PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

1

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Mi merupakan salah satu jenis makanan yang populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Di Indonesia, banyak orang mengkonsumsi mi karena rasanya yang disukai dan praktis dalam penyajiannya. Mi sering dijadikan pangan alternatif pengganti nasi sebagai penghasil energi karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Produksi mi basah di Indonesia cukup besar. Menurut Badan Pusat Statistik, data produksi mi basah di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 92.492.696 kg, sedangkan data konsumsi mi basah penduduk Indonesia pada tahun 2004 untuk pengeluaran rata-rata perkapita dalam seminggu adalah 0.003 kg. Artinya konsumsi mi basah setiap penduduk Indonesia dalam seminggu adalah 3 gram mi basah. Mi basah yang dikonsumsi umumnya berupa produk olahan dari mi basah seperti mi ayam yang menggunakan mi basah mentah, soto mi, bakso, dan taoge goreng yang menggunakan mi basah matang. Produk olahan ini umumnya dikonsumsi sebagai makanan jajanan, sarapan dan makan siang. Mi basah mentah biasanya dijual tanpa proses pemasakan terlebih dahulu dengan kadar air sekitar 35, sedangkan mi basah matang telah mengalami proses pemasakan sehingga kadar airnya mencapai 52 Astawan, 1999. Kadar air mi basah yang cukup tinggi serta kondisi sanitasi proses produksi, peralatan dan perilaku pekerja yang kurang terjamin kebersihannya menyebabkan mi basah cepat mengalami kerusakan akibat pertumbuhan mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri yang cukup tinggi. Pada mi basah matang kerusakan terjadi setelah 40 jam pada suhu kamar berupa tumbuhnya kapang Hoseney, 1998. Saat ini usaha yang dapat dilakukan oleh produsen untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan memperpanjang umur simpan mi basah adalah dengan melakukan penambahan bahan pengawet. Akan tetapi seringkali bahan pengawet yang ditambahkan bukanlah pengawet untuk makanan. 2 Produsen mi sering menggunakan bahan yang dilarang seperti formalin dan boraks sebagai pengawet pada mi basah. Hasil pengujian Badan POM dari sampling dan pengujian laboratorium secara serentak di Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, dan Makasar pada Desember 2005 menunjukkan bahwa 64,32 mi basah tidak memenuhi syarat kesehatan karena mengandung formalin. Selain itu, Badan POM juga melaporkan, dari 24 sampel yang diuji, lebih dari 80 mi basah yang dijual di Pasar Bandung mengandung boraks dan formalin Anonim, 2005. Alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet adalah karena harga yang murah, lebih awet, dan mutu mi basah yang dihasilkan lebih bagus Astawan, 2006. Maraknya kasus penggunaan formalin pada mi basah membuat masyarakat menjadi resah dan lebih selektif dalam memilih bahan pangan. Hal tersebut mendorong dilakukannya usaha untuk mencari bahan-bahan alami sebagai pengawet. Fuli pala merupakan bahan alami yang dapat dijadikan alternaif sebagai pengawet alami. Fuli pala dihasilkan dari tanaman pala yang merupakan rempah indigenes Indonesia. Potensi antimikroba fuli pala telah diteliti dengan mengeskstrak fuli pala dengan etanol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol fuli pala memiliki aktivitas antimikroba terhadap Bacillus megaterium, Acinetobacter sp., dan Pseudomonas sp. Ekstrak fuli pala juga mempunyai sifat antimikroba terhadap Enterobacter aerogenes , Brevibacterium dan Achromobacter sp., Micrococcus flavus, Bacillus subtilis, Leuconostoc mesenteroides, dan Lactobacillus plantarum Hirasa dan Takemasa, 1998. Mengingat proses ekstraksi etanol pada fuli pala membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya yang mahal dan keterampilan khusus, maka perlu diupayakan cara lain untuk memanfaatkan antimikroba yang terdapat pada fuli pala. Salah satu caranya yaitu dengan cara membuat bubuk fuli pala. Bentuk bubuk lebih mudah dibuat dan lebih mudah diaplikasikan ke dalam sistem pangan karena umumnya rempah-rempah ditambahkan ke dalam makanan dalam bentuk bubuk. 3 Garam adalah seasoning dan pengawet yang komposisi kimianya adalah natrium klorida, sekitar 40 natrium dan 60 klorida Igoe dan Hui, 1996. Secara umum kristal NaCl tidak berwarna dan berbentuk kubus. Konsentrasi garam 1-2 dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Beberapa mikroba proteolitik dan penyebab kebusukan tidak toleran pada konsentrasi garam kira-kira 2.5 Winarno et al., 1982. Kombinasi aktivitas antimikroba dari bubuk fuli pala dan garam diharapkan cukup efektif bila diaplikasikan pada sistem pangan, sehingga mampu memperpanjang umur simpan mi basah. Bubuk fuli pala diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengawet alami oleh produsen mi basah sehingga menghasilkan produk yang tidak hanya awet tetapi juga aman untuk dikonsumsi.

B. TUJUAN, SASARAN DAN MANFAAT 1. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengawetkan mi basah menggunakan bahan pengawet alami yaitu bubuk fuli pala Myristica fragrans Houtt yang dikombinasikan dengan garam, sehingga lebih aman karena tidak mengandung bahan pengawet sintetik.

2. SASARAN

Sasaran dari penelitian ini adalah menghasilkan mi dengan umur simpan yang lebih panjang dan memiliki karakteristik sensori berupa tekstur, aroma, warna dan rasa yang masih dapat diterima oleh konsumen.

3. MANFAAT

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi produsen sehingga dapat memproduksi mi basah dengan umur simpan yang lebih panjang sekaligus memberikan solusi terhadap masalah penyalahgunaan formalin sebagai pengawet sehingga memberikan jaminan keamanan bagi konsumen. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA