DIVERSITAS GENETIK INTRA DAN INTER SPESIES SAPI BALI DARI SUMBAWA DAN SAPI ACEH BERDASARKAN ANALISIS MIKROSATELIT

(1)

commit to user

i

DIVERSITAS GENETIK INTRA DAN INTER SPESIES SAPI BALI DARI SUMBAWA DAN SAPI ACEH BERDASARKAN ANALISIS

MIKROSATELIT

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh:

Prasasti Wahyu Haryati M0406048

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan /atau dicabut.

Surakarta, Juli 2011 Prasasti Wahyu H NIM. M0406048


(4)

commit to user

iv

Diversitas Genetik Intra dan Inter Spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan Sapi Aceh Berdasarkan Analisis Mikrosatelit

Prasasti Wahyu Haryati

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK

Sapi-sapi yang terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik tersebut salah satunya disebabkan karena adanya diversitas genetik. Salah satu penanda genetik untuk mengetahui diversitas genetik adalah mikrosatelit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis mikrosatelit.

Penelitian ini menggunakan sampel darah sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh yang di ambil menggunakan metode venopuncture, masing-masing sebanyak 20 individu. DNA diekstrak dari total darah dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System. Fragmen DNA diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer berturut-turut ETH225, TGLA227, INRA005, BM1824 dan MM12. DNA produk PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamid 12% yang dilanjutkan dengan metode pewarnaan ethidium bromida. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program POPGENE version 1.31.

Hasil analisis alel-alel mikrosatelit menunjukkan bahwa jumlah alel setiap lokus pada intra maupun inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh bervariasi antara 1 sampai 3 alel. Rata-rata nilai Shannon's Information index pada intra spesies sapi Bali dari Sumbawa adalah 0.45, intra spesies sapi Aceh 0.75, sedangkan pada inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh 0.75. Rata-rata nilai heterozigositas pada intra spesies sapi Bali dari Sumb awa 0.46, intra spesies sapi Aceh 0 68, sedangkan pada inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh 0.57. Hasil ini menunjukkan bahwa keragaman genetik pada intra spesies sapi Aceh lebih tinggi dibandingkan intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh.

Kata kunci : Sapi Bali dari Sumbawa, sapi Aceh, mikrosatelit, diversitas


(5)

commit to user

v

Genetic Diversity Intra and Inter Species Bali Cattle from Sumbawa and

Aceh Cattle BasedMicrosatellite Analysis

Prasasti Wahyu Haryati

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta

ABSTRACT

The cattle were found in Indonesia have different characteristics. One of the difference characteristics due to genetic diversity. One of the genetic markers to determine genetic diversity is a microsatellite. The purpose of this study was to investigate intra and inter genetic diversity of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle based microsatellite analysis.

This study used blood samples from Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle took with venopuncture methods, each of 20 individuals. Total DNA extracted from blood by using the Wizard Genomic Purification System. DNA fragment was amplified by PCR using the primers are ETH225, TGLA227, INRA005, BM1824 and MM12. DNA PCR product was detected using of 12% polyacrylamide gel electrophoresis followed by ethidium bromide staining method. Data were analyzed using the program POPGENE version 1:31.

Results of analysis of microsatellite alleles indicated that the number of alleles per locus in the intra and inter species Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle varies between 1 to 3 alleles. The average value of Shannon's Information index on intra species Bali cattle from Sumbawa was 0,45, intra species Aceh cattle 0,75, while the inter species of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle were 0,75. The average value of heterozygosity in intra species of Bali cattle from Sumbawa was 0,46, intra-species of Aceh cattle was 0,68, while the inter species of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle were 0,57. These results suggest that genetic diversity intra species in Aceh cattle was higher than intra species Bali cattle from Sumbawa and inter-species Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle.

Key words: Bali cattle from Sumbawa, Aceh cattle, microsatellite, genetic


(6)

commit to user

vi

MOTTO

Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup lebih lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri.

(Martin Vanbee)

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka

menyukainya atau tidak. (Aldus Huxley)

Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak, ia tidak saja berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak dan

gelombang itu (Marcus Aurelius)

Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis, dan pada kematianmu semua orang menangis

sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum. (Mahatma Gandhi)

Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada diatas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada diatas kepala orang lain.


(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Dengan hati yang tulus dan penuh rasa syukur kupersembahkan skripsi ini untuk: Allah SWT yang menjadikan aku lebih sabar, lebih semangat menjalani

hidup dan selalu yakin bahwa Engkau selalu memberiku yang terbaik. Bapak Dwijo Martono dan ibu Partini yang selalu memberikan motivasi,

nasehat, kasih sayang serta do’a yang tiada hentinya. Adikku Darmadi yang selalu memberikan motivasi Mohammad Syaiful yang selalu memberikan motivasi dan kasih sayang yang tiada hentinya


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

judul “Diversitas Genetik Intra Dan Inter Jenis Sapi Bali dari Sumbawa Dan Sapi Aceh Berdasarkan Analisis Mikrosatelit”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan para pengikut yang diridhoi-Nya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini adalah atas sumbangsih materi maupun pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada Yang Terhormat :

Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc. Ph.D., selaku dekan FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian untuk keperluan skripsi.

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si., selaku ketua jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan serta ijin penelitian skripsi .

Prof. Dr. Okid Parama Astirin, MS., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan.

Prof. Drs. Sutarno, M.Sc. Ph.D., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi.


(9)

commit to user

ix

Dr. Artini Pangastuti, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi.

Prof. Drs. Suranto, M.Sc.Ph.D., selaku dosen penelaah I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi.

Dr. Sugiyarto, M.Si., selaku dosen penelaah II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi.

Segenap dosen dan staf jurusan Biologi, FMIPA UNS atas segala bentuk dukungan yang diberikan.

Keluarga besar Dwijo Martono, atas dukungan dan doanya. Keluarga besar biologi 2006 FMIPA UNS untuk semangat, kebersamaan, dan persaudaraan yang luar biasa.

Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para pembaca akan sangat membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Surakarta, Juli 2011


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….……….

HALAMAN PENGESAHAN……….…………..

HALAMAN PERNYATAAN ……….………….

ABSTRAK………...

ABSTRACT………....

HALAMAN MOTTO……….

HALAMAN PERSEMBAHAN……….

KATA PENGANTAR……….

DAFTAR ISI………....

DAFTAR TABEL……….…...

DAFTAR GAMBAR………...

DAFTAR LAMPIRAN………...

DAFTAR SINGKATAN……….

BAB I. PENDAHULUAN………...

A. Latar Belakang Masalah……….……...

B. Perumusan Masalah……….………..

C. Tujuan Penelitian.………...

D. Manfaat Penelitian ……….……...

BAB II. LANDASAN TEORI . ………...

A. Tinjauan Pustaka ……….……….……… 1. Sapi Bali dari Sumbawa ….……….………...

2. Sapi Aceh………..………....

3. Diversitas Genetik……….………... 4. Polymerase Chain Reaction (PCR)………..……….... 5. Mikrosatelit……….………...

B. Kerangka Pemikiran………...………...

i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv xvi 1 1 3 4 4 5 5 5 7 8 10 13 16


(11)

commit to user

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ………...

A. Waktu dan tempat penelitian ………...…………...

B. Bahan dan Alat ……….……...…….

1. Bahan……….………....

2. Alat ……….………..…………....

C. Cara Kerja…..………...…………...

1. Pengambilan Sampel Darah………...………..…... 2. Ekstraksi DNA………...…………..…. 3. Uji Kualitas Dan Kuantitas DNA………...……….... 4. Amplifikasi DNA mikrosatelit dengan Polymerase Chain

Reaction(PCR)…..………..…….

5. Analisis produk PCR dan deteksi alel DNA………... D. Analisa Data………...………...……....

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….

A.Diversitas Genetik Intra Spesies ... .………...……… B.Diversitas Genetik Inter Spesies ... .………...………

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….

A.Kesimpulan ... .………...………... B.Saran ... .………...………...

DAFTAR PUSTAKA………..……...

RIWAYAT HIDUP PENULIS………..

17 17 17 17 18 19 19 19 21 22 24 25 28 28 39 44 44 44 45 54


(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

.

Sekuen nukleotida primer mikrosatelit... Keragaman alel mikrosatelit tiap individu pada setiap lokus mikrosatelit yang dianalisis... Jumlah dan frekuensi alel intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatetlit... Parameter keragaman genetik intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh pada 5 lokus mikrosatelit... Parameter diversitas genetik inter spesies sapi Balidari Sumbawa dan sapi Aceh pada 5 lokus mikrosatelit...

17

30 31

33


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.

Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7.

.

Sapi Bali dari Sumbawa... Sapi Aceh... Siklus Polimerase Chain Reaction (PCR)... Urutan nukleotida penanda mikrosatelit (ILSTS068) yang identik dengan kerbau... Bagan alir kerangka pemikiran... Bagan alir kerangka kerja... Hasil PCR dengan primer mikrosatelit ETH225 pada genom sapi Bali dari Sumbawa...

5 7 12

14 16 27 29


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.

Lampiran 2.

Hasil elektroforesis sampel sapi Bali dari Sumbawa pada gel poliakrilamid 12% dengan pewarnaan ethidium bromida………... Pola elektroforesis sampel Sapi Aceh pada gel poliakrilamid 12% dengan pewarnaan ethidium bromida...

50


(15)

commit to user

xv

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan

AFLP Amplified fragment length polymorphism

APS Ammonium Peroxodisulfate Solution

BPTU Balai Pembibitan Ternak Unggul

dNTP deoksiribonukleotida trifosfat

ETBR ethidium bromide

He heterozigositas

Ho Homozigositas

I Shannon's Information index

Na observed number of alleles

Ne Effective number of alleles

PCR Polymerase Chain Reaction

PIC Polymorphic Information Content

PO Peranakan Ongole

RAPD Random Amplified Polymorphism DNA

RFLP Restriction Length polymorphisms

SSR simple sequence repeat

TAE Tris Acetic Acid

TEMED N,N,N',N' Tetramethylethylene - diamine


(16)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sapi-sapi yang terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik tersebut salah satunya disebabkan karena adanya diversitas genetik, yang dimungkinkan oleh adanya program-program introduksi sapi impor yang dilakukan pemerintah (Johari et al., 2007). Di Indonesia terdapat banyak sapi lokal seperti sapi Bali, sapi Aceh, sapi Madura, sapi Ongole, sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Pesisir. Di antara sapi-sapi lokal di Indonesia, sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh merupakan bangsa sapi yang mempunyai potensi dan nilai ekonomi untuk dikembangkan sebagaimana sapi unggulan lain yang terdapat di Indonesia.

Sapi Bali dari Sumbawa adalah sapi hasil domestikasi dari banteng yang mempunyai keunggulan dalam daya reproduksi, daya adaptasi dan persentase karkas yang tinggi. Sapi Bali memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh sapi dari bangsa lainnya dan merupakan sumber daya genetik asli Indonesia (Riasari, 2010). Sapi Aceh mempunyai keunggulan antara lain daya reproduksi tinggi, mampu berkembang pada kondisi lahan marginal, kualitas karkas tinggi, dan rasa lebih enak (Basri, 2010). Berdasarkan keunggulan yang dimiliki oleh sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh tersebut, maka apabila kedua jenis sapi disilangkan akan menghasilkan breed sapi yang unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.


(17)

commit to user

Diversitas genetik pada sapi dan juga pada hewan-hewan ternak lainnya mengalami penurunan sangat cepat (Hall dan Bradley,1995; Hammond dan Leitch, 1995). Pemilihan suatu jenis sapi tertentu karena pertimbangan-pertimbangan keunggulan ekonomis dalam hal produksi telah menurunkan diversitas genetik, dan bahkan menjadi salah satu mekanisme utama yang sangat potensial menurunkan diversitas genetik.

Diversitas genetik merupakan dasar perkawinan silang bagi hewan ternak (Buis et al., 1994) karena informasi ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas jenis melalui seleksi buatan. Pengetahuan mengenai pola-pola variabilitas genetik dari masing-masing jenis akan membantu pengembangan program persilangan, dan merupakan pengetahuan awal yang diperlukan dalam konservasi sumber genetik (Kidd et al., 1974).

Analisis diversitas genetik dalam organisme tingkat tinggi telah banyak digunakan dalam memperkirakan keterkaitan genetik dan keanekaragaman dalam dan di antara spesies. Penanda molekuler adalah molekul yang dapat digunakan untuk melacak gen yang diinginkan dalam genotipe yang diperiksa. Identifikasi populasi hewan dapat dilakukan berdasarkan sifat-sifat morfologi, DNA, dan protein. Marka DNA merupakan kandidat terbaik untuk efisiensi evaluasi dan identifikasi populasi hewan memisahkan marka DNA sebagai gen tunggal dan mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan sebagai penanda morfologis (Chambers dan MacAvoy, 2000).

Aplikasi penanda genetik dapat digunakan untuk seleksi, pemuliaan dan meningkatkan mutu genetik ternak. Penanda genetik dapat diidentifikasi dengan


(18)

commit to user

berbagai teknik meliputi: teknik Restriction Length polymorphisms (RFLP), Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), Amplified fragment length polymorphism (AFLP) , dan mikrosatelit (Sumantri, 2007). Analisis mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang sudah diaplikasikan secara meluas dalam bidang peternakan, uji keturunan, mengidentifikasi sejumlah sifat dengan nilai ekonomis tinggi pada banyak spesies. Hal ini dikarenakan DNA mikrosatelit sangat polimorfik dan terdapat banyak dalam DNA genom (Bawden dan Nicholas, 1999). Informasi tentang diversitas genetik dan kekerabatan genetik pada hewan ternak termasuk sapi sangat penting dalam usaha meningkatkan mutu genetik sapi untuk memperoleh bibit unggul. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi diversitas genetik pada populasi sapi Bali -Sumbawa dan sapi Aceh.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah adakah diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis mikrosatelit ?


(19)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis mikrosatelit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui adanya diversitas genetik antara sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya lanjut untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi ternak sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh melalui seleksi buatan dan persilangan.


(20)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sapi Bali dari Sumbawa

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai potensi genetik dan nilai ekonomis yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai ternak potong. Sapi Bali tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sulawesi, Jawa Tengah, Sumatera dan Kalimantan (Wiliamson dan payne, 1993). Namun, sapi Bali sebagian besar diternakkan oleh petani-peternak dengan sistem pertanian yang masih konvensional sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Pulau Sumbawa merupakan bumi sejuta sapi. Disana sapi-sapi lokal Indonesia khususnya sapi Bali banyak di kembang biakkan dan di pelihara. Sapi Bali yang berkembang biak di pulau Sumbawa mempunyai bentuk dan karakteristik sama dengan sapi Bali yang ada di Bali (Entwistle et al., 2001). Berikut ini adalah gambar morfologi sapi Bali dari Sumbawa.


(21)

commit to user

Sapi Bali adalah domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syn. Bos sondaicus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Namun, ada juga yang menduga bahwa sapi Bali adalah asli berasal dari pulau Bali yang dalam perkembangan selanjutnya dapat mempertahankan kemurniaannya (Gunawan et al, 2004).

Sapi Bali memiliki ciri-ciri sebagai berikut warna putih dan pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi mengarah kebelakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya mengarah kebawah dan kedalam, tanduk berwarna hitam. Ciri lain dari sapi Bali yaitu bulunya ketika dilahirkan berwarna merah bata pada jantan dan betina. Pada saat dewasa, pada sapi Bali jantan warna bulu berubah menjadi hitam, sedangkan sapi Bali betina tetap berwarna merah bata (Hardjosubroto, 1994). Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuh lebih kecil akibat proses domestikasi, warna bulu untuk betina merah bata sedangkan jantan dewasa kehitam-hitaman dan pada tempat-tempat tertentu baik jantan maupun betina di bagian keempat kakinya dari sendi kaki sampai kuku dan dibagian pantatnya berwarna putih (Sugeng, 1992). Sapi Bali dari Sumbawa rata-rata lingkar dadanya kecil dan agak pipih (Maya Purwanti dan Harry, 2006).


(22)

commit to user

Sapi Bali merupakan ternak yang mempunyai dua peranan penting di masyarakat yaitu sebagai sapi potong dan sapi kerja. Sapi Bali memiliki daya toleransi / adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan (Djagra et al., 2002). Adaptabilitas sapi Bali terhadap lingkungan baik, baik secara langsung (suhu, kelembaban, angin) dan yang tidak langsung (lahan, pakan, hama penyakit) lebih baik dibanding breed sapi lain yang ada di indonesia (Darmadja, 1980). Oleh karena itu, sapi bali harus dipertahankan keberadaannya dengan cara meningkatkan populasi serta mutu genetiknya.

2. Sapi Aceh

Sapi Aceh merupakan sapi lokal yang terdapat di Aceh Sumatera dan diminati sebagai ternak potong. Sapi tersebut masih terdapat beberapa variasi warna tubuh (Namikawa et al., 1982). Berikut ini adalah gambar morfologi sapi Aceh.

Gambar 2. Sapi Aceh (Abdullah, 2008).

Sapi Aceh merupakan turunan dari sapi ongole dengan sapi setempat. Pada umumnya, sapi Aceh mempunyai pola dasar warna rambut coklat merah, coklat hitam, hitam, putih, dan warna menjangan. Umumnya sapi Aceh berponok (betina berpunuk kecil sedangkan yang jantan punuk terlihat jelas)


(23)

commit to user

dan bertanduk. Bobot badan sapi jantan berumur 3 - 4 tahun berkisar antara 300 - 400 kg, sedangkan sapi betina pada umur yang sama beratnya berkisar antara 200 - 300 kg (Gunawan, 1998). Sapi Aceh secara fenotipik terdapat perbedaan dengan sapi PO meski sama-sama keturunan dari sapi Ongole. Sapi PO mempunyai warna rambut kelabu kehitaman, sedangkan sapi Aceh memiliki pola dasar warna rambut bervariasi. Bobot badan sapi-sapi Aceh pada semua tingkat umur lebih rendah daripada bobot badan sapi PO pada tingkat umur yang sama. Demikian juga dengan semua ukuran tubuh sapi Aceh lebih rendah dari ukuran-ukuran tubuh sapi PO (Abdullah, 2008).

Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional (Gunawan, 1998). Sapi Aceh tersebar luas di daerah Aceh dan daerah Sumatera utara, terutama pada daerah-daerah yang berbatasan dengan Aceh Timur (Siregar, 2003).

3. Diversitas Genetik

Diversitas genetik terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, atau di antara individu dalam populasi. Pada spesies suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Diversitas genetik merupakan suatu keanekaragaman genetik yang terjadi pada tingkat gen. pada setiap populasi makhluk hidup selalu dijumpai


(24)

commit to user

adanya keanekaragaman morfologis, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada individu-individu yang sama didunia ini. Keanekaragaman ini dikarenakan oleh adanya variasi gen-gen yang mengkodekan morfologi makhluk hidup tersebut, serta adanya pengaruh lingkungan. Keanekaragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini mungkin dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat dilihat dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Secara umum keanekaragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain (Suryanto, 2003).

Diversitas genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Diversitas genetik populasi yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi informasi genetik yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi sapi Bali yang hidup di pulau Bali memiliki kontruksi gen-gen yang berbeda dengan populasi sapi pesisir yang ada di Sumatera Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dinyatakan dalam kemampuan adaptasi, besarnya tubuh, dan ketahanan penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa


(25)

commit to user

berbeda (Muladno 2006). Noor (2008) mengatakan adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan (pengaturan ekspresi gen).

Perkembangan sejumlah penanda molekuler dewasa ini telah memungkinkan untuk melakukan identifikasi terhadap perubahan-perubahan genetik yang terjadi dalam suatu persilangan serta hubungannya dengan perubahan sifat kuantitatif dan sifat kualitatif ternak. Selain itu, penanda molekuler juga dapat digunakan untuk membedakan antara suatu ras ternak dengan lainya terutama dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan menjaga kemurnian dari ras tersebut (Maskur et al., 2007).

4. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis. Metode PCR tersebut sangat sensitif. Sensitivitas tersebut menjadikan PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen berkopi tunggal dari sekelompok sekuan genom (Mullis dan Faloona, 1989). Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit (Yuwono T, 2006).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer


(26)

commit to user

yaitu sepasang DNA utas tunggal atau sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah buffer.

Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang diinginkan (Yepyhardi, 2009). Primer – primer yang digunakan (primer sense dan primer antisense) sebaiknya mempunyai nilai Tm (melting temperatur) yang serupa. Tm adalah suhu pada saat setengah dari molekul DNA mengalami denaturasi. Nilai Tm oligonukleotida dapat dihitung dengan menggunakan rumus Tm = 20C x (A+T) + 40C x (G+C) (Yuwono, 2006).

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (950C) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 550C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (370C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (550C), spesifikasi reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi


(27)

commit to user

secara keseluruhan efisiensinya akan menurun.

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1–2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 720C selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan di denaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 950C. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.

Gambar 3. Reaksi amplifikasi DNA dengan teknik PCR (Vierstraete, 1999)


(28)

commit to user

Reaksi – reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi sampai 25 – 30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul – molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Paling sedikit, diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam DNA genom mamalia agar hasilnya dapat di lihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarose (Sambrook et al., 1989).

5. DNA Mikrosatelit

Salah satu penanda molekuler yang sangat populer dewasa ini adalah mikrosatelit. Mikrosatelit adalah runutan DNA pendek berulang 2 sampai 6 basa nukleotida dan dapat berulang 10-100 kali, runutan yang paling banyak ditemukan pada mamalia adalah (dC-dA)n dan (dT-dG) n (Moore et al., 1991). Mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang sudah diaplikasikan secara meluas dalam bidang peternakan. Selain untuk uji test keturunan, dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah sifat dengan nilai ekonomi tinggi dikarenakan DNA mikrosatelit sangat polimorfik dan terdapat banyak dalam DNA genom (Bawden dan Nicholas, 1999).

Mikrosatelit (SSR = simple sequence repeat) merupakan salah satu marka molekuler yang berupa urutan di-nukleotida sampai tetra-nukleotida yang berulang dan berurutan. Mikrosatelit merupakan marka genetik yang bermanfaat karena bersifat kodominan, dapat mendeteksi keragaman alel pada


(29)

commit to user

tingkat tinggi, serta mudah dan tidak terlalu mahal untuk dianalisis dengan menggunakan PCR (Muljopawiro, 2007).

Aplikasi penanda genetik molekuler untuk seleksi dan pemuliaan dapat meningkatkan mutu genetik ternak (Bawden dan Nicholas, 1999). Mikrosatelit merupakan penanda genetik yang sering digunakan untuk mempelajari sistem perkawinan dan struktur populasi (Steffen et al., 1993), pautan (linkage), pemetaan kromoson, dan analisa populasi (Silva et al., 1999). Mikrosatelit banyak digunakan oleh peneliti sebagai marka karena keberadaanya melimpah, bersifat kodominan dan sangat polimorfik (Bennett, 2000). Berikut hasil penelitian terdahulu mengenai amplifikasi DNA mikrosatelit sapi dengan primer ILSTS068, yang identik dengan kerbau :

Gambar 4. Urutan nukleotida sapi marker mikrosatelit (ILSTS068) dan identik dengan kerbau. garis tebal menunjukkan urutan primer (Navani et al, 2002). Marka mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 6 unit nukleotida yang tersebar dan


(30)

commit to user

meliputi seluruh genom, terutama pada organisme eukariotik. Pasangan primer mikrosatelit (forward dan reverse) diamplifikasi dengan PCR berdasarkan hasil konservasi daerah yang diapit (flanking-region) marka untuk suatu gen pada kromosom. Menurut Powell et al. (1996), beberapa pertimbangan untuk penggunaan marka mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (1) marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui; (2) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan; (4) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. Kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.

Beberapa laporan menunjukkan adanya asosiasi yang signifikan antara lokus mikrosatelit dengan sifat kuantitatif seperti sifat produksi susu (Kantanen et al., 2000), lemak karkas (Fitzsimmons et al., 1998), perbedaan tingkat fertilitas (Oliveira et al., 2002) dan efisiensi reproduksi (João et al., 2005) pada beberapa bangsa sapi.


(31)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang variasi genetik terhadap sapi pedaging di Indonesia terutama sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh belum banyak dilakukan. Berawal dari penelitian mengenai diversitas genetik pada sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh, maka akan dapat dilakukan suatu penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk pemuliaan, konservasi maupun peningkatan produksi daging pada sapi pedaging.

Gambar 5. Alur kerangka pemikiran Sapi Bali dari Sumbawa dan Sapi Aceh

Teknik PCR-Mikrosatelit

Diversitas genetik

Pemuliaan Sapi

Seleksi buatan Perkawinan silang


(32)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Biologi MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai Januari 2011.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh. Pengambilan sampel darah sapi Bali dari Sumbawa di Kecamatan Marongge, Kabupaten Sumbawa, sedangkan pengambilan sampel darah sapi Aceh di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Sapi Aceh Indrapuri – Nanggroe Aceh Darussalam. Masing-masing sampel darah sebanyak 20 individu yang disimpan dalam venoject berisi EDTA.

Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian dibagi dalam beberapa bagian sesuai tahapan penelitian, yaitu:

 Ekstraksi DNA yaitu: Wizard Genomic DNA Purification Kit dari Promega (cell lysis solution, nuclei lysis solution, protein presipitation solution, DNA rehydration), isopropanol, etanol 70%, sampel darah Sapi Bali dari Sumbawa dan Sapi Aceh.


(33)

commit to user

 Uji Kuantitas DNA yaitu: DNA hasil lisis dan aquades sebagai blangko.  Uji kualitas DNA yaitu: DNA hasil lisis, ultra pure DNA Grade agarose

1% dari Bio Rad, 1X TAE buffer (Tris Acetic Acid), blue loading dye dan ethidium bromida.

 PCR MIX yaitu: Go Tag Green master mix (Promega, USA), Nuclease Free Water dari Ambion, 5 primer mikrosatelit (BM1824, ETH225, INRA005, MM12, dan TGLA227) dari SIGMA, DNA hasil lisis diencerkan 10X.

 Analisis Mikrosatelit yaitu: 10X TBE buffer (Tris Borate), 10% APS (Ammonium Peroxodisulfate Solution), N,N,N',N' Tetramethylethylene - diamine (TEMED), aquades steril, Blue loading dye, acrylamid:bis (19:1) 30%, Urea, 100 - 1500 base pare DNA Moleculare Weight Marker, buffer TBE 1X dan ethidium bromida (EtBr).

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuge Hettich Mikro 22R (Jerman), satu set micropipet (ukuran 10 , 200 , 1.000 ), satu set tips (10 , 200 , 1.000 , tabung mikro 1,5 ml (Axygen), tabung mikro 0,6 ml, satu set alat elektroforesis horisontal dan power supply (Bio Rad), satu set alat elektroforesis vertikal dan power supply (Bio Rad), microwave, inkubator, waterbath (Julabo), Gene Amplification PCR system 9700 Thermo Cycler (Applied Biosystem), Autoclave (Ogawa Saiki Co.), Erlenmeyer, gelas ukur, tabung venoject, vortex mixer (Gemmy Industrial Corp. Taiwan), lemari pendingin suhu 40C, freezer suhu -200C, timbangan


(34)

commit to user

elektrik (Denver Instrumen), UV transluminator , kamera digital dan geldoc (Vilber Lourmat).

C. Cara Kerja

1. Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil sebanyak 3 ml dari masing – masing individu (20 individu sapi Bali dari Sumbawa dan 20 individu sapi Aceh) secara venopuncture menggunakan venoject dengan ukuran 10 ml yang berisi EDTA untuk mencegah terjadinya pembekuan darah . Darah disimpan pada suhu -200C untuk digunakan langsung dalam penelitian ini dan sebagai referensi di kemudian hari.

2. Ekstraksi DNA

DNA diekstrak dari total darah dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System tahun 2010 (Promega, Madison USA). DNA diekstrak langsung dari total darah. Sebanyak 300 mikroliter total darah dimasukkan kedalam 1,5 tabung mikrosentrifuse yang steril dan berisi 450 larutan pelisis sel (cell lysis solution), dicampur dan diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit untuk melisis sel darah merah yang mungkin masih tercampur. Sel darah putih kemudian di sentrifugasi pada kecepatan 14.000g (gravitasi) selama 20 detik untuk memperoleh endapan sel darah putih. Supernatan (bening bagian atas) yang terbentuk diambil dan dibuang, kemudian tabung mikrosentrifuse yang berisi endapan sel darah putih divortek selama 3–5 menit agar sel–sel darah putih memisah secara sempurna. Sebanyak 150 nuclei lysis solution ditambahkan kedalam tabung


(35)

commit to user

mikrosentrifuse yang berisi suspensi tersebut, kemudian dicampur dengan menggunakan pipet sebanyak 5 – 6 kali untuk melisis sel–sel darah putih. Kemudian di inkubasi selama 15 menit pada suhu 370C. Setelah itu sampel didinginkan pada suhu kamar selama 5 menit, yang dilanjutkan dengan penambahan 60 protein precipitation solution untuk membentuk precipitat protein kedalam lisat, kemudian dihomogenkan dengan vortek selama 10 – 20 detik dan disentrifugasi pada 14.000g selama 3 menit untuk membentuk endapan protein.

Supernatan diambil dan dipindahkan kedalam tabung mikrosentrifuse steril yang baru yang sebelumnya telah diisi dengan 150 isopropanol. Campuran yang diperoleh dicampur dengan sempurna dengan membolak – balikkan tabung mikrosentrifuse sampai terbentuknya materi seperti benang berwarna putih. DNA kemudian disentrifugasi pada kecepatan 14.000g selama 1 menit pada suhu kamar. Supernatan dibuang kemudian ditambah 300 ethanol 70% dan tabung yang berisi larutan DNA dan ethanol ini dibolak– balik untuk mencuci endapan DNA dan juga sisi–sisi tabung mikrosentrifuse. DNA kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 14.000g selama 1 menit. Ethanol diambil dengan hati-hati, kemudian tabung mikrosentrifuse dibalik dan dibiarkan dibuka untuk mengeringkan DNA. Setelah kering, 100 larutan DNA rehydration solution ditambahkan kedalam tabung dan DNA direhidrasi dengan cara inkubasi pada waterbath pada suhu 650C selama 1 jam. DNA yang diperoleh kemudian disimpan pada


(36)

commit to user

suhu 2- 80C sampai penggunaan berikutnya (Certificate of Analysis; WizardTM Genomic DNA Purification System, Promega Corporation, 2010).

3. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi di uji kualitas dan kuantitasnya. Uji kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis horisontal menggunakan gel agarose 1% dalam buffer TAE (Tris-EDTA). Uji dilakukan dengan mencampur 5 DNA yang akan dicek dan 2 loading dye. 1% gel agarose dibuat dengan melarutkan 0,48 mg serbuk agarose dalam 48 ml 1 x buffer TAE (Tris-EDTA) . Selanjutnya campuran buffer tersebut dipanaskan dalam microwave pada suhu sedang (medium) selama 2 menit. Setelah itu Erlenmeyer dikeluarkan dari microwave dan ditunggu sampai suhu turun menjadi suhu kamar (hangat), selanjutnya larutan gel agarose dituangkan ke dalam cetakan yang sebelumnya telah dipasangi sisir dan ditunggu hingga gel mengeras. Setelah gel mengeras sisir diangkat dengan hati-hati untuk menghindari rusaknya gel agarose, maka akan terbentuk sumuran – sumuran kecil. Selanjutnya gel dimasukkan ke dalam tangki yang berisi 1X buffer TAE (Tris-EDTA) sampai terendam, kemudian sampel (DNA dan Loading dye) di masukkan ke dalam sumuran-sumuran kecil pada gel agarose. Proses elektroforesis berlangsung selama 30 menit pada 85 volt, setelah proses selesai gel agarose direndam dalam ethidium bromida. Ethidium bromida dibuat dengan mencampurkan 2 tetes EtBr yang dilarutkan dengan 100 ml aquades. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan UV transluminator,


(37)

commit to user

kemudian difoto dengan menggunakan kamera digital. Apabila terdeteksi adanya pita berarti ekstraksi DNA dari sampel berhasil.

Uji kuantitas DNA dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 260 nm. Menurut formula yang digunakan dalam perhitungan menggunakan alat RNA/DNA kalkulator menyatakan bahwa absorbansi A260 1,0 sesuai untuk 50 µg/mL DNA murni untai ganda, maka kadar DNA sampel dapat dicari melalui perhitungan

berikut :

X(µg/mL) =

Keterangan :

X : kadar DNA yang dicari

A260 : absorbansi sampel DNA pada panjang gelombang 260 nm

DNA dikatakan murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,8 – 2,0. Jika nilai rasio lebih kecil dari 1,8 maka masih ada kontaminasi protein didalam larutan (Ratnayani K et al, 2009).

4. Amplifikasi DNA mikrosatelitdengan Polymerase Chain Reaction (PCR)

DNA yang diperoleh langsung digunakan untuk reaksi PCR yang dilakukan dalam mesin PCR (Applied Biosystem). Fragmen DNA diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer berturut-turut ETH225, TGLA227, INRA005, BM1824 dan MM12.

Berikut sekuen nukleotida dari masing-masing primer yang akan digunakan dalam analisis mikrosatelit :


(38)

commit to user

Tabel 1. Sekuen nukleotida primer mikrosatelit

Marker Sekuen primer Letak

kromosom Ukuran alel basepair Tm (◦C) referensi

ETH225 F:5’GATCACCTTGCCACTATTTCCT3’

R:3’ACATGACAGCCAGCTGCTACT5’

9 141-159 60 Steffen et al.1993

TGLA227 F:5’CGAATTCCAAATCTGTTAATTTGCT3’

R:3’ACAGACAGAAACTCAATGAAAGCA5’

21 64–115 48*-60 Georges and Massey 1992

INRA005 F:5’CAATCTGCATGAAGTATAAATAT3’ R:3’CTTCAGGCATACCCTACACC5’

12 240-246 58 Vaiman et al.

1992

BM1824 F:5’GAGCAAGGTGTTTTTCCAATC3’

R:3’CATTCTCCAACTGCTTCCTTG5’

1 180-192 58 Bishop et al. 1994

MM12 F:5’CAAGACAGGTGTTTCAATCT3’

R:3’ATCGACTCTGGGGATGATGT5’

9 107–133 50 Mommens and

Coppieters 1994

Keterangan:

Tm : melting temperatur

* :batas bawah Tm F : Forward primer R : Reserve primer

Semua reaksi amplifikasi dilakukan dalam volume 15 l campuran reaksi yang terdiri dari: 3 l DNA template, 0,5 l dari masing-masing oligonukleotida primer (primer forward dan reserve), 6 l Go Taq Green dan 5 l nuclease free water dalam 0,6 ml tabung effendorf. Kondisi reaksi amplifikasi PCR amplifikasi DNA sebagai berikut: satu tahap reaksi denaturasi awal pada suhu 950C selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus amplifikasi yang masing-masing siklus terdiri dari: denaturasi pada suhu 950C selama 60 detik, annealing dengan suhu berdasarkan Tm primer selama 60 detik, dan exstention pada suhu 720C selama 1 menit; diikuti dengan satu tahap polimerasi final pada suhu 720C selama 5 menit.


(39)

commit to user

5. Analisis produk PCR dan deteksi alel DNA

Hasil amplifikasi dengan PCR difraksinasi dengan elektroforesis gel poliakrilamid 12% yang dilanjutkan dengan pewarnaan dengan ethidium bromida. Berdasarkan Qiagen Supplemantary Ptotocol Gel Poliakrilamid 12% dibuat dengan cara mencampurkan bahan-bahan berikut : 7,2 gram urea, buffer TBE 10X 1,5 ml dan 5,4 ml 30% akrilamid : bis akrilamid (19 : 1) pada erlenmeyer, selanjutnya ditambahkan dengan aquabides sampai 15 ml. Selanjutnya larutan dipanaskan dalam microwave selama 9 detik dengan power level tinggi sampai seluruh larutan terlarut dengan sempurna. Setelah larutan tercampur sempurna kemudian ditambahkan 75 µ l 10% ammonium persulfat (APS) kemudian ditambahkan dengan segera 7,5 µ l N,N,N’,N’ Tetramethylethylenediamine (TEMED) dan tetap diaduk perlahan. Setelah penambahan APS dan TEMED, larutan poliakrilamid 12% segera dituangkan kedalam cetakan agar larutan tidak mengalami polimerisasi. Untuk resep dengan volume 15 ml digunakan cetakan dengan ukuran 7x10 cm.

Tahap selanjutnya adalah persiapan sampel. Denaturasi sampel dilakukan pada suhu 950C selama 2 menit dan dilanjutkan dengan memasukkan dalam pecahan es. Selanjutnya gel dipasang pada alat dan dilanjutkan dengan memasukkan sampel hasil PCR dan marker ke dalam sumuran. Harus dipastikan bahwa dalam tahapan ini tidak lebih dari 20 menit supaya sampel tetap berada pada keadaan dingin. Selanjutnya power supply dinyalakan dan diatur pada 120 volt dan 400 miliamper. Running dilakukan pada dyes (pewarna) mencapai bagian bawah gel. Setelah pewarnaan kita-kira


(40)

commit to user

mencapai daerah munculnya pita maka running dapat dihentikan dan tangki elektroforesis dapat dikosongkan dari buffer. Selanjutnya pindahkan gel perlahan-lahan dari plate dan siap dilakukan pewarnaan dengan ethidium bromide. Gel poliakrilamid direndam dalam ethidium bromida selama 15 menit. Ethidium bromida dibuat dengan mencampurkan 1 µl EtBr yang dilarutkan dengan 100 ml aquades.

Elektroforesis gel poliakrilamid mampu memisahkan DNA lebih sempurna dengan jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit (Allen et al., 1984). Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan geldoc. Pita hasil amplifikasi kemudian dicatat dan diberi nilai. Setiap pita DNA yang muncul dibandingkan ke marker untuk mengetahui panjangnya. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel.

D. Analisis Data

Analisis data molekuler dilakukan berdasarkan hasil skoring pita DNA yang muncul pada plate. Skoring dilakukan dengan cara: pita yang paling bawah diberi sandi A dan selanjutnya B, C, dan seterusnya sampai pita paling atas. Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuansi alelnya. Frekuensi alel dihitung berdasarkan rumus Nei (1987) :

Dimana : Xi = frekuensi alel ke-i

nij = jumlah individu yang bergenotipe ii


(41)

commit to user

n

PIC = 1 -

∑ Pij

2

j=1

nii = jumlah individu yang bergenotipe ij n = jumlah sampel

Derajat heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus DNA dengan rumus Nei (1987) :

Keterangan :

Xi = frekuensi alel

ĥ = nilai heterozigositas lokus

Tingkat polimorfisme (PIC = Polimorphism Information Content) dari primer yang digunakan dihitung untuk masing-masing marka SSR (Botstein et al, 1980) dengan formula:

dimana ij merupakan frekuensi alel i dan j.

Untuk jumlah alel, frekuensi alel, Effective number of alleles, derajat homozigositas, dan derajat heterozigositas antara sapi Bali - Sumbawa dan sapi Aceh dapat dianalisis dengan menggunakan program POPGENE version 1.31 (Yeh dan Yang, 1999).


(42)

commit to user

Skema cara kerja dalam penelitian ini tergambar dari bagan di bawah ini :

Gambar 5: Bagan alir kerangka kerja. Skoring Pita DNA

(Nei, 1987) Deteksi alel (Gel Doc) Uji Kualitas DNA Uji Kuantitas DNA

(Spectrofotometri)

Ekstraksi DNA

(Wizard Genomic Purification Kit, (Promega, USA))

Cek DNA (Elektroforesis Gel

Agarose 1%) )

Amplifikasi DNA Mikrosatelit dengan PCR

Analisis Produk PCR

(Elektroforesis Gel Polyacrylamid 12%)

Analisis Data Pengambilan Sampel


(43)

commit to user BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Diversitas Genetik Intra Spesies

Polimorfisme dari kedua genom spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ditetapkan dari hasil amplifikasi DNA dengan primer pengapit mikrosatelit yang diseparasi dengan elektroforesis gel poliakrilamid dan dilanjutkan dengan teknik pewarnaan ethidium bromide. Elektroforesis gel poliakrilamid mampu memisahkan DNA lebih sempurna dengan jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit (Allen et al., 1984). Adapun untuk menentukan jumlah alel dilakukan sesuai petunjuk Leung et al (1993) dengan asumsi bahwa semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama, diasumsikan sebagai lokus yang homolog. Pada studi ini, dilakukan terhadap dua populasi sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan 5 lokus mikrosatelit (TGLA227, ETH225, BM1824, INRA005 dan MM12). Semua lokus mikrosatelit yang dipergunakan berhasil teramplifikasi. Dalam penentuan jenis alel, meskipun setiap lokus menunjukkan jenis alel yang sama (misal alel A pada mikrosatelit ETH225 dengan INRA 005), alel tersebut sebenarnya berbeda karena masing-masing lokus mikrosatelit mencirikan genotip berbeda. Jadi, dalam hal ini alel A pada mikrosatelit ETH225 berbeda dengan alel A pada mikrosatelit INRA005 demikian seterusnya. Akan tetapi, untuk antar spesies maka ketentuan alel berlaku sama, artinya alel A dengan ukuran tertentu dari mikrosatelit ETH225 yang terdapat pada spesies sapi Bali dari Sumbawa sama dengan alel mikrosatelit ETH225 pada spesies sapi Aceh. Pada gambar 1


(44)

commit to user

ditunjukkan contoh hasil amplifikasi mikrosatelit dengan primer pengapitnya pada salah satu spesies sapi (sapi Bali dari Sumbawa).

Gambar 5. Hasil PCR dengan primer mikrosatelit ETH225 pada genom spesies sapi Bali dari Sumbawa individu no 1-9 secara berurutan bergenotipe AC, AC, AC, AC, AC, AC, AA, AB, dan AB

Keragaman genotipe dari setiap lokus pada dasarnya mencerminkan polimorfisme alel dari setiap lokus yang bersesuaian. Pengukuran keragaman genetik 40 sampel spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dengan menggunakan 5 lokus mikrosatelit, menunjukkan semua lokus pada spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh adalah polimorfik, sedangkan lokus BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa dan lokus TGLA227 pada sapi Aceh adalah monomorfik (satu alel). Setiap lokus mempunyai genotip dari satu sampai tiga macam. Lokus yang mempunyai tiga macam genotip adalah lokus ETH225 dan MM12 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus BM1824, INRA005 dan MM12 pada sapi Aceh. Sedangkan lokus yang hanya mempunyai satu macam genotip adalah lokus BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus TGLA227 pada sapi Aceh. Untuk lokus yang mempunyai dua


(45)

commit to user

macam genotip adalah lokus TGLA227 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus ETH225 pada sapi Aceh. Dilihat dari macam genotip yang dihasilkan, setiap lokus mempunyai jumlah alel bervariasi antara satu sampai tiga alel. Jumlah alel sebagian besar lokus adalah tiga alel. Jumlah alel terendah terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa serta lokus TGLA227 pada sapi Aceh.

Table 2. keragaman alel mikrosatelit tiap individu pada setiap lokus mikrosatelit yang dianalisis

No Individu

Sapi Bali dari Sumbawa Sapi Aceh

TGLA 227 ETH 225 BM 1824 INRA 005 MM 12 TGLA 227 ETH 225 BM 1824 INRA 005 MM 12

1. AB AC AA AA AB AA AB AA AB AC

2. AB AC AA AA AB AA AB AA AB BC

3. AB AC AA AA AA AA AB AB AB AC

4. AB AC AA AA AB AA AB AB AB BC

5. AB AC AA AA AB AA AC AA AB BC

6. AB AC AA AA BC AA AC AB AB CC

7. AA AA AA AA BC AA AC AB AA BC

8. AB AB AA AA AA AA AC AA AA BC

9. AB AB AA AA AB AA AB AA AA CC

10. AB AA AA AA AB AA AB AC AB AC

11. AB AA AA AA AB AA AB AB AC BC

12. AB AA AA AA AB AA AB AC AC AC

13. AB AA AA AA AB AA AB AC AC AC

14. AB AA AA AA AB AA AB AC AC AC

15. AB AA AA AA AB AA AB AC AC BC

16. AB AB AA AA AA AA AB AC AC BC

17. AB AB AA AA AB AA AB AC AC BC

18. AB AA AA AA AB AA AB AC AC BC

19. AB AA AA AA AB AA AB AA AC AC

20. AB AA AA AA AB AA AB AA AC BC

Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa jumlah alel bervariasi antara 1 sampai 3. Jumlah alel dan frekuensi alel yang terdeteksi untuk setiap lokus pada sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ditampilkan pada Tabel 3.


(46)

commit to user

Table 3. Jumlah dan frekuensi alel intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit

lokus Sapi Bali dari Sumbawa Sapi Aceh

na f na f

TGLA227 2 A 0,53

B 0,47

1 A 1,00

ETH225 3 A 0,75

B 0,10 C 0,15

3 A 0,50

B 0,40 C 0,10

BM1824 1 A 1,00 3 A 0,68

B 0,12 C 0,20

INRA005 1 A 1,00 3 A 0,58

B 0,20 C 0,22

MM12 3 A 0,53

B 0,42 C 0,05

3 A 0,17

B 0,28 C 0,55

Rataan 2 2,6

Keterangan : Na.: Observed number of alleles ; f = Allele Frequency

Frekuensi alel adalah proporsi alel yang ada dalam suatu populasi (Hartl, 1988). Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda. Pada sapi Bali dari Sumbawa untuk lokus TGLA227 terdapat 2 alel dengan frekuensi alel A (0,53) dan alel B (0,47). Pada lokus ETH225 terdapat 3 alel dengan frekuensi dari yang tertinggi alel A (0,75), C (0,15) dan yang terendah B (0,10). lokus BM1824 dan INRA005 hanya mempunyai 1 alel dengan frekuensi alel A (1,00) dalam keadaan homozigot. Lokus MM12 memiliki 3 alel dengan masing-masing frekuensi alel A (0,53), B (0,42), dan C (0,05). Secara keseluruhan jumlah alel yang terdeteksi pada sapi Bali dari Sumbawa berkisar antara 1 - 3 dengan rata- rata 2. Frekuensi alel tertentu yang lebih besar atau sama dengan 0,95, maka alel tersebut digolongkan monomorfik (Hartl, 1988). Dari kelima lokus tersebut terdapat dua lokus yang monomorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005 dengan frekuensi alel 1,00. Pada sapi Aceh untuk lokus TGLA227 hanya memiliki 1 alel dengan frekuensi alel A (1,00). pada lokus ETH225, BM1824, INRA005


(47)

commit to user

dan MM12 masing- masing terdapat 3 alel tetapi terdapat perbedaan frekuensi. Lokus ETH225 dengan frekuensi alel dari yang tertinggi alel A (0,50), B (0,40) dan terendah alel C (0,10). Lokus BM1824 dengan frekuensi alel masing-masing A (0,68), B (0,12), dan C (0,20). Lokus INRA005 dengan frekuensi alel masing-masing A (0,58), B (0,20), dan C (0,22). Lokus MM12 dengan frekuensi alel masing-masing A (0,17), B (0,27), dan C (0,55). Secara keseluruhan jumlah alel yang terdeteksi pada sapi Aceh berkisar antara 1 - 3 dengan rata-rata 2,6. Namun jumlah alel yang terdeteksi pada sapi Aceh lebih banyak dibanding pada sapi Bali dari Sumbawa, untuk lokus yang monomorfik hanya pada lokus TGLA227.

Hasil pada studi ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu, pada sapi Bali untuk lokus INRA005 terdapat 2 alel, ETH225 4 alel dan BM1824 5 alel, sedangkan pada sapi Aceh untuk lokus INRA005 terdapat 6 alel, ETH225 12 alel dan BM1824 7 alel (Abdullah et al., 2008). Pada sapi Hariana dan Hissar untuk lokus TGLA227 5 alel, MM12 3 alel (Rehman dan Khan, 2009). Rendahnya jumlah alel yang terdeteksi pada penelitian ini mungkin disebabkan antara setiap individu pada populasi sampel yang digunakan masih ada hubungan kekerabatan yang dekat.

Analisis sederhana untuk mengetahui diversitas genetik intra spesies sapi bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilakukan dengan menghitung nilai jumlah alel, frekuensi alel, Effective number of alleles, homozigositas, heterozigositas, Shannon's Information index dan PIC pada ke 5 lokus pada kedua populasi tersebut. Beberapa parameter diversitas genetik pada spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ditunjukkan pada tabel 4.


(48)

commit to user

Tabel 4. Parameter keragaman genetik intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit.

Lokus spesies Ne I Ho He PIC

TGLA227 Bali dari Sumbawa Aceh 1,99 1,00 0,69 0 0,05 1,00 0,95 0 0,50 0 ETH225 Bali dari Sumbawa

Aceh 1,68 2,38 0,73 0,94 0,50 0 0,50 1,00 0,41 0,58 BM1824 Bali dari Sumbawa

Aceh 1,00 1,96 0 0,85 1,00 0,35 0 0,65 0 0,48 INRA005 Bali dari Sumbawa

Aceh 1,00 2,37 0 0,98 1,00 0,15 0 0,85 0 0,57 MM12 Bali dari Sumbawa

Aceh 2,18 2,45 0,85 0,99 0,15 0,10 0,85 0,90 0,54 0,59 Keterangan: Ne.: Effective number of alleles [Kimura and Crow (1964)]; I.: Shannon's Information index [Lewontin (1972)]; Ho.: Observed Homozigocity; He.: Observed Heterozigocity,. PIC.: Polymorphism Information Content.

Effective number of alleles (Ne) merupakan perkiraan jumlah alel dengan menyesuaikan frekuensinya pada nilai PIC. Ne terendah yaitu 1,00 pada spesies Bali dari Sumbawa (BM1824; INRA005) dan Aceh (TGLA227) sedangkan nilai tertinggi terdapat pada spesies Aceh yaitu sebesar 2,45 (MM12). Nilai Ne rata-rata yaitu sebesar 1,57 untuk spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan 2,03 untuk Sapi Aceh. Nilai Ne rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dari nilai Ne rata-rata pada Sapi Hariana dan Sapi Hissar yang secara berturut-turut 2,87 dan 2,89 yang diteliti oleh Rehman dan Khan tahun 2009. Penelitian Pandey et al (2006) pada Sapi Kherigarh dari India memiliki nilai Ne rata-rata sebesar 3,77. Nilai effective number of alleles secara keseluruhan lebih kecil dibandingkan nilai observed number of alleles (Ne < Na) adalah karena terjadi fluktuasi jumlah populasi pada masa lalu. Juga terdapat kontribusi dari mutasi (delesi) yang terjadi pada populasi yang diakibatkan oleh mutasi-keseimbangan seleksi (Crow dan William, 1989). Nugroho (2007) menyatakan bahwa nilai Ne dalam pemuliaan


(49)

commit to user

hewan berhubungan dengan variabilitas genetik yang diperlukan untuk memperkirakan nilai koefisien inbreeding. Karena peningkatan koefisien inbreeding untuk satu generasi F dapat diperkirakan dari nilai Ne (F=1/2 Ne) .

Untuk mengetahui ukuran diversitas gen dapat dilihat berdasarkan Shannon's Information index. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, nilai Shannon's Information index terbesar terdapat pada lokus MM12 (0,85) sedangkan yang terendah terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 (0). Rata-rata nilai Shannon's Information index pada sapi bali dari Sumbawa adalah 0,45. Sedangkan pada sapi Aceh nilai Shannon's Information index terbesar terdapat pada lokus MM12 (0,99) sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 (0). Rata-rata nilai Shannon's Information index pada sapi Aceh adalah 0,75. Nilai I pada penelitian ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan penelitian Pandey et al (2006) terhadap sapi Kherigarh di India, memiliki nilai I sebesar 1,46.

Analisis sederhana untuk mengetahui heterozigositas genetik dari spesies sapi Bali-Sumbawa dapat dilakukan dengan menghitung heterozigositas pada ke 5 lokus yang kemudian didapatkan pula nilai tengah atau rata-rata heterozigositas populasi tersebut. Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Bali dari Sumbawa sangat bervariasi yaitu antara 0 sampai 1. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus TGLA227 (He= 0.95), sedangkan yang tidak menunjukkan adanya heterozigositas terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 (He= 0). Hal ini berbanding terbalik dengan nilai homozigositasnya, dari tabel 2 telihat bahwa homozigositas terbesar pada sapi


(50)

commit to user

Bali dari Sumbawa adalah pada lokus BM1824 dan INRA005 (Ho= 1,00), sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 (Ho=0,05). Rata-rata nilai heterozigositas pada sapi Bali dari Sumbawa adalah 0,46, sedangkan rata-rata homozigositasnya adalah 0,54 . Gambaran nilai heterozigositas lebih rendah daripada nilai homozigositas (He < 50%) yang masih ditemukan pada populasi sampel sapi Bali dari Sumbawa berdasarkan marker mikrosatelit ini dapat mengindikasikan bahwa bangsa sapi Bali dari Sumbawa diduga mengalami seleksi ke arah peningkatan silang dalam (inbreeding), dan ada kecenderungan pula menurunnya beberapa karakter fenotipik dibandingkan sebelumnya.

Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Aceh berbeda dengan nilai heterozigositas pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, pada sapi Aceh untuk nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus ETH225 (He= 1) ), sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 (He= 0). Rata-rata nilai heterozigositas pada sapi Aceh adalah 0,68, sedangkan rata-rata nilai homozigositas pada sapi Aceh adalah 0,32. Nilai heterozigositas pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Abdullah et al. (2008) dengan menggunakan 16 lokus mikrosatelit, rata-rata heterozigositas sapi Aceh He (0,62) dan sapi Bali He (0,49). Rehman dan Khan (2009) melaporkan rata-rata heterozigositas pada Sapi Hariana 0,51 dan and sapi Hissar 0,47 sedangkan pada sapi Kherigarh 0,574 (Pandey et al., 2006).

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa heterozigositas pada sapi Aceh cukup tinggi. Laju heterozigositas yang tinggi diakibatkan oleh adanya silang luar (out breeding) yang tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Noor


(51)

commit to user

(2008), menjelaskan bahwa out breeding berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot (individu yang genotipnya memiliki dua gen/ alel yang berbeda) dan menurunkan proporsi gen yang homozigot (individu yang genotipnya memiliki dua gen/ alel yang sama). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya heterozigot antara lain overdominan (heterosis positif), perbedaan frekuensi gen antara jantan dan betina, perkawinan yang tidak terpilih atau assortative mating (Baker, 1994). Kemungkinan lain adalah ada aliran gen dari bangsa-bangsa sapi lain yang masuk ke dalam populasi sapi Aceh karena program inseminasi buatan yang diterapkan di Aceh telah menimbulkan segregasi gen-gen sapi lain yang beragam dan meluas dalam populasi sapi Aceh dan dapat juga karena belum ada seleksi yang dilakukan. Menurut Muladno (2006), DNA mikrosatelit memiliki laju perubahan basa nukleotida tinggi yang disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari urutan basa bergandengan mencapai 10-3/gamet/generasi. Laju perubahan mikrosatelit dipengaruhi oleh motifnya. Mikrosatelit dengan motif dinukleotida memiliki laju mutasi 1,5-2 kali lebih cepat dibandingkan dengan motif tetra-nukleotida.

Frekuensi alel digunakan pula untuk menentukan nilai PIC, yaitu suatu nilai yang dapat digunakan sebagai penentu derajat informasi tingkat polimorfik dari suatu marker yang digunakan (Botstein et al., 1980). Berdasarkan kriteria Botstein et al nilai PIC yang terletak antara (0,25 < PIC < 0,5) dikategorikan sebagai lokus yang cukup informatif, sedangkan PIC > 0,5 sangat informatif untuk analisis genetika populasi. Pada penelitian ini nilai Polymorphic Information Content (PIC), lokus DNA mikrosatelit pada sapi Bali dari Sumbawa


(52)

commit to user

lokus TGLA227 sebesar 0,50, lokus ETH225 sebesar 0,41, lokus BM1824 sebesar 0, lokus INRA005 sebesar 0, dan untuk lokus MM12 sebesar 0,54. Pada Sapi Aceh untuk lokus TGLA227 sebesar 0, lokus ETH225 sebesar 0,58, lokus BM1824 sebesar 0,48, lokus INRA005 sebesar 0,57 dan pada lokus MM12 sebesar 0,59. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa terdapat dua lokus yang tidak menunjukkan adanya polimorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005 dengan nilai PIC 0, namun berbeda pada spesies sapi Aceh untuk kedua lokus tersebut menunjukkan adanya polimorfik. Lokus TGLA227 pada spesies sapi Aceh yang tidak menunjukkan adanya polimorfik, namun polimorfik pada spesies sapi Bali dari Sumbawa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Zhou et al. (2005) terhadap lokus mikrosatelit yang sama pada lima jenis ternak lokal di Cina yaitu ETH225, BM1824, TGLA227 pada penelitian yang dilakukan Zhou et al. (2005) lokus ETH225, BM1824 dan TGLA227 ketiganya memiliki nilai PIC > 0,50. Penelitian yang dilakukan oleh Pandey et al. (2006), terhadap sapi Kherigarh di India menyebutkan bahwa nilai PIC untuk lokus INRA005 dan ETH225 > 0,50. Penelitian yang dilakukan Sodhi et al. (2006), terhadap Sapi Zebu di India menyebutkan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa nilai PIC untuk lokus ETH225 < 0,50. Berdasarkan perbedaan data-data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lokus mikrosatelit yang sama memiliki optimasi kerja yang berbeda untuk jenis ternak yang berbeda.

Adapun rata-rata polimorfisme alel yang rendah pada sapi lokal spesies sapi Bali dari Sumbawa 0,29 dan sapi Aceh 0,44 dalam studi ini kemungkinan disebabkan oleh variasi genetik yang cenderung ke arah homogen, atau sampel


(53)

commit to user

yang diduga masih belum maksimal mewakili populasi yang ada serta memiliki diversitas letak geografis yang sangat jauh sehingga memungkinkan terjadinya keragaman genetik akibat proses seleksi. Menurut Meadows et al. (2006), hal ini disebabkan adanya beberapa faktor potensial, diantaranya faktor seleksi, sistem perkawinan, atau pola migrasi, serta mekanisme lain yang berakibat pada rendahnya jumlah alel efektif untuk ukuran populasi.

Hal lain adalah budaya masyarakat setempat, yang sangat membatasi ternak jantannya digunakan sebagai sumber genetik sehingga penggunaan pejantan sangat terbatas. Hal ini dimungkinkan karena selama ini peternak cukup protektif terhadap perkawinan silang sehingga sumbangan keragaman genetik dari luar cukup rendah. Namun, juga tidak diikuti dengan transfer atau perpindahan pejantan dari breed yang sama antar peternak yang secara geografis letaknya cukup jauh, sehingga memungkinkan terjadinya pemanfaatan antar pejantan. Kenyataan lain, peternak rakyat lebih senang memelihara induk daripada pejantan dengan tujuan reproduksi, yakni mendapatkan pedet daripada penggemukan pejantan. Namun, dengan pertimbangan bahwa kualitas sapi Bali sebagai ikon sapi lokal Indonesia yang saat ini kenyataannya cenderung menurun secara genetis, maka sebenarnya dengan memanfaatkan beberapa marka mikrosatelit maupun gen yang telah diketahui, maka masih dapat dilakukan seleksi lebih lanjut untuk mendapatkan kualitas sapi lebih baik (Winaya, 2010).

Namun dari studi ini yang menunjukkan bahwa semua lokus teramplifikasi pada semua populasi sampel, maka mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk dapat jadikan kandidat marka. Terutama pada sapi-sapi yang ditetapkan sebagai


(54)

commit to user

breed lokal. Untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan marka mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih lanjut atau berulang kali, misal dengan uji keturunan (pedigree) dan segregasi Mendel dengan menggunakan jumlah individu lebih banyak serta cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak domestik di Indonesia ataupun yang terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini.

B. Diversitas Inter Spesies

Pada diversitas inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ini memiliki jumlah alel antara 2 - 3 dengan rata-rata jumlah alel lebih besar dibanding pada intra spesies yaitu sebesar 0,28. Frekuensi alel bervariasi antara 0,06 – 0,84, frekuensi alel tertinggi terdapat pada lokus BM1824 alel A (0,84) dan terendah pada lokus BM1824 alel B (0,06). Beberapa parameter diversitas genetik inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilihat pada tabel 5. Table 5. Parameter keragaman genetik inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh

pada 5 lokus mikrosatelit.

Lokus Na f Ne I Ho He PIC

TGLA227 2 A 0,76 B 0,24

1,57 0,55 0,53 0,48 0,36

ETH225 3 A 0,63 B 0,25 C 0,12

2,13 0,90 0,25 0,75 0,53

BM1824 3 A 0,84 B 0,06 C 0,10

1,40 0,55 0,68 0,33 0,28

INRA005 3 A 0,79 C 0,10 D 0,11

1,56 0,66 0,58 0,43 0,36

MM12 3 A 0,35

B 0,35 C 0,30

2,99 1,10 0,13 0,88 0,67

Rataan 2.80 - 1,93 0,75 0,43 0,57 0,44

Keterangan : Na.: Observed number of alleles ; f = Allele Frequency ; Ne.: Effective number of alleles [Kimura and Crow (1964)]; I.: Shannon's Information index [Lewontin (1972)]; Ho.:Observed Homozigocity; He.: Observed Heterozigocity,. PIC.: Polymorphism Information Content.


(55)

commit to user

Effective number of alleles terendah 1,40 untuk lokus BM1824 dan tertinggi 2,99 untuk lokus MM12, rata-rata effective number of alleles sebesar 1,93. Nilai shannon's information index bervariasi antara 0,55 – 1,10, nilai I tertinggi sebesar 1,10 untuk lokus MM12 sedangkan nilai I terendah adalah sebesar 0,55 untuk lokus BM1824 dan TGLA227. Nilai rata-rata I inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh adalah sebesar 0,75. Perbandingan diversitas gen intra spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan intra spesies Sapi Aceh dengan inter spesies Bali-sumbawa dan Aceh menunjukkan bahwa nilai diversitas gen yang ditunjukkan dengan Shannon’s Informations Index (I) pada intra spesies Bali dari Sumbawa adalah 0,45 dan intra spesies Aceh 0,75 sedangkan untuk inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh 0,75, sehingga dapat dikatakan diversitas gen intra spesies sama dengan diversitas genetik inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh. Nilai rata-rata homozigositas sebesar 0,43, sedangkan nilai rata-rata heterozigositas sebesar 0,57, terdapat selisih nilai sebesar 0,14. Nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus MM12 yaitu sebesar 0,88, sedangkan yang terendah terdapat pada lokus BM1824 yaitu sebesar 0,33. Rata-rata heterozigositas pada diversitas inter lebih besar dibanding rata-rata heterozigositas pada diversitas intra pada sapi Bali dari Sumbawa tetapi lebih kecil dari rata-rata heterozigositas sapi Aceh. Nilai He berbeda antar lokus DNA mikrosatelit hanya ada dua lokus yang memiliki nilai he lebih dari 0,50 yaitu pada lokus ETH225 dan MM12, namun pada rataan heterozigositas semua lokus DNA mikrosatelit nilai he> 0,50 kecuali pada intra spesies sapi Bali dari Sumbawa.


(56)

commit to user

Nilai Polymorphic Information Content (PIC), lokus DNA mikrosatelit pada kedua spesies sapi menunjukkan nilai antara 0,28 hingga 0,67. Nilai polimorphism information content (PIC) tertinggi adalah sebesar 0,67 untuk lokus MM12 sedangkan nilai terendah adalah sebesar 0,28 untuk lokus BM1824. Berdasarkan data yang diperoleh pada diversitas inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh terdapat dua lokus yang informatif dalam analisis genetika populasi karena memiliki nilai PIC > 0,50 yaitu lokus ETH225 dan MM12.

Menurut ketentuan FAO (1996) Nilai heterosigositas di atas 50 %, berarti keragaman genetik dalam populasi tersebut cukup tinggi, sehingga apabila jumlah individu populasi ditambah maka akan menambah tingkat keragaman dalam populasi yang diamati. Rataan heterosigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel dan jumlah lokus yang dianalisis. Nilai rata-rata heterosigositas (H) yang diperoleh dari penelitian ini lebih besar dari 50% pada diversitas intra spesies sapi Aceh dan diversitas inter spesies, sedangkan nilai rata-rata heterosigositas (H) pada diversitas intra spesies sapi Bali dari Sumbawa kurang dari 50%. Nei (1987) mengemukakan terdapat kecenderungan bahwa populasi lokal yang tertutup dan tidak bermigrasi akan mempunyai nilai H yang akan lebih kecil dibanding populasi lokal yang terbuka dan mudah melakukan migrasi. Nilai H yang diperoleh dari penelitian ini menghasilkan nilai relatif besar. Rata-rata heterozigositas yang tinggi kemungkinan disebabkan bahwa hampir setiap individu bergenotip heterozigot sehingga minimal menghasilkan nilai h≈ 0.5.

Dengan demikian dapat segera ditentukan program pemuliaan yang akan ditempuh berdasakan nilai heterosigositas dalam suatu populasi ternak. Semakin


(1)

commit to user

breed lokal. Untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan marka mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih lanjut atau berulang kali, misal dengan uji keturunan (pedigree) dan segregasi Mendel dengan menggunakan jumlah individu lebih banyak serta cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik maupun filogenetik bagi ternak-ternak domestik di Indonesia ataupun yang terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini.

B. Diversitas Inter Spesies

Pada diversitas inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ini memiliki jumlah alel antara 2 - 3 dengan rata-rata jumlah alel lebih besar dibanding pada intra spesies yaitu sebesar 0,28. Frekuensi alel bervariasi antara 0,06 – 0,84, frekuensi alel tertinggi terdapat pada lokus BM1824 alel A (0,84) dan terendah pada lokus BM1824 alel B (0,06). Beberapa parameter diversitas genetik inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilihat pada tabel 5. Table 5. Parameter keragaman genetik inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh

pada 5 lokus mikrosatelit.

Lokus Na f Ne I Ho He PIC

TGLA227 2 A 0,76

B 0,24

1,57 0,55 0,53 0,48 0,36

ETH225 3 A 0,63

B 0,25 C 0,12

2,13 0,90 0,25 0,75 0,53

BM1824 3 A 0,84

B 0,06 C 0,10

1,40 0,55 0,68 0,33 0,28

INRA005 3 A 0,79

C 0,10 D 0,11

1,56 0,66 0,58 0,43 0,36

MM12 3 A 0,35

B 0,35 C 0,30

2,99 1,10 0,13 0,88 0,67

Rataan 2.80 - 1,93 0,75 0,43 0,57 0,44

Keterangan : Na.: Observed number of alleles ; f = Allele Frequency ; Ne.: Effective number of

alleles [Kimura and Crow (1964)]; I.: Shannon's Information index [Lewontin (1972)];

Ho.:Observed Homozigocity; He.: Observed Heterozigocity,. PIC.: Polymorphism Information


(2)

commit to user

Effective number of alleles terendah 1,40 untuk lokus BM1824 dan tertinggi 2,99 untuk lokus MM12, rata-rata effective number of alleles sebesar 1,93. Nilai shannon's information index bervariasi antara 0,55 – 1,10, nilai I tertinggi sebesar 1,10 untuk lokus MM12 sedangkan nilai I terendah adalah sebesar 0,55 untuk lokus BM1824 dan TGLA227. Nilai rata-rata I inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh adalah sebesar 0,75. Perbandingan diversitas gen intra spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan intra spesies Sapi Aceh dengan inter spesies Bali-sumbawa dan Aceh menunjukkan bahwa nilai diversitas gen yang ditunjukkan dengan Shannon’s Informations Index (I) pada intra spesies Bali dari Sumbawa adalah 0,45 dan intra spesies Aceh 0,75 sedangkan untuk inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh 0,75, sehingga dapat dikatakan diversitas gen intra spesies sama dengan diversitas genetik inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh. Nilai rata-rata homozigositas sebesar 0,43, sedangkan nilai rata-rata heterozigositas sebesar 0,57, terdapat selisih nilai sebesar 0,14. Nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus MM12 yaitu sebesar 0,88, sedangkan yang terendah terdapat pada lokus BM1824 yaitu sebesar 0,33. Rata-rata heterozigositas pada diversitas inter lebih besar dibanding rata-rata heterozigositas pada diversitas intra pada sapi Bali dari Sumbawa tetapi lebih kecil dari rata-rata heterozigositas sapi Aceh. Nilai He berbeda antar lokus DNA mikrosatelit hanya ada dua lokus yang memiliki nilai he lebih dari 0,50 yaitu pada lokus ETH225 dan MM12, namun pada rataan heterozigositas semua lokus DNA mikrosatelit nilai he> 0,50 kecuali pada intra spesies sapi Bali dari Sumbawa.


(3)

commit to user

Nilai Polymorphic Information Content (PIC), lokus DNA mikrosatelit pada kedua spesies sapi menunjukkan nilai antara 0,28 hingga 0,67. Nilai polimorphism information content (PIC) tertinggi adalah sebesar 0,67 untuk lokus MM12 sedangkan nilai terendah adalah sebesar 0,28 untuk lokus BM1824. Berdasarkan data yang diperoleh pada diversitas inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh terdapat dua lokus yang informatif dalam analisis genetika populasi karena memiliki nilai PIC > 0,50 yaitu lokus ETH225 dan MM12.

Menurut ketentuan FAO (1996) Nilai heterosigositas di atas 50 %, berarti keragaman genetik dalam populasi tersebut cukup tinggi, sehingga apabila jumlah individu populasi ditambah maka akan menambah tingkat keragaman dalam populasi yang diamati. Rataan heterosigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel dan jumlah lokus yang dianalisis. Nilai rata-rata heterosigositas (H) yang diperoleh dari penelitian ini lebih besar dari 50% pada diversitas intra spesies sapi Aceh dan diversitas inter spesies, sedangkan nilai rata-rata heterosigositas (H) pada diversitas intra spesies sapi Bali dari Sumbawa kurang dari 50%. Nei (1987) mengemukakan terdapat kecenderungan bahwa populasi lokal yang tertutup dan tidak bermigrasi akan mempunyai nilai H yang akan lebih kecil dibanding populasi lokal yang terbuka dan mudah melakukan migrasi. Nilai H yang diperoleh dari penelitian ini menghasilkan nilai relatif besar. Rata-rata heterozigositas yang tinggi kemungkinan disebabkan bahwa hampir setiap individu bergenotip heterozigot sehingga minimal menghasilkan nilai h≈ 0.5.

Dengan demikian dapat segera ditentukan program pemuliaan yang akan ditempuh berdasakan nilai heterosigositas dalam suatu populasi ternak. Semakin


(4)

commit to user

tinggi nilai heterosigositas maka sebaiknya perlu dilakukan program seleksi, namun jika semakin kecil nilai heterosigositas maka sebaiknya perlu dilakukan program crossbreeding atau perkawinan silang.

Searah dengan perkembangan teknologi DNA, maka keragaman genetik, pada sapi - sapi lokal yang berasal dari berbagai wilayah atau letak geografis berbeda dapat dipelajari. Keragaman genetik ini dapat dipelajari dengan melihat variasi alel DNA berdasarkan penciri genetik molekuler. Keragaman genetik ini sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak, karena dengan diketahuinya keragaman genetik ternak dimungkinkan untuk membentuk bangsa ternak baru melalui seleksi dan sistem perkawinan. Hal ini penting karena dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan outbreeding dengan menggunakan sapi jantan dari wilayah lain.

Berkaitan dengan sumber daya genetik, sapi lokal Indonesia diketahui memiliki variasi genetik cukup besar. Meskipun secara umum sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia diduga memiliki tetua umum dari Banteng, namun dari beberapa studi molekuler yang telah dilakukan, hasilnya masih menunjukkan adanya variasi genetik cukup tinggi. Demikian pula secara fenotipik, beberapa wilayah telah menetapkan pula bangsa atau breed sapinya menurut kriteria lokal setempat, seperti sapi Bali yang diyakini merupakan bangsa sapi tertua di Indonesia yang mewarisi komposisi genetik terbesar dari Banteng. Hal ini selain merupakan tantangan untuk mendapatkan spesifikasi secara molekuler sapi-sapi lokal yang ada, juga merupakan peluang yang besar dalam upaya untuk manajemen konservasi plasma nuftah sapi-sapi lokal tersebut.


(5)

commit to user

Pertimbangannya bahwa dengan semakin banyaknya informasi alel-alel yang ada pada sapi-sapi lokal tersebut, maka diharapkan menjadi bagian dari data base (data-data dasar) bagi potensi genetik sapi-sapi lokal Indonesia. Apabila dikehendaki adanya profil secara molekuler sapi-sapi lokal Indonesia, maka meskipun masih terbatas, data-data dasar tersebut telah diperoleh. Studi molekuler genetik perlu diupayakan secara terus-menerus agar semakin lengkap data base sapi-sapi lokal Indonesia, terutama sangat penting dalam upaya perlindungan plasma nuftah sapi- sapi lokal Indonesia.


(6)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat diversitas genetik intra maupun inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis mikrosatelit. Keragaman genetik pada intra spesies sapi Aceh lebih tinggi dibandingkan intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh. Hal ini dinyatakan dengan rata-rata heterozigositas semua lokus mikrosatelit untuk Sapi Aceh sebesar 68%, Sapi Bali dari Sumbawa sebesar 46% serta rata-rata heterozigositas inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh sebesar 57%.

B. Saran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Aceh memiliki Keragaman genetik lebih tinggi dari pada intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh, maka perlu dilakukan pemuliaan sapi Aceh untuk mendapatkan kualitas ternak sapi Aceh yang unggul yaitu dengan cara sistem seleksi buatan pada program pemuliaan.