8. AB
AB AA
AA AA
AA AC
AA AA
BC
9. AB
AB AA
AA AB
AA AB
AA AA
CC
10. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AC AB
AC
11. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AB AC
BC
12. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AC AC
AC
13. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AC AC
AC
14.
AB AA
AA AA
AB AA
AB AC
AC AC
15. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AC AC
BC
16. AB
AB AA
AA AA
AA AB
AC AC
BC
17.
AB AB
AA AA
AB AA
AB AC
AC BC
18. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AC AC
BC
19. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AA AC
AC
20. AB
AA AA
AA AB
AA AB
AA AC
BC
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa jumlah alel bervariasi antara 1 sampai 3. Jumlah alel dan frekuensi alel yang
terdeteksi untuk setiap lokus pada sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ditampilkan pada Tabel 3.
commit to user 31
Table 3. Jumlah dan frekuensi alel intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit
lokus Sapi Bali dari Sumbawa
Sapi Aceh
na f
na f
TGLA227 2
A 0,53 B 0,47
1 A 1,00
ETH225 3
A 0,75 B 0,10
C 0,15 3
A 0,50 B 0,40
C 0,10 BM1824
1 A 1,00
3 A 0,68
B 0,12 C 0,20
INRA005 1
A 1,00 3
A 0,58 B 0,20
C 0,22 MM12
3 A 0,53
B 0,42 C 0,05
3 A 0,17
B 0,28 C 0,55
Rataan
2 2,6
Keterangan :
Na.:
Observed number of alleles ; f = Allele Frequency
Frekuensi alel adalah proporsi alel yang ada dalam suatu populasi Hartl, 1988. Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda. Pada
sapi Bali dari Sumbawa untuk lokus TGLA227 terdapat 2 alel dengan frekuensi alel A 0,53 dan alel B 0,47. Pada lokus ETH225 terdapat 3 alel dengan
frekuensi dari yang tertinggi alel A 0,75, C 0,15 dan yang terendah B 0,10. lokus BM1824 dan INRA005 hanya mempunyai 1 alel dengan frekuensi alel A
1,00 dalam keadaan homozigot. Lokus MM12 memiliki 3 alel dengan masing- masing frekuensi alel A 0,53, B 0,42, dan C 0,05. Secara keseluruhan jumlah
alel yang terdeteksi pada sapi Bali dari Sumbawa berkisar antara 1 - 3 dengan rata- rata 2. Frekuensi alel tertentu yang lebih besar atau sama dengan 0,95,
maka alel tersebut digolongkan monomorfik Hartl, 1988. Dari kelima lokus tersebut terdapat dua lokus yang monomorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005
dengan frekuensi alel 1,00. Pada sapi Aceh untuk lokus TGLA227 hanya memiliki 1 alel dengan frekuensi alel A 1,00. pada lokus ETH225, BM1824, INRA005
commit to user 32
dan MM12 masing- masing terdapat 3 alel tetapi terdapat perbedaan frekuensi. Lokus ETH225 dengan frekuensi alel dari yang tertinggi alel A 0,50, B 0,40
dan terendah alel C 0,10. Lokus BM1824 dengan frekuensi alel masing-masing A 0,68, B 0,12, dan C 0,20. Lokus INRA005 dengan frekuensi alel masing-
masing A 0,58, B 0,20, dan C 0,22. Lokus MM12 dengan frekuensi alel masing-masing A 0,17, B 0,27, dan C 0,55. Secara keseluruhan jumlah alel
yang terdeteksi pada sapi Aceh berkisar antara 1 - 3 dengan rata-rata 2,6. Namun jumlah alel yang terdeteksi pada sapi Aceh lebih banyak dibanding pada sapi Bali
dari Sumbawa, untuk lokus yang monomorfik hanya pada lokus TGLA227. Hasil pada studi ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu, pada sapi
Bali untuk lokus INRA005 terdapat 2 alel, ETH225 4 alel dan BM1824 5 alel, sedangkan pada sapi Aceh untuk lokus INRA005 terdapat 6 alel, ETH225 12 alel
dan BM1824 7 alel Abdullah et al., 2008. Pada sapi Hariana dan Hissar untuk lokus TGLA227 5 alel, MM12 3 alel Rehman dan Khan, 2009. Rendahnya
jumlah alel yang terdeteksi pada penelitian ini mungkin disebabkan antara setiap individu pada populasi sampel yang digunakan masih ada hubungan kekerabatan
yang dekat. Analisis sederhana untuk mengetahui diversitas genetik intra spesies sapi
bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilakukan dengan menghitung nilai jumlah alel, frekuensi alel, Effective number of alleles, homozigositas,
heterozigositas, Shannons Information index dan PIC pada ke 5 lokus pada kedua populasi tersebut. Beberapa parameter diversitas genetik pada spesies sapi Bali
dari Sumbawa dan sapi Aceh ditunjukkan pada tabel 4.
commit to user 33
Tabel 4. Parameter keragaman genetik intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit.
Lokus spesies
Ne I
Ho He
PIC TGLA227
Bali dari Sumbawa Aceh
1,99 1,00
0,69 0,05
1,00 0,95
0,50 ETH225
Bali dari Sumbawa Aceh
1,68 2,38
0,73 0,94
0,50 0,50
1,00 0,41
0,58 BM1824
Bali dari Sumbawa Aceh
1,00 1,96
0,85 1,00
0,35 0,65
0,48 INRA005
Bali dari Sumbawa Aceh
1,00 2,37
0,98 1,00
0,15 0,85
0,57 MM12
Bali dari Sumbawa Aceh
2,18 2,45
0,85 0,99
0,15 0,10
0,85 0,90
0,54 0,59
Keterangan: Ne.: Effective number of alleles [Kimura and Crow 1964]; I.: Shannons Information index [Lewontin 1972]; Ho.: Observed Homozigocity; He.: Observed Heterozigocity,. PIC.:
Polymorphism Information Content.
Effective number of alleles Ne merupakan perkiraan jumlah alel dengan menyesuaikan frekuensinya pada nilai PIC. Ne terendah yaitu 1,00 pada spesies
Bali dari Sumbawa BM1824; INRA005 dan Aceh TGLA227 sedangkan nilai tertinggi terdapat pada spesies Aceh yaitu sebesar 2,45 MM12. Nilai Ne rata-rata
yaitu sebesar 1,57 untuk spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan 2,03 untuk Sapi Aceh. Nilai Ne rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dari nilai
Ne rata-rata pada Sapi Hariana dan Sapi Hissar yang secara berturut-turut 2,87 dan 2,89 yang diteliti oleh Rehman dan Khan tahun 2009. Penelitian Pandey et al
2006 pada Sapi Kherigarh dari India memiliki nilai Ne rata-rata sebesar 3,77. Nilai effective number of alleles secara keseluruhan lebih kecil dibandingkan nilai
observed number of alleles Ne Na adalah karena terjadi fluktuasi jumlah populasi pada masa lalu. Juga terdapat kontribusi dari mutasi delesi yang terjadi
pada populasi yang diakibatkan oleh mutasi-keseimbangan seleksi Crow dan William, 1989. Nugroho 2007 menyatakan bahwa nilai Ne dalam pemuliaan
commit to user 34
hewan berhubungan dengan variabilitas genetik yang diperlukan untuk memperkirakan nilai koefisien inbreeding. Karena peningkatan koefisien
inbreeding untuk satu generasi F dapat diperkirakan dari nilai Ne F=12 Ne . Untuk mengetahui ukuran diversitas gen dapat dilihat berdasarkan
Shannons Information index. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, nilai Shannons Information index terbesar terdapat pada lokus MM12 0,85
sedangkan yang terendah terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 0. Rata- rata nilai Shannons Information index pada sapi bali dari Sumbawa adalah 0,45.
Sedangkan pada sapi Aceh nilai Shannons Information index terbesar terdapat pada lokus MM12 0,99 sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227
0. Rata-rata nilai Shannons Information index pada sapi Aceh adalah 0,75. Nilai I pada penelitian ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan penelitian
Pandey et al 2006 terhadap sapi Kherigarh di India, memiliki nilai I sebesar 1,46.
Analisis sederhana untuk mengetahui heterozigositas genetik dari spesies sapi Bali-Sumbawa dapat dilakukan dengan menghitung heterozigositas pada ke 5
lokus yang kemudian didapatkan pula nilai tengah atau rata-rata heterozigositas populasi tersebut. Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Bali dari
Sumbawa sangat bervariasi yaitu antara 0 sampai 1. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus TGLA227 He= 0.95,
sedangkan yang tidak menunjukkan adanya heterozigositas terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 He= 0. Hal ini berbanding terbalik dengan nilai
homozigositasnya, dari tabel 2 telihat bahwa homozigositas terbesar pada sapi
commit to user 35
Bali dari Sumbawa adalah pada lokus BM1824 dan INRA005 Ho= 1,00, sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 Ho=0,05. Rata-rata
nilai heterozigositas pada sapi Bali dari Sumbawa adalah 0,46, sedangkan rata- rata homozigositasnya adalah 0,54 . Gambaran nilai heterozigositas lebih rendah
daripada nilai homozigositas He 50 yang masih ditemukan pada populasi sampel sapi Bali dari Sumbawa berdasarkan marker mikrosatelit ini dapat
mengindikasikan bahwa bangsa sapi Bali dari Sumbawa diduga mengalami seleksi ke arah peningkatan silang dalam inbreeding, dan ada kecenderungan
pula menurunnya beberapa karakter fenotipik dibandingkan sebelumnya. Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Aceh berbeda dengan
nilai heterozigositas pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, pada sapi Aceh untuk nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus ETH225 He= 1 , sedangkan
yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 He= 0. Rata-rata nilai heterozigositas pada sapi Aceh adalah 0,68, sedangkan rata-rata nilai
homozigositas pada sapi Aceh adalah 0,32. Nilai heterozigositas pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Abdullah et al. 2008 dengan
menggunakan 16 lokus mikrosatelit, rata-rata heterozigositas sapi Aceh He 0,62 dan sapi Bali He 0,49. Rehman dan Khan 2009 melaporkan rata-rata
heterozigositas pada Sapi Hariana 0,51 dan and sapi Hissar 0,47 sedangkan pada sapi Kherigarh 0,574 Pandey et al., 2006.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa heterozigositas pada sapi Aceh cukup tinggi. Laju heterozigositas yang tinggi diakibatkan oleh adanya silang luar
out breeding yang tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Noor
commit to user 36
2008, menjelaskan bahwa out breeding berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot individu yang genotipnya memiliki dua gen
alel yang berbeda dan menurunkan proporsi gen yang homozigot individu yang genotipnya memiliki dua gen alel yang sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya heterozigot antara lain overdominan heterosis positif, perbedaan frekuensi gen antara jantan dan betina, perkawinan yang tidak terpilih atau
assortative mating Baker, 1994. Kemungkinan lain adalah ada aliran gen dari
bangsa-bangsa sapi lain yang masuk ke dalam populasi sapi Aceh karena program inseminasi buatan yang diterapkan di Aceh telah menimbulkan
segregasi gen-gen sapi lain yang beragam dan meluas dalam populasi sapi Aceh dan dapat juga karena belum ada seleksi yang dilakukan. Menurut Muladno
2006, DNA mikrosatelit memiliki laju perubahan basa nukleotida tinggi yang disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari urutan basa bergandengan
mencapai 10
-3
gametgenerasi. Laju perubahan mikrosatelit dipengaruhi oleh motifnya. Mikrosatelit dengan motif dinukleotida memiliki laju mutasi 1,5-2 kali
lebih cepat dibandingkan dengan motif tetra-nukleotida. Frekuensi alel digunakan pula untuk menentukan nilai PIC, yaitu suatu
nilai yang dapat digunakan sebagai penentu derajat informasi tingkat polimorfik dari suatu marker yang digunakan Botstein et al., 1980. Berdasarkan kriteria
Botstein et al nilai PIC yang terletak antara 0,25 PIC 0,5 dikategorikan sebagai lokus yang cukup informatif, sedangkan PIC 0,5 sangat informatif
untuk analisis genetika populasi. Pada penelitian ini nilai Polymorphic Information Content PIC, lokus DNA mikrosatelit pada sapi Bali dari Sumbawa
commit to user 37
lokus TGLA227 sebesar 0,50, lokus ETH225 sebesar 0,41, lokus BM1824 sebesar 0, lokus INRA005 sebesar 0, dan untuk lokus MM12 sebesar 0,54. Pada Sapi
Aceh untuk lokus TGLA227 sebesar 0, lokus ETH225 sebesar 0,58, lokus BM1824 sebesar 0,48, lokus INRA005 sebesar 0,57 dan pada lokus MM12
sebesar 0,59. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa terdapat dua lokus yang tidak menunjukkan adanya polimorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005 dengan nilai
PIC 0, namun berbeda pada spesies sapi Aceh untuk kedua lokus tersebut menunjukkan adanya polimorfik. Lokus TGLA227 pada spesies sapi Aceh yang
tidak menunjukkan adanya polimorfik, namun polimorfik pada spesies sapi Bali dari Sumbawa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian Zhou et al. 2005 terhadap lokus mikrosatelit yang sama pada lima jenis ternak lokal di Cina yaitu ETH225, BM1824, TGLA227 pada penelitian
yang dilakukan Zhou et al. 2005 lokus ETH225, BM1824 dan TGLA227 ketiganya memiliki nilai PIC 0,50. Penelitian yang dilakukan oleh Pandey et al.
2006, terhadap sapi Kherigarh di India menyebutkan bahwa nilai PIC untuk lokus INRA005 dan ETH225 0,50. Penelitian yang dilakukan Sodhi et al.
2006, terhadap Sapi Zebu di India menyebutkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa nilai PIC untuk lokus ETH225 0,50. Berdasarkan perbedaan data-data
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lokus mikrosatelit yang sama memiliki optimasi kerja yang berbeda untuk jenis ternak yang berbeda.
Adapun rata-rata polimorfisme alel yang rendah pada sapi lokal spesies sapi Bali dari Sumbawa 0,29 dan sapi Aceh 0,44 dalam studi ini kemungkinan
disebabkan oleh variasi genetik yang cenderung ke arah homogen, atau sampel
commit to user 38
yang diduga masih belum maksimal mewakili populasi yang ada serta memiliki diversitas letak geografis yang sangat jauh sehingga memungkinkan terjadinya
keragaman genetik akibat proses seleksi. Menurut Meadows et al. 2006, hal ini disebabkan adanya beberapa faktor potensial, diantaranya faktor seleksi, sistem
perkawinan, atau pola migrasi, serta mekanisme lain yang berakibat pada rendahnya jumlah alel efektif untuk ukuran populasi.
Hal lain adalah budaya masyarakat setempat, yang sangat membatasi ternak jantannya digunakan sebagai sumber genetik sehingga penggunaan
pejantan sangat terbatas. Hal ini dimungkinkan karena selama ini peternak cukup protektif terhadap perkawinan silang sehingga sumbangan keragaman genetik
dari luar cukup rendah. Namun, juga tidak diikuti dengan transfer atau perpindahan pejantan dari breed yang sama antar peternak yang secara geografis
letaknya cukup jauh, sehingga memungkinkan terjadinya pemanfaatan antar pejantan. Kenyataan lain, peternak rakyat lebih senang memelihara induk
daripada pejantan dengan tujuan reproduksi, yakni mendapatkan pedet daripada penggemukan pejantan. Namun, dengan pertimbangan bahwa kualitas sapi Bali
sebagai ikon sapi lokal Indonesia yang saat ini kenyataannya cenderung menurun secara genetis, maka sebenarnya dengan memanfaatkan beberapa marka
mikrosatelit maupun gen yang telah diketahui, maka masih dapat dilakukan seleksi lebih lanjut untuk mendapatkan kualitas sapi lebih baik Winaya, 2010.
Namun dari studi ini yang menunjukkan bahwa semua lokus teramplifikasi pada semua populasi sampel, maka mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk
dapat jadikan kandidat marka. Terutama pada sapi-sapi yang ditetapkan sebagai
commit to user 39
breed lokal. Untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan marka mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih
lanjut atau berulang kali, misal dengan uji keturunan pedigree dan segregasi Mendel dengan menggunakan jumlah individu lebih banyak serta cakupan
geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak domestik di Indonesia ataupun yang
terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini.
B. Diversitas Inter Spesies