penutupan karang keras sehingga terjadi keseimbangan antara kematian dan kehadiran karang baru di dalam ekosistem terumbu karang.
Hasil monitoring tahun 2006 dan 2007 menunjukkan wilayah perairan Pulau Weh memiliki tutupan karang dan kelimpahan ikan karang yang lebih baik
dibandingkan dengan wilayah Pulau aceh. Daerah terumbu karang Pulau Aceh yang tergolong dalam kondisi ekologis buruk menunjukkan bahwa daerah tersebut telah
mengalami berbagai macam tekanan yang sulit menjalani pemulihan. Namun dengan mulai berkurangnya penangkapan ikan yang merusak sejak tahun 2005, terumbu
karang Pulau Aceh mulai menunjukkan pemulihan diawali dengan tingginya rekruitmen karang dan meningkatnya kelimpahan ikan karnivora Ardiwijaya et al.
2007. Terdapat asosiasi yang erat antara ikan karang dengan habitatnya. Ikan-ikan
yang hidup di terumbu karang memiliki kepentingan dan preferensi di ekosistem terumbu tersebut. Kondisi terumbu karang dapat mempengaruhi jenis, kelimpahan
dan struktur komunitas ikan karang yang berasosiasi dengannya. Objek penelitian ini lebih ditekankan terhadap potensi pemulihan persentase
karang keras dan persentase rekrutmen karang serta komunitas ikan karang pasca tsunami pada setiap kawasan penelitian untuk dapat menambahkan informasi terkini
terhadap kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.
1.3 Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran seperti disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
Terumbu Karang
• Rekrutmen karang • Karang keras
Ikan Karang
• Famili dan spesies ikan karang
Proses
• Analisis persen penutupan karang hidup • Analisis rata-rata rekrutmen karang
• Kelimpahan famili dan spesies ikan
karang
Hasil Akhir Output
Kajian Kondisi Spasial dan Temporal Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang Pasca Tsunami
di Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis perubahan penutupan karang keras dan rekrutmen karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.
2. Menganalisis komunitas ikan karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.
1.5 Manfaat Penelitian
Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi terumbu karang pasca tsunami serta untuk bahan masukan bagi pengelola agar dapat digunakan sebagai dasar
pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh.
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang
Terumbu karang coral reef merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang filum cnidaria, kelas anthozoa, ordo madreporia = scleractinia dengan sedikit tambahan
dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang
mampu membuat kerangka bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat Nybakken 1997.
Gambar 2 Struktur polip dan kerangka kapur karang Suharsono 1996.
Hewan karang batu pada umumnya merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan
tepian berumbai-umbai tentakel. Ukuran polip ini umumnya sangat kecil beberapa mm tetapi ada pula yang besar hingga beberapa puluh sentimeter
seperti pada jenis Fungia. Setiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka Nontji 1993.
2.1.2 Reproduksi Karang
Menurut Suharsono 1984 karang merupakan kelompok organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan
tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang di antara mesenteri filamen dan pada saat-saat tertentu organ
tersebut terlihat nyata sedang pada waktu lain menghilang, terutama untuk jenisjenis karang di wilayah subtropis. Sebaliknya, untuk karang yang hidup di
daerah tropis, organ reproduksi dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksi berlangsung sepanjang tahun dengan puncak reproduksi dua kali
dalam setahun. Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun
aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi, pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi
aseksual larva, produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan sacara geografi terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan
pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual. Dalam hal reproduksi secara seksual, gametogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang
tertanam dalam mesenterium. Kejadian ini dapat berlangsung secara tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Konsekuensi dari cara
reproduksi ini adalah pemijahan gamet-gamet untuk fertilisasi eksternal dan perkembangan larva planula, atau pengeraman larva planula untuk dilepaskan
setelah berlangsung fertilisasi internal Richmond dan Hunter 1990. Reproduksi aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas
yang akan menjadi individu baru pada induk dan pembentukan tunas yang terusmenerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak
untuk membentuk koloni baru Nybakken 1997. Pertunasan ada dua macam yaitu pertunasan intratentakuler dan pertunasan
ekstratentakuler Suharsono 1984. Pertunasan intratentakuler ialah pembentukan
individu baru di dalam individu lama yaitu dimana mulut baru terbentuk di dalam lingkar tentakel individu lama melalui invaginasi lempeng oral, sedangkan
pertunasan ekstratentakuler ialah pembentukan individu baru di luar individu lama yaitu dimana koralit baru tumbuh di-coenosarc diantara koralit dewasa.
Cara lain dari reproduksi aseksual pada karang ialah dengan fragmentasi yaitu dimana bagian dari koloni karang yang terpisah dari induk disebabkan oleh
faktor fisik arus dan gelombang atau faktor biologi predator dapat beradaptasi di lingkungan yang baru hingga tumbuh dan membentuk koloni yang baru.
Suharsono 1984 menyatakan bahwa patahan-patahan karang yang terpisah dari koloninya tidak selalu diikuti dengan kematian pada jaringannya, tetapi dapat
hidup dan tumbuh pada substrat yang baru, dan jika kondisinya cocok, dari patahanpatahan karang tersebut bisa terbentuk koloni yang baru.
Gambar 3 Reproduksi aseksual karang. Pembelahan intratentakuler A, pembelahan ekstratentakuler B Tomascik et al. 1997.
Proses reproduksi karang secara seksual dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet masak, proses ini disebut sebagai
gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing-masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur
atau planulanya. Karang tertentu melepaskan telur yang telah dibuahi dan pembuahan terjadi di luar. Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam
induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula. Planula yang telah dilepaskan akan berenang bebas dan bila planula
mendapatkan tempat yang cocok ia akan menetap di dasar dan berkembang menjadi koloni baru Nybakken 1997.
Karang dapat bersifat gonokhoris atau hermaprodit, dan ia mempunyai segala macam bentuk variasi reproduksi, termasuk juga adanya variasi-variasi di
dalam dan antar famili, genera dan spesies Veron 1995.
Gambar 4 Sistem reproduksi karang secara seksual fertilisasi : a Polip
dewasa, b Larva planula, c Planula stadium akhir, d Polip muda Nybakken 1997.
2.1.3 Rekrutmen Karang
Juvenil karang yang mengakhiri kehidupannya sebagai organisme planktonik, lalu menempel pada substrat yang cocok disebut dengan proses
rekrutmen karang. Menurut Richmond 1997, reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu
terumbu karang. Berbeda dengan reproduksi yang merupakan proses pembentukan individu baru, rekrutmen karang merupakan proses dimana individu
karang baru hasil reproduksi tersebut menjadi bagian dari komunitas di suatu terumbu karang. Salah satu proses penting dalam rekrutmen karang tersebut
adalah kolonisasi yaitu suatu proses juvenil karang mulai menempati suatu habitat
baru. Dalam proses ini, ada dua hal penting yang sangat menentukan yaitu ketersediaan larva itu sendiri dan adanya substrat tempat menempel.
Gambar 5 Ilustrasi tiga skala monitoring dan metode yang dapat digunakan dalam menilai kondisi bio-ekologi terumbu karang Hill dan
Wilkinson 2004.
Proses penempelan larva karang pada substrat yang sesuai sampai ia menjadi bagian dari suatu ekosistem terumbu karang berlangsung dalam beberapa
tahapan. Keberhasilan dalam reproduksi merupakan tahapan pertama yang harus dilalui oleh karang, sebelum larva mengakhiri kehidupan sebagai organisme
planktonik dan menjadi bentik. Proses dan mekanisme pengidentifikasian tempat yang sesuai cocok untuk menempel sangat tergantung kemampuan larva dalam
pengenalan dan pencarian terhadap substrat tersebut Richmond 1997. Kriteria tempat yang cocok bagi penempelan larva karang adalah termasuk
tipe substrat, pergerakan air, salinitas umumnya 32 ppm, cukupnya cahaya bagi organisme simbion zooxanthellae, terbatasnya atau sedikitnya sedimentasi, dan
kadang-kadang tersedianya spesies mikroalga tertentu atau terdapatnya lapisan
biologis biological films yang biasanya terdiri dari diatom dan bakteri Richmond 1997.
Pemilihan tempat oleh larva planula karang kemungkinan dengan dasar signal kimia yang mempengaruhi reseptor yang terletak di permukaan bagian luar
larva karang. Planula karang kemudian akan bereaksi dengan lapisan biologis, dan untuk spesies karang Agaricia sp., ditemukan adanya signal kimia spesies spesifik
dari CCA crustose coraline algae dengan spesies tertentu Richmond 1997. 2.1.4 Bentuk Pertumbuhan Karang
Menurut Supriharyono 2000, dikenal beberapa macam bentuk umum pertumbuhan karang, diantaranya globose, ramose, branching, digitate plate,
compound plate, fragile branching, encrusting, plate, foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam terutama oleh level
cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Supriharyono 2000, ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang, yaitu :
1. Cahaya . Ada kecenderungan bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas
permukaan dengan volume karang akan semakin menurun;
2. Tekanan hidrodinamis . Tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus
akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang lebih
mengarah ke bentuk encrusting. Sebagai contoh, peristiwa ini dapat dilihat dari perbandingan bentuk karang masif, Porites lutea, yang tumbuh di Pantura Jawa,
seperti Jepara dengan yang berasal dari Teluk Penyu, Cilacap. Karang yang tumbuh di Cilacap cenderung berbentuk encrusting sedangkan di Jepara berbentuk
glabose;
3. Sedimen . Seperti diutarakan sebelumnya bahwa sedimen dapat mempengaruhi
pertumbuhan karang. Namun disamping itu sedimen juga diketahui menentukan pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau
teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching atau ramose. Sedangkan di perairan jernih dengan sedimentasi yang rendah lebih
banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring plate dan digitate plate;
4. Subareal eksposure . Subareal yang dimaksud adalah daerah-daerah yang pada
saat-saat tertentu, ketika saat surut yang rendah sekali menyebabkan banyak karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi seperti ini biasanya cukup lama
sehingga dapat menyebabkan beberapa karang tidak dapat bertahan. Berkaitan dengan hal ini ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level eksposure, semakin
banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting. Selain itu ciri spesifik adanya subaerial eksposure adalah banyaknya karang yang berbentuk
micro atoll .
Gambar 6 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan Supriharyono 2000.
Bentuk koloni secara umum : 1. Globose
6. Fragile branching 2. Ramose
7. Encrusting 3. Branching
8. Plate 4. Digitate plate
9. Foliate
5. Compound plate 10. Micro atoll
2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang 1. Suhu
Menurut Nontji 1993, suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang adalah sekitar 25-30
Suhu mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang akan kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5
C. Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang.
C dan dibawah 16
C Supriharyono 2000. Pengaruh suhu terhadap karang tidak saja yang ekstrim maksimum dan minimum saja, namun perubahan mendadak dari
suhu alami sekitar 4–6
2. Cahaya
C di bawah atau di atas ambient dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya.
Alasan untuk pembatasan kedalaman adalah berhubungan dengan kebutuhan cahaya. Cahaya adalah suatu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu
karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang Nybakken 1997.
Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang sehingga besama dengan itu kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan
berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20 dari intensitas
permukaan Nybakken 1997. Menurut Veron 1995, sehubungan dengan proses fotosintesis oleh
zooxanthellae, karang hermatipik mampu membentuk kerangka kapur 2 hingga 3 kali lebih cepat di tempat terang dibandingkan di tempat gelap. Ini merupakan
pengaruh cahaya dalam meningkatkan laju kalsifikasi yang memungkinkan terumbu lebih cepat dibandingkan pengikisan oleh pengaruh laut dan organisme
lain. Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis alga simbiotik. Kedalaman
penetrasi cahaya matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna pada suatu terumbu karang
dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik zooxanthella. Oksigen tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis, yang hanya dapat berlangsung apabila
ada cahaya matahari. Oleh karenanya intensitas dan kualitas cahaya matahari yang dapat menembus air laut penting untuk fotosintesis pada zooxanthella yang
seterusnya akan menentukan sebaran vertikal karang yang mengandungnya Saptarini et al. 1996.
3. Kedalaman
Supriharyono 2000 mengemukakan secara umum pertumbuhan karang tumbuh pada kedalaman berkisar antara 10-15 m. Semakin dalam laju
pertumbuhan karang semakin menurun. Hal ini membuktikan bahwa setiap gangguan yang merubah kualitas lingkungan akan berpotensi terhadap turunnya
laju pertumbuhan karang. Kedalaman maksimum untuk karang hermatipik adalah 45 m, lebih dalam
dari ini cahaya sudah terlampau lemah untuk memungkinkan zooxanthellae menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang Saptarini et al. 1996.
4. Pergerakan air, arus, dan gelombang
Umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang
padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama gelombang-gelombang itu memberikan sumber air
yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni, selain itu juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang
Nybakken 1997.
Menurut Nontji 1993, arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Di samping itu juga untuk membersihkan diri dari endapan-
endapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karenanya pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak,
lebih baik dari daerah berarus dan berombak.
5. Salinitas
Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ Supriharyono 2000.
Nybakken 1997 mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu
karang.
6. Sedimentasi
Sedimentasi umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembangunan daerah pantai, pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak,
pembukaan hutan dan aktivitas pertanian yang membebaskan sedimen terrigenous sediments ke perairan pantai atau terumbu karang. Selain jenis
sedimen di atas, ada pula sedimen lain yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik maupun biologi bioerosi yang disebut carbonate sediment. Bioerosi
biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya Supriharyono 2000.
Endapan baik dalam air maupun di atas terumbu karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tak dapat
bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air juga mempunyai akibat
sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang akibatnya, perkembangan terumbu karang
berkurang atau menghilang dari daerah-daerah yang pengendapannya besar Nybakken 1997.
Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan dari sungai, seperti daerah kepulauan, laju sedimentasi cenderung rendah, terkecuali jika ada aktivitas
yang merangsang terbentuknya sedimen. Namun jika perairan karang tersebut berdekatan dengan muara sungai dengan pengelolaan lahan di atas yang buruk
biasanya memiliki laju sedimentasi yang tinggi terutama pada saat musim penghujan Supriharyono 2000.
7. pH Terumbu karang sebagai biota laut membutuhkan tingkat keasaman yang
sesuai dengan pH rata-rata yang terdapat di perairan laut. Tomascik et al. 1997 menyatakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki
pH antara 8,2-8,5. perubahan pH air laut asam atau basa akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas biologis. Jika nilai pH rendah atau bersifat asam berarti
kandungan oksigen rendah.
2.3 Ikan Karang