instansi maupun di antara lembaga PEMP lainnya. Disini persepsi penentu kebijakan baik kalangan legislatif maupun eksekutif, masyarakat maupun
stakholder terkait masih beragam. Dari keragaman sudut pandang tentang Program PEMP ini apakah menjadi faktor pendukung atau penghambat dalam
pelaksanaannya. Mempertimbangkan permasalahan diatas, maka perlu juga diketahui
bagaimana kinerja Kelembagaan PEMP yang mencakup Dinas Kelautan dan
Perikanan, LEPP-M3, Konsultan Manajemen KM, Tenaga Pendamping Desa TPD, Kelompok Masyarakat Pemanfaat KMP dan kemitraan serta persepsi
Stakholder. Dimensi atau elemen ini penting dan merupakan hal yang dapat menjawab dinamika bekerjanya aspek-aspek dalam Program PEMP, seperti input,
proses dan outputnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat,
Kabupaten Sambas. Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengkaji kondisi sumberdaya Perikanan dan sumberdaya manusia pesisir dan Perairan Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas.
2. Mengevaluasi kinerja pelaksanaan
Program PEMP
di Kecamatan
Pemangkat, Kabupaten Sambas. 3. Menelaah
faktor-faktor yang
mempengaruhi mendukung
dan menghambat status kinerja Program PEMP Kecamatan Pemangkat.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan terhadap pengembangan program PEMP di Kecamatan Pemangkat yang akan
datang. Selain itu juga dapat memberi informasi terhadap masalah yang berkaitan dengan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk pengembangan
penelitian selanjutnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Perikanan
Sumberdaya perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan
jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem,
sumberdaya perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut Dahuri 2004. Hal ini terkait dengan premise bahwa sumberdaya perikanan
merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang space dan
karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain.
Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda signals bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal,
regional maupun nasional. Namun demikian, pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan
kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan marine policy menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini,
sumberdaya perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Sementara
itu, dalam
hal struktur
pengelolaan, Hanna
1999 mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan
sumberdaya perikanan. Selalu ada kesenjangan tradeoffs antara stabilitas dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain
sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan
keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan Nohria 1994. Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi,
distribusi autoritas
pengambilan keputusan
dan informasi
serta mampu
memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles 2001, paling tidak ada dua
makna dalam hal ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas laissez-
faire yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal
namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh
pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia,
melalui penataan
hukum yang
menyangkut kegiatan
sumberdaya perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun
demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua
menurut Charles 2001 seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim
tata kelola governance sumberdaya perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola governance revitalization menjadi salah satu prasyarat
utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar ocean state di dunia.
Charles 2001 memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema
management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan
legal endorsment yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks sumberdaya perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan
budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini
dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan sumberdaya perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme
fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan fishing right
harus mempertimbangkan kepada siapa hak tersebut diberikan. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang
profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku sumberdaya perikanan dalam rejim open access. Pengetahuan nelayan terhadap
Sumberdaya tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan
komunitas sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah
diuraikan sebelumnya. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system
seperti yang disampaikan oleh Charles 2001, terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan fishers yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar
belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro antar nelayan dalam satu grup atau dalam
komunitas makro nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya. Kedua, dalam
komunitas nelayan
komersial, nelayan
dapat bervariasi
menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan
nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain
sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik
profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya
perusahaan, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.
2.2 Gambaran Umum Tentang PEMP