17
d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mlmenit maka hindari
penggunaan obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektivitasnya
e. psikotropikaantikejang: lithium dan topiramate
f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin
g. obat lain: methotrexate dan penicillamine
2.5 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Antibiotika merupakan suatu obat yang paling banyak digunakan saat ini oleh banyak orang dan sepertiga dari pasien rawat inap menggunakan antibiotika.
Disamping itu penggunaan antibiotika dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, penggunaan antibiotika harus
mengikuti strategi peresepan antibiotika Aslam, dkk., 2003. Terdapat beberapa golongan antibiotika yang digunakan pada pasien rawat
inap yang menderita gangguan ginjal kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari – Juni 2014, yaitu:
a. Golongan Cephalosporin
Cephalosporin adalah antibiotika β-lactam yang terkait erat secara struktural dan fungsional terhadap penicillin. Sebagian besar cephalosporin
diproduksi secara semisintetis melalui ikatan kimiawi rantai samping pada 7- aminocephalosporanic acid. Cephalosporin mempunyai cara kerja yang sama
dengan penicillin, dan dipengaruhi oleh mekanisme resistensi yang sama. Meskipun demikian, cephalosporin cenderung lebih resisten daripada penicillin
terhadap β-lactamase tertentu Harvey, 2009.
Universitas Sumatera Utara
18
Cephalosporin telah diklasifikasikan sebagai generasi pertama, kedua, ketiga, atau keempat, sebagian besar berdasarkan pola kepekaan bakterinya dan
resistensinya terhadap β-lactamase. [Catatan: cephalosporin tidak efektif melawan MRSA, L. monocytogenes, Clostridium difficile, dan enterokokus]. Cephalosporin
generasi pertama bekerja sebagai pengganti penicillin G. Generasi ini resisten terhadap penicillinase stafilokokus dan juga memiliki aktivitas melawan Proteus
mirabilis, E. Coli, dan Klebsiella pneumoniae disingkat menjadi PecK. Contoh cephalosporin generasi pertama adalah cefazolin, cefadroxil, cephalexin, dan
cephalothin Harvey, 2009. Cephalosporin generasi kedua memperlihatkan aktivitas yang lebih besar
melawan tiga organisme gram-negatif tambahan: H. influenzae, Enterobacter aerogenes, dan beberapa spesies Neisseria, sedangkan aktivitas melawan
organisme gram-positif lebih lemah singkatan HENPEcK telah diajukan untuk cakupan generasi kedua yang lebih luas. [Catatan: pengecualian untuk
generalisasi ini adalah cephamycin yang terkait secara struktural, yaitu cefoxitin yang memiliki sedikit aktivitas terhadap H. influenzae tetapi efektif terhadap
organisme anaerob Bacteroides fragilis]. Contoh cephalosporin generasi kedua adalah cefaclor, cefoxitin, cefuroxime sodium, dan cefuroxime axetil Harvey,
2009. Cephalosporin generasi ketiga telah memiliki peranan penting dalam
penatalaksanaan penyakit infeksius. Walaupun aktivitasnya terhadap kokus gram- positif lebih rendah dari generasi pertama, cephalosporin generasi ketiga ini
mempunyai aktivitas yang lebih tinggi melawan basil gram-negatif, meliputi organisme-organisme yang disebutkan tadi dan juga sebagian besar organisme
Universitas Sumatera Utara
19
enterik lainnya, serta Serratia marcescens. Ceftriaxone atau cefotaxime telah menjadi agen pilihan dalam terapi meningitis. Ceftazidime mempunyai aktivitas
terhadap P. aeruginosa. Contoh cephalosporin generasi ketiga adalah cefdinir, cefixime, cefotaxime, ceftazidime, ceftibuten, ceftizoxime, dan ceftriaxone.
Cefepime diklasifikasikan sebagai cephalosporin generasi keempat dan harus diberikan melalui parenteral. Cefepime mempunyai spektrum bakteri yang luas,
aktif melawan streptokokus dan stafilokokus tetapi hanya terhadap yang peka methicillin. Cefepime juga efektif melawan organisme gram-negatif aerobik,
seperti enterobacter, E. coli, K. pneumoniae, P. mirabilis, dan P. aeruginosaHarvey, 2009.
Mekanisme resistensi bakteri terhadap cephalosporin, pada dasarnya serupa dengan yang dijabarkan untuk penicillin. [Catatan: walaupun
cephalosporin tidak rentan terhadap hidrolisis oelh penicillinase stafilokokus, cephalosporin dapat rentan terhadap β-lactamase yang berspektrum luas]. Dalam
pemberiannya, banyak cephalosporin harus diberikan secara IV atau IM karena absorpsi oralnya yang buruk. Semua cephalosporin didistribusikan secara baik
dalam cairan tubuh. Meskipun demikian, kadar terapeutik yang adekuat dalam CSF, tanpa memperhatikan inflamasi, hanya diperoleh dengan penggunaan
cephalosporin generasi ketiga. Semua cephalosporin melewati plasenta. Eliminasi cephalosporin terjadi melalui sekresi tubulus dan atau filtrasi glomerulus. Oleh
sebab itu, dosis harus disesuaikan pada kasus-kasus gagal ginjal berat untuk berjaga-jaga terhadap akumulasi dan toksisitas. Ceftriaxone diekskresikan melalui
empedu ke dalam feses sehingga sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Cephalosporin menimbulkan sejumlah efek samping, beberapa
Universitas Sumatera Utara
20
diantaranya bersifat unik untuk anggota tertentu golongan ini. Pasien yang mengalami respon anafilatik terhadap penicillin tidak boleh diberikan
cephalosporin. Cephalosporin harus dihindari atau digunakan secara hati-hati pada orang-orang yang alergi terhadap penicillin sekitar 5-15 menunjukkan
sensitivitas-silang. Sebaliknya , insidensi reaksi alergi terhadap cephalosporin berkisar satu hingga dua persen pada pasien tanpa riwayat alergi penicillin
Harvey, 2009. b.
Antibiotika β-Lactam Lainnya Carbapenem Carbapenem adalah antibiotika β-lactam sintetik yang berbeda struktur
dengan penicillin dalam hal atom sulfur cincin thiazolidine yang telah dibuang dan digantikan oleh suatu atom karbon. Imipenem, meropenem, dan ertapenem
adalah obat-obat dari golongan ini yang tersedia saat ini. Imipenem disenyawakan dengan cilastatin untuk melindunginya dari metabolisme oleh dehidropeptidase
ginjal. Imipenemcilastatin dan meropenem merupakan sediaan antibiotika β-
lactam dengan spektrum terluas yang tersedia saat ini. Imipenem tahan dari hidrolisis oleh sebagian besar
β-lactamase, tetapi tidak oleh metallo-β-lactamase. Obat ini berperan dalam terapi empirik karena aktif melawan organisme gram-
positif dan gram-negatif penghasil penicillinase, anaerob, dan P. aeruginosa walaupun galur pseudomonas lainnya bersifat resisten, dan galur P. aeruginosa
yang resisten pernah dilaporkan bermunculan selama terapi. Meropenem memiliki aktivitas antibakteri yang mirip dengan imipenem. Ertapenem bukan
obat alternatif untuk mencakup P. aeruginosa karena sebagian besar galur menunjukkan resistensi Harvey, 2009.
Universitas Sumatera Utara
21
Imipenem dan meropenem deberikan secara IV dan menembus dalam jaringan dan cairan tubuh secara baik, termasuk CSF ketika meninges mengalami
inflamasi. Keduanya diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Imipenem mengalami pembelahan oleh dehidropeptidase yang ada pada brush border
tubulus proksimal ginjal. Enzim ini membentuk metabolit inaktif yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik. Persenyawaan imipenem dengan cilastatin melindungi
obat induknya sehingga mencegah pembentukan metabolit toksik. Hal ini membuat obat dapat digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih. Meropenem
tidak mengalami metabolisme. Ertapenem dapat diberikan melalui injeksi IV atau IM. Dosis obat golongan ini harus disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Efek samping dari imipenemcilastatin ialah dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare. Kadar imipenem yang tinggi juga dapat memicu kejang, tetapi
meropenem lebih sedikit kemungkinannya untuk menyebabkan kejang Harvey, 2009.
c. Fluoroquinolone
Semua fluoroquinolone bersifat baktesidial. Contoh fluoroquinolone yang bermanfaat secara klinis adalah ciprofloxacin. Agen ini merupakan
fluoroquinolone yang paling banyak digunakan saat ini di Amerika Serikat. Kadar serum ciprofloxacin yang dicapai, efektif terhadap banyak infeksi sistemik,
kecuali infeksi serius akibat methicillin-resistant Staphylococcus aureus MRSA, enterokokus, dan pneumokokus. Ciprofloxacin juga bermanfaat secara khusus
dalam mengobati infeksi yang disebabkan oleh berbagai Enterobacteriaceae dan basil gram-negatif lainnya. Sebagai contoh, traveler’s diarrhea akibat E. colidapat
Universitas Sumatera Utara
22
diobati secara efektif. Ciprofloxacin juga merupakan obat pilihan untuk profilaksis dan terapi anthraks Harvey, 2009.
Ciprofloxacin merupakan fluoroquinolone paling poten untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa sehingga obat ini digunakan dalam terapi infeksi
pseudomonas akibat fibrosis kistik. Obat ini juga digunakan sebagai alternatif bagi obat yang lebih toksik, seperti aminoglycoside. Obat ini dapat bekerja secara
sinergistik dengan β-lactam dan juga memiliki manfaat dalam mengobati tuberkulosis yang resisten. Ciprofloxacin dapat diberikan melalui injeksi IV.
Konsumsi fluoroquinolone dengan sucralfate, antasida yang mengandung alumunium atau magnesium, atau suplemen makanan yang mengandung besi
dapat mengganggu absorpsi agen-agen ini. Fluoroquinolone diekskresikan melalui rute ginjal. Efek samping fluoroquinolone tersering adalah mual, muntah, dan
diare, yang terjadi pada tiga hingga enam persen pasien. Fluoroquinolone harus dihindari pada kehamilan, ibu menyusui, dan pada anak berusia kurang dari 18
tahun karena erosi kartilago artikular artropati terjadi pada hewan percobaan yang belum dewasa. Pada orang dewasa, kadang-kadang, fluoroquinolone dapat
menyebabkan ruptur tendon. Efek terapi fluoroquinolone terhadap sistem saraf pusat yang paling menonjol adalah sakit kepala dan pusing atau kepala terasa
ringan. Oleh sebab itu, pasien dengan gangguan SSP, seperti epilepsi, harus diobati secara hati-hati dengan obat-obat ini. Ciprofloxacin mengganggu
metabolisme theophylline dan dapat membangkitkan kejang Harvey, 2009. d.
Metronidazole Metronidazole adalah antibakteri sintetik dari nitroimidazole yang
mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazole
Universitas Sumatera Utara
23
efektif terhadap Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Gierdia lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Perlu
perhatian untuk pemberian kepada wanita hamil. Metronidazole, dosis lazimnya 500 mg setiap 6 – 8 jam dan tidak mengalami perubahan dosis pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal Troutman, 2002.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal Suwitra, 2006.
Gangguan ginjal kronik adalah salah satu penyakit yang tidak menular dan merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif dan tidak dapat kembali ke keadaan semula Romauli, 2009. Kriteria penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal renal damage
yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus LFG. Manifestasinya adalah
kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin atau kelainan dalam tes pencitraan imaging tests serta
laju filtrasi glomerulus LFG kurang dari 60mlmenit1,73m
2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal Suwitra, 2006.
Tanda-tanda dan gejala dari penyakit gangguan ginjal kronik meliputi nokturia, edema, anemia, gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang renal
osteodystrophy, perubahan neurologis misalnya lethargia, gangguan mental, gangguan fungsi otot misalnya kram otot, kaki pegal dan uraemia misalnya
nafsu makan berkurang, mual, muntah, pruritus yang menggambarkan kadar urea darah yang tinggi, sering digunakan sebagai kata lain untuk gagal ginjal akut
Universitas Sumatera Utara