Gambar 2 menunjukkan bahwa struktur tegakan di hutan rakyat Desa Tonjongsari secara umum menggambarkan sebaran normal tegakan hutan tidak
seumur uneven-aged forest yang berbentuk kurva huruf “J” terbalik.
Karakteristik tersebut menyerupai karakteristik tegakan di hutan alam. Model
alometrik tersebut memiliki koefisien determinasi sebesar 90,3 yang berarti
bahwa sebesar 90,3 dari keragaman jumlah pohon dapat dijelaskan oleh kelas diameter dengan baik. Sebagaimana hasil penelitian Suhendang 1995 dalam
Labetubun 2004 di propinsi Riau mendapatkan fakta bahwa model struktur tegakan N = k e
–ad
dapat diterima oleh semua petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh R
2
berkisar 73 sampai 89 . Tingginya koefisien determinasi yang diperoleh di Desa Tonjongsari disebabkan
oleh jenis yang lebih homogen.
5.2.2. Karakteristik Tegakan Sengon Berdasarkan Faktor Ketinggian
Tempat, Kemiringan Lahan, dan Kelas Lahan
Hasil perhitungan volume dan jumlah pohon disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil perhitungan volume dan jumlah pohon berdasarkan faktor
ketinggian, kelerengan, dan kelas luas kepemilikan lahan
Faktor Volume m3ha
Jumlah pohon per hektar
Ketinggian
50-70 mdpl 96,14
894 90-110 mdpl
129,62 896
Kelerengan
0-15 117,29
841 25-45
108,47 948
Kelas kepemilikan lahan
I 85,11
1135 II
136,48 994
III 108,55
743
Potensi tegakan sengon terbesar berada pada ketinggian antara 90-110 mdpl dengan rata-rata produksi 129,62 m
3
ha, sedangkan potensi tegakan sengon pada ketinggian antara 50-70 mdpl sebesar 96,14 m
3
ha. Dari hasil uji chi square, besar potensi sengon antara kedua ketinggian tersebut menunjukkan adanya perbedaan
pada tingkat kepercayaan 95.
Perbedaan potensi tersebut menunjukkan bahwa pada ketinggian 90-110 mdpl memiliki diameter lebih besar dibandingkan pohon-pohon yang berada pada
ketinggian antara 50-70 mdpl. Tidak adanya pengaruh ketinggian terhadap jumlah batang tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Tonjongsari umumnya
memperlakukan lahan garapannya tidak terlalu mempertimbangkan faktor ketinggian tempat. Kesulitan dalam mengakses lokasi untuk keperluan penanaman
maupun pemanenan sama sekali tidak merupakan faktor penghambat proses kegiatan pengangkutan maupun pemasaran. Hal terpenting bagi mereka adalah
bagaimana memaksimalkan lahan miliknya dengan menanami jenis kayu dan jenis pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan jangka
panjang. Pengaruh faktor kelas kemiringan lahan terhadap potensi volume tegakan
sengon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95, akan tetapi menunjukkan perbedaan nyata terhadap kerapatan jumlah batang
per pohon. Tidak adanya perbedaan pada potensi volume tegakan ditunjukkan oleh besarnya potensi volume tegakan pada kelas kemiringan 0-15 sebesar
117,29 m
3
ha, pada kelas kemiringan 25-45 sebesar 108,47 m
3
ha, sedangkan perbedaan pada jumlah pohon kemungkinan disebabkan oleh pengaturan jarak
tanam. Pada kelerengan tanah yang lebih curam akan memberikan jumlah pohon yang ditanam lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang lebih datar atau
landai, karena dengan kemiringan yang curam seharusnya jarak tanam bukan menggunakan jarak lapang, melainkan jarak datar.
Rata-rata potensi tegakan sengon tiap hektar pada masing-masing kelas luas kepemilikan lahan adalah 85,11 m
3
ha 1135 pohonha pada kelas luas kepemilikan lahan I, 136,48 m
3
ha 994 pohonha pada kelas luas kepemilikan lahan II, dan 108,55 m
3
ha 743 pohonha pada kelas luas kepemilikan lahan III. Berdasarkan hasil pendugaan potensi di atas menunjukkan bahwa pengaruh faktor
kelas luas kepemilikan lahan sangat besar, hal ini diperkuat oleh hasil uji chi square pada tingkat kepercayaan 99 menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan. Kondisi tegakan paling terlihat berbeda pada kelas luas kepemilikan lahan I dibandingkan kelas luas kepemilikan lahan lainnya dimana jumlah batang
per hektar paling besar tetapi volume yang didapatkan kecil. Pada kelas luas
kepemilikan lahan I umumnya terdiri dari tegakan sengon yang berdiameter kecil atau berumur 2-3 tahun sehingga pada sebaran kurva poisson di Desa Tonjongsari,
tegakan sengon pada kelas lahan I banyak menduduki sebaran diameter kelas bawah. Banyaknya jumlah pohon disebabkan oleh penanaman yang lebih rapat
dan juga banyak pohon berasal dari tunggak bekas tebangan yang tidak dibuang sehingga menghasilkan batang baru yang banyak cabang.
Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik secara umum tegakan sengon di Desa Tonjongsari, maka dilakukan uji Anova untuk mengetahui hubungan
berdasarkan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap potensi tegakan sengon sehingga dapat memperkuat hasil
uji chi-square yang telah didapatkan diatas. Hasil uji anova tersebut disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.
Tabel 11 Hubungan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap volume sengon
Faktor Signifikan
Ketinggian 0,151
Kelerengan 0,921
Kelas luas kepemilikan lahan 0,268
Ketinggiankelerengankelas lahan 0,978
Keterangan: dikombinasikan
Tabel 12 Hubungan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap jumlah pohon
Faktor Signifikan
Ketinggian 0.633
Kelerengan 0.507
Kelas luas kepemilikan lahan 0.010
Ketinggian kelerengan kelas luas kepemilikan lahan 0.064
Keterangan: dikombinasikan
Dari hasil pengolahan data, ternyata ketiga faktor serta kombinasinya tersebut tidak berpengaruh terhadap potensi tegakan sengon p-value 0,05,
kecuali pada faktor kelas luas kepemilikan lahan terhadap potensi jumlah batang, menunjukkan hubungan yang signifikan p-value 0,05. Nilai R Squared yang
didapat sebesar 0,316 artinya sebanyak 31.6 sediaan tegakan jumlah batang per
hektar dapat dijelaskan oleh ketinggian tempat, kelerengan lahan, dan kelas lahan di dalam model, sisanya 68.4 dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
5.3. Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari