Pengelolaan Ikan Karang Hias melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan

rata-rata 0,07 ekorm 2 Vagelli 2005. Sedangkan di kawasan lindung teluk kecil di sebelah barat daya Kepulauan Banggai mempunyai densitas 0,25-1,22 ekorm 2 dengan rata-rata 0,63 ± 0,39 ekorm 2 Lunn Moreau 2004.

2.6 Pola Pemanfaatan Secara Lestari

Menurut Marini 1996 Untuk menjaga kestabilan populasi ikan capungan banggai di alam agar tetap lestari, maka pemanfaatan yang dilakukan harus menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Harus diketahui stok alami ikan capungan Banggai di alam. 2. Pengambilan harus disesuaikan dengan kemampuan rekruitmen populasi ikan pemberlakuan kuota. 3. Pengambilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan atau habitat mereka. 4. Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan yang boleh di perdagangkan, agar memberi kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi. 5. Apabila dalam pengambilan ditemukan ikan dengan dengan kondisi gonad yang sudah matang TKG III dan IV serta ikan jantan yang sedang mengerami telur di mulut, maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut harus dikembalikan kea lam. 6. Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi. 7. Pemantauan di lapangan perlu dilakukan secara periodic untuk mengetahui stok alami untuk mendukukung informasi dalam penentuan kuota.

2.7 Pengelolaan Ikan Karang Hias melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan

Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias antara lain adalah program sertifikasi ikan hias laut Hodgson Ochavillo 2005 dan evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan Total Allowable Catches Hodson Ochavillo 2006. Pendugaan laju eksploitasi dan pembatasan melalui pendugaan stok ikan adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup komponen keseimbangan reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan mortalitas alami Pet- Soede et al. 2000; Hodgson Ochavillo 2006. Tabel 1 Dugaan ukuran populasi Pterapogon kauderni berdasarkan survei tahun 2004. Keliling km dan luas km 2 maksimum habitat dan densitas ekorm 2 dihitung dari survei kuantitatif transek. Pendugaan populasi pada tiap pulau dihitung dari dugaan total luasan habitat dan densitas rata-rata populasi Vagelli 2005. Pulau Keliling Luasan Habitat Densitas Dugaan Populasi Bandang 2,8 0,224 15.680 Bakakan 0,7 0,056 3.920 Banggai 46,2 3,696 0,07 258.720 Bangko 4,2 0,336 23.520 Bangkulu 39,2 3,136 0,03 219.520 Bole 1,7 0,134 9.408 Bokan 35,0 2,800 0,21 196.000 Botolino 3,5 0,280 19.600 BuangBuang 16,1 1,288 90.160 Kano 2,3 0,184 12.880 Kembongan 5,6 0,448 31.360 Kenau 2,8 0,224 15.680 Labobo 21,0 1,680 0,05 117.600 Labobo kcl 2,5 0,200 14.000 Limbo 11,2 0,896 0,03 62.720 Loisa A 3,5 0,280 19.600 Loisa B 3,5 0,280 19.600 Loisa C 7,0 0,560 39.200 Manggoa 2,8 0,224 15.680 Masoni 9,2 0,736 0,06 51.520 Masepe 8,4 0,672 47.040 Melilis 13,3 1,064 74.480 Peleng 110,6 8,848 0,04 619.360 Seku 16,8 1,344 94.080 Taliabu 36,4 2,912 203.840 Telopo 11,2 0,896 62.720 Tempau 9,2 0,736 51.520 Rata-rata 0,07 Total 426,7 34,134 2.389.408 Data Perdagangan ikan karang hias Indonesia sampai saat ini sangat terbatas, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia. Ekspor ikan karang hias dari Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun Dufour 1997. Perusakan terhadap habiatat yang diakibatkan oleh pengambilan secara desktruktif seperti penggunaan racun sianida dan penangkapan berlebih over exploitation menjadi masalah utama pada perikanan ini. Jika pengambilan mempertimbangkan ancaman terhadap stok alami, maka ikan yang diambil akan tergantikan oleh pergerakan ikan dari area yang diambil tersebut atau dari kolonisasi oleh larva ikan dari laut Dufour 1997. Untuk itu sangat beralasan jika mengkaji dampak pengambilan ikan karang hias yang mencakup data spesies yang diambil dan kondisi lokasi daerah pengambilan. Studi pendugaan stok alami ikan karang hias, harus menjadi pertimbangan utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan. Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih juga diperlukan pendekatan kehati-hatian precautionary approach untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan kuota terhadap ikan dengan nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah Dufour 1997. Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies seperti penetapan 100, 1000, atau 10000 ekor ikan. Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil Dufour 1997. Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu jumlah total ikan yang dtangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan karang hias adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili jumlah produksi ikan yang sebenarnya. Dalam perdagangan ikan karang hias pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah specimen dan tidak biomassa, sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan batas pengambilan maksimum Dufour 1997. Namun demikian, untuk beberapa spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan, sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih mudah diprediksi berdasarkan spesies Dufour 1997. Tingkat mortalitas anak ikan sangat tinggi pada periode ini, sehingga penurunan jumlah stok alami sangat cepat. Jumlah kolonisasi anak ikan di kawasan terumbu karang lebih tinggi dibandingkan jumlah ikan dewasa yang telah permanen di kawasan terumbu karang. Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan berdasarkan biomassa optimal dan tidak berdasarkan jumlah specimen hasil tangkapan, sehingga besar kemungkinan jumlah anak ikan yang tertangkap sangat banyak dan 90 akan hilang sebelum dewasa. Pengelolaan seperti ini hanya melindungi jumlah stok ikan dewasa Dufour 1997. Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target Hodgson Ochavillo 2006. Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan kurangnya data perdagangan ornamental, kelimpahan ikan taget yang rendah dan dan variasi kelas ukuran menjadi suatu peluang untuk mengembangkan model perikanan. Edwards et al. 2003 diacu dalam Hodgson Ochavillo 2006 mengusulkan pendekatan untuk pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Edwards et al. 2003 diacu dalam Hodgson Ochavillo 2006 memberikan kalkukasi kuota berdasarkan densitas ikan yang dihasilkan berdasarkan seruvei potensi dan populasi ikan karang dan estimasi skala total area kawasan karang. Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0.5 untuk variabilitasnya. Selanjutnya menurut Edwards et al. 2003 diacu dalam Hodgson Ochavillo 2006 berdasarkan formulasi dari Gulland’s 1971 menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66. Faktor mortalitas alami dengan menggunakan panjang ikan infinity L∞ dan suhu perairan juga menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Nilai kematian alami M dalam penghitungan kuota ikan Banggai Cardinal pada penelitian ini menggunakan informasi panjang infinity L∞ dan koefisien pertumbuhan k dari fish base online pada situs www.fishbase.org yang sudah disepakati oleh peneliti sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan di dunia Froese Pauly 2000.

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 2008 Juli sampai dengan Mei 2009 di Pulau Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Pengambilan data primer pada penelitian ini terdiri dari 4 stasiun penelitian. Stasiun penelitian tersebut adalah Stasiun BCF 1 yang terletak di Bone Baru, Stasiun BCF 2 yang terletak di Mbao mbato, Stasiun BCF 3 yang terletak di Tolokibit serta Stasiun BCF 4 yang terletak di Pulau Bandang. Stasiun BCF 1 Bone Baru saat ini sudah diusulkan oleh masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadi calon Daerah Perlindungan Laut DPL. Sedangkan stasiun penelitian lainnya sampai saat ini bukan merupakan kawasan konservasi atau usulan kawasan konservasi. Adapun lokasi 4 stasiun penelitian pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Stasiun penelitian BCF 1 termasuk dalam kelurahan Bone Baru yang merupakan lokasi utama di Pulau Banggai bagi nelayan ikan hias yang menangkap ikan Banggai Cardinal dan ikan hias lainnya untuk transaksi jual beli dengan pengumpul. Jarak stasiun ini ke pemukiman penduduk terdekat Kampung Bone Baru sekitar 200 meter. Desa Bone Baru memiliki area darat 842 hektar dan terletak 9 km ke utara Banggai yang merupakan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan. Stasiun penelitian BCF 2 terletak di Mbato mbato di Kelurahan Banggai yang merupaka kelurahan dengan aktifitas terbesar di Kabupaten Banggai Kepulauan. Jarak stasiun ini ke pemukiman penduduk kampung Banggai 500 meter. Lokasi ini merupakan salah satu daerah dengan penangkapan ikan hias paling terdekat dengan Bone Baru yang merupakan base utama nelayan untuk melakukan jual beli dengan pengumpul dari Manado. Lokasi stasiun penelitian BCF 3 berada di Tolokibit yang merupakan wilayah paling selatan di Pulau Banggai. Stasiun penelitian ini memiliki jarak 15 km dari pusat aktifitas Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu Kecamatan Banggai. Lokasi ini belum memiliki trasnportasi umum dari dan menuju Banggai, sehingga untuk mencapai lokasi darat stasiun ini harus dengan kendaraan pribadi atau kendaraan sewaan.