91. masuk
‐ maskap
92. masih
‐ mascara
93. membuka
‐ bukria
94. memegang
‐ peges
95. memukul
‐ kapruk
96. mencuri
‐ penyengyong
97. menembak
‐ membes
98. mulut
‐ murtak
99. muntah
‐ muntote
100. panjang
‐ pancaloka
101. saya
‐ akika
102. suami
‐ lekong
103. tidak
‐ tinte
104. tua
‐ tuing
4.1.4 Karakteristik Bahasa Gaul di Kalangan Waria di Jalan Gajah Mada
Medan
4.1.3.1 Ragam Bahasa Bahasa yang digunakan oleh para waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan
tidak merupakan suatu sistem yang lengkap, dari hasil penelitian bahasa yang mereka pergunakan sebagai alat komunikasi hanya beberapa ratus kata saja. Penggunaan
bahasa waria ini hanya meliputi bidang- bidang tertentu saja, misalnya kata- kata
yang digunakan dalam melakukan tindakan kejahatan, hubungan seksual, dan menggantikan nama- nama atau julukan orang- orang yang menurut mereka dapat
mengganggu suasana. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa kosakata yang mereka ciptakan digunakan hanya sebatas untuk merahasiakan apa yang sedang
mereka bicarakan tanpa harus mengurangi volume suara alias berbisik. Bahasa yang digunakan para waria belum dapat dikatakan sistem yang
lengkap dalam berkomunikasi. Sebab bahasa yang digunakan para waria itu bukanlah bahasa yang secara totalitas yang dapat berdiri sendiri, melainkan hanya meliputi
beberapa ratus kata saja yang diperoleh dengan berbagai macam proses penciptaannya dan unsur kosakata dan pembentukan katanya agak menyimpang.
Bahasa gaul di kalangan wari di jalan Gajah Mada medan memiliki ciri khas tersendiri, karena bahasa yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi tidak sama
dengan bahasa yang terdapat dalam Kamus Deby Sehartian, dari hasil analisi terdapat beberapa bahasa yang tidak berpedoman pada kamus waria yang digunakan para
waria sebagai berkomunikasi adalah sebagai berikut: No
Glos Kamus Waria
Konteks 1
Ada Adinda
adegan 2
Bagus Bagaskara
bagani 3
Duduk Duniawi
duka 4
Homo Hemaviton
homiped 5
Jumpa Jumpalitan
jumpis 6
Kampong Kamboja
kampus biru 7
Lama Lambada
lambreta 8
Masih Masak
maskara 9
Suami Suam
lekong 10
Tua Tuir
tuing
Salah satu karekteristik terjadi ragam bahasa yang dilakukan para waria yang ada di jalan Gadjah Mada Medan. Ragam bahasa berarti adanya usaha yang
dilakakukan secara sengaja untuk mengubah atau menciptakan suatu situasi yang baru terhadap kata yang sebelumnya sudah mempunyai makna. Perubahan ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal atau faktor, misalnya karena faktor waktu yaitu jaman yang semakin maju sehingga suatu kata dapat menjadi menyempit makna atau
sebaliknya. Selain faktor waktu juga disebabkan oleh faktor nilai rasa yaitu adanya perubahan makna semata- mata karena kebutuhan suatu kelompok pengguna bahasa
tersebut. Ragam bahasa dalam proses penciptaan kata- kata baru yang digunakan para
waria yaitu mengambil suatu kata baru yang dilakukan oleh kaum waria ini yaitu mengambil suatu kata dari kosakata bahasa Indonesia lalu memberikan makna baru
pada kata tersebut. Dengan demikian, antara kata yang baru dengan kata yang digantikan tidak ada hubungan makna satu dengan yang lain. Dan mungkin saja kata-
kata tersebut tidak terdapat di dalam KBBI. Contoh kata tersebut sebagai berikut:
105. apa
‐ apose
106. akhirnya
‐ angkaran
107. ambil
‐ ambarawa
108. banci
‐ ocik
109. bapak
‐ tubing
110. berkata
‐ cakra
111. cacat
‐ catra
112. cari
‐ cacamarica
113. cakep
‐ cakra
114. dari tadi
‐ dari
tandean 115.
di mana ‐
dimande 116.
dia ‐
dianes 117.
duda ‐
duile 118.
jahat ‐
jahara 119. jatuh
‐ jatra
120. kalah ‐
kelsong
4.1.3.3 Struktur Leksikal
Berdasarkan temuan penelitian bahasa gaul di kalangan waria ternyata memiliki struktur yang berkaitan dengan gejala bahasa. Gejala bahasa yang
ditemukan adalah penghilangan suku kata di akhir menggantikannya dengan satu fonem atau lebih, penambahan suku kata di akhir dan menggantikan dengan satu
fonem atau lebih, selanjutnya terjadi pembentukan kata yang benar- benar baru dan kata tersebut tidak terdapat arti di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Contoh
suku kata di akhir menggantikannya dengan satu fonem atau lebih yaitu sebagai berikut:
121. bantuan
‐ batu
122. boleh
‐ bola
123. duduk
‐ duka
124. hidup
‐ hilma
125. indonesia
‐ indomi
126. jalan
‐ jail
127. ketemu
‐ kete
128. nonton
‐ nonse
129. perempuan
‐ pere
130. putus
‐ putu
Berdasarkan hasil penelitian analisis makna kata yang ucapkan para Waria ternyata memiliki kaitan dengan makna sebenarnya, dengan demikian sekelompok
waria dalam menggunakan bahasa tidak sembarangan tetapi ada pola tertentu berdasarkan makna kata yang terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4.2 Pembahasan